Dr. Adnan Mahdi, S.Ag., M.S.I.
(Sekretaris Umum Yayasan TQN Khathibiyah Sambas)
|
Jargon Sambas sebagai Serambi Mekah sudah dikenal sejak zaman
kesultanan Sambas, dan indikator terkuat pelabelan Serambi Mekah tersebut
terjadi pada masa Sultan Muhammad Syafiuddin II. Salah satu situs sejarah yang
dapat dilihat hingga saat ini adalah Masjid Jami’ Muhammad Syafiuddin II,
terletak di komplek Istana Alwatzikoebillah, Desa Dalam Kaum Kecamatan Sambas.
Masjid Jami’ yang sudah berusia 134 tahun sejak diresmikan pada tanggal 10
Oktober 1885 oleh Sultan Muhammad Syafiuddin II, pada zamannya dijadikan
sebagai tempat ibadah dan kegiatan keagamaan sekaligus sentral Pendidikan Agama
Islam. Berawal dari pendidikan di Masjid Jami’ ini, pihak Kesultanan Sambas
mengutus beberapa pemuda untuk belajar dan memperdalam ilmu agama Islam ke
Timur Tengah. Satu di antara beberapa tokoh yang pernah belajar di Al-Azhar
Mesir dan namanya sudah mendunia adalah Muhammad Basiuni Imran. Sepulangnya
dari pendidikan, Basiuni Imran dinobatkan sebagai Mahraja Imam Kesultanan
Sambas dan dipercayakan untuk mengelola sekolah pertama Kesultanan Sambas yang
diberi nama al-Sulthoniyah. Melalui al-Sulthoniyah inilah pendidikan Islam
diajarkan secara formal, sementara pendidikan non formalnya tetap dilaksanakan
di Masjid Jami’ Sultan Muhammad Syafiuddin II yang peserta didiknya tidak hanya
berasal dari kalangan istana, tapi juga dari berbagai kalangan dan daerah di
luar Kesultanan Sambas.
Selain pendidikan Islam melalui jalur formal kesultanan,
pelabelan Serambi Mekah ini pula ditopang oleh pendidikan non formal yang
dilakukan di kalangan masyarakat. Ada dua tokoh sebagai pewaris ajaran Thariqah
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) Syaikh Ahmad Khathib As-Sambasy (1803-1875 M)
yang berasal dan menetap di Sambas yaitu Syaikh Muhammad Sa’ad (1807-1922 M) di
Selakau dan Syaikh Nuruddin (1835-1895 M) di Tekarang. Kedua Syaikh ini belajar
TQN langsung dari gurunya Syaikh Ahmad Khathib As-Sambasy di Mekah dan
mengajarkan pelajaran tersebut kepada masyarakat di masjid yang didirikan dekat
dengan rumah tempat tinggalnya. Inti materi ajaran TQN ini terletak pada
pensucian hati dan ikhtiar untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
amalan pokok setelah shalat fardhu, yaitu dzikir Allah dan Lâilâhaillallâh.
Bagi orang yang sudah terbiasa berdzikir dan merasakan keberadaan Allah
dimanapun dan kapanpun, maka hidupnya akan lebih baik dan bisa memancarkan
kebaikan-kebaikan kepada orang lain. Potret masyarakat Sambas pada masa lalu
adalah masyarakat religius dan berakhlakul karimah, sehingga sangat dimungkinkan
kebaikan-kebaikan tersebut sebagaian besarnya dipengaruhi oleh pendidikan yang
mereka dapatkan, mulai dari pendidikan informal di rumah, pendidikan formal di
sekolah, maupun pendidikan non formal di masyarakat. Bijaknya orang tua masa
lalu adalah menanamkan nilai-nilai religius dan akhlakul karimah kepada
anak-anak mereka tidak serta-merta dilakukan secara langsung, tapi disampaikan
juga melalui adat istiadat di masyarakat, seperti kegiatan Zikir Nazam (Assalai
dan Asrakal), Zikir Maulid, Tepung Tawar, Bejajak, Bepapas, Tahlilan, termasuk
peringatan Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj dan berbagai kegiatan lainnya. Oleh sebab
itu, kegiatan-kegiatan ini tidak boleh langsung dihukumi halal-haram atau
sunnah-bid’ah, tapi harus dilihat muatan dan nilai-nilai pendidikan yang ada di
dalamnya. Sebab adat istiadat, tradisi atau kegiatan tersebut tidaklah
sembarangan dilakukan orang tua masa lalu, mereka selalu berpedoman pada
falsafah Melayu: Adat Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah.
Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat ditarik
simpul-simpulnya yang bisa mendorong kembali agar Sambas menjadi Serambi Mekah
dengan memadukan model dari tiga pusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan
masyarakat. Model pendidikan ini rencananya akan dilakukan oleh TQN Khathibiyah
Sambas melalui pendirian Pondok Pesantren di Tekarang, lokasinya tidak jauh
dari rencana pembangunan Jembatan Sungai Sambas Besar di Makrampai-Tekarang.
Untuk merealisasikan pendirian Pondok Pesantren TQN Syaikh Ahamd Khathib
As-Sambasy tersebut yang rencananya akan diberi nama Pondok Pesantren Khathibiyah
Sambas, tentu sangat memerlukan dukungan dari seluruh elemen masyarakat,
termasuk para pemegang kebijakan mulai dari Kepala Desa, Camat, Bupati,
Gubernur dan seterusnya. Pengurus Yayasan dan seluruh Jama’ah TQN Khathibiyah
Sambas sangat berharap kepada Bupati Sambas dan Gubernur Kalimantan Barat agar
dapat membantu merealisasikan pendirian Pondok Pesantren Khathibiyah Sambas ini
dalam ikhtiar membantu mewujudkan masyarakat Sambas religius dan berakhlakul
karimah, melestarikan ajaran TQN Syaikh Ahmad Khathib As-Sambasy sekaligus
usaha untuk menjadikan Sambas sebagai Serambi Mekah Jilid II.
Tulisan ini sudah diterbitkan di Majalah Media Sambas
No comments:
Post a Comment