Dokumentasi Foto Pernikahan DWI LESTARI, Mahasiswi IAIS Sambas |
#Adnan Mahdi
@Cuplikan Isi
Disertasi Bab IV
Apabila ditelusuri masing-masing daerah, tradisi dan adat
istiadat Melayu Sambas memiliki beragam perbedaan, namun dalam upacara ritual,
mereka masih melakukan tradisi yang sama, seperti: Upacara kelahiran, pernikahan,
kematian, dan tolak bala’ atau bayar niat. Hal ini karena mereka menganut agama
yang sama, yaitu Islam, sehingga tradisi yang berkembang selalu bersandar pada
ajaran Islam.
Sebagai contoh, akan dideskripsikan dua tradisi yang berhubungan
dengan pendidikan dalam keluarga, yaitu tradisi menyambut kelahiran anak dan
pernikahan. Dalam upacara kelahiran, orangtua Melayu Sambas mulai menjaga calon
anak dari sejak dalam kandungan. Isteri yang mengandung diberikan
pantang-larang, seperti dilarang untuk bersikap dan berbuat yang tidak baik
karena diyakini dapat diikuti oleh anak setelah ia lahir. Pada usia tujuh bulan
kandungan, dilakukan tradisi tuang minyak. Tradisi tuang minyak
ini dimulai dengan memanggil bidan kampung, lalu bidan memeriksa dan mengurut
ibu hamil yang bahannya terbuat dari minyak kelapa diberi bawang merah yang
sudah diremas-remas. Minyak tersebut diurutkan 7 kali ke bagian perut dan seluruh
tubuh dengan tujuan agar persalinan atau melahirkan lebih mudah. Setelah
diurut, ibu hamil dimandikan di dalam ayunan yang terbuat dari 7 lembar kain,
lalu dimandikan sebanyak 7 kali sambil diayun-ayunkan. Kemudian ibu hamil dan
suaminya disuguhi makanan pedas-pedas dan buah-buahan yang asam sebanyak 7
macam yang biasanya menjadi kesukaan ibu-ibu saat ngidam. Sedangkan di dalam
kelambu atau ranjang disimpan besi tua seperti parang kuting atau
beliung yang tidak memiliki gagang. Namun perlu diketahui bahwa tradisi tuang
minyak ini tidak dilakukan oleh semua orang Melayu Sambas, tapi hanya
berlaku pada keluarga tertentu saja yang memiliki tradisi tuang minyak
secara turun-temurun.
Saat kelahiran anak, bayi diadzan dan diiqamatkan, setelah
itu dicarikan nama yang sesuai dengan keinginan dan doa orangtuanya. Lalu pada
41 hari dari usia bayi, lazimnya diadakan tradisi tepung tawar yang
acaranya berisi melapase’ bidan, yaitu acara yang menjadi simbol
berakhirnya keterikatan bidan kampung dalam pengurusan ibu dan anak, ibu diurut
di seluruh tubuh sedangkan anaknya bejajak dan betimbang. Setelah
semua prosesi tersebut selesai dilaksanakan, bidan kampung diberi tampas
yang terdiri dari beras, kelapa, gula, garam, kain, dan sejumlah uang.
Barang-barang dalam tampas tersebut terkadang berbeda-beda sesuai
kebiasaan di kampung masing-masing. Selain acara tersebut, bagi undangan
laki-laki yang terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat serta tetangga
dalam satu dusun atau desa melaksanakan acara as-salai dan as-raqal (zikir
nazam) di taruf atau di rumah, ketika sampai pembacaan as-raqal,
maka anak di gendong dan dibawa di dalam majelis zikir nazam tersebut,
lalu meminta tokoh agama sebanyak tiga, lima, atau tujuh orang untuk
menggunting rambut bayi, lalu di papase’ dengan seperangkat alat-alat
yang sudah disiapkan oleh dukun kampung, dan yang wajib ada adalah air tolak
bala dan beras kuning. Setelah anak di papase’ lalu diakhiri dengan doa
tolak bala oleh labbai atau tokoh agama lainnya.
Sedangkan dalam tradisi pernikahan masyarakat Melayu Sambas
pada masa lalu, banyak tahapan yang harus dilalui. Langkah awal yang dilakukan
oleh orangtua ketika anaknya sudah berada di usia nikah adalah bepari-pari
atau menganginkan. Bepari-pari merupakan penjajakan yang
dilakukan oleh orangtua untuk mencarikan pasangan yang cocok dan sepadan untuk
anaknya. Setelah orangtua menemukan jodoh anaknya dan kedua anak juga setuju
dengan pilihan kedua orangtuanya, lalu diadakan acara lamaran. Acara lamaran
ini merupakan wujud dari kebulatan tekad dan niat yang tulus dari seorang
lelaki untuk mengikat seorang perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya.
Dalam acara lamaran ini, dilakukan antar cikram yaitu pemberian
tanda ikatan berupa cincin pertunangan. Konsekuensi dari antar cikram
ini, lelaki yang melamar dan perempuan yang dilamar tidak boleh menerima lamaran
orang lain. Apabila salah satu calon pasangan pengantin tersebut melanggar
larangan, maka ia akan didenda dengan kewajiban mengembalikan cincin tunangan
serta membayar dua kali lipat dari biaya pertunangan mereka. Selain larangan
untuk menerima lamaran, kedua calon pengantin juga dianjurkan untuk
menjaga diri dan akhlak mereka dalam bergaul, agar proses pertunangan mereka
bisa berlanjut. Dalam Islam, acara lamaran atau pertunangan ini
biasanya disebut dengan khitbah.
Setelah acara lamaran dan antar cikram, tahapan
menuju pernikahan terus dilanjutkan ke antar pinang dan balas baki.
Acara antar pinang dan balas baki ini dalam Islam dikenal dengan
sebutan bâ’ah (kesanggupan) karena dalam acara antar pinang dan balas
baki tersebut, calon pengantin laki-laki memberikan seperangkat alat tidur,
pakaian perempuan, seperangkat alat shalat, barang kelontong dan uang
hangus semampunya. Sedangkan calon pengantin perempuan memberikan balasan berupa
seperangkat alat shalat, pakaian lelaki dan beberapa keperluan lelaki lainnya.
Adapun barang yang wajib ada sebagai simbol tradisi dan pesan moral dalam acara
antar pinang dan balas baki ini adalah buah pinang dan daun
sirih. Semua barang-barang yang diberikan oleh calon pengantin laki-laki
tersebut bermakna bahwa dia telah siap lahir dan batin untuk membina rumah
tangga dengan perempuan pilihan hatinya.
Tahap selanjutnya dilakukan akad nikah dan walimah
sesuai waktu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam acara perayaan
pernikahan (walîmah al-urs), diadakan arak-arakan pengantin yang
diiringi oleh musik tanjidor atau tahar sebagai pemberitahuan dan
wujud syukur orangtua karena telah mampu mengakad-nikahkan anaknya. Dalam acara
walimah tersebut, disisipi pula dengan acara duduk timbangan dan becacah
yang diakhiri dengan pembacaan doa selamat dan tolak bala oleh lebai.
Setelah itu dilaksanakan acara makan perdamaian sebagai simbol taat dan
patuhnya seorang isteri kepada suaminya. Acara lainnya yang ada dalam walimah
tersebut adalah acara pulang-memulangkan, yaitu tunjuk ajar yang
disampaikan oleh masing-masing wakil dari mempelai pengantin laki-laki dan
perempuan yang berisi pesan dan sehat dalam berumahtangga.
Setelah acara walimah selesai, tahap selanjutnya
adalah melaksanakan tradisi buang-buang, mandi belulus, balik
tikar, dan tradisi pernikahan ini berakhir dengan acara menjalankan
pengantin. Tradisi buang-buang ini bertujuan untuk membuang
kebiasaan atau perilaku yang kurang baik sebelum menikah. Sedangkan tradisi mandi
belulus dan balik tikar bertujuan agar suami istri bisa menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya secara bersama-sama supaya dapat mewujudkan keluarga yang sakinah.
Adapun tradisi menjalankan pengantin bermaksud untuk mengenalkan masing-masing
pasangan pengantin kepada keluarga, saudara, tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Selain itu, menjalankan pengantin juga bertujuan agar kelak anak-anak keturunan
mereka bisa saling mengenal sehingga bisa terhindar dari pernikahan satu
darah/nasab.
Bila tradisi dalam tahapan pernikahan pada masyarakat Melayu
Sambas di atas dihubungkan dengan nilai-nilai pendidikan Islam dalam keluarga,
maka akan tersirat di dalamnya nilai-nilai Islami sebagai berikut:
ü
Bepari-pari = Nilai ukhuwah
(persaudaraan) dan ta’aruf (saling mengenal)
ü
Melamar dan antar
cikram = Nilai kejujuran, kesungguhan dan perjanjian
ü
Antar pinang dan balas
baki = Nilai kerjasama, tanggungjawab, memenuhi janji dan menghargai
pemberian orang lain
ü
Walimah dan arak-arakan
= Nilai kesyukuran, tanggungjawab dan kesetiaan
ü
Duduk timbangan = Nilai al-adalah
(keseimbangan) dan kerjasama
ü
Makan perdamaian = Nilai
kesetiaan, kerukunan dan kerjasama
ü
Pulang-memulangkan = Nilai ukhuwah, al-musawwah
(sama kedudukan di dalam keluarga), al-adalah dan mengetahui tanggung
jawab dalam keluarga
ü
Mandi buang-buang =
Nilai ukhuwah, al-musawwah dan keharmonisan
ü
Mandi belulus dan balik
tikar = Nilai al-musawwah dan al-adalah
ü
Menjalankan pengantin =
Nilai silaturrahmi dan ta’aruf
Berdasarkan deskripsi tradisi menyambut kelahiran anak dan
pernikahan di atas, sangat tampak bahwa tradisi yang diwariskan secara
turun-temurun tersebut selalu memuat nilai-nilai pendidikan Islami, yang tidak
hanya berguna bagi orang yang melaksanakannya, tetapi juga bisa berdampak
positif terhadap anak yang akan mereka lahirkan nantinya. Efek ini bisa
dimaknai dari sabda Rasulullah SAW:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ
لِأَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ
بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita umumnya
dinikahi karena empat hal: Hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya.
Karena itu, pilihlah yang memiliki agama, kalian akan beruntung (Shahih
Bukhari, No. 5090 dan Shahih Muslim, No. 1466)
تَخَيَّرُوا
لِنُطَفِكُمْ، وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ، وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
Pilihlah
tempat engkau menanamkan air mani (benih) mu, dan nikahilah wanita-wanita yang
sekufu (sederajat), dan nikahkanlah mereka (dengan wanita-wanita yang berada di
bawah perwalianmu) (Sunan Ibnu Majah, No. 1968 dan al-Mustadrok, No. 2687)
Dua hadits di
atas menunjukkan betapa pentingnya memilih jodoh, karena hal tersebut akan
berdampak pada anak yang akan dilahirkan nantinya. Isyarat ini mengandung makna
bahwa apapun yang dilakukan oleh pasangan pengantin, mulai dari pemilihan jodoh
hingga proses penyambutan kelahiran anak sedikit banyaknya akan berpengaruh
pada pertumbuhan dan pekermbangan anak di kemudian hari.
Selain tradisi dan budaya di atas, masyarakat Melayu Sambas
juga memiliki beragam tradisi lain yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan
Islami, antara lain:
ü Adat dan upacara sebelum anak dewasa, yaitu: Khitanan, hataman al-Qurân
disertai nazar seperti membaca bordah atau ratib saman.
ü Adat pergaulan muda-mudi di pedesaan pada masa lalu sangat bervariasi,
seperti menumbuk alu galing pada malam hari saat terang bulan, para
gadis mendendangkan zikir uncik atau zikir perempuan, radad, bertandak,
berjepin, asraqul nazam, bordah, ratib saman, sepak ragak, pangkak gasing,
lomba dayung, main galah, main kuda-kudaan, senyimban, congkak, dan tadarus
al-Qurân.[1]
Selain itu, ada beberapa budaya lainnya yang cukup dikenal
dari Melayu Sambas, seperti Kain Lunggi/Kain Songket, Bubbor Paddas, dan
lagu-lagu Sambas yang cukup mendominasi lagu daerah di Kalimantan Barat seperti
Alok Galing, Cik-cik Periuk, Sambas Kebanjiran, Kapal Belon dan lainnya, serta
beragam jenis tarian, antara lain tarian Tandak Sambas, Jepin, Radad dan lain sebagainya.
Dalam masyarakat Melayu Sambas, dikenal juga tradisi miare (memelihara) dan
ruwahan. Miare adalah sedekah makanan yang disertai dengan
membaca tahlilan dan doa arwah secara bersama-sama di rumah warga yang
ditinggal (wafat) dari salah satu anggota keluarganya. Acara ini dilakukan pada
hari pertama hingga hari ketujuh dari wafatnya anggota keluarga, kemudian
dilanjutkan pada hari ke-15, ke-25, ke-40, ke-100, dan setelah itu diperingati
pada hari ke-1000, hari ke-2000, dan hari ke-3000. Jika peringatan tersebut
telah selesai dilaksanakan, maka akan dilanjutkan dengan acara ruwahan
yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Sya’ban dalam penanggalan Hijriah.
Namun perlu diingat, bahwa ruwahan tidak hanya pada acara kematian, tetapi
sebutan ruwahan juga dilakukan ketika ada keluarga yang sedang melaksanakan
Ibadah Haji di tanah suci. Kegiatannya berupa sedekah makanan disertai dengan doa
keselamatan dan tolak bala’ setiap Jum’at selama keluarganya menunaikan ibadah
Haji. Masyarakat Melayu Sambas sangat yakin bahwa sedekah dan doa mereka sampai
dan bisa membantu keluarganya yang sedang menunaikan ibadah Haji.
Proses Islamisasi budaya benar-benar nyata terjadi di
Kabupaten Sambas. Sejak masuknya Islam, budaya-budaya agama Hindu yang pernah
berkembang di Kabupaten Sambas sebagian besarnya telah mengalami proses
islamisasi. Hal ini bisa dilihat dalam tradisi miare, ruwahan, tuang
minyak, tepung tawar, bepapas, naikkan tulang bumbongan,
buang abu sunatan, dan sebagainya yang diyakini berasal dari agama Hindu.[2]
Pada saat ini, tradisi-tradisi tersebut telah mengalami proses islamisasi (mengislamkan
budaya) sehingga hal-hal yang dinilai menyimpang atau bertentangan dengan
aqidah Islam, telah ditinggalkan oleh masyarakat Melayu Sambas.
Masyarakat Melayu Sambas percaya terhadap pelangkahan
yaitu perhitungan waktu untuk berpergian jauh, memulai pekerjaan atau melakukan
cocok tanam. Menjelang panen, Melayu Sambas melakukan acara syukuran yang
diberi nama ngas taon atau bungas tahun. Bungas adalah
penuh/maksimal, maksudnya agar panen yang akan dilakukan menghasilkan padi yang
maksimal. Dalam acara tersebut, selain menentukan waktu incamai (semai)
benih berikutnya, juga diikuti dengan syukuran yang disimbolkan makan-makan
bersama dengan makanan khas emping yang terbuat dari padi setengah
menguning saat dipetik. Sebagai pelengkap acara tersebut, diakhiri doa selamat
dan doa tolak bala’. Selain itu, Melayu Sambas sangat mempercayai kemponan
yaitu menolak penawaran orang dalam konteks makanan. Bagi Melayu Sambas, siapa
saja yang disuguhi makanan, dia harus makan atau paling tidak mencicipi makanan
tersebut walaupun sedikit, sebab bila tidak dicicipi sama sekali, orang
tersebut bisa kemponan yaitu kejadian yang dapat mencelakai dirinya. Misalnya,
seseorang ditawari makanan, lalu dia menolak dengan alasan kenyang atau sudah
selesai makan tanpa mencicipi makanan tersebut. Kemudian orang tersebut
berpergian dan dalam perjalanan mengalami kecelakaan, bocor ban motor atau sejenisnya,
maka halangan atau kecelakaan yang ditemui itu dinamakan kemponan,
karena tidak mencicipi makanan yang sudah disuguhkan. Kepercayaan ini masih
berlangsung hingga saat ini, dan uniknya bukan hanya orang Melayu saja, tetapi
juga dilakukan oleh pendatang yang sudah lama bermukim di Sambas.
[1]Wawancara
dengan Alang Rasidi, (Pensiunan Guru Pondok Pesantren Muhammad Basuni Imran), Sambas, 4 Pebruari 2013.
[2]Tradisi seperti Miare,
Ruwahan dan lainnya masih menjadi perdebatan oleh sebagian ulama Islam,
apakah tradisi tersebut berasal dari ritual agama Hindu atau berasal dari
tradisi muslim era klasik. Selain itu, sampai saat ini masih belum ditemukan
adanya penelitian obyektif mengenai sumber atau asal-muasal tradisi tersebut.
Untuk itu, peneliti lebih suka menggunakan kata “diyakini” karena sampai detik
ini masih belum ada hasil penelitian ilmiah yang bisa membuktikan asal usul
tradisi dimaksud.
No comments:
Post a Comment