Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » » Kurikulum Sinetron vs Kurikulum Pendidikan


#Aslan, Kandidat Doktor UIN Antasari Banjarmasin
@Alumni Institut Agama Islam Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas

Kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia ini, terus berganti seiring dengan perjalanan waktu. Tujuan pergantian tersebut adalah sebagai pembaharuan terhadap kurikulum lama yang dianggap sudah usang atau sudah ketinggalan zaman. Dalam hal ini, saya menganggap bahwa kurikulum adalah ibarat seorang pacar, karena jika tidak cocok maka akan diputuskan dan dicari pacar yang baru sebagai pengganti pacar yang lama walaupun sudah menjalin hubungan dengan waktu yang cukup lama disertai janji-janji manis yang telah diucapkan dan tujuannya hanya untuk mengantarkan dalam ikatan yang sah, yakni pernikahan. Tetapi, apakan daya jika tidak berjodoh, walaupun janji manis masih selalu terngiang ditelinga. Begitu juga halnya, jika terjadi sebaliknya, maka tujuan jalinan itu tercapat tetapi belum tentu menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.
Keterkaitan kurikulum dengan ibarat sebuah pacar adalah tidak bisa bertahan lama. Kurikulum rentan terhadap perubahan sosial. Oleh karena itu, kurikulum selalu mengalami perubahan seiring dengan zaman perubahan tersebut. Saat ini, kurikulum sinetron cukup berhasil membuat penonton terkesima dengan adegan yang telah dibuat oleh produsernya. Jika ditelusuri, kurikulum sinetron tidak mengajarkan nilai-nilai positif, tetapi hanya banyak mengajarkan nilai-nilai negatif seperti sinetron “Roman Picisan”. Sinetron ini, hanya memperebutkan seorang cowok sehingga rela bertengkar dan berbuat amoral. Akan tetapi, model kurikulum seperti ini, mudah diserap oleh anak di zaman era modernisasi saat ini. Padahal, pada kenyataannya dari sinetron tersebut, tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Bahkan, hal yang paling menarik lagi adalah program permasalahan cinta, dengan menyoroti berbagai macam tingkah-laku yang dilakukan pasangan yang dicurigai ada hubungan dengan wanita lain atau pria lain sudah hadir dilayar televisi saat ini. Program tersebut dikenal sebagai “Katakan Putus”. Program ini, hanya membantu permasalahan cinta bukan membantu tujuan akhir cinta tersebut, yakni sampai jenjang pernikahan.
Berdasarkan paparan di atas, memberi gambaran kepada kita semua, bahwa kurikulum sinetron lebih berhasil ketimbang kurikulum pendidikan. Mengapa, kurikulum saya kaitkan dengan sinetron, karena kurikulum adalah sebuah program yang dibuat sedemikian rupa untuk diimplementasikan ke sekolah-sekolah yang hasilnya dapat terlihat dari perubahan tingkah laku anak didik. Begitu juga halnya dengan sinetron. Sinetron adalah sebuah program yang dibuat oleh sutradara dengan diperankan oleh artis-artis yang sudah ahli dalam bidangnya untuk membuat sebuah adegan yang benar-benar terjadi sehingga mempengaruhi para penontonya. Adegan yang diperankan oleh artis tersebut, adalah sama seperti implementasi kurikulum, tetapi implementasi kurikulum sinetron lebih banyak kelihatan hasilnya daripada kurikulum pendidikan. Hal ini sangat terlihat dengan jelas, bahwa hasil kurikulum sinetron telah menyeret waktu anak, sehingga banyak penonton yang lupa waktu bekerja, shalat, bersilaturahmi karena gara-gara menunggu sinetron yang digemarinya.
Berdasarkan survey yang telah dilakukan di “Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar” tentang kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh anak-anak. Survey tersebut dilaksanakan pada anak berumur 7-14 tahun dan ibu dari anak berusia 0-14 tahun dengan strata sosial yang berbeda-beda. Hasil dari survey tersebut menunjukkan bahwa anak sudah terbiasa dengan televisi sejak bayi sebanyak 25%. Setelah menginjak lebih dari satu tahun, anak-anak dalam melakukan kegiatannya tidak terlepas dari televisi sebanyak 92%. Dan setelah menginjak pada usia masuk TK sampai ke SMP, anak-anak sudah menjadi penggemar setia televisi. Kehadiran televisi dalam hidup anak-anak dengan adegan iklan yang menarik dan pembunuhan telah membawa pesona anak dalam dunia khayal.[1]
Dinamika-dinamika kehidupan dunia maya tersebut, tidak kalah pentingnya dengan dinamika kurikulum pendidikan saat ini. Saya katakan lagi, bahwa kurikulum sinetron lebih berhasil ketimbang kurikulum pendidikan. Hal ini terbutki pada kurikulum sinetron yang diikuti oleh flowers, hampir ribuan orang atau bahkan jutaan orang ingin bertemu dengan tokoh artis tersebut. Berbeda halnya dengan kurikulum pendidikan yang hanya sedikit terlihat dari hasil output anak didik, jika dikaitkan dengan memperoleh pekerjaan sesuai dengan profesinya.
Kurikulum sinetron mencetak anak didiknya untuk pandai berakting dengan menghasilkan uang yang melimpah-ruah. Kurikulum pendidikan mencetak manusia sesuai dengan jurusan/prodi yang diambilnya, tetapi hanya menghasilkan uang yang tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkannya. Maka, selayaknya bagi pengamat kurikulum, seharusnya kita mencontoh dari Negara yang sudah berhasil dalam implementasi kurikulum dan output yang dihasilkannya, misalnya Negara Finlandia.
Kurikulum dijadikan sebagai alat untuk mencari keuntungan ekonomi, tanpa memikirkan output dari hasil kurikulum tersebut. Saat ini, banyak mahasiswa merana, gara-gara selesai kuliah hanya menganggur. Bagi wanita, mencari pria idaman saat ini adalah yang sudah berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) agar cerah masa depan nanti. Begitu juga halnya dengan kriteria pilihan orangtuanya. Berbeda halnya dengan tahun zaman 80-an, mencari pria idaman yang tahu mengaji agar bisa membimbing dunia dan akhirat. Hal ini, juga terjadi pada orangtua perempuan zaman dahulu. Pria datang ke rumah perempuan yang ditanya adalah agamanya, saat ini pria datang ke rumah perempuan yang ditanya adalah pekerjaannya.
Pria idaman yang didambakan oleh wanita saat ini, tidak terlepas dari satu syarat yang merupakan wajib bagi dirinya, yakni harus bermodalkan wajah cantik rupawan. Jika tidak cantik atau biasa-biasa saja, tidak bisa mencari bahkan memilih, karena ia belum tentu dipilih. Berbeda halnya dengan pria zaman sekarang, tidak perlu bermodalkan wajah ganteng, yang penting pekerjaan mapan dan isi dompet tebal, sudah berhak untuk memilih calon gadis idaman.
Dari paparan di atas, jika dikaitkan dengan kurikulum saat ini adalah hilangnya ruh-ruh pendidikan pada anak didik, sehingga banyak yang kuliah pada jurusan agama tetapi tidak mengajar agama, tetapi mengajar mata pelajaran umum dan bahkan tidak memilih menjadi guru tetapi mencari pekerjaan lain yang mampu menopong kehidupan ekonomi dan keluarganya.
Selain itu, hal yang menarik adalah hilangnya pungutan liar di Indonesia ini yang digagas oleh presiden Joko Widodo. Setelah resmi menjadi Presiden, berbagai macam program yang telah dibuat untuk membantu pendidikan di Indonesia, bahkan beliau ingin bangsa Indonesia ini sudah dapat merubah mindsetnya, yakni dengan “Revolusi Mental”, sehingga pungli-pungli ribuan rupiah pun ditangani oleh Presiden, apalagi yang besar, begitulah tegasnya.
Memang benar, pungli di Indonesia ini tidak ada lagi, bahkan di kantor-kantor sudah ada spanduknya tidak menerima pungli. Akan tetapi, pungli memang sudah hilang, diganti dengan “pungsure” (pungutan suka rela). Dalam hal ini, saya menjelaskan pengalaman saya pada saat menemani keluarga saya membuatkan paspor di kantor Imigrasi, dengan begitu lama antrinya, padahal saya datang lebih awal daripada orang yang lama datangnya tetapi lansung diurus. Ternyata saya selidiki ada pungutan suka rela biar cepat urusannya, padahal di depan sudah ada spanduk bertuliskan tidak menerima pungli. Ternyata yang minta pungutan suka rela tersebut membuat hati saya tidak percaya dengan penampilannya, karena keningnya hitam menandakan orang yang beriman, memakai janggut yang menandakan mengikuti sunah Rasul. Tetapi itu hanya penampilan untuk urusan akhirat, untuk urusan muamalah uang yang menentukan.
Paparan ini, hanya ingin menjelaskan hasil dari didikan kurikulum, baik dari yang awal sampai sekarang ini, bahwa kurikulum tidak akan pernah menghasilkan generasi emas jika budaya tersebut tidak hilang. Dari kejadian ini, bukan saja ruh prinsip kurikulum hilang, tetapi ruh fungsi kurikulum pun ikut juga hilang.




[1] Sigit Muryono, Empati, Penalaran Moral Dan Pola Asuh: Telaah Bimbingan Konseling (Yogyakarta: Cawan Mas, 2009), h. 6-7.



«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: