Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » "Teori-Teori" Penafsiran Al-Qur'an


#Dr. Adnan, M.S.I.
@Bab II, Isi Buku

Al-Qur’ân adalah sumber ajaran Islâm yang menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga menjadi inspirasi dan pemandu gerakan umat Islâm selama ini. Oleh karena itu, al-Qur’ân harus dipahami melalui penafsiran-penafsiran yang tepat, agar gerakan-gerakan yang dilakukan umat Islâm tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Secara bebas dapat dipahami bahwa penafsiran merupakan penjelasan dan pengungkapan makna di balik teks. Namun, untuk memahaminya secara baik, maka tafsir harus didefinisikan secara sistematis seperti yang dilakukan oleh para ahli tafsir.
Kata tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu: fassara-yufassirû-tafsîran, yang berarti penjelasan, pemahaman, dan perincian.[1] Apabila ditelaah lebih khusus, kata tafsir yang berasal dari fassara (فسر) bermakna الايضاح والبيان dapat berarti keterangan dan penjelasan.[2] Kata tafsir dengan makna seperti itu bisa ditemukan penggunaannya dalam al-Qur’ân, surah al-Furqân [25], ayat 33: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[3]
Kata tafsir juga bermakna كشف المغطـى yang berarti menyingkap sesuatu yang tertutup.[4] Selain itu, kata tafsir yang diambil dari kata تفسره mengandung arti nama bagi suatu alat yang digunakan dokter untuk melakukan diagnosa.[5] Sedangkan secara terminologi, kata tafsîr berarti penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia, dan bahwa kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau bahkan hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri.[6]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disarikan bahwa arti mendasar dari kata tafsîr ada dua macam. Pertama, tafsir merupakan sebuah aktivitas serius untuk memahami maksud-maksud Allah yang tersembunyi dalam teks firman-Nya. Kedua, pemahaman manusia terhadap maksud Allah hanya sebatas kemampuan akalnya. Dari makna substansial tafsir ini, dapat dikatakan bahwa setiap muslim yang telah berusaha serius untuk memahami maksud Allah dalam al-Qur’ân, walaupun hanya satu ayat saja,[7] maka ia bisa disebut mufasir.
Melihat perkembangan ilmu tafsir pada masa lalu, setidaknya ada tiga teori tafsir yang cukup dominan.[8]
Teori Teknis
Tafsir yang tergolong dalam teori ini adalah tafsir-tafsir yang lebih fokus untuk mengkaji cara melafalkan kata-kata al-Qur’ân, pengertian al-Qur’ân, ketentuan yang berlaku pada dirinya, arti yang dimaksudkan dalam susunan kalimat dan sebagainya yang melengkapi kajian tentang hal itu. Penekanannya lebih difokuskan pada aspek kebahasaan. Adapun contoh-contoh tafsir yang termasuk dalam teori ini, seperti Tafsîr al-Baidhâwî[9] dan Tafsîr al-Zamakhsyarî.[10]
Teori Akomodasi
Tafsir-tafsir yang dapat digolongkan dalam teori ini adalah kajian tafsir yang lebih fokus menjelaskan maksud al-Qur’ân sesuai kemampuan manusia. Karena itu, al-Qur’ân perlu dijelaskan agar bisa bermakna dan bermanfaat secara moral atau sosial. Teori ini didasarkan pada paradigma eksplanasi al-Qur’ân, dan menghasilkan tafsir yang bercorak isyarî dan falsafî.
Teori Takwil
Teori ini dibangun atas paradigma legitimasi al-Qur’ân yang menghasilkan tafsir bercorak partisan, baik dalam bidang kalam, fiqh, maupun politik, seperti Tafsîr al-Râzî.
Tafsir-tafsir yang dihasilkan dengan menggunakan ketiga teori di atas pada dasarnya telah mengalami krisis sehingga tidak dapat dijadikan rujukan bagi umat Islam untuk menjawab tantangan jaman saat ini, sehingga masih diperlukan tafsir dengan paradigma baru yang lebih responsif. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Syahrûr, bahwa al-Qur’ân harus selalu ditafsirkan sesuai dengan tuntutan era kontemporer yang dihadapi umat manusia, sehingga perlu adanya metodologi yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan peradaban manusia.[11]
Ketika menafsirkan al-Qur’ân, setiap mufasir akan memiliki corak penafsiran masing-masing. Dalam tradisi intelektual Islam, corak penafsiran hanya dikenal dua macam, yaitu corak tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’y.[12] Tafsîr bi al-Ma’tsûr adalah upaya menjelaskan al-Qur’ân dengan mengutip penjelasan atau pendapat yang sudah ada. Misalnya menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan ayat al-Qur’ân, ayat al-Qur’ân dengan sunnah Nabi, ayat al-Qur’ân dengan pendapat sahabat dan ulama-ulama selain sahabat.[13] Sedangkan tafsîr bi al-ra’y adalah suatu corak penafsiran al-Qur’ân yang pola pemahamannya dilakukan melalui cara ijtihad setelah seorang mufasir mengetahui beberapa syaratnya,[14] seperti berpegang teguh pada hadis Nabi yang s}ahih, perkataan (aqwal) sahabat, kaidah kebahasaan dan disesuaikan dengan ketentuan syarâ’.[15]
Sedangkan mengenai metode penafsiran, ada empat metode tafsir yang sudah konvensional digunakan, yaitu metode tahlîlî, ijmalî, muqâran dan maudhû’î.[16] Metode tahlîlî adalah suatu penafsiran ayat al-Qur’ân dengan cara memaparkan segala aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[17]
Dalam metode tahlîlî, biasanya mufasir menguraikan makna yang dikandung al-Qur’ân, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutannya di dalam mushaf. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti arti kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya, dan tidak ketinggalan pendapat yang diberikan berkaitan dengan tafsiran ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabî’in maupun ahli tafsir lainnya.
Berbeda dengan metode ijmalî, karena metode ini digunakan untuk menafsirkan ayat al-Qur’ân secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud pada setiap kalimat dengan bahasanya yang ringkas sehingga mudah dipahami.[18] Sistematika penulisan tafsir mengikuti susunan ayat di dalam mushaf. Selain itu, penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’ân sehingga pembaca seakan-akan masih tetap membaca al-Qur’ân, padahal itu adalah tafsirannya. Ciri-ciri metode ijmalî terletak pada sistematika pembahasan, bukan pada jumlah ayat yang ditafsirkan. Metode ini hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu secara ringkas dan detail, tanpa membandingkan atau mengikuti tema tertentu.
Berbeda pula dengan metode muqâran, karena metode tafsir itu lebih fokus menafsirkan dengan cara mengambil sejumlah ayat al-Qur’ân, lalu membandingkan beberapa pendapat mufasir terkait dengan ayat tersebut. Metode muqâran bisa juga diartikan sebagai: 1) metode yang membandingkan teks (nash) ayat al-Qur’ân yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama, 2) membandingkan ayat al-Qur’ân dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’ân.[19] Berdasarkan pengertian tersebut, terlihat jelas bahwa tafsir al-Qur’ân dengan menggunakan metode muqâran mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya membandingkan ayat dengan ayat, melainkan juga membandingkan ayat dengan hadis Nabi serta membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.
Lain pula dengan metode maudhû’î, karena metode tafsir itu dilakukan dengan cara memilih topik tertentu yang hendak dicarikan penjelasannya menurut al-Qur’ân, kemudian dikumpulkan semua ayat yang berhubungan dengan topik untuk dibahas secara tuntas dan sempurna.[20] Menurut Fayûmi,[21] metode tafsir maudhû’î ada dua macam, yaitu tafsir surah dan tafsir tematik. Tafsir surah, yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus. Selain itu, tafsir surah juga menjelaskan keterkaitan tema yang satu dengan tema lainnya sehingga pembahasan surahnya tampak kokoh dan cermat. Sedangkan tafsir tematik, yaitu menghimpun sejumlah ayat al-Qur’ân yang mempunyai tema, kemudian dibahas secara mendetail dan tuntas.
Melalui keempat metode tafsir di atas, terbuka lebar peluang untuk memahami maksud Allah yang terdapat di dalam al-Qur’ân, sehingga terlahir inspirasi brilian untuk menciptakan peradaban umat Islam yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Biasanya, latar belakang itulah seorang muslim menjadi tergerak hatinya untuk menulis tafsir al-Qur’ân. Sebagai contoh, hasil penelitian Ahmad Farhan[22] terhadap karya Muhammad al-Ghazâlî, terungkap bahwa salah satu alasannya menulis kitab Nahwa Tafsîr Maudhû’î li Suwar Al-Qur’an Al-‘Azîm adalah untuk mengembangkan metode penafsiran al-Qur’ân yang modern agar mampu menjawab persoalan umat sesuai perkembangan zaman.
Barangkali latar belakang ini juga yang menjadi salah satu alasan Dawam Rahardjo menulis tafsir sosialnya dalam buku Ensiklopedi al-Qur’ân. Untuk membuktikan asumsi tersebut, peneliti akan mengupasnya lebih rinci pada bab selanjutnya. Tidak hanya persoalan itu, peneliti juga akan menelaah konstruksi penafsiran Dawam Rahardjo yang meliputi sistematika penafsiran, metode dan metodologi, corak serta sumber referensi yang digunakan dalam penafsirannya. Dari pengkajian tersebut, diharapkan akan terlihat kontribusi yang disumbangkan oleh Dawam Rahardjo untuk pengembangan studi al-Qur’ân di Indonesia.




Maaf, footnotenya dihapus, khawatir disalahgunakan

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: