Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » » Tanah Asal Melayu & Kerajaan Nek Riuh Sambas




#Adnan Mahdi
@Cuplikan Isi Disertasi Bab IV

Menurut teori lama,[1] Melayu Sambas merupakan bagian dari Melayu purba yang berasal dari daerah Champa, Chocin-Cina (Indonesia), Kamboja dan sekitarnya. Namun teori tersebut dinilai telah usang dan telah ditinggalkan oleh para pakar linguistik dan arkeologi, karena teori tersebut dinilai terlalu mengada-ada dan tidak memiliki bukti yang kuat. Salah satu pakar yang menolak teori lama tersebut adalah Peter Bellwood, seorang pakar arkeologi dari Australia. Dia menegaskan, bahwa: “The old idea, so often repeated in popular words today, that the Austronesian migration from the Asian mainland through the Malay Peninsula or Vietnam is absolutely wrong”.[2]
Berdasarkan penyataan Bellwood di atas, jelas menunjukkan bahwa Melayu purba bukan berasal dari Champa, Chocin-Cina atau Kamboja, tetapi ia berasal dari Taiwan, lalu pindah ke Filipina, dan selanjutnya pindah ke Kalimantan melalui jalur Filipina di bagian utara. Menurut perkiraan dari Bellwood,[3] perpindahan tempat tersebut terjadi sekitar 2500 atau 1000 Sebelum Masehi. Berdasarkan dugaan dari Bellwood tersebut, diperkirakan bahwa daerah pertama yang ditempati oleh Melayu purba di Nusantara adalah Kalimantan bagian barat. Pernyataan Bellwood tersebut dipertegas oleh Collins sebagai pakar linguistik bahwa Melayu purba yang terletak di Kalimantan bagian barat tersebut berasal dari keturunan Bahasa Austronesia Purba. Hasil-hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa tempat asal usul, penutur asli bahasa Melayu Purba, dan nenek moyang semua dialek bahasa Melayu yang sudah punah maupun masih ada, umumnya menempati daerah rawa, tanah basah, delta atau pantai dari sistem sungai di Kalimantan Barat. Daerah rawa atau tanah yang basah tersebut dalam terjemahan buku karya Collins adalah tanah yang penuh dengan air.[4] Jika melihat asal kondisi tanah yang ada di wilayah Kalimantan bagian barat pada masa lalu, memang rata-rata kondisi tanahnya adalah rawa atau tanah yang digenangi oleh air.
Dari Kalimantan bagian barat selanjutnya berpindah ke arah barat melewati Tambelan dan Riau menuju Sumatera, lalu dilanjutkan ke semenanjung Malaysia. Migrasi Melayu purba berikutnya diarahkan ke bagian barat pulau Kalimantan dan menyebar ke sepanjang pantai utara Kalimantan menuju selatan. Proses migrasi terus berlanjut ke pulau Luzon sampai ke Maluku, sementara migrasi di bagian barat Kalimantan tetap berlangsung ke selatan menyeberangi selat Karimata ke Belitung dan Bangka di bagian selatan Sumatera, khususnya daerah sungai Musi dan pantai barat Jawa, termasuk Jakarta sekarang ini. Menurut prediksi Collins,[5] bahwa proses terjadinya migrasi dari para penutur Melayu purba dari Kalimantan bagian barat tersebut sudah bermula sejak abad ke 2 M atau sekitar tahun 100 M.
Berdasarkan informasi ahli arkeologi Austronesia dan linguistik komperatif di atas, jelaslah bahwa tanah asal Melayu adalah di bagian barat Kalimantan, dan dugaan terkuat dari para ahli tersebut bahwa Sambas adalah salah satu daerah yang sejak migrasi purba sudah menjadi tempat tinggal orang Melayu. Dugaan ini cukup beralasan, karena hasil temuan arkeologi terbaru menunjukkan bahwa Kalimantan Barat sudah berhubungan dengan dunia internasional sejak zaman purba, sebab manik-manik batu Akik dari India dengan gendang gangsa dari Dongsong Asia Tenggara bertuliskan abad ke 4 M. Selain itu, ditemukan pula patung Budha dari perak dan emas yang bertahun sekitar abad ke 8 M. Berdasarkan petunjuk-petunjuk tersebut, diyakini bahwa daerah Sambas merupakan salah satu daerah pantai bagian barat Kalimantan yang cukup aktif terlibat dalam interaksi dan aktivitas perdagangan dimaksud.
Migrasi, interaksi dan asimilasi yang dilakukan oleh Melayu purba Sambas ini terus berlanjut dan interaksinya diduga semakin bertambah intensif pada abad ke 4 M dengan ditemukannya beberapa manik berupaka batu akik dan gendang gangsa.[6] Pada abad ke 5-7 M, diduga telah berdiri sebuah kerajaan di wilayah sungai Sambas, karena wilayah tersebut berhampiran dengan selat Malaka yang menjadi jalur lalu lintas dunia. Namun belum diketahui nama raja dan kerajaannya, tetapi diperkirakan kerajaan tersebut berdiri bersamaan dengan Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau sebelum berdirinya Kerajaan Tanjungpura. Dalam Pupuh XII dan XIV, pada abad ke 7 M terdapat pula kerajaan Sambas, dan dalam sumber lain menyatakan bahwa pada abad ke 7-9 M, Sambas berada dalam sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Wijaya Pura,[7] terletak di muara Sungai Rajang yang saat ini berada di Serawak-Malaysia. Panjang Sungai Rajang ini mencapai 563 Km dari Banjaran Iran di tengah pulau Kalimantan sampai ke Laut Cina Selatan bagian barat.
Pada abad 10-12 M, belum ditemukan sumber yang menjelaskan tentang keberadaan kerajaan di Sambas. Lalu pada abad ke 13-14 M, telah diketahui bahwa kerajaan yang ada di Sambas bernama Kerajaan Nek Riuh.[8] Keberadaan Kerajaan Nek Riuh secara otentik tercatat dalam kitab Negarakertagama karya Prapanca pada zaman Majapahit tahun 1365 M. Dalam tulisan J.U. Lontaan (1975) disebutkan bahwa pada abad ke 13 M telah ada tata pemerintahan dan hukum-hukum yang mengatur masyarakat Sambas, dan rajanya merupakan salah satu dari 405 cabang suku Dayak yang bernama Nek Riuh. Kerajaan Nek Riuh berada di bawah Kerajaan Bakulapura (bawahan Singhasari). Tanjung Dato menjadi wilayah perbatasan mandala kerajaan Bakulapura/Tanjungpura/Sukadana dengan wilayah Borneo/Brunai/Barune.[9]
Setelah Kerajaan Nek Riuh berakhir, abad ke 15 didirikan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Tan Unggal. Kerajaan Tan Unggal adalah penerus Bakulapura yang menjadi provinsi Majapahit di Kalimantan.[10] Tan Unggal dikenal raja yang kejam dan bengis, karena kekejamannya tersebut sehingga ia mengubur hidup-hidup anaknya yang bernama Bujang Nadi dan Dare Nandong akibat fitnah dari pejabat istana. Akibat kekejamannya itu, rakyat Sambas mengkudeta rajanya dan akhirnya Tan Unggal wafat secara tragis, dia dimasukkan ke dalam peti, lalu peti tersebut dibuang ke sungai Sambas. Akibat dari kekejaman Raja Tan Unggal, rakyat Sambas menjadi trauma dan selama puluhan tahun tidak mau mengangkat raja.
Pada abad ke 16 M (1530 M) datang serombongan bangsawan (lebih dari 500 orang) yang beragama Hindu dari Majapahit. Rombongan ini ialah bangsawan yang melarikan diri karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak di bawah Sultan Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono. Rombongan ini awalnya berlabuh di Pangkalan Jambu (sekarang dikenal dengan nama Jawai), lalu bergerak maju ke hulu dan akhirnya menetap di Kota Lama. Pada saat kedatangannya, pesisir Sungai Sambas telah dihuni orang Melayu yang telah berasimilasi dengan orang Dayak pesisir. Kemudian rombongan ini mendirikan sebuah panembahan yang dipimpin seorang Pangeran Adipati bernama Saboa Tangan.[11] Setelah ia meninggal, lalu digantikan oleh anaknya yang bernama Ratu Timbang Paseban Saboa Tangan. Tidak lama memerintah, Ratu Timbang Paseban meninggal dan digantikan oleh adiknya yang bernama Ratu Sapudak bin Saboa Tangan.
Pada zaman Kerajaan Ratu Sapudak inilah, interaksi pertama antara Hindu dan Islam. Ratu Sapudak mempunyai dua puteri, dan putri yang sulung dinikahkan dengan kemenakannya bernama Raden Prabu Kencana. Setelah Ratu Sapudak wafat, ia digantikan oleh Prabu Kencana, dan pada waktu itu Mas Ayu Bungsu anak kedua dari Ratu Sapudak menikah dengan Raden Sulaiman (putera sulung Raja Tengah) yang beragama Islam. Diduga sejak kedatangan agama Islam dan terjadinya asimilasi yang intensif, penyebutan penduduk mulai dibedakan. Penduduk yang memeluk Islam disebut Melayu, sementara penduduk yang menganut Hindu (Kaharingan) disebut dayak.[12] Sebutan ini terus berlanjut sampai Raden Sulaiman menjadi Sultan di Istana Alwatzikhoebillah [13] yang terletak di Lubuk Madung atau Muare Ulakan, yaitu persimpangan tiga sungai: Sungai Sambas Kecil, Sungai Subah dan Sungai Teberau. Sejak berdirinya kerajaan Islam tersebut hingga sekarang ini, penyebutan Melayu dan Dayak masih tetap dipisahkan. Orang Dayak yang masuk Islam disebut Melayu, sedangkan orang Dayak yang beragama Hindu atau agama lainnya selain Islam dinamakan Dayak, padahal dari fakta sejarah, dulunya mereka adalah satu suku yang disebut Melayu Sambas.
Saat ini, Melayu Sambas tersebar di 19 kecamatan, mulai kecamatan Sambas, Sebawi, Tebas, Semparuk, Salatiga, Selakau, Selakau Timur, Tekarang, Jawai, Jawai Selatan, Sajad, Sejangkung, Paloh, Teluk Keramat, Tangaran, Subah dan Kecamatan Sajingan Besar. Adapun jumlah penduduk Kabupaten Sambas berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sambas bulan Agustus 2013 sebanyak 667.921 jiwa. Total penduduk laki-laki sebanyak 341.982 jiwa (51%) dan perempuan berjumlah 325.939 jiwa (49%). Sementara persentase jumlah penduduk yang beretnis Melayu diperkirakan lebih dari 85%.





Maaf, Footnotenya Tidak Disertakan... Untuk Menjaga Privasi Karya Ilmiah


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

1 comment:

INFO KILAT KEMASIH said...

Benar-benar memberikan pengetahuan baru. Tetap lanjut menelitibsejarah.