Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Untuk Apa Kuliah?


Penulis: Dr. Adnan, M.S.I.

“Kau nak kuliah ke? Kasian dengan umakmu ye sorang ngerjekan umme... Kau yang paling tue agek e..., Untuk ape be kuliah e.., jak ujung-ujungnye ndaan juak bise jadi pegawai negri ye be...”.

Begitulah kira-kira mindset sebagian orang yang masih bertahan hingga saat ini. Setiap anak yang berkeinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi, mereka sering dihadang oleh question atau statement yang menyurutkan semangat dan memadamkan asa mereka. Terkadang pertanyaan tersebut muncul dari orangtua, paman, saudara, teman dekat atau orang yang ada di sekitarnya.

Apakah pertanyaan atau pernyataan di atas salah? Saya rasa tidak demikian karena apa yang mereka utarakan tersebut tentu ada alasannya. Menurut analisa saya sebagai orang kampung, pertanyaan tersebut dipicu oleh beberapa hal, antara lain:

1. Himpitan ekonomi karena aspek pertanian kurang menjanjikan hidup bahagia dan berkecukupan bagi sebagian besar petani. Pertanian yang mereka geluti hanya cukup untuk makan, sehingga bila ada seorang anak yang mau melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, harus menghutang ke sana-sini, dan tak jarang akhirnya menjual tanah garapan pertanian yang mereka miliki.

Realitas hidup seperti itu banyak terjadi di negeri ini, lantaran biaya pertanian mahal, tak sebanding dengan harga penjualan hasil tani. Akibatnya, hasil pertanian tidak mampu membayar biaya pendidikan yang tergolong mahal di negeri ini.

2. Rendahnya pendidikan orangtua dan masyarakat desa mengakibatkan rendah pula semangat mereka untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Bahkan tak jarang pada sebagian orangtua yang beranggapan, lebih baik anak dididik untuk menjadi pekerja keras dibanding didikan untuk menjadi peserta didik yang berprestasi. Sebab, seorang pekerja keras akan menghasilkan uang secara langsung dan dapat meringankan kebutuhan keluarga ketimbang peserta didik yang berprestasi. Hal ini pun tak bisa disalahkan, karena pada sebagian anak-anak berprestasi dari keluarga miskin, masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah dan dunia pendidikan sehingga pendidikan mereka putus di tengah jalan.

3. Rendahnya daya serap tenaga kerja yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dibanding lulusan perguruan tinggi menyebabkan semakin meningkatnya jumlah pengangguran nyata dan terselubung di negeri ini. Tidak sedikit lulusan PT yang kembali bekerja sebagai petani atau buruh kasar lantaran ijazah mereka tak mampu “memikat” pekerjaan yang layak dan menjanjikan. Bahkan bagi sebagian lulusan PT, mereka lebih memilih tidak bekerja lantaran “gengsi” dari pada menjadi petani atau buruh. Sementara sebagian lulusan lainnya yang berasal dari keluarga mampu secara ekonomi, terus berusaha mengejar takdir mereka menjadi PNS, dan sebagian lainnya menggunakan cara-cara tak lazim untuk menjadi PNS, ada yang memilih dengan cara menyogok, ada pula yang memanfaatkan posisi atau jabatan keluarganya (nepotisme).

Berdasarkan alasan di atas, cukup logis sebagian orangtua masih mempertahankan cara berpikir mereka bahwa pendidikan hingga ke perguruan tinggi itu tak penting. Tapi ada hal yang kurang mereka sadari, bahwa kehidupan ini terus berjalan dan berkembang meninggalkan realitas di masa mereka. Saya yakin bahwa di masa depan, tak ada pekerjaan layak tanpa ijazah lulusan dari sebuah perguruan tinggi.

Untuk itu, tugas bagi kita sebagai orang yang terdidik dan pernah mengeyam pendidikan di perguruan tinggi harus bisa menyadarkan dan membuktikan kepada orangtua bahwa karena pendidikanlah kita bisa bermasyarakat dengan baik, karena pendidikan pula kita bisa mendapatkan pekerjaan yang layak atau bahkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain, dan dengan pendidikan pula kita mampu membangun keluarga sakinah serta mendidik anak kita menjadi generasi yang shaleh dan sukses.

Sangatlah keliru, bila ada sarjana yang berasal dari keluarga petani tak mau lagi bertani setelah menyandang gelar sarjana. Ia lebih memilih jadi pengangguran ketimbang bertani membantu pekerjaan orangtuanya. Mestinya ia gunakan ilmu dan relasi yang ia miliki selama kuliah, agar hasil pertanian orangtuanya melimpah dari sebelumnya. Terkadang ada sarjana yang masih gagal paham, ia tak mau bertani lantaran ilmu yang ditimbanya tak sejalan dengan pekerjaan di bidang pertanian. Memang ada korelasinya antara ilmu yang dipelajari dengan pekerjaan yang akan digeluti, namun harus disadari bahwa antara teori dan fakta seringkali tak sejalan bahkan berseberangan di dunia nyata. Jika kita mengalami hal seperti ini, maka jangan paksakan teorinya dalam bekerja, tetapi gunakanlah akal pikiran yang sudah ditempa dalam menyelesaikan masalah selama duduk di bangku kuliah.

Selama kuliah, kita ditugaskan untuk menulis makalah dari berbagai disiplin ilmu yang semulanya kita tak tahu-menahu tentang hal itu. Tetapi lantaran adanya kemauan untuk belajar dibarengi keseriusan dalam menyelesaikan makalah, pada akhirnya makalah bisa diselesaikan pada waktu yang telah ditentukan, dan tidak jarang ternyata hasilnya sangat memuaskan. Bukankah di dalam dunia kerja, hal tersebut juga seringkali terjadi, ilmu yang kita miliki tak sejalan dengan pekerjaan yang tersedia. Lalu apa yang kita lakukan? Tentu jawaban sebagai seorang sarjana tulen adalah mencari informasi, menganalisa data, diskusi dan berbagi pengalaman, lalu lakukan semaksimal mungkin, dan tentu hasilnya tak selisih jauh dari seberapa besar ikhtiar yang telah kita lakukan. Bukankah kita sudah diingatkan oleh Allah SWT:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوۡمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمۡۗ

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (QS. Ar-Ra’d; 11).

Berdasarkan ayat di atas, persyaratan untuk berubah, berhasil dan sukses bukan ditentukan oleh linieritas keilmuan dengan pekerjaan yang kita geluti, tapi syarat untuk berubah dan sukses adalah seberapa besar ikhtiar yang kita lakukan terhadap pekerjaan yang sedang kita usahakan. Orang yang mampu mengawinkan keilmuan dengan pekerjaan, atau memadukan antara teori dan realitas sebagian besarnya adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan hanya sebagian kecil saja yang berasal dari orang-orang yang berpendidikan biasa atau non formal.


Dengan demikian, pendidikan tinggi itu sangat penting dan harus kita gapai, namun yang tak kalah pentingnya adalah mengimplementasikan hasil pendidikan di dunia nyata agar bisa disaksikan dan dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. Bukankah, sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak memberikan kebermanfaatan bagi orang lain? Semoga kita menjadi bagian dari manusia yang baik tersebut. Wallahu a’lam bishshawab.


«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: