Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Sejarah Peradaban Barat (Klasik-Pertengahan)



A.  Pendahuluan
Setelah sekian lama peradaban manusia mengukir kejayaannya di Timur, muncul Barat beberapa ribu tahun kemudian. Peradaban baru itu diawali dengan munculnya kajian filsafat pada abad ke-6 SM. Thales telah dianggap sebagai filosof pertama Yunani. Filsafat kian pesat berkembang di Yunani melalui kiprah filosof kenamaan Socrates, Plato dan Aristoteles yang bermuara di sebuah sudut kota bernama Athena.
Semenjak munculnya para filosof di atas, ilmu pengetahuan mulai berkembang di Yunani sebagai embriolahirnya peradaban Barat. Namun, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan tersebut seakan-akan terhenti ketika kekaisaran Yunani runtuh, dan pada tahap berikutnya disusul pula dengan runtuhnya kekuasaan Romawi. Setelah berakhirnya dua kekaisaran tersebut, muncullah kekuatan dan kekuasaan gereja sebagai penggantinya. Sejak itu, semua aktivitas keilmuan yang bertentangan dengan dogma gereja akan dimusuhi, bahkan ilmuannya dijatuhi hukuman mati.
Kondisi seperti itu mulai berubah saat memasuki abad pertengahan, dimana semangat renaissancemampu menggerogoti kekuasaan gereja atas masyarakat. Salah satu tujuan renaissance adalah merubah kehidupan sosial dan politik secara radikal berdasarkan posisi moral yang kuat.[1] Kendatipun para filosof dan ilmuan pada masa renaissance itu tidak melakukan perang atau pemberontakan secara nyata, namun usahanya cukup berhasil dalam mengusung peradaban Barat menjadi sebuah peradaban yang modern seperti sekarang ini. Untuk mengetahui kronologis kelahiran peradaban Barat di maksud, akan penulis paparkan secara singkat di bawah ini. Fokus materi yang dibahas hanya terbatas pada sejarah peradaban Barat pada periode Klasik dan Pertengahan saja.
B.   Periodesasi Sejarah Peradaban Barat
Peradaban Barat adalah sebuah bangunan sejarah yang bisa dikatakan sangat luas dan kompleks serta memiliki rentang waktu yang cukup panjang. Kendati sedemikian panjangnya rentang sejarah, bisa dipastikan waktunya tidak terlepas dari masa lalu. Untuk itu, pada bagian ini penulis hanya akan memaparkan sejarah peradaban Barat periode awal dan pertengahan saja.
  1. Periode Awal Peradaban Barat
Peradaban Barat adalah peradaban yang bermula dari Yunani dan Romawi, karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah asli bagian Barat. Jika menoleh sejarah ke belakang, ternyata Yunani dan Romawi merupakan bangsa yang memiliki budaya senang berperang. Walaupun kedua wilayah tersebut telah mengalami kemajuan ilmu pengetahuan di segala bidang kehidupan sejak masa lalu, namun kesenangan berperang masih terlihat sampai saat ini, sehingga boleh dikatakan bahwa Yunani dan Romawi benar-benar memiliki watak dan bakat berperang.
Terlepas dari watak aslinya tersebut, yang jelas bangsa Yunani tetap menganggap diri mereka sebagaiHellenes atau makhluk beradab, sedangkan bangsa lain dianggapnya sebagai bangsa yang tidak beradab atau biadab.[2] Berdasarkan pandangan hidup seperti itu, mereka mulai mengembangkan kekuasaan dengan membangun koloni-koloni di Barat dan Timur, seperti di Sicilia dan bagian selatan Italia. Kedua koloni itu dikenal dengan sebutan Magna Graecia atau Great Greece yang berarti Yunani Agung. Usaha membangun koloni tersebut terus berlangsung sehingga Yunani memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas, dan hal ini sangat memudahkan mereka untuk memperoleh berbagai komoditi. Salah satu komoditi yang sangat diprioritaskan adalah bahan logam untuk melengkapi persenjataan militer mereka yang banyak terdapat di Italia bagian tengah.
Logam-logam yang terkumpul itu, selanjutnya dibuat senjata-senjata baru, seperti pedang dan baju perang. Berapa pun biaya untuk kebutuhan perang dan angkatan bersenjata, semuanya disediakan, yang penting misi militer harus unggul dan kota-kota yang sudah berhasil dibangun, dapat dipertahankan semaksimal mungkin.
Persenjataan lengkap yang dimiliki militer Yunani itu, membuat mereka semakin tangguh dan sulit dikalahkan oleh bangsa lain. Misalnya, peperangannya dengan bangsa Phoenicia dan Persia, Yunani memperoleh kemenangan. Kemenangan demi kemenangan yang diperolehnya tersebut, menjadikan Yunani sebagai bangsa yang sulit terkalahkan dengan daerah kekuasaan yang luas serta persenjataan yang lengkap dan canggih pada masa itu. Kondisi itu pula yang mendukung berkembangnya ilmu dan kefilsafatan serta seni dan sastra. Misalnya, dalam usaha mendapatkan kebenaran, orang Yunani telah menemukan ilmunya melalui penelitian yang sistematis dan analisis-analisis argumentatif. Menurut mereka, penelitian dan argumentasi yang cermat adalah kebajigan serta tuntunan ke arah menemukan kebenaran. Ini berarti, apa pun dasar-dasar primanya dan kekuatan-kekuatan misterius yang terkandung di dalamnya, alam dunia dan jagat raya hampir seluruhnya tertata secara rasional dan pekerjaannya saling berhubungan. Oleh sebab itu, semuanya bisa ditelitidan diurai oleh akal manusia. Asumsi inilah yang menjadi intisari dari ilmu pengetahuan Barat, yang bermula dari Ionia.[3] Terkait dengan hal ini, J.B Bury[4] mengatakan bahwa Ionia di Asia kecil adalah tempat kelahiran pemikiran bebas. Sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat Eropa bermula dari Ionia ini.
Sejarah membuktikan bahwa pada abad ke-6 SM, bangsa Yunani telah memiliki manusia-manusia yang mampu berspekulasi tentang alam dan cara kerjanya. Thales adalah orang yang diakui oleh Aristoteles sebagai filosof pertama Yunani. Filsafat semakin pesat berkembang di Yunani melalui kiprah para filosof kenamaan, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates memperkenalkan kesadaran sebagai intensi dan penyandaran timbal balik antara bentuk kesadaran dan substansi kesadaran, Plato memperkenalkan istilah noese (bentuk), sedangkan Aristoteles memperkenalkan istilah noeme (materi). Dari trio Yunani inilah lahirnya aliran pemikiran formalisme, materialisme dan filsafat kehidupan. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa dari para filosof inilah yang mendasari kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat hingga saat ini.
Pada abad ke-5 S.M, Yunani sudah sangat terkenal, terutama di daerah Athena, kemudian diikuti Sparta dan Thebes. Sebuah semangat kebebasan dan kasih yang membara, membuat Yunani dapat mengalahkan bangsa Persia sebagai bangsa adikuasa saat itu dalam peperangan yang sangat terkenal, yaitu Marathon, Termopylae, Salamis dan Plataea.
Pada paruh kedua abad ke 4 S.M, banyak daerah-daerah bagian Yunani membentuk Aliansi (Cœnon of Corinth) yang dipimpin oleh Alexander Agung sebagai Presiden dan Panglima dari Aliansi serta Raja dari Macedonia yang menyatakan perang dengan Persia, membebaskan saudara-saudara mereka yang terjajah di Ionian, dan ingin menguasai daerah-daerah strategis. Dari hasil perang ini nantinya menghasilkan masyarakat yang berkebudayaan Yunani, mulai dari India Utara sampai Laut Tengah barat dan dari Rusia Selatan sampai Sudan.
Setelah mengalahkan bangsa Persia, bangsa Yunani telah mencapai puncak kejayaannya. Namun setelah itu, Yunani mulai memasuki masa-masa kesuramannya, di mana antara mereka sudah sering saling memangsa satu dengan lainnya. Kondisi ini akhirnya memicu munculnya konflik internal di antara mereka, dan akhirnya terjadilah perang Peloponnesian antara kaum Sparta dengan Athena. Perang tersebut berlangsung selama kurang lebih 30 tahun, dan berakhir dengan kemenangan kaum Sparta. Akibat kekalahan perang itulah, Yunani kehilangan pamor kekuasaannya sehingga kejayaannya runtuh.[5]
Dari peradaban Yunani tersebut, terdapat peninggalan berharganya berupa dua tradisi pada pemikiran Barat. Tradisi ini bangkit kembali selama masa renaissance, dan sejak saat itu selalu memberikan warna pada perkembangan pemikiran Barat. Tradisi pertama adalah kepercayaan terhadap kemampuan akal dan pemikiran dalam menjelaskan segenap gejala yang ada. Tradisi kedua adalah pemisahan agama dari segenap ilmu pengetahuan serta pemisahan agama dari lembaga-lembaga sosial dan politik. Keberadaan agama saat itu dikesampingkan, atau hanya di susun untuk melayakkan dan memberikan legitimasi terhadap bentuk-bentuk pemikiran.[6]
Berlandaskan pada dua tradisi tersebut, terbentuklah inti filsafat Barat kontemporer. Meskipun demikian, peranan Yunani hanya sampai pada pentahbisan belaka, sedangkan perkembangan dan pelembagaan tradisi-tradisi itu dalam filsafat Barat mulai mekar dan berkembang sejak masa-masa renaissance danreformasi.
Setelah berakhirnya kekaisaran Yunani, perlahan-lahan mulailah muncul kekuasaan baru pada bangsa Romawi. Sebenarnya negara bagi bangsa Romawi telah terbentuk sejak abad ke-5 SM, yang diberi nama dengan Roman Republic. Ketika Alexander Great (Dzulkarnain) masih berkuasa di penghujung kekuasaan Yunani, bangsa Romawi masih belum memiliki power yang signifikan. Namun saat Alexander Great wafat dan Yunani mengalami konflik yang berkepanjangan, bangsa Romawi mulai bangkit. Menurut catatan sejarah, bangsa Romawi pertama kali belajar tentang kebudayaan dan kemudian ia sendiri mengambil bagian dalam menciptakan kebudayaan cemerlang di era itu, tempatnya adalah Greek World belahan Barat Mediteranea.
Selama berabad-abad bangsa Romawi hidup dalam negara yang berbentuk republik tradisional, dan berakhir sekitar 450 tahun setelahnya. Adapun basis penopang kehidupan ekonomi bangsa Romawi adalah pertanian. Lahan pertanian mereka sangat terbatas sehingga memaksa mereka mencari lahan di luar negeri mereka. Hal ini menjadi salah satu penyebab bangsa Romawi melakukan berbagai penaklukan dan ekspansi daerah lain secara agresif. Seperti halnya Yunani, bangsa Romawi juga memiliki system kemiliteran yang mampu membentuk sumber daya manusia yang handal. Setiap warga negara laki-laki yang sehat jasmani dan rohani harus siap memasuki dinas militer ketika diperlukan. Setiap infantri harus bertugas selama 16 tahun, walau tidak sepanjang tahun. Lantaran kekuatan militer inilah, Romawi sering memenangkan perang terhadap lawannya dan hal ini pula yang menyebabkan luasnya wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi.
Pada saat perang Punic atau Phoenician, Romawi membangun kekuatan angkatan laut yang tangguh dan berakhir dengan memperoleh kemenangan pada tahun 241 SM. Kemenangan demi kemenangan yang diperoleh Romawi sehingga mempermudah mereka untuk menyebarkan peradaban hellenistik Barat. Namun, setelah banyaknya muncul konflik internal, kekacauan pada sector ekonomi, gangguan dari kaum bar-bar, korupsi, pertentangan kelas, perbudakan, kristenisasi, dan ditambah lagi dengan serangan yang dilakukan kaum Goth dari Jerman secara terus-menerus, akhirnya kekaisaran Romawi runtuh.
Selama periode 248 sampai 476, peradaban Romawi sangat kuat dipengaruhi oleh ide-ide despotisme, pandangan hidup pesimisme, dan fatalisme dari Timur pra Islam. Ketika kesulitan ekonomi dan kemunduran kebudayaan, manusia kehilangan gairah terhadap kepentingan kehidupan duniawi dan mulai merindukan kebahagiaan hidup setelah mati. Perubahan sikap hidup ini terjadi bersamaan dengan perkembangan agama Timur di Barat, terutama Kristen. Ketika kekaisaran Romawi betul-betul hancur, kemenangan orientalisme mencapai kesempurnaannya. Sebagai hasilnya, terjadilah evolusi sebuah peradaban baru yang tersusun dari elemen yang berasal dari Greece dan Romawi, namun agama sebagai faktor dominan dalam pencapaiannya. Akhirnya, secara bersamaan, tiga peradaban baru serentak muncul, yaitu peradaban Eropa Barat, peradaban Bizantium dan peradaban Saracens pada awal abad pertengahan.[7]
  1. Periode Pertengahan Peradaban Barat
Istilah abad pertengahan seringkali dianggap sebagai kata yang rendah derajatnya, terutama dalam kamus-kamus abad modern. Kata itu tidak hanya menunjukkan keterbelakangan dan penindasan terhadap aneka kebebasan, namun juga kebuasan dan teror keagamaan. Ada beberapa alasan atau faktor penyebab terjadinya kondisi seperti itu, di antaranya: tendensi gereja untuk mewujudkan dominasi yang totaliter, ide-ide yang bertentangan dengan dogma gereja, penerapan kebencian terhadap adat secara ekstrim yang hanya dilandasi prasangka belaka, dan sebagainya.
Gejala pertama muncul sejak kekaisaran Romawi yang menganut agama Kristen runtuh sampai akhir abad ke 4 M. Hal ini menyebabkan gereja tumbuh lebih kokoh dan mendominasi kehidupan Barat sampai 10 abad berikutnya. Orang-orang Kristen yang sangat tertindas selama era paganisme, memunculkan kembali kebiasaan menindas itu di antara mereka sendiri. Usai tampil sebagai penguasa dalam kekaisaran Romawi, mereka mulai menyerang lawan-lawannya, sungguhpun mereka adalah pemeluk-pemeluk Kristen. Berkaitan dengan perubahan drastis pada sikap kebebasan itu, H.J. Muller[8]menyatakan: “Tatkala orang-orang Kristen memperoleh kejayaan, mereka langsung tidak mempercayai kebebasan agama. Mereka menghendaki agar kebebasan agama itu hanya milik mereka saja. Mereka pun mulai menindas pemuja-pemuja patung dan orang-orang Yahudi untuk kemudian disusul dengan tindakan keras terhadap orang-orang kristen yang melakukan penyimpangan. Kebebasan pemikiran agama dan kesadaran untuk mengamalkannya diredam dengan ketegasan dan kejelian yang tidak dikenal dalam sejarah sebelumnya”.
Hilangnya semangat toleransi tersebut berlangsung selama 1000 tahun. Intoleransi itu tidak hanya terbatas pada agama saja, tetapi juga diterapkan pada sebagian besar aspek kegiatan pemikiran. Selain itu, pemberian hukuman yang keji dan ekstrim terhadap orang-orang yang dicurigai serta dituduh tidak sejalan dengan dogma gereja adalah corak reputasi abad pertengahan yang mengerikan.[9]
Meski dominasi gereja, penindasan pandangan yang berlawanan dan hukuman yang ekstrim, kegiatan pemikiran intelektual saat itu tidak mati, bahkan tetap tumbuh subur. Pencapaian kebijakan St. Augustinus, argumen ontologis St. Anselmus serta kristenisasi filsafat Aristoteles yang dipelopori oleh St. Thomas Aquinas adalah contoh-contoh kegiatan pemikiran teologis yang berkembang subur selama adab pertengahan. Bahkan menurut Hassan Hanafi,[10] St. Augustinus pada waktu itu mampu menggagas filsafat yang menjadi prototipe filsafat Kristen Yunani dan Latin pada masa yang dikenal dengan sebutan Bapak Gereja. Selain itu, filsafat St. Augustinus juga dianggap menjadi “guru” bagi filsafat pasca Augustin, seperti filsafat skolastik, modern maupun yang kontemporer. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa sungguhpun pemikiran filsafat dan keilmuan yang secara langsung bertentangan dengan dogma gereja sangat ditekan, namun berbagai ilmu pengetahuan yang terimplikasi dari filsafatnya yang tidak bersifat antagonistik, dapat mengenyam kebebasan yang lebih longgar.
Meskipun demikian, fakta tetap menunjukkan bahwa pada abad pertengahan memendam suatu tragedi pertikaian antara agama dan ilmu pengetahuan. Begitu kerasnya suasana saat itu, sehingga keberadaan seseorang tidak dapat dijamin keselamatannya kecuali dengan saling menyingkirkan satu dengan lainnya. Sebagaimana dapat dilihat pada abad setelahnya, seperti pertikaian yang terjadi pada saat keruntuhan museum Alexandria, peristiwa Erigena dan Wicliff, penolakan keras ahli-ahli bidat abad ke 13 terhadap pemikiran dan penafsiran yang scriptural. Namun, tidak sampai masa Copernicus, Kepler serta Galileo bahwa upaya-upaya ilmu pengetahuan yang tidak dapat dikendalikan lagi telah menembus penghambaan yang membelenggu. Secara bertahap, memang muncul suatu pertentangan antara gereja dan ilmu pengetahuan. Jika lahir suatu kemajuan atau perkembangan, maka keduanya mesti dipisahkan. Konsep inilah yang terpaku dalam benak Barat, yang pada akhirnya menjadi dogma mereka.
Abad ke 14 menjadi saksi awal era baru dalam sejarah Eropa, yang kemudian dikenal dengan istilahrenaissance. Setelah berabad di landa kemunduran filsafat dan kemandegan pemikiran, Eropa mulai bangkit secara perlahan dan bertahap melepaskan diri dari genggaman gereja untuk kemudian meraih kembali peradaban Yunani dan Romawi. Filosof-filosof dan para ilmuan renaissance tidak menebarkan aksi pemberontakan secara terbuka, tetapi dengan penuh waspada dan hati-hati mereka menabur benih-benih pencerahan. Pemberontakan terhadap kepercayaan ortodoks di Barat terus berlanjut dan berubah menjadi penolakan total terhadap agama.
Renaissance mencapai puncaknya selama masa pencerahan. Ide atau konsep-konsep yang kuncup pada masa lalu mekar kembali. Ketika itu mulailah tampak kegemilangan Barat yang mendapat pengaruh dari peradaban Yunani dan Romawi. Muncul berbagai isme yang mengukuhkan diri sebagai pengganti kekuasaan ortodoks dan pemikiran pendeta sehingga akal memperoleh kembali kejayaannya. Adapunisme yang muncul dimaksud, seperti: materialisme, rasionalisme dan empirisme.
Pengalaman Eropa selama periode renaissance dan pencerahan telah melahirkan asumsi baru dalam pemikiran Barat, diantaranya:
  1. Kebebasan berpikir dan kemajuan ilmu tidak akan berpengaruh kecuali dengan menundukkan gereja dan merebut dominasi agama tradisional.
  2. Penemuan keilmuan sering berlawanan dengan beberapa pemikiran keagamaan.
  3. Ilmu dan pengetahuan berjalan seiring dengan kebebasan.
  4. Dalam beberapa aspek, agama identik dengan totaliterisme dan pemenggalan terhadap aneka kebebasan.
  5. Akal manusia tidak terbatas dan sanggup menguak sebagian besar gejala yang ada.[11]
Walaupun abad pertengahan merupakan masa yang suram pada dunia Barat, namun sedikit banyaknya tetap memiliki peran dan andil dalam mengusung peradaban Barat modern hingga saat ini.
C.  Penutup
Berdasarkan uraian pada bagian di atas, dapat disimpulkan makalah ini sebagai berikut:
  1. Peradaban Barat adalah peradaban yang berasal dari Yunani dan Romawi, karena kedua wilayah tersebut merupakan wilayah asli bagian Barat. Adapun daerah yang menjadi tempat lahirnya peradaban Yunani adalah daerah Ionia di Asia Kecil dan disusul dengan daerah Athena. Sedangkan daerah Romawi yang menjadi tempat lahirnya peradaban adalah kota Roma.
  2. Orang-orang yang dianggap paling berjasa dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya pada bidang filsafat adalah Thales, kemudian dilanjutkan oleh filosof kenamaan yang bernama Socrates, Plato, dan Aristoteles. Mereka itu dianggap menjadi dasar kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa Barat hingga saat ini.
  3. Dua tradisi pemikiran Barat yang diwariskan oleh Yunani, yaitu kepercayaan terhadap kemampuan akal dan pikiran dalam menjelaskan segenap gejala yang ada; serta pemisahan agama dari segenap ilmu pengetahuan, lembaga sosial dan politik. Berlandaskan pada dua tradisi tersebut, terbentuklah inti filsafat Barat kontemporer.
  4. Peradaban Romawi kembali pada abad pertengahan setelah masa renaissance. Kebangkitan itu ditandai hilangnya dominasi gereja dan mulai berkembang filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya.Isme yang Berjaya pada saat itu adalah materialisme, rasionalisme dan empirisme.
DAFTAR PUSTAKA
Altwajri, Ahmed O., Islam, Barat dan Kebebasan Akademis, terj. Mufid, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997
Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban; Globalisasi, Radikalisme & Pluralitas, Jakarta: RajaGrapindo Persada, 2002.
Bury, J. B., A History of Freedom of Thought, London: Oxford University Press, 1952.
Daya, Burhanuddin, Pergumulan Timur Menyikapi Barat; Dasar-dasar Oksidentalisme, Yogyakarta: Suka Press, 2008.
Hanafi, Hassan, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Paramadina, 2000.
Muller, H. J., Freedom in The Ancient World, New York: Harper & Broters, 1961
Tamara, M. Nasir, dan Elza Peldi Taher (ed), Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1999.

[1] Olaf Schumann dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 63.
[2] Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat; Dasar-dasar Oksidentalisme, (Yogyakarta: Suka Press, 2008), hlm. 52.
[3] Ibid. hlm. 54.
[4] J.B. Bury, A History of Freedom of Thought, (London: Oxford University Press, 1952), hlm. 13.
[5] Menurut data sejarah, bangsa Yunani baru berhasil memberontak dan membebaskan belenggu diri mereka pada tanggal 25 Maret 1821, dan pada tahun 1828 mereka mendapatkan kemerdekaannya. Sebagai sebuah negara baru yang hanya terdiri dari sebagian kecil dari negara modern mereka, perjuangan untuk membebaskan seluruh daerah yang dihuni oleh bangsa Yunani berlanjut. Pada tahun 1864, kepulauan Ionian disatukan dengan Yunani; tahun 1881 sebagian dari Epirus dan Thessaly. Crete, kepulauan Aegean Timur dan Macedonian ditambahkan pada tahun 1913 dan Thrace Barat tahun 1919. Setelah Perang Dunia II kepulauan Dodecanese juga dikembalikan ke Yunani.
[6] Ahmed O. Altwajri, Islam, Barat dan Kebebasan Akademis, terj. Mufid, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 108.
[7] Lihat penjelasannya dalam Burhanuddin Daya, Pergumulan… hlm. 68.
[8] H. J. Muller, Freedom in The Ancient World, (New York: Harper & Broters, 1961), hlm. 289-290
[9] Contoh kebuasan gereja dengan dalih untuk memelihara kepentingan agama, telah dihukum 40.300 orang sejak tahun 1481 – 1808, dan hampir 30.000 dari mereka dijatuhi hukuman bakar.
[10] Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, (Jakarta: Paramadina, 2000),hlm. 211.
[11] Ahmed O. Altwajri, Islam…, hlm. 116.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: