Menurut Nurcholish Madjid (Cak Nur), konsep khalifah dalam Islam dapat dipahami melalui pendekatan kalam,[1] karena pada umumnya masalah khalifah tersebut sama halnya dengan masalah-masalah dasar keagamaan. Pendekatan kalam dimaksud adalah rasionalitas penjabaran dan penyusunan bahan dasar yang tersedia, dengan kemungkinan penalaran dan perluasannya yang melibatkan khazanah pemikiran umum.[2]
Bahan dasar yang dapat digunakan untuk memahami konsep khalifah, Cak Nur mengilustrasikan sebuah “drama kosmis” yang melibatkan Allah, malaikat, manusia, dan syetan di suatu lokus primordial yang disebut jannah (kebun surga). Drama itu berawal dari “pengumuman” Allah bahwa Dia akan menjadikan seorang manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Keinginan Allah itu mendapat respons skeptis dari malaikat bahwa mereka meragukan kemampuan manusia untuk menjalankan tugasnya, mengingat potensi yang dimiliki manusia untuk merusak dan menumpahkan darah. Klaim malaikat itu ditolak oleh Allah, karena para malaikat tidak mengetahui rahasia Allah untuk mengajarkan “segala nama” (al-asma’a kullaha) kepada Adam.[3] Drama itu terus berlanjut hingga Adam dan Hawa melanggar larangan Allah dan akhirnya mereka berdua dikeluarkan dari Surga.[4]
Berdasarkan “drama kosmis” Allah dalam al-Qur’an, kemudian didekati dengan interpretasi metaforis (ta’wil) dalam tradisi ilmu kalam, maka Cak Nur merumuskan maknanya sebagai berikut:
- Kisah tersebut menunjukkan bahwa martabat manusia itu sangat tinggi, sebagai khalifah atau wakil Tuhan di bumi.
- Martabat itu berkaitan dengan konsep bahwa alam dengan segala isinya disediakan untuk manusia, menjadi bidang garapannya dan tempat untuk melaksanakan tugasnya.
- Martabat itu juga berkaitan dengan nilai kemanusiaan universal.
- Untuk menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi, manusia dilengkapi dengan ilmu pengetahuan.
- Kelengkapan lain martabat manusia ialah kebebasan, namun tetap mengenal batas (boleh makan semuanya, asalkan tidak mendekati pohon terlarang).
- Pelanggaran terhadap batas itu membuat manusia jatuh tidak terhormat.
- Dorongan untuk melanggar batas ialah nafsu serakah, yaitu perasaan tidak pernah puas dengan anugerah Allah.
- Karena kelengkapan ilmu saja tidak menjamin manusia terhindar dari kejatuhan, maka manusia memerlukan petunjuk Allah sebagai spiritual safety net.[5]
Setelah menemukan rumusan konsep khalifah dari bahan dasar yang dimiliki, selanjutnya Cak Nur menegaskan bahwa muara dari prinsip-prinsip kekhalifahan manusia adalah reformasi bumi. Untuk pengertian “reformasi” itu, al-Qur’an menggunakan kata-kata islah, yang berakar sama dengan kata shalih dan mashlahah. Semuanya mengacu kepada makna baik, kebaikan dan perbaikan.[6] Paham tentang reformasi bumi ( إصلاح الأرض ) bisa disandarkan pada firman Allah dalam surat al-A’raf, ayat 56:
Artinya: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah direformasi, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa cemas dan harapan. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Ungkapan “janganlah membuat kerusakan di bumi setelah direformasi” mengandung makna ganda.Pertama, larangan merusak bumi setelah reformasi atau perbaikan (islah) di bumi itu telah terjadi oleh Tuhan sendiri, saat Dia menciptakannya. Makna ini menunjukkan tugas manusia untuk memelihara bumi, karena bumi itu sudah merupakan tempat yang baik bagi hidup manusia. Jadi, tugas reformasi berkaitan dengan usaha pelestarian lingkungan hidup yang alami dan sehat.[7]
Kedua, larangan membuat kerusakan di bumi setelah terjadi reformasi atau perbaikan oleh sesama manusia. Hal ini berkaitan dengan tugas reformasi aktif manusia untuk berusaha menciptakan sesuatu yang baru, yang baik (shaleh) dan membawa kebaikan (mashlahah) untuk manusia. Tugas kedua ini lebih dari tugas yang pertama, memerlukan pengertian yang tepat tentang hukum-hukum Allah yang menguasai alam ciptaan-Nya, diteruskan dengan kegiatan bertindak sesuai dengan hukum-hukum itu melalui “ilmu cara” atau teknologi. Lebih daripada tugas pertama, pemanfaatan alam harus dilakukan dengan daya cipta yang tinggi dan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan.[8]
Ide reformasi bumi juga terdapat dalam surat al-A’raf, ayat 85:
Artinya: Dan Kami telah utus kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan mereformasinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.
Dalam konteks yang sedikit berbeda dari ayat sebelumnya, firman Allah itu mengajarkan larangan manusia membuat kerusakan di bumi setelah direformasinya, dalam kaitannya dengan ajaran tentang keadilan dan kejujuran. Jelas sekali diisyaratkan bahwa reformasi bumi itu berkaitan dengan prinsip keadilan dan kejujuran dalam kegiatan hidup, khususnya kegiatan ekonomi yang melibatkan proses pembagian kekayaan dan pemerataannya antara warga masyarakat, sebab bumi yang sudah direformasi tidak mengenal terjadinya perolehan kekayaan secara tidak sah dan tidak adil. Bahkan, tidak dibenarkan terjadinya penumpukan kekayaan sehingga harta benda dan sumber hidup masyarakat beredar di antara orang-orang kaya saja dalam masyarakat.[9]
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa khalifah menurut Cak Nur adalah wakil[10] Tuhan di muka bumi. Tugas utama dari wakil tersebut adalah memelihara dan melakukan reformasi bumi. Memelihara dalam konteks ini adalah melestarikan lingkungan hidup yang alami dan sehat. Sedangkan reformasi bumi ditekankan pada upaya untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang lebih baik dan membawa kebaikan untuk semua manusia. Selain itu, reformasi bumi juga dimaknai dengan pemanfaatan alam secara seimbang, serta pembagian kekayaan yang merata dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kejujuran dalam hidup.
Referensi:
Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
———————–, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1999.
———————–, Islam Universal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of the Kalam, Cambridge: Harvard University Press, 1976.
[1]Secara bahasa, kalam berarti “percakapan” atau “ucapan”. Kalam adalah suatu cabang ilmu yang membahas bagian-bagian tertentu ajaran agama dengan menggunakan logika. Harry Austryn Wolfson,The Philosophy of the Kalam, (Cambridge: Harvard University Press, 1976), hlm. 1.
[2]Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 219 dan 221.
[3]Ibid., hlm. 221-222.
[4]Semua ilustrasi “drama kosmis” itu dapat dilihat di dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30-38, surat al-Hijr ayat 28-43, dan surat Thaha ayat 116-123.
[5]Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam…, hlm. 227-228.
[6]Ibid., hlm. 249.
[7]Ibid., hlm. 250.
[8]Ibid., hlm. 250-251.
[9]Ibid., hlm. 252.
[10]Dalam pembahasan mengenai khalifah pada masa khilafah rasyidah (kekhalifahan yang bijaksana), Cak Nur mengartikan khalifah sebagai pengganti, meskipun arti tersebut tidak jauh berbeda dengan makna wakil. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin, dan Peradaban; Sebuah Tela’ah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), hlm. 252. Nurcholish Madjid, Islam Universal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 207-208.
No comments:
Post a Comment