Pernikahan merupakan bagian dari gharizah insaniyyah atau naluri kemanusiaan. Setiap lelaki dan perempuan yang normal pasti menginginkan hubungan yang telah dijalinnya, diresmikan melalui nikah. Dalam Islam, pernikahan tidak hanya dimaknai dengan penghalalan hubungan suami-istri semata, tetapi yang lebih penting adalah pembuktian akan ketaatan kepada Allah, melaksanakan syari’at-Nya, serta adanya kesungguhan untuk membina sebuah keluarga yang dilandasi dengan mahabbah, mawaddah, danrahmah. Dengan bermodalkan itu semua, maka sebuah keluarga akan mudah untuk menggapai rumah tangga yang sakinah, yaitu rumah tangga yang tenang, bahagia, damai, dan harmonis sebagaimana rumah tangganya Rasulullah SAW.
Pernikahan juga bisa dikatakan sebagai fitrah manusia. Oleh karena itu, setiap pasangan yang telah melaksanakan pernikahan berarti ia telah mengikuti sunnah Rasulullah. Hal ini seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW dan diriwayatkan secara shahih oleh Ibnu Majah di bawah ini:
اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّىْ وَتَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طُوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
“Nikah adalah sunnahku. Barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku. Menikahlah, karena aku akan bangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lainnya di hari kiamat. Barangsiapa yang telah memiliki modal, hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu penekan hawa nafsunya” [HR. Ibnu Majah, hadis No. 1832].
Hadis di atas jelas menegaskan bahwa pasangan yang sudah memiliki kemampuan dan menikah sesuai syari’at Allah, mereka itu telah menjalankan sunnah Rasulullah SAW. Dengan demikian, karena nikah adalah sunnah, berarti nikah itu bagian dari ibadah. Sebagai ibadah, nikah tidak bisa di pandang hanya sebuah akad yang kokoh antara seorang lelaki dan perempuan semata, tetapi juga akad atau perjanjian yang sungguh-sungguh kepada Allah SWT. Oleh karena itu, sudah semestinya jika pernikahan itu harus tetap dijaga keutuhan dan kekokohannya.
Namun realitasnya, tidak sedikit pernikahan itu kandas di tengah jalan akibat dari pengingkaran janji oleh salah satu pihak, dan umumnya pihak dimaksud adalah suami. Hasil penelitian Mujahidin yang kemudian diolah ulang menjadi sebuah buku ini membuktikan bahwa sebagian besar penyebab dari perceraian itu adalah perselingkuhan yang dilakukan oleh seorang suami. Namun, tidak bisa serta pula sepenuhnya ditimpakan kesalahan itu kepada suami, karena harus digali melalui penelitian yang lebih mendalam faktor penyebab suami itu sampai selingkuh. Terlepas dari faktor penyebab perselingkuhan tersebut, apa dan bagaimana tindakan seorang istri jika ia benar-benar dikhianati suaminya tanpa memiliki kekurangan yang dibenarkan agama? Dalam konteks ini, seorang istri diperbolehkan untuk melakukan gugatan cerai terhadap suaminya. Lalu, bagaimana pula Islam memandang gugatan cerai yang dilakukan seorang istri kepada suaminya tersebut? Untuk menjawabnya, akan diuraikan seputar persoalan gugat cerai dalam perspektif Islam di bawah ini.
A. Pengertian Gugat Cerai (al-Khulu’)
Gugatan cerai dalam Islam disebut al-khulu’. Kata al-khulu’ (الخُلْع) itu berasal dari bahasa Arab خُلْعُ الْثَوْبِ yang berarti melepas pakaian. Istilah al-khulu’ itu selanjutnya digunakan oleh istri yang meminta kepada suaminya untuk melepaskan dirinya dari ikatan pernikahan.
Menurut pandangan ulama, al-khulu’ diartikan sebagai suatu tindakan perceraian antara suami-istri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus (lihatTaudhihul Ahkam min Bulughul Maram, 5/468). Hal ini juga sejalan dengan definisi dalam kitab Shahih Fikih Sunnah (3/340) bahwa al-khulu’ adalah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa al-khulu’ adalah perceraian yang dikehendaki suami-istri lantaran tidak adanya kecocokan dalam berumah-tangga dan pembayaran akibat dari perceraian itu diserahkan oleh istri kepada suaminya. Pembayaran dimaksud dalam Islam disebut ‘iwadh.
B. Dasar Hukum al-Khulu’
Dalam Islam, al-khulu’ itu sebenarnya telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya terkait al-khulu’ tersebut, yaitu terdapat dalam surah al-Baqarah, ayat 229:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat lagi menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Sementara dalam hadis, Rasulullah SAW pernah bersabda melalui Ibnu Abbas, yang berbunyi:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ الْمُخَرِّمِيُّ حَدَّثَنَا قُرَادٌ أَبُو نُوحٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ جَمِيلَةَ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Al Mubarak Al Mukharrimi telah menceritakan kepada kami Qurad Abu Nuh telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, dia berkata; Suatu ketika, isteri Tsabit bin Qais bin Syammas kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tidaklah aku mencela Tsabit atas agama atau pun akhlaknya, akan tetapi aku khawatirkan akan terjerumus dalam kekufuran”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau begitu, kembalikanlah kebun miliknya.” Ia berkata, “Ya.” Maka ia pun mengembalikan kebun itu kepada Tsabit, sehingga Tsabit meninggalkan wanita itu. Telah menceritakan kami Sulaiman telah menceritakan pada kami Hammad dari Ayyub dari Ikrimah bahwasanya Jamilah. Lalu dia pun menyebutkan hadits” (HR. Bukhari, No. Hadis 4869).
Selain dasar-dasar dari al-Qur’an dan Hadis di atas, ulama juga telah berijma’ terkait al-khulu’ tersebut, diantaranya:
- Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, 7/51.
- Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ al-Fatawa, 32/282.
- Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 9/315.
- Muhammad bin Ali al-Syaukani di dalam Nail al-Author Min Ahadits Sayyid al-Akhyaar Syarh Muntaqaa al-Akhbaar, tqq. Muhammad Saalim Haasyim, cetakan pertama tahun 1415 H, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, Bairut 6/260.
- Syaikh Abdullah Al-Basam dalam Taudhih al-Ahkaam, 5/468.
Berdasarkan dalil dan pendapat ulama di atas, jelas bahwa al-khulu’ tersebut telah disyari’atkan dalam Islam.
C. Hal-hal yang Dibolehkan Mengajukan al-Khulu’
Meskipun al-khulu’ itu telah disyari’atkan dalam Islam, tapi bukan berarti seorang istri itu bisa seenaknya mengajukan cerai dengan suaminya, atau sebaliknya. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi tatkala hendak mengajukan al-khulu’, diantaranya:
- Pembatalan pernikahan karena salah satu pasangan berbeda aqidah.
- Ketika salah seorang pasangan berpindah agama (murtad).
- Karena kedzaliman dari salah satu pihak (QS. an-Nisa: 19].
- Karena takut kufur (mengurangi nilai ibadah)
Syarat-syarat di atas harus terpenuhi sebelum dilakukannya al-khulu’, karena jika tidak diindahkan, bisa jadi pernikahan itu hanya sebagai sebuah ajang mainan bagi orang-orang yang suka melanggar aturan-aturan agama. Baik bagi suami atau istri yang mengajukan al-khulu’, tujuannya tidak lain adalah untuk dapat menjalani hidup normal tanpa dibayangi oleh kedzaliman atau ‘penindasan’ dari salah satu pihak, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
Fenomena gugat cerai atau al-khulu’ saat ini sangat sering terjadi, apalagi jika dilihat dalam dunia selebritis, gugatan cerai atau perceraian itu sendiri seakan-akan lumrah bagi mereka. Biasnya, banyak di antara pasangan nikah yang salah kaprah, dengan mudah mereka mengajukan al-khulu’ pada saat masalah itu muncul dalam keluarga mereka. Padahal, al-khulu’ itu adalah jalan terakhir yang harus ditempuh manakala saluran-saluran untuk membina rumah tangga secara harmonis telah tersumbat.
No comments:
Post a Comment