Dr. Adnan Mahdi, S.Ag., M.S.I. |
Masyarakat Melayu Sambas tempoe doeloe sangat dikenal agamis dan berakhlakul karimah. Kondisi ini terjadi pada masa kejayaan Kesultanan Sambas. Pada masa itu, telah lahir ulama-ulama Sambas yang sangat disegani karena kedalaman dan keluasan ilmu-ilmu agamanya, seperti Nuruddin Mustafa, Syaikh Ahmad Khathib As-Sambasy, Syaikh Nuruddin Tekarang, Syaikh Muhammad Sa’ad Selakau, Maharaja Imam Muhammad Basiuni Imran, Haji Muhammad Djabir dan masih banyak lagi ulama Sambas yang berpengaruh dan menjadi rujukan masyarakat di dalam dan dari luar Sambas.
Dibalik ketokohan dari nama-nama ulama yang telah disebutkan di atas, ada
faktor lain yang sering terlewatkan, yakni orangtua yang telah berjasa dan
berhasil menanamkan pendidikan Islam sejak dini sehingga bisa menghantarkan
mereka menjadi ulama yang terkenal. Sungguh sangat mustahil mereka bisa menjadi
ulama tanpa sentuhan pendidikan orangtuanya. Untuk itu, sangat perlu diungkap
model pendidikan Islam yang sudah mentradisi
di lingkungan keluarga dan masyarakat Melayu Sambas pada tempoe
doeloe yang saat ini sepertinya sudah terpinggirkan.
Dalam tradisi pendidikan, orangtua Melayu Sambas sudah memulainya sejak
anak masih di dalam kandungan. Pendidikan pralahir ini masih berbentuk
pantang-larang kepada orangtuanya, terutama ibu yang sedang mengandung. Hampir
setiap ibu yang mengandung, mereka dilarang untuk marah-marah, mencaci-maki,
berbohong, berbicara semaunya, melamun, bermalas-malasan, banyak tidur,
berpakaian tidak sopan, makan dan minum yang tidak halal. Selain itu, suami
atau istri yang sedang hamil juga dilarang untuk menyembelih hewan, bersedih,
melilitkan handuk atau sejenisnya di leher, tidak makan kulit sapi dan kulit
ikan pari, terong asam maupun rebung. Ketika ingin berpergian pada malam hari,
mereka harus membawa alat seperti paku, pisau atau sejenisnya, membawa
puntongan kayu yang masih ada apinya, dan memakai tapih kain berwarna hitam.
Jika dilihat sepintas, sepertinya larangan-larangan tersebut tidak ada
kaitannya dengan pendidikan anak di dalam kandungan, namun bila digali makna
dan nilai pendidikan yang tersirat di dalamnya, ternyata orangtua dari pasangan
yang mengandung tersebut dikehendaki agar selalu menjaga diri dan tidak melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang
bertentangan dengan norma agama dan masyarakat Sambas pada umumnya. Orangtua pada masa lalu sadar betul bahwa apa yang
dilakukan oleh ibu yang sedang mengandung tersebut bisa diwarisi oleh
anaknya ketika sudah lahir. Kesadaran orangtua ini cukup beralasan, karena bila
disandarkan dalam agama, anak sudah dapat dididik sejak berusia lima bulan di
dalam kandungan, sebab pada usia empat bulan, janin sudah dikaruniai potensi pendengaran,
penglihatan dan hati (QS. As-Sajdah [32]: 9). Menurut para ilmuwan, pada usia
lima bulan ini anak sudah bisa mendengar, melihat dan merasakan perbuatan atau
perkataan ibunya. Ketika di dalam kandungan, janin sudah berfungsi seperti piringan
hitam atau blueprint yang siap untuk merekam setiap rangsangan yang
diterimanya dan yang paling dekat serta aktif memberikan rangsangan adalah
ibunya. Bahkan menurut hasil riset John Beck (1994), janin bisa mengalami
peningkatan kecerdasan otak, keteguhan pendirian dan komunikasi yang baik setelah
ia lahir bila ibunya berperilaku, berkata dan menjaga diri dengan baik saat
kehamilannya. Penelitian serupa juga dilakukan Panthuraamphorn di Hua Chiew
General Hospital, Bangkok Thailand pada anak pralahir, dan hasilnya bahwa bayi
yang diberikan stimulasi pralahir sangat cepat mahir dalam berbicara, menirukan
suara, menyebutkan kata pertama, tersenyum secara spontan, mampu menoleh ke
arah suara orangtuanya, lebih tanggap pada musik, dan juga mengembangkan pola
sosial lebih baik saat ia dewasa.
Berdasarkan dalil dan hasil riset di atas, maka cukup beralasan bagi
orangtua Melayu Sambas untuk menjaga dan memberikan pendidikan terbaik kepada
anaknya sejak dalam kandungan. Namun sangat disayangkan pada generasi millenial
saat ini, tradisi pantang larang saat kehamilan dinilainya sudah usang, tidak
relevan dengan perkembangan zaman, bahkan tidak sedikit yang menghukuminya
syirik atau bid’ah tanpa mau mengetahui
dasar dalil dan menggali nilai pendidikan yang tersirat di dalamnya.
Padahal, dari tradisi pendidikan pralahir ini, sedikit banyaknya sudah
berkontribusi positif dalam melahirkan
ulama-ulama Sambas tempoe doeloe. (Insya Allah tulisan ini akan
bersambung ke: Tradisi Pendidikan Anak Usia 0-1 Tahun dalam
Keluarga Melayu Sambas).
No comments:
Post a Comment