Banyak orang Islam yang antipati pada tashawwuf, tapi tidak sedikit juga
kelompok orang-orang yang sangat mengagungkan tashawwuf bahkan tarekat. Sebagai
seorang Muslim yang mencintai ilmu, kita harus memahami secara kritis apa dan
bagaimana tashawwuf dan tarekat tersebut, sehingga kita bisa menyikapinya
secara proporsional.
Hati merupakan suatu hal yang selalu dibahas dan dibicarakan dalam ajaran tashawwuf,
dan inilah yang selalu menjadi objek kajian, tema sentral tashawwuf.
Hati harus selalu diasah dan dipertajam untuk menerima pancaran nur
Ilahi melalui zikrullah dan amal shaleh lainnya, karena bila hati itu
kotor, ia tidak akan dapat menerima pancaran nur Allah SWT. Namun
apabila hati itu bersih, ia bening laksana kaca, niscaya ia akan mampu menerima
pancaran nur Allah dan dapat pula memantulkan cahayanya, disaat hati
bersih bening laksana kaca, maka akan terbukalah baginya hijab (tabir)
dan muncul musyahadah (menyaksikan), mukasyafah (terbuka
hijab), ma’rifat (mengenal Allah) dan tersingkaplah baginya segala
rahasia-rahasia alam gaib.
Tashawwuf pada hakikatnya adalah ajaran tentang latihan untuk pengendalian
diri (mujahadah an-nafs) sehingga manusia mencapai akhlak yang baik,
yakni jiwa yang taqarrub (dekat kepada Allah) dan ma’rifatullah (mengenal/mengetahui
Allah dengan ilmu). Bagi Imam al-Ghazali, juga bagi para ulama, tashawwuf yang
benar adalah tashawwuf yang berlandaskan dalil Al-Qur’an dan Hadits. Oleh
karena itu, segala ajaran tashawwuf yang tidak memiliki rujukan yang absah
dianggap sebagai ajaran yang diada-adakan, dan itu bathil (batal, tidak diterima).
Pada abad kedua hijriyah, di masa dinasti Umayyah, wilayah kekuasaan Islam
sangatlah luas mencakup seluruh jazirah Arab, sebagian Eropa Timur termasuk
Spanyol, bahkan sampai ke pintu gerbang Wina. Umat Islam bukan menjajah, tetapi
menjadikan wilayah-wilayah baru itu sebagai kekuasaan otonomi yang menginduk
kepada pusat. Negara-negara Islam menjadi kaya raya. Akan tetapi ada akibat
lain yakni banyak para pejabat negara dan sebagian umat Islam terkena penyakit “wahan”
yaitu bersikap materialistik dan individualistik. Penyakit ini terus merambah
kepada sebagian ulama. Ulama-ulama lain yang ingin mempertahankan hidup zuhud
(tidak terpedaya pada dunia) sebagaimana Nabi SAW dan para sahabatnya, merasa
khawatir terkontaminasi atau salah kaprah oleh penyakit “wahan” ini,
lantas pergi jauh ke luar kota. Mereka hijrah ke tempat terpencil untuk menjauhi
glamour dunia, ini disebut uzlah. Di tempat terpencil ini, mereka
melatih diri untuk hidup sederhana atau hidup zuhud. Mereka melepaskan
pakaian-pakaian yang mewah dan menggantinya dengan pakaian yang sangat
sederhana yang terbuat dari bulu-bulu domba. Bulu domba itu bahasa Arabnya shuf,
maka disebutlah kaum Sufi. Sedangkan ajaran tentang bagaimana cara hidup
sederhana atau hidup zuhud disebut tashawwuf. Jadi, Sufi adalah orangnya,
sedangkan tashawwuf adalah ajarannya.
Asal Usul Kata Tashawwuf
Terjadi perbedaan pendapat para peneliti mengenai asal-usul kata tashawwuf,
termasuk orang-orang sufi sendiri. Asy-Syibli pernah ditanya, “kenapa
orang-orang sufi dinamakan sufi”? Asy-Syibli menjawab: “nama yang diberikan kepada
mereka diperdebatkan asal-usul dan sumber pengambilannya”. Orang-orang sufi
sendiri berbeda pendapat tentang asal-usul kata sufi hingga sekarang.
At-Thusi Abu Nashr As-Siraj menukil dalam bukunya yang menjadi referensi
sufi terklasik dari seorang sufi bahwa: “Pada awalnya kata sufi adalah shawafi
karena pengucapannya dirasakan sulit, maka dikatakan sufi”. Hal yang sama
dinukil Ath-Thusi dari Abu Al Hasan Al-Kanad yang berkata: “Kata sufi diambil
dari kata ash-shafa (kejernihan)”.
Kata tashawwuf tidak dikenal di zaman Rasulullah. Ada yang mengatakan
bahwa kata tashawwuf (sufi) tidak dikenal hingga tahun 200 Hijriyah. Abdurrahman
Al-Jami menegaskan: “Abu Hasyim Al-Kufi adalah orang yang pertama kali
dipanggil dengan sebutan sufi, dan sebelumnya tidak ada seorang pun yang diberi
gelar dengan nama tersebut. Adapun orientalis yang menulis tashawwuf, seperti
Nichelson, ia berpendapat bahwa kata tashawwuf pertama kali diberikan kepada
Abu Hasyim Al-Kufi (meninggal pada tahun 150 H).
Harun Nasution menyebutkan paling tidak ada lima istilah yang berkenaan
dengan tashawwuf, antara lain:
1. Shafa (suci). Disebut shafa
karena kesucian batin kaum sufi dan kebersihan tindakan dan keikhlasannya.
2. Shaff (berisan) karena kaum sufi
mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas dan senantiasa memilih barisan yang
paling depan dalam shalat berjama’ah.
3. Theosophi (Yunani: theo
= Tuhan; shopos = hikmah atau kearifan ketuhanan.
4. Shuffah (serambi
tempat duduk), yakni serambi masjid Nabawi di Madinah yang disediakan untuk
orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dari kalangan Muhajirin di masa
Rasulullah. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena
di serambi masjid itulah mereka bernaung.
5. Shuf (bulu domba); hal ini disebabkan
kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar. Sebagai lambang
akan kerendahan hati mereka, juga untuk menghindari sikap sombong dihatinya.
Selain itu juga untuk menenangkan jiwa serta meninggalkan usaha-usaha yang
bersifat duniawi. Syuhrawardi juga berkata bahwa mereka berkumpul di masjid
Madinah, seperti halnya orang sufi berkumpul di Zawiyah dan Ribath.
Mereka tidak bergerak untuk berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup.
Rasulullah sendiri membantu mereka untuk memperhatikan dan memberi bantuan
kepadanya.
Banyak sekali pendapat asal usul kata tashawwuf, pendapat yang paling kuat
dan paling dekat dengan akal ialah pendapat bahwa sufi diambil dari kata ash-shuf
(wol) dan mutashawwif (orang tashawwuf) juga diambil dari kata tersebut,
karena dikatakan tashawwafa, jika orang tersebut mengenakan ash-shuf
(wol).
Makna dan
Definisi Tashawwuf
Para pakar tashawwuf berbeda-beda dalam memaknai dan mendefinisikan tashawwuf,
disebabkan latar belakang pengkajian dan sudut pandang yang beraneka ragam,
namun pada hakikatnya adalah satu tujuan, yaitu menjelaskan makna dan tujuan tashawwuf
secara benar dan mudah dipahami oleh pengikutnya. Banyak sekali para ahli tashawwuf
memberikan ta’rif dan definisi tentang tashawwuf, diantaranya:
1. Imam Junaid al-Baghdadi mendefinisikan tashawwuf sebagai “mengambil setiap
sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
2. Syaikh Ma’ruf bin Al-Faizan Abu Mahfudh Al-Abid yang terkenal dengan
sebutan Al-Karkhi berkata: “Tashawwuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan
dari segala sesuatu yang ada pada tangan makhluk”.
3.
Syaikh Abul Faidl Dzunnun Al-Mishri, berkata: “Sufi adalah orang yang
tidak payah karena mencari dan tidak susah karena musnahnya milik”.
4.
Ibnu Khaldun: “Tashawwuf merupakan semacam ilmu syari’at yang timbul
kemudian di dalam agama, asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertaliannya
dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan
duniawi serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak,
kelezatan harta benda dan kemegahan serta menyendiri menuju jalan Tuhan dalam
khalwat dan ibadat”.
5.
Syaikh Ahmad Zorruq dari Maroko, mendefinisikan tashawwuf sebagai ilmu
yang dengannya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi
Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan Islam, khususnya fiqih
dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya
dalam batas-batas syariat Islam supaya kebijaksanaan menjadi nyata.
6. Syaikh Abu Muhammad Al-Jariri: “Masuk dalam setiap moral yang luhur dan
keluar dari setiap moral yang rendah”.
7. Ja’far Al-Khalidi: “Tashawwuf itu memusatkan jiwa dalam beribadah dan keluar
dari kemanusiaan serta memandang pada Al-Haq secara menyeluruh”.
8. Syaikh as-Suyuthi berkata: “Sufi adalah orang yang bersiteguh di dalam
kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk”.
Dengan demikian bisa disimpulkan secara sederhana bahwa tashawwuf itu
adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah)
untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan
(taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi
seseorang hanya tertuju kepadaNya.
Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tashawwuf adalah
bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam
juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini,
agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, di dunia dan
akhirat. Oleh karena itu, siapa saja boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang
berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh
rezeki dan nikmat lainnya tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya
yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.
Penulis: Jayadi Muhammad Zaini, MA
Bersambung...
No comments:
Post a Comment