Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Memahami Arti dan Definisi Tashawwuf yang Sebenarnya


Banyak orang Islam yang antipati pada tashawwuf, tapi tidak sedikit juga kelompok orang-orang yang sangat mengagungkan tashawwuf bahkan tarekat. Sebagai seorang Muslim yang mencintai ilmu, kita harus memahami secara kritis apa dan bagaimana tashawwuf dan tarekat tersebut, sehingga kita bisa menyikapinya secara proporsional.

Hati merupakan suatu hal yang selalu dibahas dan dibicarakan dalam ajaran tashawwuf, dan inilah yang selalu menjadi objek kajian, tema sentral tashawwuf. Hati harus selalu diasah dan dipertajam untuk menerima pancaran nur Ilahi melalui zikrullah dan amal shaleh lainnya, karena bila hati itu kotor, ia tidak akan dapat menerima pancaran nur Allah SWT. Namun apabila hati itu bersih, ia bening laksana kaca, niscaya ia akan mampu menerima pancaran nur Allah dan dapat pula memantulkan cahayanya, disaat hati bersih bening laksana kaca, maka akan terbukalah baginya hijab (tabir) dan muncul musyahadah (menyaksikan), mukasyafah (terbuka hijab), ma’rifat (mengenal Allah) dan tersingkaplah baginya segala rahasia-rahasia alam gaib.

Tashawwuf pada hakikatnya adalah ajaran tentang latihan untuk pengendalian diri (mujahadah an-nafs) sehingga manusia mencapai akhlak yang baik, yakni jiwa yang taqarrub (dekat kepada Allah) dan ma’rifatullah (mengenal/mengetahui Allah dengan ilmu). Bagi Imam al-Ghazali, juga bagi para ulama, tashawwuf yang benar adalah tashawwuf yang berlandaskan dalil Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, segala ajaran tashawwuf yang tidak memiliki rujukan yang absah dianggap sebagai ajaran yang diada-adakan, dan itu bathil (batal, tidak diterima).

Pada abad kedua hijriyah, di masa dinasti Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sangatlah luas mencakup seluruh jazirah Arab, sebagian Eropa Timur termasuk Spanyol, bahkan sampai ke pintu gerbang Wina. Umat Islam bukan menjajah, tetapi menjadikan wilayah-wilayah baru itu sebagai kekuasaan otonomi yang menginduk kepada pusat. Negara-negara Islam menjadi kaya raya. Akan tetapi ada akibat lain yakni banyak para pejabat negara dan sebagian umat Islam terkena penyakit “wahan” yaitu bersikap materialistik dan individualistik. Penyakit ini terus merambah kepada sebagian ulama. Ulama-ulama lain yang ingin mempertahankan hidup zuhud (tidak terpedaya pada dunia) sebagaimana Nabi SAW dan para sahabatnya, merasa khawatir terkontaminasi atau salah kaprah oleh penyakit “wahan” ini, lantas pergi jauh ke luar kota. Mereka hijrah ke tempat terpencil untuk menjauhi glamour dunia, ini disebut uzlah. Di tempat terpencil ini, mereka melatih diri untuk hidup sederhana atau hidup zuhud. Mereka melepaskan pakaian-pakaian yang mewah dan menggantinya dengan pakaian yang sangat sederhana yang terbuat dari bulu-bulu domba. Bulu domba itu bahasa Arabnya shuf, maka disebutlah kaum Sufi. Sedangkan ajaran tentang bagaimana cara hidup sederhana atau hidup zuhud disebut tashawwuf. Jadi, Sufi adalah orangnya, sedangkan tashawwuf adalah ajarannya.

Asal Usul Kata Tashawwuf

Terjadi perbedaan pendapat para peneliti mengenai asal-usul kata tashawwuf, termasuk orang-orang sufi sendiri. Asy-Syibli pernah ditanya, “kenapa orang-orang sufi dinamakan sufi”? Asy-Syibli menjawab: “nama yang diberikan kepada mereka diperdebatkan asal-usul dan sumber pengambilannya”. Orang-orang sufi sendiri berbeda pendapat tentang asal-usul kata sufi hingga sekarang.

At-Thusi Abu Nashr As-Siraj menukil dalam bukunya yang menjadi referensi sufi terklasik dari seorang sufi bahwa: “Pada awalnya kata sufi adalah shawafi karena pengucapannya dirasakan sulit, maka dikatakan sufi”. Hal yang sama dinukil Ath-Thusi dari Abu Al Hasan Al-Kanad yang berkata: “Kata sufi diambil dari kata ash-shafa (kejernihan)”.

Kata tashawwuf tidak dikenal di zaman Rasulullah. Ada yang mengatakan bahwa kata tashawwuf (sufi) tidak dikenal hingga tahun 200 Hijriyah. Abdurrahman Al-Jami menegaskan: “Abu Hasyim Al-Kufi adalah orang yang pertama kali dipanggil dengan sebutan sufi, dan sebelumnya tidak ada seorang pun yang diberi gelar dengan nama tersebut. Adapun orientalis yang menulis tashawwuf, seperti Nichelson, ia berpendapat bahwa kata tashawwuf pertama kali diberikan kepada Abu Hasyim Al-Kufi (meninggal pada tahun 150 H).

Harun Nasution menyebutkan paling tidak ada lima istilah yang berkenaan dengan tashawwuf, antara lain:

1.  Shafa (suci). Disebut shafa karena kesucian batin kaum sufi dan kebersihan tindakan dan keikhlasannya.
2.    Shaff (berisan) karena kaum sufi mempunyai iman kuat, jiwa bersih, ikhlas dan senantiasa memilih barisan yang paling depan dalam shalat berjama’ah.
3. Theosophi (Yunani: theo = Tuhan; shopos = hikmah atau kearifan ketuhanan.
4.   Shuffah (serambi tempat duduk), yakni serambi masjid Nabawi di Madinah yang disediakan untuk orang-orang yang belum mempunyai tempat tinggal dari kalangan Muhajirin di masa Rasulullah. Mereka biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi) karena di serambi masjid itulah mereka bernaung.
5.  Shuf (bulu domba); hal ini disebabkan kaum sufi biasa menggunakan pakaian dari bulu domba yang kasar. Sebagai lambang akan kerendahan hati mereka, juga untuk menghindari sikap sombong dihatinya. Selain itu juga untuk menenangkan jiwa serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Syuhrawardi juga berkata bahwa mereka berkumpul di masjid Madinah, seperti halnya orang sufi berkumpul di Zawiyah dan Ribath. Mereka tidak bergerak untuk berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup. Rasulullah sendiri membantu mereka untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepadanya.

Banyak sekali pendapat asal usul kata tashawwuf, pendapat yang paling kuat dan paling dekat dengan akal ialah pendapat bahwa sufi diambil dari kata ash-shuf (wol) dan mutashawwif (orang tashawwuf) juga diambil dari kata tersebut, karena dikatakan tashawwafa, jika orang tersebut mengenakan ash-shuf (wol).

Makna dan Definisi Tashawwuf

Para pakar tashawwuf berbeda-beda dalam memaknai dan mendefinisikan tashawwuf, disebabkan latar belakang pengkajian dan sudut pandang yang beraneka ragam, namun pada hakikatnya adalah satu tujuan, yaitu menjelaskan makna dan tujuan tashawwuf secara benar dan mudah dipahami oleh pengikutnya. Banyak sekali para ahli tashawwuf memberikan ta’rif dan definisi tentang tashawwuf, diantaranya:

1. Imam Junaid al-Baghdadi mendefinisikan tashawwuf sebagai “mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah”.
2.   Syaikh Ma’ruf bin Al-Faizan Abu Mahfudh Al-Abid yang terkenal dengan sebutan Al-Karkhi berkata: “Tashawwuf adalah mencari hakikat dan meninggalkan dari segala sesuatu yang ada pada tangan makhluk”.
3.      Syaikh Abul Faidl Dzunnun Al-Mishri, berkata: “Sufi adalah orang yang tidak payah karena mencari dan tidak susah karena musnahnya milik”.
4.      Ibnu Khaldun: “Tashawwuf merupakan semacam ilmu syari’at yang timbul kemudian di dalam agama, asalnya ialah bertekun beribadah dan memutuskan pertaliannya dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan duniawi serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda dan kemegahan serta menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadat”.
5.      Syaikh Ahmad Zorruq dari Maroko, mendefinisikan tashawwuf sebagai ilmu yang dengannya anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam supaya kebijaksanaan menjadi nyata.
6.  Syaikh Abu Muhammad Al-Jariri: “Masuk dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah”.
7.  Ja’far Al-Khalidi: “Tashawwuf itu memusatkan jiwa dalam beribadah dan keluar dari kemanusiaan serta memandang pada Al-Haq secara menyeluruh”.
8.  Syaikh as-Suyuthi berkata: “Sufi adalah orang yang bersiteguh di dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk”.

Dengan demikian bisa disimpulkan secara sederhana bahwa tashawwuf itu adalah suatu sistem latihan dengan kesungguhan (riyadlah-mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan memperdalam kerohanian dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, sehingga dengan itu maka segala konsentrasi seseorang hanya tertuju kepadaNya.

Dengan pengertian seperti itu, maka dapat dikatakan bahwa tashawwuf adalah bagian dari ajaran Islam, karena ia membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, siapa saja boleh menyandang predikat mutasawwif sepanjang berbudi pekerti tinggi, sanggup menderita lapar dan dahaga, bila memperoleh rezeki dan nikmat lainnya tidak lekat di dalam hatinya, dan begitu seterusnya yang pada pokoknya sifat-sifat mulia, dan terhindar dari sifat-sifat tercela.



Penulis: Jayadi Muhammad Zaini, MA

Bersambung...



«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: