Masjid Jami' Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas |
Dr. Zulkifli
Dosen IAIN Pontianak
Abstrak
Studi
tentang pembaharuan Islam di Indonesia hingga saat ini belum beranjak dari
kawasan Pulau Jawa dan Sumatera. Tentu ini tidak berarti bahwa di kawasan lain
di Indonesia tidak ada gerakan pembaharuan. Hal ini terbukti bahwa di Kerajaan
Sambas, Kalimantan Barat pernah melahirkan seorang sosok pembaharu, yaitu Haji
Moehammad Basioeni Imran. Ia adalah Maharaja Imam di Kerajaan Sambas yang
pernah berguru langsung ke dua ulama pembaharu terkemuka dunia Islam, yaitu
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau dan Muhammad Rasyid Ridha. Dalam skala lokal
Kalimantan Barat, khususnya di Sambas, peran Haji Moehammad Basioen Imran
sangat penting dalam upaya melakukan pembaharuan. Sebagai pejabat kerajaan,
Basioeni Imran memiliki keleluasaan untuk melakukan berbagai perubahan untuk
memajukan umat Islam, khususnya di dunia pendidikan. Di bidang ini beliau telah
melakukan modernisasi Madrasah al-Sulthaniyah milik Kerajaan Sambas. Ide-ide
pembaharuan juga disebarluaskan melalui karya-karya tulisnya yang bisa
dikatakan cukup banyak. Tercatat ada 17 buah buku yang telah ditulis oleh
Basioeni Imran. Dari sejumlah karyanya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran
pembaharuan yang diusung Basioeni Imran adalah meneruskan ide pembaharuan Ibu
Taimiyah dan dan Rasyid Ridha. Siapa dan apa saja karya-karya Basioeni Imran
akan dijelaskan dalam tulisan ini.
Kata-kata Kunci: Basioeni Imran, Maharaja Imam,
Pembaharu.
A. Pendahuluan
“Mengapa kaum muslimin mundur dan
mengapa kaum selain mereka maju (Limaza taakhkharal muslimun wa limaza
taqaddama ghairuhum)?”[1]
Inilah pokok pertanyaan sangat penting yang disampaikan oleh Haji Moehamad Basioeni
Imran (selanjutnya ditulis Basioeni Imran) melalui sebuah surat yang dikirimkan
kepada Syekh Muhammad Rasyid Ridha[2].
Pertanyaan tersebut oleh Rasyid Ridha
dikirimkan kepada Al-Amir Syakib Arsalan di Lausanne, dengan harapan agar diberikan
jawaban yang memuaskan. Oleh Syakib Arsalan pertanyaan penting tersebut dijawab
dengan panjang lebar, berlandaskan ayat al-Quran dan Hadis Nabi.
Jawaban-jawaban ini diberikan kepada Rasyid Ridha. Basioeni Imran minta agar
jawaban atas pertanyaannya dimuat dalam majalah al-Manar, dengan tujuan agar
dapat dibaca dan diketahui oleh para pembaca di seluruh dunia Islam.
Selanjutnya jawaban-jawaban Syakib Arsalan ini diterbitkan, oleh Rasyid Ridha
melalui percetakan al-Manar, dalam sebuah buku dengan kata pengantar dan beberapa
komentar dari Rasyid Ridha sendiri. Buku yang berjudul Limazaa Taakkhar al-Muslimun wa Limaza
Taqadama Ghairuhum ini selanjutnya diterjemahkan oleh K.H. Munawar Khalil
dengan judul Mengapa Kaum Muslim Mundur.
Pertanyaan yang diajukan oleh Basioeni Imran jelas bukan
pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Ini terbukti secara khusus Rasyid Ridha
harus meminta kepada Al-Amir Syakib Arsalan untuk menjawabnya. Jawaban yang
diberikan juga tidak singkat, bahkan harus dijawab dengan 19 seri artikel
jawaban[3].
Pertanyaan ini selain menunjukkan kegelisahan terhadap kondisi umat Islam pada
saat itu, juga sekaligus menunjukkan kualitas diri penanya sebagai seorang
ulama terkemuka saat itu di Kerajaan Sambas. Kualitas keulamaan Basioeni Imran
dapat dilihat baik dari sisi pendidikan yang dilaluinya, karya-karya yang
dihasilkan, maupun peran sosial politik yang dilakoninya selama hidup.
Dari aspek pendidikan, Basioeni Imran adalah salah seorang
murid dari dua tokoh ulama terkemuka yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (di
Makkah, Arab Saudi) dan juga Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (di Mesir).
Karya-karya yang dihasilkan oleh Basioeni Imran juga banyak, tercatat ada 12
kitab (karya sendiri, terjemahan, petikan kitab-kitab) yang mencakup bidang
ilmu tauhid, fikih, sejarah, dan ilmu hisab. Sementara di bidang sosial politik
Basioni Imran dipercayai oleh pihak Kerajaan Sambas sebagai Maharaja Iman[4]
dan melakukan modernisasi Madrasah Al-Sulthaniyah. Pada Pemilu tahun 1955
Basioni Imran juga terpilih sebagai anggota Konstituante dari Partai Masyumi.
Studi-studi tentang gerakan pembaharuan Islam[5]
di Indonesia hampir semuanya mengarahkan pandangan ke daerah Sumatera dan Jawa[6].
Nyaris tidak ada studi tentang gerakan pembaharuan Islam yang dilakukan di
daerah lain, misalnya di Kalimantan dan Sulawesi, khususnya lagi Kalimantan
Barat. Hal ini sedikit banyaknya akan berdampak pada pandangan bahwa di luar
Sumatera dan Jawa tidak ada ulama yang melakukan gerakan pembaharuan Islam,
padahal tidak demikian adanya. Oleh karena itu, studi tentang Basioeni Imran
sebagai tokoh pembaharu di Kerajaan Sambas layak untuk dilakukan khususnya
untuk mengisi kekosongan tersebut.
Terdapat
beberapa tulisan dan hasil penelitian yang mengulas kehidupan Basioeni Imran. Di antaranya adalah buku yang
ditulis oleh Mahrus Efendi[7], Muhammad Rahmatullah[8]
dan Erwin[9].
Hasil penelitian yang belum diterbitkan adalah penelitian A. Muis Ismail[10] dan Pabali Musa[11]. Sementara Gusti Mahyudin
Ardhi[12] menulis sebuah makalah yang
dipresentasikan di Brunei Darussalam. Penulis juga menemukan dua artikel
singkat yang ditulis oleh Wan Moh. Shaghir Abdullah[13] yang dimuat secara online.
Secara khusus ada beberapa alasan yang mendorong penulis
untuk melakukan studi dan menulis tentang Basioeni Imran. Pertama, sebagaimana
disebutkan di atas, Basioeni Imran berguru pada dua orang ulama yang relatif berbeda
corak pemikiran, yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau[14]
(ulama Sunni) dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha (ulama Salafiyah, penerus
ide-ide pembaharuan Al-Afghani dan Muhammad Abduh). Dengan demikian, pemikiran
dan pola gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran memadukan kedua
corak pemikiran tersebut. Kedua, Basioeni Imran adalah ulama yang produktif
menulis sebagai media untuk menularkan ide pembaharuannya ke tengah masyarakat.
Tentu saja karya-karyanya sangat penting untuk dikaji. Ketiga, dalam melakukan
gerakan pembaharuan Basioeni Imran menggunakan “kekuataan politik”, yaitu
memanfaatkan kedudukannya sebagai Maharaja Imam Kerajaan Sambas. Sebagai
pemegang otoritas tertinggi di bidang keagamaan di Kerajaan Sambas, Basioeni
Imran dengan leluasa dapat mengalirkan ide pembaharuannya melalui jalur resmi
kerajaan. Keempat, pengaruh pembaharuan yang dilakukan oleh Basioeni Imran
menunjukkan signifikansi di masyarakat Sambas hingga saat ini.
Tulisan ini membatasi diri hanya pada tiga hal yang
menyangkut Basioeni Imran yaitu: riwayat hidup, karya-karya yang dihasilkan dan
usaha pembaharuan yang dilakukannya di bidang pendidikan. Masih banyak hal yang
seharusnya diungkapkan, misalnya konteks sosial, politik, dan kehidupan
keagamaan yang melingkupi kehidupan Basioeni Imran. Namun karena keterbatasan
ruang maka dengan sangat terpaksa kajian tentang konteks tersebut tidak
dibahas. Kajian konteks ini penting untuk melihat latar belakang yang membentuk
diri Basioeni Imran. Hal penting lain yang juga tidak dimasukkan dalam tulisan
ini adalah kajian yang mendalam tentang benang merah pemikiran pembaharuan
Basioeni Imran. Tulisan ini dimaksudkan hanya sebagai pengenalan awal tentang
sosok seorang pemaharu Islam dari Sambas di kancah kajian ke-Islam-an di
Indonesia khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
B.
Riwayah Hidup Singkat Haji Mohammad Basioeni Imran
Haji Moehamad Basioeni
Imran adalah putra pertama (dari empat bersaudara) H. Imran Maharaja Imam bin
H. Muhammad Arif Maharaja Imam bin Imam
H. Nuruddin bin Imam Mustafa. Lahir pada tanggal 25 Zulhijjah 1302 H bersamaan
dengan tanggal 4 November 1883 di Sambas (Badran, tt: 8). Ibunya bernama Sa’mi,
wafat pada saat Basioeni Imran dan ketiga adiknya masih kecil. Mereka kemudian
diasuh oleh ibu tirinya bernama Badriyah (G.M. Ardhi, 2001: 4). Berdasarkan keterangan Badran (salah seorang
anak Basioeni Imran), saat berusia enam hingga tujuh tahun Basioeni Imran belajar
al-Quran dengan ayahnya sendiri dan kemudian disekolahkan pada Sekolah Rakyat
(SR), dan sejak saat itu beliau telah memahami ilmu Nahwu dan Sharaf (kaidah
bahasa Arab). Hal yang sama dikemukakan oleh Pijper[15] bahwa Basioeni Imran dalam suratnya
menjelaskan: “Pada waktu saya berumur 6 atau 7 tahun, ayah saya mengajar saya
membaca al-Quran dan menyekolahkan saya di Sekolah Rakyat (volkschool).
Kemudian saya diajari dasar-dasar nahwu dan sharaf, yaitu kitab al-Jurumiyah
dan Kaylani”. Selain belajar dengan ayahnya, Basioeni Imran juga belajar agama
kepada Haji Muhammad Djabir[16].
Di SR beliau hanya sekolah selama dua tahun, untuk selanjutnya masuk ke
Madrasah al-Sulthaniah dan belajar di sana selama 10 tahun.[17]
Setelah tamat mengaji
al-Quran dan sekolah di sekolah Melayu (Madrasah al-Sulthaniah) di Sambas, pada
tahun 1898 Basioeni Imran melanjutkan pelajaran agama Islamnya ke Mekkah.[18]
Selain untuk menuntut ilmu agama Islam, di Mekkah beliau juga melaksanakan
ibadah rukun Islam yang kelima, yaitu ibadah haji. Di Mekkah, selama lima tahun
Basioeni Imran belajar kepada beberapa orang guru yaitu Tuang Guru Umar Sumbawa,
Tuan Guru Usman Serawak, Syaikh Achmad Khatib Minangkabau dan Syaikh Ali Maliki
(Arab). Dari Tuan Guru Umar Sumbawa dan Tuang Guru Usman Serawak, Basioeni
Imran belajar ilmu Nahwu, Sharaf dan Fikih. Sementara dari Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau beliau belajar ilmu fikih. Selanjutnya ilmu bahasa Arab (Nahwu,
Sharaf, Ma'ani, Badi', Bayan), ilmu mantiq dan beberapa ilmu pengetahuan lain
seperti ushul fikih, tafsir serta ilmu tauhid beliau belajar dari Syaikh Ali Maliki (seorang Arab).[19]
Pada tahun 1324 H
beliau disuruh pulang ke Sambas oleh orang tuanya. Sejak pulang dari Mekkah
beliau secara rutin berlangganan majalah al-Manar.[20]
Selain itu beliau juga mempelajari berbagai kitab berbahasa Arab dari Mesir.[21]
Mulai tahun 1905 (setelah pulang dari Mekkah), Basioeni Imran diangkat oleh
Sultan Muhammad Tsafiuddin menjadi Imam pembantu di Masjid Jami’ (masjid
Istana) Sambas dan memberikan pelajaran agama Islam di Istana Sultan Sambas
kepada putri-putri dan ahli istana.
Setelah
tiga tahun mengabdi di Masjid Jami’ dan Istana Sultan Sambas, pada tahun 1908
Basioeni Imran berangkant ke Cairo Mesir ditemani oleh saudaranya H. Achmad
Fauzi Imran dan temannya H. Achmad Sood. Tujuan keberangkatannya adalah untuk
melanjutkan pelajaran agama Islamnya pada sekolah menengah al-Azhar di Cairo,
Mesir. Setelah menamatkan pendidikan di sekolah tersebut beliau melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Darudda’wah
wal Irsyad” yang didirikan oleh Muhammad Rasyid Ridha.[22]
Di samping belajar secara formal di kedua lembaga pendidikan tersebut, Basioeni
Imran dan saudaranya bersama beberapa mahasiswa lainnya dari juga belajar
secara privat kepada seorang ulama terkemuka dari Al-Azhar Sayyid Ali Surur
al-Zankaluni[23].
Dari Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni
Imran banyak belajar ilmu tasir dan ilmu tauhid. Menurut Badran[24]
di Mesir Basioeni Imran banyak menulis di majalah al-Manar dan surat kabar al-Ittihad
yang diterbitkan oleh para penuntut ilmu
di Mesir dengan pimpinan redaksi Muhammad Fadullah Suhaimi.
Pada bulan Sya’ban
1331 H/1913 Basioeni Imran kembali ke Sambas karena ayahnya sakit keras. Pada
tanggal 22 Ramadhan 1331 H/25 Agustus 1913 H. Maharaja Imam Haji Muhammad
Imran, sang ayah meninggal dunia. Setelah pulang dari Mesir, Basioeni Imran tetap mendalami kitab-kitab
fikih maupun kitab lainnya terutama tafsir al-Manar dan majalah al-Manar. Untuk meningkatkan kemampuannya, maka ia melatih diri dengan menulis
beberapa kitab dan/atau risalah dalam bahasa Arab. Di samping itu, ia juga
sering mengajukan pertanyaan tentang soal-soal agama melalui surat kepada
redaksi majalah al-Manar.[25]
Di antara pertanyaan yang diajukan adalah tentang kemunduran umat Islam dan
majunya kaum lain sebagaimana telah disebutkan pada bagian pendahuluan. Semua
itu telah memberikan arti dan pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan
keilmuan dan kegiatan Basioeni Imran di kemudian hari.
Setelah ayahnya wafat,
maka jabatan Maharaja Imam mengalami kekosongan. Selanjutnya dengan besluit Sultan
Muhammad Tsafiuddin tertanggal 9 November 1913, Basioeni Imran diangkat menjadi
Maharaja Imam, Qadli dan Mufti di Kerajaan Sambas[26]
menggantikan ayahnya. Jabatan sebagai Maharaja Imam ini diemban beliau hingga
masa kemerdekaan Indoensia, saat kerajaan Sambas secara otomatis tidak lagi
berfungsi secara politis-administratif. Di samping menjabat sebagai Maharaja
Imam, Qadli dan Mufti di Kerajaan Sambas, sejumlah jabatan lainya pernah
diemban oleh Basioeni Imran, antara lain:[27]
1.
Anggota
Plaatselijk Fonds Sambas dalam tahun 1920 (berdasarkan Besluit Residen Borneo
Barat).
2.
President
Mahkamah Raad Agama di Kerajaan Sambas sejak tanggal 30 Januari 1927
(berdasarkan Besluit Besturcommissie Kerajaan Sambas).
3.
Pengawas
bagi Sekolah Agama Islam di Sambas sejak 1918.
4.
Anggota
Rubbercommissie di Pontianak pada tahun 1934-1939 (berdasarkan Besluit Resident
Borneo Barat).
5.
Ketua
Perkumpulan Tarbiatul Islam Sambas tahun 1936-1950.
6.
Penghulu
Landgerecht (berdasarkan Besluit nomor 3 Resident Borneo Barat tgl. 5 Februari
1946).
7.
Adviseur
dari Zelfbestuurscommissie Sambas (berdasarkan Besluit nomor 57 Resident Borneo
Barat tgl. 20 Februari 1946.
8.
Ridder
in de Orde van Oranje Nassau (berdasarkan Besluit nomor 99 Ratu Wilhelmina tgl.
13 September 1946. .
9.
Anggota
Konstituante RI wakil Partai Masyumi Kalimantan Barat hasil Pemilu 1955
(berdasarkan Petikan Surat Keputusan Panitia Pemeriksaan No. 305/1956/K).
10.
Penata
Hukum Tk. I atau Ketua Pengadilan Agama Mahkamah Syariah Kalimantan Barat tahun
1966-1975.(G.M. Ardhi, 2001:5).
Pada tahun 1974 beliau
menderita penyakit darah tinggi selama dua tahun dan sempat dirawat di Rumah
Sakit Sungai Jawi Pontianak. Pada hari Senin tanggal 26 Juli 1976 Haji Moehamad
Basioeni Imran wafat di Pontianak dalam usia 93 tahun. Pada hari yang sama
jenazah beliau dibawa ke Sambas dan dimakamkan di Kampung Dagang Timur Sambas.
C.
Pembaharuan di Bidang Pendidikan
Salah satu langkah pembaharuan yang dilakukan oleh
Basioeni Imran adalah melakukan perubahan mendasar pada lembaga pendidikan
bentukan Kerajaan Sambas, Madrasah al-Sulthaniyah. Madrasah ini didirikan secara formal pada tahun 1916
oleh Sulthan Muhammad Tsafiuddin II. Pada masa-masa awal berdirinya, kurikulum
madrasah al-Sulthaniyah terbatas pada muatan pelajaran yang bersifat keagamaan.
Beberapa perubahan mendasar dilakukan oleh Basioeni Imran bersama Ahmad Fauzi
dan Abdurrahman Hamid sepulang menuntut ilmu dari Makkah dan Mesir.
Beberapa
perubahan mendasar yang dilakukan oleh Basioeni Imran adalah sebagai berikut.
Pertama, perubahan di bidang kurikulum. Di samping mempelajari kitab-kitab standar berbahasa Arab yang ditulis oleh pakar
dari Timur Tengah[28]
Basioeni Imran mulai memasukkan mata pelajaran umum seperti berhitung, membaca
dan menulis huruf Latin. Kedua, merubah madrasah yang hanya untuk kelangan
kerabat keraton selanjutnya menjadi lembaga pendidikan yang bisa diakses oleh
seluruh masyarakat, khususnya putra-putri di Sambas. Oleh karena itu, peran Madrasah
al-Sulthaniyah pun mulai berubah. Jika awalnya hanya berfungsi sebagai
institusi bagi transmisi ilmu, kemudian berkembang
sebagai wadah utama reproduksi ulama.
Sampai tahun 1930-an, madrasah ini menjadi lembaga pemberi otorisasi bagi seseorang
untuk menjadi pejabat agama di wilayah kerajaan Sambas.[29]
Perubahan
ketiga, yang lebih mendasar adalah merubah Madrasah al-Sulthaniyah menjadi sekolah
Tarbiatoel Islam sejak tangal 1 Juli 1936. Bahasa pengantar dalam proses
pembelajaran yang semula menggunakan bahasa Melayu lama dan aksara Arab Jawi
mulai diperbarui . Yaitu dengan memasukkan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar pada kelas 4-7, sementara kelas 1-3 tetap menggunakan bahasa Melayu.
Perubahan berikutnya adalah rekruitmen tenaga pendidik yang lebih profesional
dengan mendatangkan para guru dari luar daerah seperti dari Sumatera Barat
terutama perguruan al-Tawalib dan Perguruan Syafi’i di Kayu Tanam. Tenaga
pendidik yang datang dari Sumatera dan Jawa ini dimaksudkan agar dapat
memberikan nuansa baru, karena dari dua daerah ini perkembangan pendidikannya
mendahului daerah lain.[30]
Melanjutkan
perubahan kelembagaan, maka perubahan mendasar juga dilakukan pada aspek
kurikulum. Pada saat berbentuk Madrasah al-Sulthaniyah telah dilakukan
perubahan dengan memasukkan pelajaran berhitung dan baca tulis Latin. Perubahan
kurikulum kemudian berlanjut saat telah berubah menjadi Sekolah Tarbiatoel
Islam, yaitu dengan memasukkan mata pelajaran umum seperti ilmu sejarah,
berhitung, ilmu alam, ilmu tumbuhan, ilmu hewan, ilmu manusia, Bahasa Belanda
dan bahasa Indonesia, di samping ilmu-ilmu keislaman. Menurut Basioeni Imran,
ilmu pengetahuan umum adalah sarana penting untuk mengejar kemajuan. Meskipun
demikian, penguasaan ilmu-ilmu tersebut tidak menyebabkan seseorang tercerabut
dari akar keagamaannya.[31]
D.
Karya-karya Haji Mohammad Basioeni Imran
Semasa hidupnya Basioeni
Imran banyak menulis, baik yang telah dicetak maupun yang masih hasil ketikan
atau tulisan tangan di buku tulis. Berikut adalah beberapa karya Basioeni Imran.[32]
1.
Tarjamah Durus
al-Tarikh Syariat (Terjemah Pelajaran Sejarah Hukum Islam)
Kitab ini masih
merupakan manuskrip terjemahan ringkas kitab Durus al-Tarikh karangan Syaikh
Muhyiddin al-Khayyath, seorang ulama Beirut-Lebanon. Karya setebal 56 halaman
ini tidak dicetak dan mungkin satu-satunya buku utuh dan ditulisnya ketika
masih berada di Mesir.
Dalam
pendahuluan kitab Tarjamah
Durus al-Tarikh al-Syari’ah misalnya, Basioeni
Imran menyebut latar belakang penulisan kitab ini. Ia menjelaskan:[33]
Kemudian daripada itu maka adalah daripada [sebesar-besar] sebaik-baik
amal yaitu amal yang kembali manfaatnya dan faedahnya kepada kaumnya dan
anak-anak, agamanya dan bahasanya. Oleh karena itu kepinginlah saya akan amal
yang seperti itu maka jika tiada dapat sekaliannya jangan ditinggalkan
sekaliannya padahal bukanlah saya daripada ahli yang demikian dan bukanlah ini
masa bagi yang demikian itu karena adalah saya sekarang sedang menuntut ilmu
akan tetapi oleh ka[re]na yang tersebut itu tiadalah menegahkan oleh besar
pekerjaan itu.
Apakala
adalah ilmu tarikh itu daripada segala ilmu-ilmu yang besar faedahnya bagi tiap
manusia tetapi ialah ilmu yang wajib atasnya ia ketahui akan dia istimewanya
tarikh Nabi kita sallallahu alaihi wasallam dan tiada saya dapat sebuah kitab
dengan bahasa Melayu pada tarikh Nabi kita (saw) yang patut bagi anak-anak
bangsa kita Melayu memilihlah saya akan menterjemahkan kitab Durus al-Tarikh bagi yang alim Syekh Muhyiddin al-Khayyath, daripada ahli Beirut ke bahasa
Melayu. Adapun ini kitab empat bahagian yang pertama pada tarikh Nabi (saw).
Yang kedua pada tarikh al-Khulafaurrasyidin. Yang ketiga pada tarikh daulah
Amawiyah, dan yang keempat pada tarikh daulah Abbasiyah.
Dan kata pengarangnya itu dua bahagian lagi akan ia keluarkan. Maka
sesungguhnya pengarangnya itu telah izinkan kepada saya menterjemahkan sekalian
bahagian-bahagian kitab itu. Insya Allah akan saya terjemahkan akan bahagian
pertama itu melainkan di dalam waktu yang picik dan menyambar daripada waktu
bersenang.
2.
Bidayah al-Tawhid fi al-Ilm al-Tawhid (Dasar-dasar
ke-Esa-an Allah dalam Ilmu Tawhid).
Kitab ini ditulis pada
hari Rabu 13 Jumadil Awwal 1336 H (27 Maret 1918), terdiri dari 59 halaman. Dicetak oleh penerbitan al-Ahmadiyah Singapura
pada tahun yang sama. Kitab berbahasa Melayu ini mungkin merupakan karya
pertama Basioeni Imran yang dicetak di suatu penerbitan. Kitab setebal 59 halaman
ini memuat enam bab yang ditambah dengan daftar ralat, pengantar penulis,
pendahuluan, dan penutup.
Di dalam kata pengantarnya, Basioeni Imran menjelaskan bahwa kitab ini
merupakan saduran dari beberapa kitab, yaitu kitab al-Jawahir al- Kalamiyyah, karya al-‘Allamah Syaikh Tahir al-Jawazairi,
kitab Kalimat al- Tawhid karya al-‘Allamah Syaikh Husein Waaly al-Mishry,
dan kitab Kifayat
al-‘Awwam. Diakuinya kandungan kitab ini
sepenuhnya mengikuti isi kitab-kitab tersebut, sedangkan susunannya dan
sistematika pembahasannya disesuaikan dengan “perasaan” orang Melayu.
Dalam kitab Bidayat
al-Tawhid fi ‘Ilm al-Tawhid ini Basioeni
Imran menegaskan bahwa mempelajari pokok-pokok agama (usuluddin) secara garis besarnya adalah hukumnya wajib peorangan (fardhu ‘ain) bagi setiap ‘aqil baligh
(muslim dewasa) sedangkan
mempelajarinya secara rinci hukumnya wajib bagi orang banyak (fardhu kifayah). Kitab ini ditulis tidak saja menjelaskan pokok-pokok akidah Islam akan
tetapi juga untuk memurnikan dan meluruskan keyakinan dan amal keagamaan yang
menyimpang dari ajaran-ajaran syariat berdasarkan kepada al-Quran serta sunnah
yang sahih dan qath’i (bersifat pasti) .
3. Risalah Cahaya Suluh
Risalah Cahaya Suluh, Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh selesai
ditulis pada waktu Maghrib malam Jumat 22 Safar 1339 H (14 Oktober 1920 M).
Dicetak pada tahun yang sama di percetakan al-Ikhwan, Singapura.
Risalah Cahaya Suluh juga ditulis dalam edisi bahasa Arab dengan judul al-Nusus wa al-Baharin ‘ala Iqamat al-Jumu’ah bi mad
al-‘Arba’in, (“Beberapa
Nash dan Argumentasi tentang Mendirikan Shalat Jumat yang Kurang dari 40
Orang”). Dicetak di percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M.
Tujuan penulisan risalah Cahaya Suluh [34] ini dapat dilihat dari penjelasannya kepada Pijper pada tahun 1950. Basioeni
Imran menjelaskan:
“Di kerajaan Sambas orang jarang shalat Jumat, bahkan Masjid Agung di ibu
kota saja hanya dikunjungi oleh kurang lebih 500 orang; dan ini sangat sedikit
bagi suatu kota besar. Inilah yang menyebabkan hatinya tergugah untuk
memperkenalkan qawl qadim Syafi’i yang mengizinkan shalat Jumat dengan jama’ah
kurang dari empat puluh orang, namun demikian shalatnya tetap sah. Pendapat ini
dilaksanakan di Kerajaan Sambas dan tentang ini tidak pernah timbul pertentangan.”[35]
Dalam pengantarnya Basioeni Imran menjelaskan bahwa naskah ini ditulis
sebagai jawaban atas berbagai pertanyaan dan permintaan fatwa kepadanya tentang
hukum sah atau tidak shalat Jumat yang jamaahnya kurang dari empat puluh orang
serta bagaimana kedudukan shalat mua’dah (mengulanginya
dengan shalat Zuhur) setelah Jumat. Di samping itu banyak pula fatwa-fatwa liar
tentang masalah ini yang simpang siur dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat sehingga membingungkan mereka, bahkan kadang-kadang menimbulkan
perselisihan.
4. Zikr al-Maulid al-Nabawi (Mengingat Kelahiran Nabi)
Kitab Zikr
al-Maulid al-Nabawi[36] adalah karangan Muhammad Rasyid Ridha yang cukup
besar. Untuk itu lebih mudah memahaminya Basioeni Imran menerjemahkannya secara
ringkas.
Pada bagian pengantar kitab Zikr al-Maulid al-Nabawi ini Basioeni Imran menjelaskan:
“Maka adalah
di dalam beberapa tahun lalu saya menulis surat ke hadrat al-‘allamah al-muslih al-sayyid Muhammad Rasyid Ridha Sahib al-Mannar di Mesir mohon akan ditunjukkan kepada saya satu kitab atau risalah yang
patut dan bagus untuk menunjuki orang-orang muslimin kepada jalan kebenaran dan
kebagusan agama Islam untuk memanggil akan orang-orang asing kepada agama yang
mulia itu, dan saya berjanji dengan dia apabila ada itu kitab atau risalah maka
saya terjemahkan risalahnya (Zikr
al-Maulid al-Nabawi) ringkasan
perjalanan dan ceritera Nabi kita Muhammad SAW, maka saya pun terjemahkan mukhtasar-nya di dalam bulan Ramadan tahun 1374 [sekitar 1928] karena hendak
mengambil pendeknya.” Kandungan kitab ini memuat masalah acara memperingati
kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW, yaitu apakah hukumnya sebagai suatu
kegiatan mengada-ada yang baik (bid’ah hasanah) atau yang tercela (bid’ah
sayyi’ah).
5. Tazkir (Peringatan)
Judul lengkap kitab ini adalah Tazkir, Sabil al-Najah fi Tarikh al-Salah (Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang
Meninggalkan Sembahyang). Kitab ini selesai ditulis di Sambas pada hari Rabu, 9
Rabiul Awwal 1349 H (3 September 1930 M). Kemudian dicetak oleh percetakan
al-Ahmadiyah, Singapura, pada 23 Sya’ban 1349 H (12 Januari 1931 M).
Pemikiran Basioeni Imran dalam kitab Tadzkir[37]
(Peringatan) ini menarik untuk dilihat. Kata Tadzkir (memperingati,
mengingatkan, atau peringatan) di awal judul kitab ini merupakan tema pokok
keseluruhan isi kitab. Sasaran kitab ini adalah kepada tiga kelompok orang
Islam. Pertama, mengingatkan orang yang tidak mau shalat, dengan menunjukkan
betapa besarnya dosa orang yang tidak mau shalat. Kedua, mengingatkan orang
yang tidak tahu shalat, dengan mengemukakan syarat, rukun serta tata cara
shalat. Ketiga, mengingatkan orang yang belum sempurna shalatnya, dengan
menjelaskan perlunya tertib, khusyu’ dan mengerti serta memahami bacaan shalat.
Beberapa kitab yang dijadikan rujukan resmi Basioeni Imran dalam menulis
karya ini adalah: Kitab al-Zawajir
karangan Syekh Ibnu Hajar
al-Haitam, kitab al-Azhar karangan Imam Nawawi, majalah al-Mannar edisi 31, dan kitab Muhazzab.
6. Khulashah Sirah
al-Muhammadiyyah (Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad)
Kitab Khulashah
Sirah al-Muhammadiyyah adalah kitab
sejarah karangan Muhammad Rasyid Ridha. Basioeni Imran menambahkan kata-kata Hakikat
Seruan Islam pada judul terjemahannya. Terjemahan setebal 89 halaman ini
selesai ditulis setelah shalat Isya pada malam Ahad, 29 Sya’ban 1349 H / 18
Januari 1931 M. Kemudian dicetak oleh percetakan al-Ahmadiyah, Singapura, tahun
1351 H / 1931 M. Naskah
ketikan juga ditemukan yang berbahasa Melayu beraksara Latin, namun beberapa
halaman hilang.
Dalam pengantar kitab Khulashah
Sirah al-Muhammadiyyah[38] (Ringkasan Sejarah Hidup Muhammad) ini, Basioeni
Imran menyampaikan keterangan tentang penulisan kitab ini:
“Kemudian datang surat beliau (Muhammad Rasyid Rida) itu bertarikh 20
Jumadil Akhir 1349 bersamaan 11 Nopember 1930 jawab surat saya di dalam perkara
hendak menterjemahkan kitab-kitab ke dalam bahasa Melayu maka katanya: “Tuan
mulailah dengan menterjemahkan risalah kami (Khulasah Sirah Muhammadiyah) yang
ia pungut dari Zikr
al-Maulid serta tuan
sayyid itu kirim satu naskah kepada saya.”
Kandungan kitab ini memuat petunjuk bagi orang-orang Islam untuk tetap
berada pada jalan kebenaran dan kebaikan, mengajak orang lain untuk masuk
Islam. Di samping itu dimuat juga tafsir al-Quran. Kitab ini juga berbicara
masalah ushul (pokok-pokok akidah Islam). Di bagian akhir
kitab, penulis menambahkan keterangan tentang hukum maulid, apakah bid’ah yang baik atau yang jelek.
7. Nur al-Siraj fi Qissat
al-Isra’ wa al-Mi’raj (Cahaya Pelita pada Ceritera Isra’ dan Mi’raj)
Kitab ini ditulis oleh Basioeni Imran pada bulan Rajab 1334 H / 1916 M
yang selesai selama dua hari, kemudian direvisi pada hari Jumat, 23 Jumadil
Akhir 1357 H / 19 Agustus 1938 M. ditulis dengan huruf “Jawi” (Arab Melayu),
seluruhnya berjumlah 26 halaman.
Meskipun terkesan sederhana, harus diakui terdapat beberapa pemikiran yang
disebutnya ”hikmah dari Allah”, yang patut dihargai, yaitu pertama, menyodorkan
konsep malaikat mimpi yang membedakan mimpi dengan isra’ dan mi’raj. Dalam
mimpi ruh tidak pergi kemana-mana, akan tetapi malaikat mimpi yang mendatangkan
berbagai peristiwa yang dialami di dalam mimpi. Kedua, keberanian Basioeni
Imran dalam menetapkan bahwa shalat wajib yang dikehendaki Allah sejak semula
adalah lima kali.
8. Al-Janaiz (Kitab Jenazah)
Kitab al-Jana’iz
ditulis oleh Basioeni Imran di
Sambas pada masa pemerintahan Jepang. Selesai ditulis di Sambas pada 15 Rabiul
Awwal 1362 H/1943 M (kalender Jepang: 21 Sigitsu 2603).
Dalam kitab berikutnya yaitu al-Jana’iz[39] (Kitab Jenazah) dibahas hal-ihwal kematian. Dalam
pembahasannya, Basioeni Imran menggunakan tiga pola. Pertama, bersandar kepada
keterangan al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, dan pendapat ulama terdahulu
terutama ulama mazhab Syafi’i. Kedua, merujuk kepada pemikiran-pemikiran
kontemporer pada masa itu terutama kepada pemikiran Muhammad Rasyid Ridha. Ketiga,
berijtihad sendiri setelah memperhatikan dan membandingkan berbagai pendapat
yang ada.
9. Irsyad al-Gilman fi Adab Tilawat al-Qur’an (Petunjuk Praktis untuk
Anak tentang Adab Membaca al-Quran)
Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada tanggal 5 Syawal 1352 (21
Januari 1934). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah
Singapura.
Kemudian kitab Irsyad
al-Gilman fi Adab Tilawat al-Qur’an[40] (Petunjuk Praktis tentang Adab Membaca al-Quran)
Dalam kata pengantar bukunya ia menjelaskan:
“Dan Quran
itu untuk beribadah dengan lafadz-lafadznya yakni dibaca akan dia baik pun di
dalam sembahyang atau di luar sembahyang dan paham akan maknanya atau tiada
maka semuanya itu diberi pahala atasnya asal dengan betul dan ikhlas akan
tetapi Quran itu diturunkan ialah supaya dibaca akan dia dengan betul dan
dipahamkan maknanya dan maksudnya karena di dalamnya hidayah (petunjuk) kepada
jalan kebajikan dunia dan akhirat dan cahaya yang sangat terang bagi segala
hati dan akal maka orang yang membaca Quran tiada paham akan maknanya dan
maksudnya sedikitlah bahagian daripadanya”.
Sistematika pembahasan kitab ini terdiri dari: Hukum menyentuh Mushaf;
Adab Membaca al-Quran antara lain meliputi: suci daripada najis dan hadats
(yakni tahir) dan suci batin dari sifat riya’ (keangkuhan) ‘ujub (rasa angkuh) dan sum’ah namun
sebaliknya harus ikhlas,
khusyu’ (penuh konsentrasi) tawaddu’ (rendah hati) dan khasyyah (takut kepada Allah ta’ala); Sunnah-sunnah yang
berkaitan dengan membaca al-Quran; dan perihal sujud tilawah.
10. Durus al-Tawhid (Pelajaran-Pelajaran tentang Tawhid)
Kitab ini selesai ditulis Basioeni Imran pada tanggal 20 Rajab tahun 1354
(18 Oktober 1935). Kemudian diterbitkan dan dicetak pada percetakan al-Ahmadiyah
Singapura. Menurut keterangan Basioeni Imran, karya ini merupakan terjemahan
dari kuliah-kuliah Muhammad Rasyid Rida.
Dalam pengantar kitab Durus
al-Tawhid [41] ini Basioeni Imran menjelaskan bahwa karya ini
merupakan terjemahan dari kuliah-kuliah Muhammad Rasyid Rida.
(‘Amma ba’du) adapun kemudian daripada itu, maka adalah kira-kira dalam
tahun 1329 atau 1330 (tahun Hijjrah) saya belajar di Madrasah Dar al-Dakwah wa
al-Irsyad di Mesir yang telah didirikan oleh Sayyid M. Rasyid Rida Sahib al-Mannar. Dan adalah beliau itu mengajarkan al-Quran dan pelajaran Tauhid (ushuluddin)
daripada barang yang dituliskan sendiri, maka setengah daripada murid-murid
madrasah (sekolah itu) ada menyalin pelajaran atau pengajian tauhid itu dan
saya dapat satu naskah daripadanya. Maka saya pandang bahwa pelajaran tauhid
yang diajarkan oleh tuan guru itu kepada kami sangat perlunya disiarkan di
antara orang muslimin sekalipun ia pendek karena ialah akidah atau i’tiqad yang
bersetuju dengan kitabullah (al-Quran) dan Sunnah Rasul-Nya Muhammad SAW
lagipun terlalu mudah memahamkannya.
Dan diadakan Madrasah Dar al-Dakwah wa al-Irsyad maksudnya ialah akan
mengeluarkan murid-murid yang cakap menunjukkan orang-orang muslimin kepada
agama Islam yang betul lagi bersih daripada khurafat dan bid’ah-bid’ah maka
sekalian pelajarannya demikian. Dari dan karena itu saya terjemahkan akan dia
dengan bahasa Melayu supaya dicapai faedahnya oleh anak-anak negeri saya
(Sambas Borneo Barat) dan saudara-saudara Islam di mana-mana negeri yang mengerti
Bahasa Melayu. Bertambah-tambah kuat kehendak saya akan menterjemahkannya ialah
bahwa saya dapat kabar bahwa tuan guru kami itu Sayyid Muhammd Rasyid Ridha
telah wafat (kembali ke rahmat Allah Ta’ala) di Mesir hari Kamis, 23 Jumadil
Awwal tahun 1354 ia dapat sakit keras terus meninggal di dalam otomobil. Ketika
ia kembali dari Negeri Swiss mengantarkan Amir Sa’ud bin Imam Abdul Aziz raja
Hijaz dan Nejd hendak berlayar pulang ke Makkah musyarrafah ialah tiada putus
pahala amalnya itu
Dan pelajaran ini teratur atas soal dan jawab, maka saya tulis S artinya
soal – pertanyaan – dan saya tulis J artinya jawab. Dan saya namai akan ini
risalah “Durus al-Tawhid al-Sayyid Muhammad Rasyid” dan ada jua saya
tambah-tambah di hasyiyah itu supaya terang. Maka saya harap akan Allah Ta’ala
beri manfaat dengan dia akan orang-orang yang membacanya dan mempelajarinya
dengan ikhlas dan bersih hati “sesungguhnya Dia maha mendengar doa”.
Dari
penjelasannya tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi yang mendorong Basioeni
Imran menterjemahkan kitab ini adalah pertama, menurutnya ilmu tauhid merupakan
ilmu yang wajib dipelajari, karena merupakan akidah yang bersumber dari
al-Quran dan hadis. Kedua, kesadaran akan kurangnya kitab-kitab tauhid yang
ditulis dalam bahasa Melayu. Ketiga, adanya keinginan untuk beramal jariyah di
bidang ilmu, agar ilmu dari gurunya tidak terputus.
Selain kitab
tersebut, ada juga kitab Khutbah Jumat,
Hari Raya Aidilfitri, Hari Raya Aidiladha dan Gerhana, ditulis
dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (khusus khutbah gerhana) dicetak oleh
Mathba'ah al-Ahmadiah, tanpa tahun.[42]
Beberapa kitab berikut ini informasinya
diperoleh dari keterangan Pijper[43]
berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Basioeni Imran kepadanya:
1. Daw’ al-Misbah fi Faskh al-Nikah (Cahaya Lampu Untuk
Membatalkan Nikah)
Kitab ini dicetak di Penang pada tahun 1938 M. Kandungan kitab ini
membahas suatu persoalan yang timbul dalam kehidupan beragama yaitu faskh nikah. Menurut Pijper, Basioeni Imran memberikan keterangan padanya bahwa kebiasaan
“taqliq”, yaitu talaq yang dikenakan persyaratan dan
diucapkan pada waktu upacara pernikahan dilangsungkan tidak dikenal di daerah
Sambas. Pembatalan pernikahan biasanya dilaksanakan dengan jalan fasakh (menyatakan
tidak berlaku lagi). Tentu saja harus ada alasan yang kuat untuk mengajukan faskh
dan ini harus diajukan kepada Maharaja Imam, beliaulah yang menangani semua
urusan yang berhubungan dengan faskh di seluruh
kerajaan Sambas.
2. Al-Nusus wa al-Barahin ‘ala Iqamat al-Jum’ah bimad al-Arba’in
(Beberapa
Dalil dan Argumentasi dalam Melaksanakan Shalat Jumat yang Kurang dari Empat
Puluh Orang)
Karya ini merupakan edisi bahasa Arab dari risalah Cahaya Suluh. Dicetak
oleh percetakan al-Manar Kairo tahun 1344 H / 1925 M.
3. Husn al-Jawab ‘an Isbat al-Ahillah bi al-Hisab (Molek Jawaban tentang
Menetapkan Awal Bulan Dengan Hitungan).[44]
4. Manhal al-Gharibin fi Iqamat al-Jumu’ah bi dun al-‘Arba’in (Pendapat Orang yang
Asing tentang Melaksanakan Shalat Jumat Kurang dari Empat Puluh Orang)
Risalah ini ditulis pada 14 Ramadan 1332 H / 1914 M. Mungkin tidak
diterbitkan karena menurut Basioeni Imran risalah ini masih berlanjut.
5. Al-Tazkirat Badi’ah fi Ahkam al-Jum’ah (Peringatan Bagi yang
Mengada-ada dalam Hukum Shalat Jumat)
Risalah ini merupakan kelanjutan risalah Manhal, ditulis dalam bahasa Arab
dan selesai ditulis pada 17 Muharram 1339 H / 1920 M. Menurut keterangan Basioeni
Imran risalah ini juga bersambung dan mungkin kitab yang menyempurnakannya
adalah kitab al-Nusus.
Selain karya-karya Basioeni Imran yang dipublikasi seperti tersebut di
atas, masih terdapat beberapa manuskrip yang belum sempat diterbitkan antara lain:
Tafsir Surat-surat Pendek, Tafsir Ayat Puasa, Penetapan Awal Bulan, terjemahan al-Umm al-Syafí, beberapa buku harian, dan sejumlah naskah kullijatul muballighin (1967). Salah satu naskah yang penulis temukan di museum di Sambas karya
Basioeni Imran adalah naskah ketikan berjudul
Al-Ibanatoe wal inshafoe fil masaailiddiniah wa izalati attafarruqi fiha wal
ichtilaaf (Menjatakan dan Menengahi (mengadili) pada
Masalah Agama dan Menghilangkan Berpetjah Belah dan Bersalah-salahan padanya) berbahasa Melayu beraksara Latin. Sepengetahuan penulis,
naskah ini belum dipublikasikan dan naskahnya masih utuh. Naskah ini sangat
penting untuk dipahami, khususnya jika ingin memahami pandangan-pandangan
Basioeni Imaran sebagai seorang pembaharu. Oleh karena itu, secara khusus
naskah ini akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.[45]
Naskah al-Ibanah diketik
dengan menggunakan aksara latin dan berbahasa melayu; kecuali ayat Al-Quran dan
Hadis Nabi ditulis dengan bahasa dan aksara Arab. Naskah diketik pada kertas
biasa tanpa cap kertas atau water mark berukuran 22,2 cm X 16 cm diketik pada
kedua sisi dengan jumlah halaman sebanyak 122 halaman. Secara umum naskah dalam
kondisi baik, kecuali sisi bawah naskah sudah dimakan rayap sehingga ada
beberapa tulisan di beberapa halaman yang hilang. Sebagaiana disebutkan di
atas, naskah ini tersimpan di Museum Tamadun Islam Nagri Sambas di kota Sambas.
Mengikuti pendapat
gurunya, Muhammad Rasyid Ridha, Basioeni Imran dalam naskah ini berupaya
menjelaskan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi siapa saja. Basieoni
Imran terkesan berupaya agak memperlunak syarat-syarat untuk menjadi seorang
mujtahid. Jelas terlihat bahwa Basioeni Imran tidak setuju dengan sikap taqlid
dan jumud yang menggejala di tubuh umat Islam. Karena sikap tersebut
mengarahkan umat untuk berselisih dan berpecah belah. Oleh karenanya perlu
diupayakan secara konseptual dan praktis untuk mengeluarkan umat Islam dari
perselisihan dan perpecahan. Dan naskah yang ditulis Basioeni Imran ini
mengambil posisi di sini.
Jika ditelaah
apa yang ditulis dalam naskah ini, terkesan bahwa Basioeni Imran cenderung pada
mazhab Ahmad bin Hanbal dan mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah. Hal ini dapat
dipahami mengingat ia adalah murid dari Muhammad Rasyid Ridha. Seperti yang
dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa Muhammad Rasyid Ridha masih terikat pada
pendapat-pendapat Ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah. Gerakan Muhammad bin Abd al-Wahab
karena semazhab ia sokong dengan kuat.[46]
Apakah Basioeni Imran juga cenderung kepada aliran Wahhabi, sebagaimana
gurunya, tidak dapat kita nyatakan secara pasti. Yang jelas, di dalam naskah
ini Basioeni Imran tidak senang umat Islam saling mengejek dengan memberi
gelar-gelar yang tidak pantas kepada saudaranya sesama muslim, termasuk
menyebut atau menggelari seseorang sebagai Wahhabi.
C. Penutup
Demikianlah
sekilas perjalanan hidup Basioeni Imran, seorang tokoh ulama di Kerajaan
Sambas. Dari sejarah singkat yang telah dipaparkan terungkap bahwa Basioeni Imran adalah ulama
yang telah mendapatkan didikan keagamaan dari para tokoh pembaharu Islam.
Ketika ia kembali ke kampung halamannya Sambas, maka ia merealisasikan ide
pembaharuannya dengan memperbaharui sistem pendidikan Madrasah al-Sulthaniyah
yang kemudian berkonsekuensi berubah menjadi Sekolah Tarbiatoel Islam. Untuk
menularkan ide-ide pembaharuannya, Basioeni Imran telah pula menghasilkan
banyak karya tulis, baik yang sudah diterbitkan dan beredar luas di masyarakat
maupun yang belum sempat diterbitkan dan diedarkan. Dari kajian awal ini dapat
dikatakan bahwa Basioeni Imran tergolong ulama pembaharu di dunia Islam,
khususnya di Sambas Kalimantan Barat. Hingga kini pengaruh pembaharuan yang
dilakukan oleh Basioeni Imran masih menampakkan hasilnya di masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. 2013. Muhammaad Basioeni Imran. Artikel
online dalam: http://mabmonline.org: Akses 10 September 2013.
A. Muis Ismail. 1993. Mengenal Muhammad Basioeni Imran.
Pontianak: FISIP UNTAN. (Laporan Penelitian).
-------. 2006. Basiyuni
Imran Maharaja Imam Sambas. Artikel online dalam: http://ulama-nusantara.blogspot.com:
Akses 25 Sepetember 2013.
Arsalan,
al-Amir Syakib. 1954. Mengapa Kaum Muslimin Mundur. (terj. Munawwar Chalil).
Jakarta: Bulan Bintang.
Azyumardi
Azra. 2002. Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal. Bandung: Mizan.
Badran bin M.
Basioeni Imaran, Mengenal: H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam Sambas, , (tt),
(Makalah koleksi pribadi), td.
Benda Harry J. 1958. The Crescent and The
rising Sun, Den Haag: Van Hoee; terjemahannya: 1980. Bulan Sabit dan Matahari
Terbit: Islam Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, Jakarta: Pustaka Jaya.
Deliar Noer. 1973. The
Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, New York: Oxford University
Press. Edisi Indonesia: 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:
LP3ES.
Erwin Mahrus. 2007. Falsafah
dan Gerakan Pendidikan Islam Maharaja Imam Sambas Muhammad Basioeni Imran
(1885-1976). Pontianak: STAIN Pontianak Press.
Erwin Mahrus, dkk. 2003. Shaykh
Ahmad Khatib Sambas: Sufi & Ulama Dikenal Dunia. Pontianak: Untan Press.
Esposito, John L. (ed.).
2002. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid 6. (terj. Eva Y.N.,
dkk.). Bandung: Mizan.
Gusti
Mahyuddin Ardhi. 2001. Muhammad Basioeni Imran 1883-1976 Maharaja Imam Kerajaan
Sambas Rekonstruksi Pemikiran Keagamaan dan Politik Kenegaraan. Kertas Kerja
yang disampaikan dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara XI di Bandar Sri Begawan
Brunai Darussalam, td.
Harun
Nasution. 2002. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press.
------. 2011.
Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Machrus Effendy. 1995. Riwayat Hidup dan
Perjuangan Maharaja Imam Sambas. Jakarta: Dian Kemilau.
Moehammad Basioeni
Imran. 1916. Tarjamah Durus al-Tarikh al-Syari’ah. (Manuskrip).
-------.1920. Bidayat al-Tawhid fi Ilmi al-Tawhid. Singapura: Matba’ah
al-Ahmadiyah.
-------. 1920. Cahaya Suluh, Pada Mendirikan Jum’at Kurang Daripada Empat
Puluh. Singapura: Matba’ah al-Ikhwan.
-------. 1931. Khulasah Sirat al-Muhammadiyah. Singapura: Matba’ah
al-Ahmadiyah.
-------. 1931. Tadzkir, Sabil al-Najah fi Tarik al-Salah (Jalan Kelepasan
pada Mengingati Orang yang Meninggalkan Sembahyang). Singapura: Matba’ah
al-Ahmadiyah.
-------,
1933. Al-Ibanatoe wal Inshafoe fil Masaailiddiniah wa Izalati Attafarruqi Fiha
wal Ichtilaaf. Sambas. (Naskah ketikan).
-------. 1934. Irsyad al-Ghilman fi Adab Tilawat al-Qur’an. Singapura:
al-Matba’ah al-Ahmadiyah.
-------.1935. Durus al-Tawhid. Singapura: al-Matba’ah al-Ahmadiyah.
-------. 1938. Nur al-Siraj fi Qissat al-Isra’ wa al-Mi’raj. Singapura:
Matba’ah al-Ahmadiyah.
-------. 1949. Kitab al-Janaiz. Tasikmalaya: Percetakan Galunggung.
-------.
1950. Daftar Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran. Sambas.
(Naskah ketikan).
Moh. Haitami
Salim, dkk. 2010. Sejarah Kerajaan Sambas. . Pontianak: STAIN Pontianak.
(Laporan Penelitian, td).
Muhammad Rahmatullah. 2003. Pemikiran Fiqh
Maharaja Imam Kerajaan Sambas Basioeni Imran (1885-1976). Pontianak: Bulan
Sabit Press.
Pabali Musa. 1999. Muhammad Basioeni Imran
(1883-1976); Rekonstruksi Pemikiran Maharaja Imam Kesultanan Sambas Kalimantan
Barat. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. (Tesis).
Pijper,
G.F., 1984. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. diterjemahkan
oleh Tudjimah. Jakarta: UI Press .
Ris'an
Rusli. 2013. Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Steembrink, Karel A. 1984. Beberapa
Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.
-------. 1988. Kajian Kritis Mengenai Agama di
Indonesia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press.
Zulkifli Abdillah. 2010. Kepingan-kepingan
Sejarah Umat Islam. Pontianak: STAIN Press.
----------------------
Penulis: Dr. Zulkifli Abdillah
Tugas: Dosen IAIN Pontianak
Judul Asli: Haji
Moehamad Basioeni Imran (1885-1976) Ulama Pembaharu dari Kerajaan Sambas
Kalimantan Barat: Biografi Singkat dan Karyanya
[1] Secara
ringkas pertanyaan Basioeni Imran adalah sebagai berikut: (1) Apa yang menjadi
sebab kaum muslimin dalam keadaan lemah dan mundur—terutama kaum Muslimin
Indonesia dan Malaysia--, baik tentang urusan keduniaannya maupun urusan
keagamaannya; dan kita (kaum Muslimin) menjadi golongan yang hina dina, tidak
mempunyai daya dan kekuatan, padahal Allah menyatakan dengan firman-Nya dalam
kitab-Nya yang mulia: “ Dan kemuliaan itu bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang yang beriman” (al-Munafiqun: 8). Di manakah “kemuliaan” orang-orang
yang telah beriman (kaum Muslimin) sekarang ini? Adakah benar bagi seorang yang
mengaku ber-iman, bahwa ia menjadi seorang yang mulia-raya, walaupun keadaannya
hina-dina; tidak ada daripadanya sedikit pun daripada sebab-sebab yang
mendatangkan kemuliaan; (2) Apa yang menjadi sebab timbulnya kemajuan bagi
bangsa-bangsa Eropa, Amerika dan Jepang, dengan suatu kemajuan yang
mengagumkan? Adakah mungkin bagi kaum Muslim memperoleh kemajuan sebagai yang
telah dicapai oleh mereka itu, jika sekiranya kaum Muslim telah mengikuti
sebab-sebab yang telah dikerjakan mereka, yang tidak dilanggar batas-batas
agamanya (Islam) ataukah tidak.(lihat lebih lanjut: Arsalan, al-Amir Syakib, Mengapa
Kaum Muslimin Mundur, (terj. Munawwar Chalil), Jakarta: Bulan Bintang,
1954, khususnya bagian Pengantar oleh penerjemah, hal. viii-ix).
[2] Syeikh
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) adalah salah seorang revivalis dan reformis
Islam dari Mesir. Ia dilahirkan di
sebuah desa dekat Tripoli, yang waktu itu bagian Suriah. Setelah menempuh
pendidikan awal di sekolah agama tradisional, Ridha masuk ke sekolah yang didirikan
oleh ulama tercerahkan, Syaikh Husain Al-Jisr (w. 1909) yang percaya bahwa
jalan menuju kemajuan bangsa Muslim adalah melalui sintesis antara pendidikan
agama dan ilmu pengetahuan modern. Dengan demikian Ridha memperoleh pendidikan
menyeluruh dalam doktrin dan tradisi Islam serta pengetahuan yang cukup tentang
ilmu alam dan bahasa (Turki dan Prancis). Dia mempelajari karya-karya
Al-Ghazali (w.1111) dan Ibn Taimiyah (w. 1328), yang mengilhaminya dengan
kebutuhan untuk mereformasi kondisi kaum Muslim yang merosot serta memurnikan
Islam dari praktik-praktik sufi yang merusak [John L. Esposito (ed.). Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Jilid
6. (terj. Eva Y.N., dkk.). (Bandung: Mizan.2002); lihat juga: Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. ke-14, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2011), hal. 60-67; Ris'an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam
Islam, (Jakarta: Rajawali Press), hal.113-129)].
[3]
Lihat jawaban-jawabannya
dalam: Arsalan, Op.Cit.
[4]
Maharaja Imam adalah nama jabatan tertinggi yang mengurusi masalah agama Islam
di masa Kerajaan Sambas. Pada awalnya nama jabatan ini adalah Imam. Imam
Kerajaan Sambas yang pertama bernama Haji Mushthafa Nuruddin yang dilantik oleh
Sultan Muhammad Ali Shafiyuddin (Pertama) pada tahun 1186 H/1772 M. Kira-kira
100 tahun kemudian, tepatnya pada 1289 H/1872 M barulah istilah ‘Maharaja Imam’
digunakan. Maharaja Imam Kerajaan Sambas yang pertama ialah Maharaja Imam
Muhammad Arif bin Nuruddin as-Sambasi yang dilantik oleh Sultan Muhammad Ali
Shafiyuddin (Kedua). Sebelum itu, pada 1238 H/1823 M, beliau hanya digelar
‘Imam’. Disebabkan umurnya telah lanjut, beliau menyandang pangkat Maharaja
Imam hanya setahun. Pada tahun 1290 H/1873 M, dilantik anak beliau bernama Muhammad Imran bin Muhammad Arif as-Sambasi
menggantikannya menjadi Maharaja Imam. Terakhir sekali dilantik pula cucu
Maharaja Imam yang pertama pada 1331 H/1913 M yaitu Haji Moehammad Basioeni
Imran bin Maharaja Muhammad Imran. Secara hirarkis, jabatan dibawah Maharaja
Imam adalah: Imam muda atau Imam Maharaja; Maharaja Khatib; Khatib Maharaja;
Sidana Khatib; Penghulu (untuk beberapa tempat di luar ibukota Kerajaan); Lebai
(di setiap Kampung); Bilal dan Modim (untuk setiap masjid) (Lihat: Wan Mohd.
Shaghir Abdullah, 2013, Muhammaad Basioeni Imran, artikel dalam: http://mabmonline.org,
akses 10 September 2013; Moh. Haitami Salim, dkk. Sejarah Kerajaan Sambas, (Pontianak: STAIN Pontianak, 2010), (Laporan
Penelitian), hal. 61.
[5]
Pembaharuan Islam yang dimaksud di sini adalah mengikuti pendapat Harun
Nasution yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah usaha mengubah paham-paham
keagamaan Islam, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditumbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Sehingga yang tepat menurut beliau adalah pembaharuan
dalam Islam. Untuk mudahnya, dalam tulisan ini digunakan istilah pembaharuan
Islam (tanpa sisipan kata “dalam”. Lihat lebih lanjut: Harun Nasution, Op.Cit.,
hal. 3-4.
[6] Beberapa studi tersebut misalnya: (1) Harry J.Benda , The Crescent and The rising Sun, (Den Haag: Van Hoee:
1958); terjemahannya Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada
Masa Pendudukan Jepang, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980); (2) Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942, (New York: Oxford University Press, 1973), edisi Indonesia: Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996); (3) Alfian, Islamic
Modernism in Indonesian Politics: The Muhammadijah Movement During the Dutch Colonial Period (1912-1942). (The University of Wisconsin PH,
1969, tesis); (4) Taufik Abdullah, Schools and Politics: The Kaum Muda
Movement in West Sumatra (1927-1933), (Ithaca, New York: Cornell University,
1971). Lihat penjelasan singkat tentang studi-studi tersebut dalam: Karel A.
Steembrink. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia, (Yogyakarta: IAIN
Sunan Kalijaga Press, 1988), hal. 260-264.
[7]
Machrus Effendy.
Riwayat Hidup dan Perjuangan Maharaja Imam Sambas. (Jakarta: Dian
Kemilau, 1995.)
[8] Muhammad
Rahmatullah. Pemikiran Fiqh Maharaja Imam Kerajaan Sambas Basioeni Imran (1885-1976).
(Pontianak: Bulan Sabit Press,
2003).
[9] Erwin Mahrus. Falsafah dan Gerakan Pendidikan Islam
Maharaja Imam Sambas Muhammad Basioeni Imran (1885-1976). (Pontianak: STAIN
Pontianak Press. 2007).
[10]
A. Muis Ismail. Mengenal Muhammad Basioeni
Imran. (Pontianak: FISIP UNTAN, 1993) (Laporan Penelitian).
[11]
Pabali Musa.
Muhammad Basioeni Imran (1883-1976); Rekonstruksi Pemikiran
Maharaja Imam Kesultanan Sambas Kalimantan Barat. (Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1999).(Tesis, tidak diterbitkan).
[12] Gusti Mahyudin Ardhi. Muhammad Basioeni Imran 1883-1976,
Maharaja Imam Kerajaan Sambas, Rekonstruksi Pemikiran Keagaman dan Politik
Kenegaraan. (Makalah Seminar Pusat Sejarah Brunei, 2001)
[13]
Wan Moh. Shaghir Abdullah, Basiyuni Imran Maharaja Imam Sambas, (artikel
online: http://ulama-nusantara.blogspot.com, 2006, akses: 25 Sepetember 2013; Wan Moh. Shaghir
Abdullah, 2013. Op.Cit.
[14]
Ahmad Khatib Lahir di Bukittinggi pada tahun 1855 (Deliar Noer, hal. 38)
atau 1860 (menurut Hamka). Ia diangkat menjadi imam dari golongan Syafi'i di
Masjidil Haram dan kemudian ditambah menjadi khatib, merangkap guru besar,
ulama yang diberi hak mengajar agama di Masjidil Haram. Meskipun Ahmad Khatib
menentang tarekat dan adat Minangkabau di bidang hukum waris, tetapi ia tetap
taqlid kepada mazhab Syafi'i di bidang fikih. Kepada murid-muridnya Ahmad
Khatib menyuruh untuk membaca karangan Muhammad Abduh, meskipun secara pribadi
ia tidak setuju dengan Muhammad Abduh. Ahmad Khatib wafat pada tahun 1916. [Deliar
Noer, Op.Cit. hal. 38-40; Karel A. Steembrink, Beberapa
Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),
hal. 139-148].
[15]
Pijper, G.F. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di
Indonesia 1900-1950. (diterjemahkan
oleh Tudjimah). (Jakarta: UI Press, 1984), hal. 18.
[16]
Haji Muhammad Djabir adalah anak dari Maharaja Imam Haji Muhammad Arif atau
paman Basioeni Imran. Pernah berguru kepada Syekh Abu Bakri Syatha, Syekh
Muhammad bin Ismail Al-Fathani dan Syekh Ahmad Al-Fathani. Karyanya (yang baru
ditemukan) adalah Risalah al-Hajj (selesai ditulis 12 Rabiul Awwal 1331
H) (Moh. Haitami Salim, dkk. Op. Cit. hal. 103).
[18]
Moehammad Basioeni Imran. Daftar
Sedjarah Perdjalanan Hidup dari Hadji Mohamad Basioeni Imran Maharaja Imam
Sambas. (1950). (Naskah Ketikan).
[19]
Pijper. op.cit.
[20]
Majalah ini pertama kali terbit tahun 1898 dalam bentuk majalah mingguan, dan
berikutnya menjadi majalah bulanan hingga berhenti terbit tahuan 1935. Azyumardi Azra
menyatakan bahwa majalah ini adalah
karya pribadi Ridha dan memilki pengaruh yang tidak dapat dipandang remeh
sebagai perangkat instrumental dalam penyebaran ide-ide kaum pembaharu atau
modernis di dunia Melayu-Indonesia. Lihat lebih lanjut: Azyumardi Azra,
Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hal.
183-186. Lihat Juga:
Harun Nasution, Op.Cit., hal 70.
[21]Badran Basioeni Imran. Mengenal H.M. Basioeni Imran Maharaja Imam
Sambas. (naskah ketikan,tt, td.), hal. 8-9.
[23]Salah seorang murid Rasyid Ridha
(Harun Nasution, Op.Cit. hal.68).
[25] Pijper,
op.cit. Hal 145.
[26] Moehammad
Basioeni Imran. op.cit.
[27] Point 1 s.d. 8
berdasarkan Daftar Perjalanan Hidup yang diketik sendiri oleh Basioeni Imran tertanggal
13 Juni 1950.
[28]
seperti kitab al-Islam:
Syari’ah wa ‘Aqidah (Mahmud Syaltut), Fath al-Qarib (Muhammad Ibn
Qasim), Jawahir al-Kalamiyah (Husein al-Jisr), Husn al-Hamidiyah (Husein
Affandy), Qawa’id al-Lugah al-‘Arabiyah (Hefni Beik), dan Kalimat al-Tawid
(Husein Wali).
[29]
Moh. Haitami Salim, dkk. Op.Cit. hal. 70
[32] Penjelasan
mengenai karya-karya Basioeni Imran ini dikutip dari: Haitami Salim, dkk. op.cit.
Hal. 88-99.
[33] Lihat
lebih lanjut: Moehammad Basioeni Imran.. Tarjamah Durus al-Tarikh Syariah. (1916, manuskrip).
[34] Lihat
lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran. Cahaya
Suluh, Pada Mendirikan Jumat Kurang Daripada Empat Puluh. (Singapura:
Matba’ah al-Ikhwan, 1920). Kitab ini merupakan suplemen dari kitab terjemahan Basioeni
Imran yang berjudul Khulasah Sirah Muhammadiyah.
[36]
Naskah yang masih berupa
ketikan huruf latin peneliti temukan di Museum Tamadun Islam Nagri Sambas
(rumah Basioeni Imran).
[37] Lihat lebih lanjut Muhammad Basioeni
Imran. Tadzkir, Sabil al-Najah fi
Tarik al-Salah (Jalan Kelepasan pada Mengingati Orang yang Meninggalkan
Sembahyang). (Singapura: Matba’ah
al-Ahmadiyah, 1931)
[38] Lihat lebih lanjut
Muhammad Basioeni Imran. Khulasah
Sirat al-Muhammadiyah. (Singapura: Matba’ah al-Ahmadiyah, 1931).
[39] Lihat
lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran, Kitab al-Janaiz. (Tasikmalaya: Percetakan Galunggung, 1949).
[40] Lihat lebih lanjut:
Muhammad Basioeni Imran. Irsyad
al-Ghilman fi Adab Tilawat al-Quran. (Singapura: al-Matba’ah al-Ahmadiyah,1934).
[41] Lihat lebih lanjut: Muhammad Basioeni Imran, Durus al-Tawhid, (Singapura:
al-Matba’ah al-Ahmadiyah,1935).
[42] Wan
Moh. Shaghir Abdullah. 2006. Op.Cit.
[43] Pijper,
op.cit.
[44]
Kitab ini diselesaikan pada 6 Ramadan 1352 H/23 Desember 1933 M. Membicarakan
hisab anak [awal] bulan untuk melakukan puasa dan hari raya. Dicetak oleh
Maktabah az-Zainiyah, Penang, 1938. Diberi Kata Pengantar oleh Syeikh Tahir
Jalaluddin al-Minangkabau. (Wan Moh. Shaghir Abdullah, 2013.Op.Cit).
[45]
Penjelasan tentang pemikiran Basioeni Imran dalam naskah al-Ibanah ini
dikutip dari: Zulkifli Abdillah, Kepingan-kepingan Sejarah Umat Islam, (Pontianak:
STAIN Press, 2010).
[46] Harun
Nasution, Op.Cit. Hal. 66-67. Lihat juga Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 2002), hal. 99.
No comments:
Post a Comment