Adnan
Institut Agama Islam
Sultan Muhammad Syafiuddin
Sambas-Kalimantan Barat, Indonesia
Abstract:
Madrasah as one educational institution has a role in implementing character-based
education. In order for the education to be carried out later to meet the expectations
that have been proclaimed, it must be formulated early on how management or
management should be done. For that
reason, in
this
paper will be discussed specifically about the
management of madrasah in organizing
character-based
education. Character-based madrasah management is the management of madrasah that always
prioritizes
the principles of fairness, integrity, honesty, dignity, service, quality, and
growth in every component of
its management.
Keywords: Management, Madrasah, Character
A. Pendahuluan
Wacana pendidikan karakter di Indonesia sedang
hangat-hangatnya dibicarakan saat ini. Hal tersebut disebabkan temuan-temuan terbaru yang
menunjukkan adanya gejala krisis karakter dan gagalnya pendidikan yang
diselenggarakan selama ini.
Pemerintah mencanangkan bahwa pendidikan yang
berbasis karakter tersebut mulai diberlakukan pada tahun 2015.
Meskipun pencanangan
pendidikan karakter tersebut sangat baik, jika
tidak dipersiapkan
sejak saat ini, bisa jadi hasilnya tidak sebaik apa yang menjadi harapan bersama. Untuk itu, mulai saat ini pemerintah harus lebih
aktif mensosialisasikan program tersebut dan memberikan fasilitas yang
memadai untuk semua kegiatan yang sifatnya mendukung pencanangan
pendidikan karakter. Demikian pula halnya dengan lembaga pendidikan,
praktisi pendidikan, maupun pengamat pendidikan,
semuanya harus proaktif
untuk mendukung program pendidikan tersebut dengan caranya masing- masing sesuai kedudukan atau tupoksi-nya.
B. Manajemen Madrasah
1.
Pengertian Manajemen
Manajemen
berasal dari bahasa Latin, yaitu manus (tangan) dan agree (melakukan). Dua kata tersebut selanjutnya digabungkan menjadi managere,
yang berarti menangani. Dalam
bahasa Inggris, managere itu memiliki
bentuk kata kerja to manage dan kata bendanya managemen, sedangkan kata manager ditujukan untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen. Akhirnya,
dalam bahasa Indonesia,
kata management itu diterjemahkan menjadi manajemen atau pengelolaan.1
Menurut pandangan lain, istilah manajemen itu berasal dari kata to manage yang berarti mengelola. Pengelolaan dilakukan melalui proses dan
dikelola berdasarkan urutan dan fungsi-fungsi manajemen itu sendiri. Jadi, arti manajemen
adalah melakukan pengelolaan sumber daya yang dimiliki
sekolah/organisasi, diantaranya seperti: manusia, uang, metode, material,
mesin, dan pemasaran yang dilakukan secara sistematis
dalam suatu
proses.2
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan bahwa yang
dimaksud manajemen adalah pengelolaan semua potensi atau sumber daya
yang dimiliki sesuai fungsinya. Jika manajemen
itu berhubungan dengan madrasah, maka semua potensi, komponen, atau sumber daya
yang dimiliki madrasah akan dikelola dengan baik sesuai fungsi dan
peranannya masing-masing.
2.
Dasar Yuridis Manajemen Madrasah
Dasar pijakan
dalam pelaksanaan manajemen madrasah
saat
ini
selalu
diacukan pada landasan yuridis
penerapan manajemen berbasis
sekolah, sebagai berikut:
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 5 ayat (1): “Pengelolaan
satuan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilak-sanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah”.
b. Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pem-
bangunan Nasional Tahun 2000-2004,
Bab
VII tentang Bagian Program Pembangunan
Bidang Pendidikan, khususnya sasaran
(3), yang berbunyi “Terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada
sekolah dan masyarakat (school community based management)”.
c. Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 44 Tahun 2002
tentang Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
d. Kepmendiknas Nomor 087 Tahun 2004 tentang Standar Akreditasi
Sekolah, khususnya tentang manajemen berbasis sekolah.
e. Peraturan
Pemerintah Nomor 19
Tahun 2005
tentang
Standar Nasional Pendidikan, khususnya standar pengelolaan sekolah, yaitu
manajemen berbasis sekolah.3
Semua landasan yuridis di atas secar jelas mengatur pelaksanaan
manajemen berbasis sekolah, yang dalam aturan itu juga diarahkan pada
manajemen di madrasah, karena pendidikan di madrasah juga termasuk
dalam Sistem Pendidikan Nasional.
3.
Fungsi Manajemen Madrasah
Fungsi manajemen sebagai suatu karakteristik
dari pendidikan muncul dari kebutuhan untuk memberikan arahan pada perkembangan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam operasional
madrasah.
Kerumitan yang meningkat karena luas dan banyaknya program yang telah mendorong usaha untuk memerinci dan mempraktikkan prosedur
administrasi dengan sistematis. Usaha ini telah menghasilkan
uraian tentang praktik-praktik yang berhasil dan perangkat-perangkat asas yang konstruktif.4
Keith dan Girling dalam satu penelitiannya menyebutkan
bahwa kontribusi manajemen pendidikan terhadap keberhasilan
dan
kegagalan belajar siswa
sebesar 32%.5 Angka
persentase tersebut menunjukkan bahwa
manajemen memiliki pengaruh yang signifikan dalam pendidikan,
termasuk pendidikan di
madrasah.
Sebagai contoh, seorang kepala madrasah yang tidak mempunyai pengetahuan
tentang manajemen pendidikan, maka pekerjaannya tidak akan bisa dilaksanakan
secara efektif dan efisien, jauh dari mutu, dan
keberhasilannya tidak akan meyakinkan. Pengetahuan atau teori tentang
manajemen pendidikan sangat dibutuhkan dan harus dipahami
oleh seorang kepala madrasah,
karena tanpa teori manajemen, seorang kepala
madrasah akan melakukan pekerjaannya dengan terkaan dan pendapatnya saja. Hal tersebut tidak akan dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan justru akan mengalami jalan buntu.6
Oleh karena itu, manajemen menjadi sangat penting diketahui oleh
kepala madrasah dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya,
karena fungsi
dari manajemen tersebut akan sangat membantu dalam menjaga atau
meningkatkan kualitas pendidikan yang dilaksanakan. Menurut seorang ahli manajemen, yaitu G. R. Terry, fungsi-fungsi manajemen itu terbagai ke dalam empat bidang, yaitu planning (perencanaan),
organizing
(pengorganisasian),
actuating (penggerakan), dan controlling (pengendalian).7
Sedangkan Poul Mali,8
menyebutkan bahwa fungsi-fungsi manajemen itu
adalah: planning, organizing, staffing, directing, dan controlling. Adapun
Wayne,9 menjelaskan fungsi manajemen itu meliputi: planning,
organizing, leading, and
controlling. Sementara Peter Drukcer,10 menyebutkan proses manajemen dimulai dari planning, organizing, staffing, directing, coordinating, reporting, dan
budgeting. Adapun Made Pidarta,11
menyatakan bahwa fungsi manajemen meliputi: planning organizing, comanding, coordinating,
dan controlling.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas,
fungsi manajemen yang
minimal harus ada, diantaranya adalah planning, organizing, actuating, dan controlling
atau biasanya disingkat POAC.
Planning/perencanaan adalah sejumlah kegiatan yang ditentukan sebelumnya untuk dilaksana-kan
pada suatu periode tertentu dalam rangka mencapai
tujuan yang ditetapkan.
Unsur-unsur
perencanaan itu adalah sejumlah kegiatan yang ditetapkan
sebelumnya, adanya proses, hasil yang ingin dicapai, dan menyangkut masa depan dalam waktu tertentu.
Sedangkan organizing atau
pengorganisasian
adalah penentuan sumber daya dan kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu, organizing juga bisa dimaknai dengan proses perancangan dan pengembangan suatu
organisasi yang akan dapat membawa hal-hal tersebut ke arah tujuan; atau penugasan tanggung jawab tertentu; atau pendelegasian
wewenang yang diperlukan kepada individu-individu
untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Lebih lanjut, pengorganisasian juga merupakan penyusunan struktur organisasi
yang
sesuai dengan tujuan organisasi,
sumber daya yang dimilikinya, dan lingkungan yang melingkupinya.
Organizing atau pengorganisasian
itu meliputi: cara manajemen
merancang struktur formal
untuk
penggunaan yang paling
efektif
terhadap sumber daya keuangan, fisik,
bahan baku, dan tenaga kerja
organisasi; bagaimana organisasi mengelompokkan kegiatannya, di mana setiap pengelompokan diikuti penugasan seorang manajer
yang diberi
wewenang mengawasi
anggota kelompok;
hubungan antara fungsi, jabatan, dan tugas karyawan;
dan cara manajer membagi tugas yang harus
dilaksanakan dalam departemen dan
mendelegasikan wewenang untuk mengerjakan tugas tersebut.12
Adapun maksud actuating atau penggerakan adalah keseluruhan proses pemberian motivasi untuk bekerja kepada karyawan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya
tujuan
organisasi dengan efisien
dan
ekonomis.13 Ruang lingkup dari penggerakan itu, antara lain ialah: motivasi, kepemimpinan, kekuasaan,
pengambilan keputusan, komunikasi, koordinasi, negosiasi, perubahan organisasi, keterampilan interpersonal, membangun tingkat kepercayaan, penilaian kinerja, dan kepuasan kerja.
Sementara arti controlling atau pengendalian/pengawasan adalah
mendeterminasi apa yang telah dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan-tindakan korektif
sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana-rencana.14
Pengawasan itu terdiri dari tiga fase, yaitu: a) Menetapkan standar hasil kegiatan dan metode
pengukurannya, b) Membandingkan pelaksanaan dengan standar yang telah ditentukan, apakah tujuan yang telah dicanangkan
berhasil dicapai atau tidak,
dan c) Mengadakan tindakan perbaikan.
Tindakan perbaikan pada dasarnya dimaksudkan agar apa yang dilaksanakan oleh
organisasi bersangkutan bisa mencapai standar yang telah ditetapkan.
4.
Komponen dalam Manajemen Madrasah
Manajemen
madrasah sebenarnya
memiliki makna yang
hampir
sama dengan manajemen
pendidikan, bedanya hanya terletak pada luas ruang
lingkupnya saja. Jelasnya, manajemen madrasah atau sekolah itu merupakan bagian dari sistem manajemen pendidikan. Adapun hal-hal yang
menjadi komponen dalam manajemen madrasah,
adalah:
a. Manajemen Kurikulum
Secara sempit, kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran yang
diberikan di sekolah. Secara luas, kurikulum berarti semua pengalaman belajar yang diberikan madrasah kepada siswa selama mereka
mengikuti pendidikan di madrasah.15 Menurut pendapat lain, kurikulum
ialah suatu program pendidikan
yang
berisikan berbagai
bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancang secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku
yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran
bagi tenaga
pendidik dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.16
Untuk menjamin efektivitas pengembangan kurikulum dan program pengajaran, kepala madrasah sebagai pengelola program
pembelajaran bersama guru harus menjabarkan
isi kurikulum secara lebih rinci dan operasional ke dalam program tahunan,
catur wulan (semester) dan bulanan. Adapun program mingguan atau program
satuan pelajaran, wajib dikembangkan
oleh guru sebelum melakukan kegiatan belajar-mengajar.17
Manajemen kurikulum membahas pengorganisasian
sumber-
sumber yang ada
di madrasah sehingga manajemen kurikulum ini dapat
dilakukan secara epektif dan efisien. Dalam merumuskan tujuan pendidikan, setidaknya ada empat fungsi dasar yang perlu untuk dipertimbangkan, yaitu:
1) Pengembangan individu yang meliputi aspek-aspek hidup pribadi,
etis, estetis, emosional, fisis.
2) Pengembangan cara berpikir dan
teknik
penyelidikan berkaitan
dengan kecerdasan yang terlatih.
3) Pemindahan warisan budaya, menyangkut
nilai-nilai sivik
dan
moral bangsa.
4) Pemenuhan kebutuhan sosial yang vital yang menyumbang pada kesejahteraan ekonomi, sosial, politik, dan lapangan kerja.18
Madrasah harus menyediakan
pendidikan yang membawakan
sekurang-kurangnya sejumlah kecil unsur di atas. Keempat aspek itu
berkaitan dengan pribadi, kecerdasan,
sivik moral, dan teknik. Aspek-
aspek tersebut tetap ada pada setiap
zaman
dalam kehidupan manusia.
Walaupun
demikian, setiap generasi dalam masanya perlu menyusun
keempat unsur fungsi pendidikan tersebut
berdasarkan kebutuhan
atau tekanan yang muncul pada zamannya.
b. Manajemen Kesiswaan
Manajemen
kesiswaan merupakan
kegiatan yang berhubungan dengan kesiswaan di
madrasah. Tujuan dari manajemen kesiswaan
adalah mengatur
proses kesiswaan mulai dari proses perekrutan, mengikuti pembelajaran sampai dengan lulus sesuai dengan tujuan institusional
agar
dapat berlangsung secara epektif dan efisien.
Kegiatan manajemen kesiswaan meliputi: perencanaan penerimaan siswa baru, pembinaan siswa, dan kelulusan.
Dalam penerimaan
siswa
baru, terdapat beberapa
kegiatan yang dilakukan,
seperti: penetapan daya tampung, penetapan
persyaratan siswa yang akan diterima, dan pembentukan panitia dalam penerimaan siswa baru.19
Manajemen
kesiswaan bertujuan mengatur berbagai kegiatan
dalam bidang kesiswaan agar kegiatan pembelajaran di madrasah dapat
berjalan lancar, tertib dan teratur, serta mencapai tujuan pendidikan
madrasah. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, bidang manajemen kesiswaan
sedikitnya memiliki tiga tugas utama yang harus diperhatikan, yaitu penerimaan
siswa baru, kegiatan kemajuan belajar, serta bimbingan dan pembinaan disiplin.20
c. Manajemen Sarana dan
Prasarana
Manajemen sarana dan prasarana merupakan kegiatan yang mengatur untuk mempersiapkan segala peralatan atau material bagi
terlaksananya proses pendidikan di madrasah. Sarana dan prasarana
pendidikan adalah semua benda yang bergerak dan tidak bergerak yang dibutuhkan untuk menunjang penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar secara langsung maupun tidak langsung. Manajemen
sarana
dan prasarana merupakan keseluruhan
proses rencana pengadaan,
pendayagunaan, pengawasan sarana
dan
prasarana yang digunakan
agar tujuan pendidikan di madrasah dapat tercapai dengan epektif dan efisien. Kegiatan manajemen sarana dan prasarana bisa meliputi:
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penginvestasian, pemeliharaan,
dan penghapusan sarana dan prasarana pendidikan.21
Pendapat lain ada juga yang mengatakan bahwa manajemen sarana
dan prasarana, meliputi: Penentuan
kebutuhan,
proses pengadaan,
pemakaian, pencatatan/pengurusan, dan pertanggungjawaban.22
d. Manajemen Personil/Anggota
Manajemen personil adalah segenap proses penataan
yang bersangkut paut dengan masalah memperoleh
dan menggunakan tenaga kerja secara efisien untuk mencapai
tujuan yang ditentukan. Segenap
proses penataan yang dimaksud
adalah semua proses yang meliputi: cara memperoleh
tenaga yang tepat, cara penempatan dan penguasaannya,
cara mengevaluasi atau menilainya, dan cara untuk pemutusan hubungan kerja.23
Menurut pendapat lain, manajemen personil atau anggota itu
mencakup perencanaan
pegawai, pengadaan pegawai, pembinaan dan pengembangan pegawai, promosi dan mutasi, pemberhentian pegawai, kompensasi, dan
penilaian pegawai. Semua hal itu perlu dilakukan
dengan cara yang baik dan benar agar apa yang diharapkan
tercapai, yakni tersedianya tenaga kependidikan
yang
diperlukan dengan
kualifikasi dan kemampuan
yang
sesuai serta dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik dan berkualitas.24
e. Manajemen Keuangan
Pendidikan yang berkualitas harus memerlukan
biaya yang banyak, baik untuk keperluan investasi maupun untuk keperluan operasional. Namun, seluruh biaya tersebut tidak dibebankan pada orang tua siswa, harus dicarikan saluran
lain
oleh kepala madrasah.
Keuangan yang diperoleh setiap tahunnya, harus dikelola dengan baik
oleh kepala madrasah sesuai tata cara manajemen yang baik.
Manajemen
keuangan dapat meliputi kegiatan perencanaan,
penggunaan, pencatatan data, pelaporan
dan pertanggung jawaban penggunaan dana sesuai dengan yang telah direncanakan. Tujuan manajemen keuangan adalah untuk mewujudkan tertib administrasi keuangan sehingga penggunaan
keuangan dapat dipertanggung-
jawabkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepala madrasah
sebagai pimpinan madrasah
dan menjabat sebagai otorisator berfungsi sebagai
orang yang
dapat memerintahkan
pembayaran. Sedangkan
bendaharawan madrasah itu bertugas sebagai ordonator yang bisa melakukan pengujian atas pembayaran.25
f. Manajemen Hubungan Madrasah dan Masyarakat
Madrasah dan masyarakat memiliki
hubungan timbal
balik
untuk menjaga kelestarian dan kemajuan masyarakat
itu sendiri. Pelaksanaan madrasah bertujuan untuk
menjaga
kelestarian nilai
positif masyarakat, dengan harapan madrasah dapat mewariskan nilai
positif masyarakat dengan baik dan benar. Madrasah berperan juga
sebagai agen perubahan
(agent of change), di mana madrasah bisa
mengadakan perubahan nilai dan tradisi sesuai dengan kemajuan dan tuntutan masyarakat dalam kemajuan dan pembangunan.26
g.
Manajemen Layanan Khusus
Manajemen layanan khusus merupakan
usaha yang secara tidak
langsung berhubungan dengan proses pembelajaran di kelas, tetapi secara khusus diberikan atau ditangani oleh kepala madrasah
kepada
para siswa agar mereka lebih optimal dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Tujuan dilaksanakannya manajemen layanan khusus
adalah untuk mendukung
keberhasilan proses pembelajaran.
Keberhasilan belajar tersebut di antaranya harus ditunjang dengan
pusat sumber belajar, pusat kesehatan sekolah, bimbingan
konseling, dan kantin sekolah.27
5.
Paradigma Manajemen Madrasah
Madrasah merupakan terjemahan dari
bahasa
Arab
yang berarti sekolah. Namun, konotasi madrasah
dalam konteks ini bukan pada pengertian etimologi tersebut, melainkan pada kualifikasinya. Selama ini, madrasah selalu
dianggap sebagai
lembaga
pendidikan Islam yang
mutunya lebih rendah dari pada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah umum, walaupun beberapa madrasah
justru lebih maju dan
lebih unggul
dari pada sekolah umum. Namun, keberhasilan sebagian
kecil dari jumlah madrasah tersebut belum mampu menghapus
kesan negatif yang sudah terlanjur melekat.28
Untuk itu, cara pandang terhadap kualitas pendidikan
madrasah itu harus
segera diakhiri.
Salah satu caranya adalah
dengan merubah
paradigma manajemen
pendidikan madrasah. Hal ini seperti yang telah
ditawarkan Rahim, bahwa ada 16 paradigma baru
yang dapat digunakan untuk menggeser
paradigma lama dalam mengelola
atau memanajemen madrasah, yaitu:
a. Dari
posisi subordinatif ke posisi otonom.
b. Dari strategi sentralistik ke strategi desentralistik.
c.
Dari
pengambilan
keputusan otoritatif ke
pengambilan
keputusan
partisipatif.
d. Dari pendekatan birokratif ke pendekatan profesional.
e. Dari model penyeragaman ke model keberagaman.
f. Dari
langkah praktis kaku ke langkah praktis luwes.
g.
Dari kebiasaan diatur ke kebiasaan berinisiatif.
h. Dari
serba regulasi ke deregulasi.
i. Dari
kemampuan mengontrol ke kemampuan mempengaruhi.
j. Dari
kesukaan mengawasi ke kesukaan memfasilitasi.
k.
Dari ketakutan dengan resiko ke keberanian mengelola resiko.
l.
Dari
pembiayaan yang boros ke
pembiayaan yang efisien.
m. Dari kecerdasan individual ke kecerdasan kolektif/team work.
n. Dari informasi tertutup ke informasi terbagi/terbuka.
o.
Dari pendelegasian ke pemberdayaan.
p.
Dari organisasi hirarkis ke organisasi egaliter.29
Untuk menggeser
atau merubah sebuah paradigma yang
sudah
mentradisi, seperti di madrasah itu memang tampak sulit, namun jika
diberikan petunjuk atau langkah-langkah
yang
operasional, mungkin saja nantinya akan berubah secara perlahan. Adapun langkah-langkah
yang dapat digunakan untuk melakukan perubahan paradigma tersebut, yaitu:
a. Membangun kepemimpinan madrasah yang kuat dengan cara meningkatkan koordinasi, menggerakkan semua komponen di madrasah, menyinergikan
semua potensi, merangsang perumusan tahapan perwujudan visi dan
misi madrasah, serta mengambil prakarsa yang
berani dalam pembaruan.
b.
Menjalankan manajemen madrasah yang bersifat terbuka dalam mengambil keputusan dan penggunaan keuangan madrasah.
c. Mengembangkan tim kerja yang solid, cerdas, dan dinamis.
d.
Mengupayakan kemandirian madrasah untuk
melakukan
langkah terbaik bagi madrasah.
e.
Menciptakan proses pembelajaran yang epektif, dengan ciri-ciri:
1) Proses itu memberdayakan siswa untuk aktif dan partisipatif;
2) Target pembelajaran sampai
dengan
pemahaman
yang
lebih ekspresif;
3) Mengutamakan proses internalisasi ajaran agama melalui kesadaran
sendiri;
4) Merangsang siswa untuk mempelajari berbagai
cara belajar (learning
how to learn); dan
5) Menciptakan semangat yang tinggi dalam menjalankan tugas.30
Dari
konsep
paradigma dan langkah-langkah di atas,
Mujamil
Qomar menambahkannya dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyederhanakan beban studi.
b. Membangun profesionalisme guru.
c. Membangun kesadaran siswa.
d. Memperkuat perpustakaan dan laboratorium.
e. Membangun strategi pembelajaran yang akseleratif.
f.
Membangun asrama siswa.
g.
Menerapkan praktik berbahasa Arab dan Inggris secara ketat.31
Berdasarkan paradigma baru
dan langkah-langkah manajemen di madrasah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, rasanya jika diikuti
dan dilaksanakan secara baik, sangat memungkinkan
kesan negatif yang melekat pada pendidikan madrasah akan hilang secara perlahan.
C. Menggagas Manajemen Madrasah Berbasis Karakter
Perbincangan seputar madrasah sesungguhnya sudah banyak sekali
dilakukan, tidak terkecuali menyangkut aspek manajemennya. Madrasah
diyakini menjadi lembaga pendidikan yang mampu mengantarkan peserta
didik pada ranah yang lebih komprehensif,
seperti aspek intelektual, moral,
spiritual, dan keterampilan secara
padu.
Madrasah
diyakini akan mampu
mengintegrasikan kematangan religius dan keahlian ilmu modern kepada
peserta didik sekaligus.32 Dengan kemampuan itu, madrasah akan mampu pula mencetak insan-insan cerdas,
kreatif, dan beradab untuk menghadapi era
globalisasi.33
Selama ini, karakteristik madrasah hanya dipahami sebatas institusi
pendidikan yang menyajikan mata pelajaran agama semata. Padahal, lebih dari itu
madrasah merupakan perwujudan dari nilai-nilai keislaman di dalam totalitas
kehidupan
madrasah. Suasana madrasah yang melahirkan karakteristik tersebut mengandung unsur-unsur, seperti: Perwujudan nilai-
nilai keislaman dalam keseluruhan kehidupan madrasah, kehidupan moral
yang beraktualisasi, manajemen yang profesional, terbuka, dan berperan aktif
dalam masyarakat.34
Khusus
mengenai
manajemen
tersebut, memang
jumlah madrasah
yang sudah mampu melakukan
manajemen pendidikan secara baik belum banyak jumlahnya. Hal tersebut seringkali disebabkan
oleh
kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) masih sangat minim, ditambah lagi dengan jauhnya anggaran yang diberikan di
banding sekolah
umum, turut memperlemah
kualitas manajemen madrasah. Untuk kualitas SDM, saat ini Kementerian Agama tampaknya mulai serius untuk menggarapnya. Salah satu buktinya
adalah semakin banyaknya jumlah guru-guru madrasah
yang
diberikan kesempatan untuk mengenyam pendidikan mulai dari Strata
1, Strata
2, bahkan
ada juga yang sudah sampai pada Strata 3. Kenyataan ini
tentu saja
menggembirakan,
karena dengan semakin banyaknya jumlah guru yang
memenuhi
standar profesional keguruan, maka sangat mungkin pada saatnya
nanti akan berimbas pada meningkatkannya kualitas pendidikan di madrasah.
Namun pada sisi anggarannya, persoalan ini tampaknya masih perlu waktu yang panjang, karena selama sistem pendidikan yang digunakan di Indonesia ini masih menganut
sistem dualisme, anggaran pendidikan masih terasa sulit untuk diseimbangkan.
Akan
tetapi, persoalan keseimbangan
anggaran dari pemerintah tersebut bukanlah satu-satunya
penentu baik buruknya kualitas pendidikan di madrasah, masih banyak hal-hal lain yang
bisa dimaksimalkan akan kualitas pendidikan di madrasah bisa setara atau paling tidak mendekati
kualitas
pendidikan yang dilaksanakan di
sekolah umum. Salah satunya adalah melalui peningkatan kualitas manajemen yang berbasis karakter. Makna dari karakter di sini adalah karasso, sebuah cetak biru
atau pola. Karakter dapat juga dirujukkan pada konsep to mark atau
menandai, yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang.
Selain itu, berkarakter
bisa
pula
dipahami
dengan
kesanggupan untuk
bertindak
proaktif, bukan reaktif. Proaktif berarti menggunakan
peralatan dalam diri
untuk merujuk pada prinsip-prinsip
kehidupan, seperti keadilan, integritas,
kejujuran, martabat,
pelayanan, kualitas, dan pertumbuhan.35
Dari makna ini,
dapat dipahami bahwa manajemen madrasah
berbasis
karakter adalah pengelolaan madrasah yang selalu mengutamakan
prinsip-prinsip keadilan, integritas, kejujuran, martabat, pelayanan, kualitas, dan pertumbuhan
dalam setiap komponen manajemennya.
Adapun komponen-komponen atau unsur-unsur yang akan dikelola dalam manajemen
madrasah berbasis karakter, yaitu: Pertama, pembenahan kurikulumnya.
Sesuai rancangan pendidikan yang berbasis karakter, maka
kurikulum yang di desain itu harus memuat empat unsur pokok, yaitu:
1. Olah
hati, meliputi: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, ber-
tanggung
jawab, berempati, berani untuk mengambil
resiko, pantang
menyerah, rela berkorban, dan berjiwa
patriotik.
Olah
hati
selalu
bermuara pada pengelolaan spiritual dan emosional.
2. Olah pikir, meliputi:
cerdas, kritis, kreatif, inovatif, rasa ingin
tahu, berpikir
terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. Olah pikir bermuara pada
pengelolaan intelektual.
3. Olah raga, meliputi:
bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, handal, berdaya
tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, ceria, kompetitif, dan gigih. Olah raga bermuara pada pengelolaan fisik.
4. Olah rasa atau karsa, meliputi: ramah, saling menghargai, toleran, peduli,
suka menolong, gotong-royong, nasionalis, kosmopolitan, mengutamakan
kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Olah rasa bermuara pada
pengelolaan kreativitas.36
Empat unsur di atas rasanya tidak ada persoalan untuk dimasukkan
dalam kurikulum
madrasah, karena pada dasarnya kurikulum
madrasah yang telah ada juga dominan memuat unsur-unsur yang
dipersyaratkan dalam pendidikan
karakter tersebut. Mengapa kurikulum begitu penting sehingga menempati urutan pertama dalam melakukan manajemen berbasis karakter di madrasah? Jawabnya seperti dikatakan Lickona,37
kurikulum
diibaratkan seperti raksasa yang
sedang
tidur bagi pendidikan karakter.
Artinya, jika
kurikulumnya sudah baik, maka akan lahir sebuah kekuatan karakter yang mampu membentuk karakter bangsa, dan itu sama halnya dengan kekuatan
yang dimiliki raksasa.
Kedua, manajemen kesiswaan berbasis
karakter. Pengelolaan pada
aspek
ini harus dimulai dari penerimaan siswa, pembelajaran
siswa, sampai pada kelulusan siswa, semuanya harus berlandaskan
karakter. Pada tahap penerimaan, calon siswa semestinya
diperlakukan sama, jika ada syarat-syarat yang dilakukan, maka harus dilaksanakan secara transparan dan adil. Calon
siswa yang tidak mendapatkan
kesempatan karena terbatasnya daya tampung madrasah, harus diberikan penjelasan secara baik sehingga mereka tidak merasa bodoh atau minder. Jika perlu, pihak madrasah
memberikan saran
untuk memasuki madrasah tertentu yang dinilai baik.
Sedangkan
dalam
proses
pembelajaran, siswa harus diperlakukan
sebagai manusia, karena tidak jarang
ada
guru yang beranggapan bahwa siswa itu
hanya sebagai obyek sehingga boleh diperlakukan sesuai dengan kehendak
guru. Model pembelajaran
inilah yang digugat oleh Freire,38 karena ia menemukan ada pola pendidikan yang menerapkan hubungan antara guru
dan murid dengan model “watak bercerita”
(narrative). Misal, seorang subyek
yang bercerita (guru) dan obyek-obyek
yang patuh dan mendengarkan (murid-murid).
Tugas guru dalam proses pendidikan adalah menceritakan
realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan.
Akhirnya guru cuma “mengisi” para murid
dengan bahan-bahan
yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan
terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita seperti itu ibarat guru sedang
“menabung”, dan siswa dianggap sebagai sebuah celengannya. Model
pendidikan seperti ini dikenal dengan “gaya bank”.
Model
pendidikan
seperti yang
dituturkan Freire itu sangat tidak relevan untuk diterapkan di madrasah yang notabene berbasis Islam, karena dalam
Islam, Nabi telah mencontohkan dalam
aktivitas dakwahnya, bahwa Ia tidak menawarkan Islam
sebagai
sebuah ideologi yang
normatif,
tetapi sebagai pengakuan terhadap perlunya untuk memperjuangkan secara serius problem
bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia, dengan menyusun
kembali tatanan yang telah ada menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil
dan egaliter.39 Berkaca dari teladan
ini,
semestinya guru juga berbuat baik dan memperlakukan siswa sebagai obyek sekaligus subyek belajar, agar tidak ada
unsur penindasan dalam proses pembelajaran.
Dengan cara pembelajaran seperti ini, diharapkan
siswa memiliki
perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia
dan produktif seperti yang diharapkan dalam pendidikan berbasis
karakter.40
Adapun dalam hal kelulusannya,
siswa harus diperlakukan dengan baik, dalam arti memberikan bimbingan belajar yang adil, memberikan petunjuk
dan nasehat untuk mengikuti ujian dengan baik, dan memberikan
penilaian secara obyektif, adil dan profesional.
Ketiga,
manajemen sarana dan prasarana berbasis karakter. Maksud-nya, dalam melakukan
perencanaan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penginventarisasian, pemeliharaan, dan penghapusan sarana dan prasarana
selalu mengacu dan berlandaskan pada unsur keutamaan dan transparansi.
Karena dengan acuan seperti itu, akan terbangun sebuah manajemen
yang bersih dan profesional sehingga dapat dijadikan teladan bagi peserta didik dan komponen-komponen yang terkait dengan madrasah.
Keempat, manajemen ketenagaan berbasis karakter. Maksudnya ialah pengelolaan ketenagaan yang selalu mengacu pada keadilan dan kebersamaan antar semua anggota. Kelima, manajemen keuangan berbasis karakter, dalam
arti mengelola keuangan secara transparan. Keenam, manajemen hubungan masyarakat
berbasis karakter, maksudnya membina hubungan yang baik
dengan masyarakat, karena masyarakat
adalah mitra dalam penyelenggaraan
pendidikan di madrasah. Ketujuh,
manajemen layanan khusus yang berbasis
karakter, bermakna mengutamakan
kepuasaan pelanggan atau mitra dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah.
Semua unsur manajemen madrasah berbasis karakter di atas harus berlandaskan pada
dua pijakan, yaitu: Pertama, keyakinan bahwa pada diri manusia itu telah ada benih-benih karakter dan alat pertimbangan
untuk menentukan tindakan kebaikan. Kedua,
pendidikan berlangsung sebagai upaya pengenalan kembali sekaligus mengafirmasi
apa
yang sudah dikenal dalam aktualitas tertentu.41 Melalui pijakan ini, arah
manajemen yang akan dilakukan tidak mudah terombang-ambing,
sehingga apa yang diharapkan dari manajemen madrasah yang berbasis karakter itu akan tercapai dengan maksimal.
D. Penutup
Wacana pendidikan karakter meskipun baru dicanangkan dan
akan diberlakukan, namun
tidak ada salahnya jika hal-hal yang terkait dan
mendukung program tersebut sudah dimulai sejak dini. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
masukan dalam rancangan tersebut
agar ketika pemberlakuannya
nanti, sudah tersedia alternatif-alternatif yang bisa menyempurnakan draf yang sedang disusun saat ini.
Pembahasan manajemen madrasah berbasis karakter dalam makalah ini merupakan sebuah tawaran dalam penyusunan draf
pendidikan karakter tersebut, yang mana pemerintah
sebaiknya tidak hanya terfokus pada aspek
kurikulum semata, namun juga telah mempertimbangkan
model manajemen mana yang dapat digunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan berbasis karakter.
Inti tawaran ini
adalah
perlunya mengarahkan semua potensi yang
terkait dengan pendidikan karakter untuk dipersiapkan
sejak dini, termasuk
dalam aspek manajemennya. Hal-hal yang harus menjadi perhatian dalam manajemen berbasis karakter tersebut, paling tidak harus memuat unsur- unsur, seperti manajemen kurikulumnya,
kesiswaan, sarana dan prasarana,
ketenagaan
atau personilnya, keuangan, hubungan madrasah dengan
masyarakat, dan manajemen layanan
khususnya. Landasan yang dijadikan alas pijaknya adalah keyakinan bahwa pada diri manusia itu telah ada benih-benih
karakter dan alat pertimbangan untuk menentukan tindakan kebaikan, serta
pendidikan yang berlangsung
itu sebagai upaya pengenalan kembali sekaligus mengafirmasi apa yang sudah dikenal dalam aktualitas tertentu. Dengan melirik pada aspek manajemennya ini, tercurah harapan akan terlaksananya sebuah pendidikan
berbasis
karakter yang
bisa
membawa
perubahan
signifikan pada karakter bangsa di masa mendatang. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Afifuddin dan M. Sobry Sutikno, Pengelolaan Pendidikan; Teori dan Praktek, Bandung: Prospect, 2008.
Anees, Bambang Q-, dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Bandung: Refika Offset, 2009.
Brooks & Goble, The Case for Character Education: The Role of The School in Teaching
Values and Virtue,
Northridge: Studio 4 Productions, 1997.
Dakir, Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Drucker, Peter F., Pengantar Manajemen: Seri Manajemen No. 63, Jakarta: Pustaka
Binawan Pressindo, 1954.
Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999.
Friere, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, (terj.), Jakarta: LP3ES, 1985.
Girling, Robert Henriques,
dan
Sherry
Keith,
Education,
Management,
and
Participation,
Boston: Allyn Bacon, 1991.
Handoko, Hani, Manajemen, edisi 2, Yogyakarta: BPFE Yogyakarta: 2003.
Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.
Jalal, Faisal, Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa, Makalah, disajikan dalam
Rembuk
Nasional, Kerjasama Kedeputian Seswapres
Bidang
Politik dengan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung tanggal 1 Juni
2010 di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Koesoema, Doni, Pendidikan
Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
Jakarta: Grasindo, 2007.
Lickona, Thomas, Educating for Character; How Our School can Teach Respect and
Responsibility, New York: Bantam Books, 1991.
Ma’arif, Syamsul, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu,
2007.
Mali, Paul, John Wiley, dan Sons, Management Handbook, New York: tt, 1981.
Mulyasa, E., Manajemen
Berbasis
Sekolah; Konsep, Strategi,
dan
Implemen-tasi,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002.
Pidarta, Made,
Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1988.
Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam; Strategi Baru Pengelolaan Lembaga
Pendidikan Islam, Malang: Erlangga, 2010.
Rahim,
Husni, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 2001.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
Bandung : Fokus Media, 2008.
Rohiat, Manajemen Sekolah; Teori Dasar dan Praktek, Bandung: PT. Refika Aditama,
2009.
Siagian, Sondang P., Bunga
Rampai
Manajemen
Moderen,
Jakarta:
CV. Haji
Masagung, 1989.
Sucipto dan Raflis Kosasi, Profesi Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Suprayogo, Imam, Quo Vadis Madrasah Gagasan, Aksi dan Solusi Pembangunan
Madrasah,
Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007.
Suprihanto,
John, Penelitian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta, 1988.
Suryosubroto, B.,
Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Tilaar, Pradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004.
Usman, Husaini, Manajemen; Teori, Praktik,
dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi
Aksara, 2009.
------------------------------------
Tulisan ini telah di publish di Jurnal Syamil IAIN Samarinda
Link: https://journal.iain-samarinda.ac.id/index.php/syamil/article/view/922
No comments:
Post a Comment