“Puasa bukan sekedar menahan makan dan
minum saja, tapi puasa juga menahan dari laghwun dan rafats. Jika ada seseorang
yang mencelamu atau berbuat kebodohan kepadamu, maka katakanlah: Saya sedang
berpuasa” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
Shaum atau
puasa umumnya dimaknai sebagai ikhtiar untuk menjaga, menahan, menjauhkan atau mencegah
diri agar tidak makan, minum dan berhubungan suami-isteri (jima’) sejak terbitnya
fajar (yang ditandai dengan adzan shalat Subuh) hingga terbenamnya matahari
(yang ditandai dengan adzan shalat Maghrib). Pemaknaan puasa seperti ini baru
menyentuh pada aspek lahiriyah manusia, dan tentu makna ini menjadi syarat
dasar bagi orang yang berpuasa. Lantaran tujuan utama puasa adalah untuk
membentuk pribadi taqwa (QS. al-Baqarah [2]: 183), maka makna dan syarat puasa
harus juga menyentuh aspek bathiniyah manusia. Makna dan syarat bathiniyah
puasa dimaksud antara lain seperti yang disebutkan pada hadits di atas, yakni mampu
menahan atau menghindari ucapan-ucapan yang mengandung laghwu dan rafats.
Laghwun diambil
dari kata kerja dasar laghâ-yalghuw-laghwun, mengandung arti ucapan yang tidak
diperlukan, ucapan tidak memiliki kebaikan, dan ucapan yang tidak ada nilainya.
Dalam konteks Bahasa Indonesia, biasanya laghwun dimaknai dengan perkataan yang
sia-sia, senda gurau, atau ucapan untuk main-main. Sementara rafats dimaknai
sebagai perkataan keji, kotor, jorok atau perkataan birahi yang berkaitan
dengan hubungan seksual. Bila dipikirkan secara teliti, ternyata laghwun dan rafats
ini sama-sama dilisankan oleh lidah dan sumber muaranya sama-sama dari hati (qalbu).
Ketika hati kotor, maka ucapan seringkali kotor, begitu pula sebaliknya, bila
hati bersih maka lisanpun akan mengucapkan kata-kata yang baik, karena
sejatinya ucapan adalah gambaran hati pemiliknya.
Melalui
puasa, seorang mukmin dididik/dibiasakan oleh Allah untuk selalu menjaga
lisannya, menjauhkan lidah dari ucapan yang mengandung laghwun maupun rafats.
Seseorang mungkin saja merasa mudah baginya untuk meninggalkan makan, minum atau
hubungan suami isteri dengan cara menjahui tempat-tempat tersebut, tapi apakah
mudah baginya untuk meninggalkan ucapan saat bertemu dengan orang lain?
Jelasnya, untuk meninggalkan ucapan langsung melalui lidah maupun ucapan tidak
langsung melalui alat komunikasi atau media sosial amat sangat tidak mungkin. Oleh
karena itu, satu di antara cara lainnya adalah melatih diri mengendalikan lisan
saat berkomunikasi melalui puasa.
Puasa
mengajarkan kita untuk menahan nafsu makan dan minum, selain alasan ibadah dan
untuk menyeimbangkan kesehatan, puasa juga “memaksa” kita untuk merasakan
penderitaan fakir miskin atau orang yang serba kekurangan ekonomi. Melalui
“penderitaan” ini, diharapkan lahir rasa solidaritas dan kepekaan sosial kepada
orang-orang yang kurang beruntung secara ekonomi. Puasa juga mengajarkan kita
untuk mampu mengendalikan hawa nafsu berhubungan suami isteri di siang
Ramadhan. Pelajaran ini tidak serta merta hanya dirasakan oleh orang-orang yang
sudah menikah, tetapi menjadi pelajaran yang baik bagi orang yang belum menikah
atau orang-orang yang bukan muhrim. Orang yang halal saja dilarang berhubungan
biologis, apalagi bagi mereka yang belum menikah? Orang yang menikah saja
diwanti-wanti agar tidak memancing syahwat suami/isterinya, apalagi orang yang
bukan muhrim? Bila pelajaran ini digali lebih mendalam, maka akan ditemukan
pesan utamanya agar setiap orang menjaga auratnya agar terjaga pula syahwat
saudaranya. Untuk itu, alangkah baiknya bila Ramadhan tiba, pintu-pintu syahwat
ditutup rapat-rapat. Bagi wanita-wanita berhijab, ulurkan atau panjangkan jilbabnya
agar tak terlihat lagi lekuk tubuh atau tonjolan aurat di dalam pembungkus
hijabnya. Bagi yang belum bisa menggunakan jilbab, setidaknya longgar dan
panjangkan kain pembungkus tubuhnya agar aurat vital tak lagi terlihat. Bila
aurat langsung ini sudah bisa terjaga, maka lanjutkan untuk menutup pintu aurat
di media-media publik, satu misal di antaranya adalah media sosial. Mulailah
untuk men-delete foto-foto sensual atau foto yang mengumbar syahwat, sebab
foto-foto tersebut bisa menjadi dosa 24 jam dan tak putus-putus walau kita
telah wafat. Mengapa bisa demikian? Sebab, selagi foto sensual itu terpajang di
koleksi FB, WA, Instagram, Tweeter, atau lainnya, dan setiap saat orang melihat,
lalu timbul nafsu birahi hingga melakukan perbuatan a-moral, maka selama itu
pula dosanya mengaliri si pemilik foto, na’udzubillahi mindzalik.
Ketika
seorang mukmin bisa menjaga makan, minum dan berhubungan suami isteri di siang
hari Ramadhan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka puasanya telah
sah, dan jenis puasa seperti ini adalah puasanya orang awam/umum. Namun,
tatkala puasanya tidak hanya menahan makan, minum dan hubungan biologis suami
isteri, tetapi juga mampu menjaga lisan dari ucapan laghwun dan rafats, maka peringkat
puasanya meningkat ke puasa orang khusus. Mengapa? Karena hanya orang-orang
yang sudah baik hatinya saja yang bisa mengendalikan ucapannya secara baik.
Orang yang baik hatinya ialah orang yang selalu membasahi lisannya dengan dzikrullah,
jarang sekali keluar dari mulutnya kata-kata buruk yang mengandung laghwun atau
rafats. Orang yang sudah baik hatinya, akan terpancar kebaikan dari dirinya,
orang akan banyak menyenanginya, dan kata-kata yang diucapkan selalu
menenangkan dan memberikan kebermanfaatan bagi audiensnya. Beda halnya dengan
orang yang baru mampu untuk berpuasa awam, lisannya merasa tidak ada beban
untuk berkata kotor, jorok, ghibah, fitnah, namimah atau sejenisnya, tapi
tingkatan awam inipun masih tergolong baik ketimbang mereka yang tidak puasa tanpa
ada halangan syar’ie.
Adapun
golongan istimewa yang melakukan puasa adalah mereka yang bisa menjaga syarat
puasa awam, puasa khusus, dan mampu menjaga diri dari khayalan-khayalan yang
bisa menjerumuskannya pada kerugian atau kebinasaan. Puasa khayalan merupakan
puasanya orang-orang istimewa, tidak hanya dilakukan pada Bulan Ramadhan, tapi
sudah mendarah-daging dan menjadi kebiasaan hidupnya sehari-hari.
Pertanyaan
akhir dari tulisan ini, apakah orang yang hanya mampu untuk memenuhi puasa
awam, puasanya tetap sah? Tentu, puasanya sah karena sudah memenuhi syarat
minimal, hanya saja pahalanya yang berbeda. Jika boleh diibaratkan seperti buah
apel dibelah tiga, puasa awam akan memperoleh pahala satu bagian, puasa khusus
akan memperoleh dua bagian, dan puasa istimewa akan memperoleh buah apel secara
utuh. Wallahu a’lam bish-shawabi.
----------------------------
Tulisan ini telah
diterbitkan dikoran Akcaya Pontianak Post, Rabu 23/05/2018, pada kolom Mutiara
Ramadhan dengan judul: “Tingkatan dan Pahala Orang Berpuasa”; Penulis: Dr.
Adnan Mahdi, S.Ag., M.S.I.
No comments:
Post a Comment