Goresan Pena: Dzakiyah Muthi'ah Siswi Kelas XII IPA MAN Sambas |
Pagi itu langit cerah. Fauzan mengikis
sedikit jarak di antara mereka, dia dan Ziya dengan senyum mengembang.
“Ini” ucapnya sambil menyerahkan apa yang
sedari tadi dia sembunyikan dibalik badan. Ziya melihat Fauzan sejenak lalu
mengalihkan pandangan pada apa yang Fauzan berikan.
“Coklat? Untuk apa?” tanya Ziya, bingung.
“Hari ini Valentine Day, hari berkasih
sayang” jawabnya enteng masih dengan senyum dan menatap Ziya yang fokus pada
coklat.
“Tapi bukannya berkasih sayang itu harus
setiap hari?”
“Tapi kan hari ini hari setahun sekali nya,
momentum gitu deh” Ziya menghembuskan napasnya pelan.
“Makasih, aku seneng. Tapi Zan, aku gamau
coklat” gantian kini Fauzan yang dibuat bingung.
“Terus kamu maunya apa?” Ziya menatap
Fuazan sekilas lalu menunduk sambil menghembuskan napasnya, lagi.
“Aku gamau coklat, maunya AKAD”
“Hah?”
Keheningan sempat terjadi hingga helaan
napas Ziya yang ketiga.
“Udah hampir setahun kita berada dalam
hubungan yang ga Allah Ridhai ini. Aku selalu menanti saat itu, saat dimana
kamu akan mengajak aku pada jalan yang lebih serius. Kamu tahu Zan? Hatiku
perih setiap kali harus bertemu kamu seperti ini, bersembunyi dan bohong pada
Ayah”
“Ziyaa...”
“Kita dua orang yang sama-sama mengerti
tapi dengan teganya menggunakan perasaan sebagai alasan untuk menjadi “kita”
yang Allah benci” Fauzan baru ingin menyela tapi Ziya seperti tidak memberinya
ruang.
“Kalau kamu memang mencintai aku seperti
yang kamu bilang, silahkan ke rumah temui Ayah. Aku pamit”.
Fauzan menatap kepergian Ziya dengan
pandangan nanar. Dia telah menyakiti wanita yang dicintainya. Hatinya mencelos,
perkataan Ziya benar dan menampar tepat dihatinya. Fauzan tahu sekarang mengapa
hubungan yang remaja dan dia jalani ini sering dilanda masalah. Karena Allah
tidak meridhai dan Allah ingin dia mengakhiri itu. Ziya terlalu berarti untuk
Fauzan ajak berada dalam lingkaran terlarang dan Fauzan akan memutuskan.
Karena pilihannya hanya dua. Ikhlaskan atau
Halalkan?
###
Dua hari berlalu...
Ziya duduk ditepian ranjangnya yang
menghadap jendela, menanti keseriusan Fauzan. Hatinya resah dan gundah. Kalau
boleh jujur, keputusan kemarin cukup membuat hatinya patah dan nasihat temannya
tentang adzab Allah selalu terngiang. Ziya pun tidak sanggup harus menahan
kebohongan lebih lama lagi, karena hati Ziya akan lebih patah jika Ayah kecewa
padanya.
“Jika kamu melepaskan sesuatu yang kamu
cintai karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik”.
Ziya tidak ingin Ayah kecewa. Ziya tidak
mau menjadi anak durhaka, menghalangi langkah Ayah nya menuju syurga. Ziya
tidak ingin membuat Ibu yang sudah “disana” sedih. Ziya ingin mereka tetap
menjadi satu keluarga hingga di syurgaNya kelak.
“Ziya” yang dipanggil pun menoleh,
tersenyum tipis pada Ayah nya yang berada diambang pintu kamar.
“Ayah boleh masuk?” Ziya mengangguk,
bergeser sedikit memberi ruang pada Ayah untuk duduk disampingnya.
“Sudah dua hari ini Ayah melihat kamu hanya
diam di kamar. Ga jalan sama teman kayak biasanya?” tanya Ayah penasaran
membuat Ziya cemas karena belum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Gapapa, pengen isirahat nemenin Ayah”,
sahutnya seraya menunduk sambil memainkan jarinya, cemas.
“Ziya” panggil Ayah dengan lembut. Hatinya
sesak. Setega itu dia membohongi Ayah nya yang sangat mencintainya ini?
“Lihat Ayah Nak” lanjut Ayah Ziya sambil
menilik wajah tertunduk anaknya, ada air mata yang tertahan di sana. Ahmad,
Ayah Ziya merangkul pundak gadis kecilnya, menenangkan.
“Maafin Ziya Ayah, maafin Ziya”, setetes
airmata nya jatuh. Ayah mengeratkan rangkulannya, membuat Ziya semakin terisak
masih dengan melirihkan “Maafin Ziya”.
Mengalirlah cerita itu dari bibir Ziya,
dengan perasaan cemas akan marah dan kecewa Ayah. Tentang bagaimana dia bisa
mencintai Fauzan pada hari pertama bertemu dengan kepribadian yang baik dan
sholeh. Tentang bagaimana dia selalu berbohong pada Ayah nya juga tentang
keputusan hari itu.
“Maafin Ziya Ayah”, lirihnya lagi.
Ahmad tahu cinta pertama itu berat untuk
anaknya, tapi Ahmad lebih marah pada dirinya karena merasa kurang dalam
memperhatikan dan menyayangi hingga anaknya terjerumus dalam pacaran. Ahmad
paham, meski dia sudah menyekolahkan Ziya dalam lingkungan pesantren, bimbingan
itu harus tetap ada dari keluarga karena keluargalah yang akan lebih
menguatkan. Maafkan aku Fatma, batin Ahmad. Istrinya disana pasti kecewa.
“Ayah maaf”, lirih Ziya lagi.
“Jangan menangis, Ibu tidak akan senang
melihat kamu menangis”, ujar Ayah Ziya sambil tersenyum tipis dan bisa Ziya
lihat ada amarah serta kecewa tertahan disenyum itu.
“Kamu benar-benar mencintainya”? Ziya
mengangguk sambil melirihkan kata “Maaf”.
“Lalu kata kamu, dia juga seperti itu?”
Ziya mengangguk lagi sambil melirihkan kata “Maaf”.
“Dia akan datang jika dia benar-benar shaleh
dan baik yang seperti kamu ceritakan. Ayah akan merestuinya jika dia sejantan
itu”, Ziya mengangkat kepalanya yang tertunduk menatap Ayah.
“Tapi Ayah, Ziya kan masih semester 2”?
“Tak masalah Nak. Menikah itu bukan tentang
umur tapi tentang kesiapan mental kamu, lahir bathin kamu. Lagipula Ayah lebih
rela melepaskan kamu seperti itu daripada kamu diam-diam pacaran”, Ayah
mengusap kerudung anaknya dengan lembut.
“Tapi...”? Ziya menatap Ayahnya lekat
menunggu kelanjutan kalimat.
“Doa sama Allah. Jatuhkan seluruh harapanmu
kepadaNya, semoga dia memang yang terbaik. Agar kamu tidak kecewa pada
keputusannya kelak. Karena jodoh itu ada 2 cara: Berjodoh dengan orang yang
selalu kita sebut namanya atau berjodoh dengan orang yang selalu menyebut nama
kita”.
Ziya tersenyum lalu mencium punggung tangan
Ayah nya.
“Terima kasih Ayah”.
Tiga tahun kemudian, hari yang dinanti
akhirnya tiba...
Ziya menatap pantulan dirinya di cermin
agak tidak menyangka dia bisa secantik itu. Dengan gaun sederhana dan make up
tipis. Akad sudah berlangsung kemarin pagi dan hari ini perayaan sederhana
bersama kerabat terdekat dan tetangga. Ziya gugup, tangannya berkeringat. Tidak
ada kata yang mampu mengungkapkan rasa bahagia yang sangat membuncah didadanya.
Menikah dengan seseorang yang mengisi seluruh denyut nadinya? Tidak ada yang
lebih bahagia dari itu. Biarkan Ziya agak gila dihari spesialnya.
“Ziya sudah ditunggu di luar”, suara Ayahnya
menyadarkan Ziya, dia hampir lupa kalau seseorang itu sedang menunggu.
Memastikan penampilannya benar-benar rapi Ziya langsung melangkahkan kakinya
dengan senyum mengembang menyusul Ayahnya yang sudah berdiri di sisi sofa
menanti dirinya.
“Kamu cantik” puji Ayah membuat senyum Ziya
semakin mengembang.
“Ayok” Ziya menolehkan pandangan pada
seseorang di samping Ayah, menyambut gandengan tangan kokoh laki-laki itu,
Hasan.
“Bener kata Ayah kamu hari ini cantik” ujar
Hasan sambil menuntunnya menuju bangku khusus mempelai.
“Mas saja yang baru menyadari kecantikan
ku”, sahut Ziya disusul kekehan dari Hasan.
“Aduh Mas, aku suaminya kenapa lebih so
sweet sama kamu”, Ziya dan Hasan menoleh serentak pada suara yang menyela
tawa mereka.
“Masa cemburu sama abang ipar sendiri sih”.
Mas kan juga kangen sama adek Mas yang tiba-tiba nyuruh pulang dari rantauan,
eh ternyata mau nikah”, sahut Mas Hasan membuat Ziya dan Fauzan terkekeh.
“Cepat nyusul ya Mas Jomblo” ejek Fauzan
dengan senyum nakal.
“Udah nih kamu bimbing dia”, rajuk Mas
Hasan.
“Jangan hanya untuk menuju pelaminan, tapi
bimbing dia dengan benar menuju jannahNya. Mas percaya sama kamu Fauzan”,
lanjut Mas Hasan membuat Ziya terharu atas kalimatnya, tapi tidak lebih terharu
seseorang itu benar-benar meminangnya, meski harus menunggu agak lama.
Ziya menatap Fauzan yang membimbingnya
sambil bergandengan. Seseorang itu kembali, membuktikan bahwa cintanya pasti
dan besar, dengan karena Dia.
“Terima kasih Fauzan, atas keseriusanmu”,
ucap Ziya dengan lembut, membuat Fauzan tersenyum.
“Aku kembali atas kehendak Allah dan cinta
ini. Terima kasih karena telah menunggu ku. Aku mencintaimu”, sahut Fauzan lalu
mencium dahi Ziya, lama.
Setetes air mata bahagia mereka jatuh.
Berpisah demi sesuatu yang benar, maka Allah pertemukan lagi mereka dengan cara
yang pantas.
Memang benar adanya jodoh itu ada 2 cara:
Berjodoh dengan orang yang sering kita sebut namanya atau berjodoh dengan
seseorang yang sering menyebut nama kita. Dan mereka adalah dua orang yang
saling mendoakan.
###
Dzakiyah Muthi'ah |
No comments:
Post a Comment