Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » » Penyebab Bangsa yang Rusak


Setiap bangsa di dunia ini selalu berusaha untuk memajukan bangsanya, menghamparkan lapangan kerja dan mendirikan tembok-tembok pengaman dari setiap ancaman agar kesejahteraan dirasakan oleh setiap insan. Namun ironinya, tidak sedikit bangsa-bangsa di dunia ini yang salah jalan untuk menggapainya. Perlu kita belajar dari bangsa Cina di masa silam, untuk mewujudkan kesejahteraan dan keamanan bagi bangsanya, mereka dirikan sebuah tembok raksasa yang sangat panjang dan tinggi dengan tujuan agar tidak ada yang mengganggu atau mengancam ketenangan hidup mereka. Harga dari tembok raksasa tersebut ternyata sangat mahal, mereka harus mengorbankan pendidikan rakyatnya karena semua perhatian dan pendanaan difokuskan untuk merampungkan tembok keamanan tersebut. Tapi apa yang terjadi setelahnya? Tembok berdiri gagah, tapi sayangnya para penduduk tidak terdidik, akibatnya terjadi tiga kali perang besar di negeri tersebut.

Beda halnya dengan Jepang, setelah Bom Nuklir meluluhlantakkan Hirosima dan Nagasaki, sang Kaisar memerintahkan ke seluruh negerinya untuk pendataan tenaga pendidik yang masih hidup. Para guru dibina, difasilitasi dan disejahterakan hidupnya agar bisa maksimal dalam mendidik anak-anak negerinya. Berbekal dari para pendidik inilah, Jepang bisa pulih dan mampu menjadi negara maju dalam waktu yang relatif singkat.

Dari dua fakta sejarah di atas, mestinya Indonesa harus berani mengambil langkah strategis untuk mengalihkan status dari Negara Berkembang menjadi Negara Maju dengan memaksimalkan penggarapan di sektor pendidikan. Semua potensi yang mengarah pada perbaikan kualitas pendidikan harus dirangkul dan dimanajemen dengan maksimal. Pergantian kurikulum mestinya tidak mengikuti dinamika politik, ganti menteri ganti kurikulum, atau hanya sekedar untuk menghabiskan anggaran di akhir tahun, tapi pergantian kurikulum harus mengedepankan perbaikan kualitas output pendidikan Indonesia di masa depan.

Sebagai bahan pemikiran kita, mestinya kita mencamkan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa untuk menghancurkan peradaban sebuah bangsa, ada tiga cara jitunya, yaitu:

1.   Hancurkan tatanan keluarga
2.   Hancurkan pendidikan
3.   Hancurkan keteladanan tokoh panutan

Pertama, untuk menghancurkan peradaban suatu bangsa, maka hancurkan keluarga sebagai miniatur masyarakat. Caranya adalah memperkecil peran ibu-ibu di dalam rumah, sibukkan mereka dengan pekerjaan dan karir di luar rumah, agar urusan di rumah sudah cukup dipercayakan kepada pembantu saja. Akibatnya, ibu-ibu merasa bangga dan merasa lebih modern sebagai wanita karir ketimbang mengurusi rumah tangga, melayani suami dan mendidik anak-anaknya. Mengurusi orang dan suami orang minimal delapan jam sehari, sementara mengurusi rumahtangga, suami dan anak-anaknya hanya disisa-sisa tenaga dan pikirannya. Dampak dari keluarga yang tidak terurus seperti ini, akan lahirlah keluarga-keluarga yang broken home, anak-anak terlantar, dan tanggungjawab kepada suami yang terabaikan. Tanpa disadari, sejatinya telah diciptakan “generasi-generasi rusak” di masa depan.

Kedua, untuk menghancurkan peradaban suatu bangsa, maka hancurkan pendidikannya dengan cara mengabaikan peran utama guru untuk mendidik. Kurangi penghargaan terhadap guru, alihkan kesibukan mereka dengan berbagai macam kewajiban administrasi sehingga waktu untuk mengajar semakin sedikit. Kondisi ini benar-benar terjadi saat ini, dimana guru selalu disibukan untuk menyiapkan administrasi dengan segala ancaman bila tidak memenuhinya, akibatnya guru lebih memilih untuk membuat administrasi dari pada mengajar dan berinteraksi dengan siswa di kelas. Fakta yang sering ditemukan, ketika guru mempersiapkan administrasi atau mengikuti pelatihan-pelatihan untuk menghabiskan anggaran, anak didik hanya diberikan tugas-tugas tanpa pengawalan. Begitu di akhir semester, hasil ulangan anak sangat jauh di bawah standar ketuntasan. Namun, lagi-lagi dalih administrasi dan konsekuensinya, maka nilai anak didik dipaksa-paksa untuk dituntaskan. Alhasil, sejatinya pendidikan kita telah “berhasil” mencetak generasi-generasi rusak ilmu, rusak akhlak, dan rusak mental. Barangkali sebagai pembandingnya, kita boleh mengintip pendidikan di Finlandia, mereka lebih membesarkan porsi waktu guru bersama anak didik ketimbang administrasi, mereka sangat menghargai peran guru, mereka lebih memfokuskan pada perkembangan apektif dan psikomotorik siswa, dan hasilnya mereka berhasil mencetak generasi-generasi berkualitas dan pernah menempati urutan pertama sebagai negara yang paling tinggi kualitas pendidikannya di dunia.

Ketiga, untuk menghancurkan peradaban suatu bangsa, maka hancurkan keteladanan tokoh-tokoh panutan. Caranya adalah dengan melibatkan para tokoh panutan seperti ulama atau rohaniawan dalam kancah politik, agar orientasi mereka bukan pada pembinaan ummat, tapi pada materi, jabatan dan kekuasaan. Tidak sedikit para tokoh yang terjebak pada jalan politik ini, dan bisa dilihat bagaimana akibatnya setelah mereka mendapatkan semuanya. Bila ulama/rohaniawan panutan sudah masuk di ranah politik, sementara ulama/rohaniawan yang tidak berpolitik dikriminalisasi, maka dengan sangat mudah bangsa tersebut diadu-domba dan dimusnahkan. Mestinya dalam konteks ini, kita patut belajar dan meneladani bagaimana Rasulullah memainkan perannya dalam berbangsa dan bernegara, sehingga Yatsrib bisa diubahnya menjadi Madinah al-Munawwarah yang makmur dan sangat tinggi peradaban manusianya.


Berdasarkan uraian di atas, jika kita tidak ingin bangsa yang besar ini rusak dan mudah dimusnahkan, maka harus dibenahi dari berbagai sisi, minimal tiga hal di atas yang dijadikan sebagai skala prioritas utamanya. Wallahu A’lam.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

1 comment:

Khairul Katsirin said...

Terimakasih...
Sangat bermanfaat
Ijin Share...