Sifat-sifat tercela yang bisa mengotori
jiwa manusia cukup banyak macamnya, antara lain: Hasad (iri), Haqad
(dengki/benci), Su’udzan (sangka buruk), Kibir (sombong), Ujub
(merasa sempurna diri dari orang lain), Riya (memamerkan kelebihan), Sum’ah
(cari-cari nama atau kemasyhuran), Bukhul (kikir), Hubbbal Mal
(cinta kebendaan), Tafahur (membanggakan diri), Ghadab (pemarah),
Ghibah (pengupat), Namimah (bicara belakang orang), Kidzib
(dusta), dan Khianat (munafik).
Adapun sifat-sifat yang tercela yang termasuk
dalam maksiat lahir, yakni segala perbuatan
yang dikerjakan oleh anggota badan manusia yang berpotensi merusak orang atau
diri sendiri sehingga membawa pengorbanan benda, pikiran dan perasaan. Maksiat lahir, melahirkan kejahatan-kejahatan
yang merusak seseorang dan mengacaukan masyarakat.
Maksiat bathin lebih berbahaya lagi, karena tidak
kelihatan dan biasanya kurang disadari dan sukar dihilangkan. Maksiat bathin dimaksud
adalah pembangkit maksiat lahir dan selalu menimbulkan kejahatan-kejahatan
baru yang diperbuat oleh anggota badan manusia. Kedua macam maksiat itu selalu
meng- ganggu keselamatan dan kesejahteraan masyarakat yang dapat membawa
manusia kepada kecelakaan. Kedua macam maksiat inilah yang mengotori jiwa
manusia setiap waktu dan kesempatan yang diperbuat oleh diri sendiri tanpa
disadari. Semua itu merupakan hijab/dinding yang membatasi kedekatan diri
dengan Allah SWT.
Sifat-sifat itu bersumber dari hati
manusia. Sifat-sifat yang terpuji berasal dari hati yang bersih dan
sifat-sifat yang buruk berasal dari hati yang kotor. Kotoran-kotoran hati itu bisa dirasakan saat kita mengerjakan shalat.
Karena itu, salah satu hikmah shalat adalah mendidik seseorang menyadari
kekotoran hatinya dari sifat-sifat buruk, setelah kesadaran tersebut terasa,
maka ia menjadi terdorong untuk mensucikannya.
Contoh: Seorang Mukmin mengerti betul
bahwa tujuan utama shalat ialah semata-mata untuk mengingat kepada Allah.
Tetapi kebanyakan orang dalam shalat menyeleweng dari tujuan tersebut. Begitu
memulai Takbiratul Ihram, ingatan telah membelok ke dunia pada masalah-masalah hidup
yang meliputinya. Semakin banyak cabang usahanya, semakin banyak pula cabang
ingatannya, sehingga hal tersebut menjadikannya kurang mengingat Allah. Berdasarkan
pengamatan, kondisi shalat seperti ini bisa menunjukkan sebenarnya seberapa
bersih atau kotor hati kita saat ini? Banyak atau sedikitnya kotoran hati itu
dapat dirasakan banyak sedikitnya ingatan kepada Allah dalam shalat. Bila
ingatan kepada Allah dalam shalat tidak ada sama sekali, maka shalat kita tidak
sah. Biasanya, kita mencoba menghilangkan ingatan keduniaan dengan memejamkan
mata, tetapi dengan sekejap datang lagi, sehingga ingatan kita kepada Allah sirna
kembali disebabkan hati kotor akibat keburukan hawa nafsu.
Keadaan seperti ini, dapat
diumpamakan seperti "lalat" yang mengerumuni kotoran-kotoran pada
suatu benda. Lalat-lalat itu kalau diusir, terbang pergi. Tetapi dengan sekejap
datang lagi pada benda tersebut selama benda itu tidak dibersihkan dari
kotoran. Demikian pulalah halnya hati yang kotor. Kotoran hati berasal dari berbagai
maksiat yang diperbuat hingga kotoran tersebut telah membalut hati. Pantaslah, jika
ada orang yang membuat kejahatan dikatakan berhati busuk. Perbuatan-perbuatan
jahat ini juga bisa dijadikan barometer kebusukan hati bagi orang yang tidak
melaksanakan shalat. Kalau kita lalai membersihkan kotoran-kotoran hati, maka
semakin lama akan semakin tebal dan kotoran tersebut akan membungkus hati
seperti kepompong yang membungkus ulat, sehingga cahaya hati tertutup atau
terhijab untuk berkomunikasi dan mendekat kepada Allah SWT. Maka, bila
seseorang shalat tidak ada sama sekali ingatan kepada Allah, maka shalatnya tidak
sah dan Neraka Wa’il-lah tempat terburuknya di akhirat.
Penulis: Jayadi,
S.Pd.I., MA
Editor: Adnan
Mahdi
No comments:
Post a Comment