Penulis:
Bob Andrian, S.Th.I.
Kandidat
Magister Komunikasi UIN Bandung |
Pendahuluan
Islam
adalah agama dakwah yang harus komunikasikan atau ditransformasikan kepada
masyarakat luas, khususnya masyarakat muslim. Adapun
cara atau metode penyampaian dakwah dapat dilakukan dengan cara arif dan
bijaksana. Sebagaimana yang telah di ajarkan oleh
Rasulullah
SAW sebagai da’i yang ulung sepanjang masa, bahwa dakwah haruslah disampaikan
dengan cinta dan kasih sayang, santun dan damai, demokratis dan persuasif agar
orang yang didakwahi akan selamat, bahagia dan sejahtera baik di dunia maupun
di akhirat.
Beriring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan
informasi, ternyata banyak membawa dampak pada perubahan sosial budaya di
masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Tidak hanya pada aspek ilmu
pengetahuan dan teknologi yang berkembang dan berubah, tetapi era globalisasi
juga memiliki potensi untuk mengubah hampir seluruh sistem kehidupan
masyarakat. Di antaranya di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan di
bidang pertahanan dan keamanan. Masyarakat muslim misalnya juga mengalami
perubahan, di antaranya tingkat kemiskinan dan kesengsaraan umat yang semakin
meningkat. Perubahan ini tentunya menjadi salah satu alasan bagi timbulnya
berbagai problem sosial dan keagamaan di masyarakat. Tidak terkecuali
masyarakat muslim di Kabupaten Sambas.
Sambas
adalah salah satu wilayah yang mayoritas masyarakatnya adalah muslim. Sekitar
85 % dari masyarakat Sambas adalah suku Melayu dan sisanya adalah suku daya dan
Thiong Hua. Sedangkan Melayu sendiri sangat diidentikkan dengan
Muslim. Melihat berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat Melayu, seperti
meraknya kasus kriminalitas, pelecehan seksual, penyalahgunaan obat-obat
terlarang, Korupsi dan lain-lain. Hal ini tentu menjadi problematika yang
krusial.
Menurut
konteks keislaman dari persoalan yang terjadi adalah dikarenakan pendangkalan
Iman masyarakatnya serta lunturnya nilai-nilai dan etika Islam yang sebelumnya
tercermin dalam setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Untuk mengatasi
problematika yang terjadi, dakwah diharapkan bisa menjadi solusi alternatif
yang bertujuan memberikan warna warnai dengan sarat nilai-nilai dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat.
Konseptualisasi
Dakwah
Secara
sederhana dakwah adalah menyampaikan pesan agama melalui metode dan cara
tertentu dengan tujuan tertentu pula. Ditinjau dari segi bahasa (etimologi)
dakwah berasal dari akar kata da’a-yad’uda’watan,
yang mengandung arti seruan, panggilan, undangan atau do’a. Kata-kata tersebut sebenarnya juga telah di sampaikan dalam beberapa ayat
al-Qur’an. Hanya saja dari beberapa ayat tersebut arti dan maknanya masih
bersifat umum dan luas. Di antara ayat-ayatnya adalah terdapat dalam al-Qur’an
surah Ali Imran ayat 104 (yad’u) yang
berarti menyeru kepada kebaikan. Adapun dalam ayat yang lain memiliki arti do’a, di antaranya terdapat dalam
al-Qur’an surah al-A’raaf ayat 55 (ud’u
rabbakum) yang artinya berdoalah pada tuhanmu dengan rendah diri dan dengan
suara yang lembut. Berakar dari kata sama, dakwah juga dapat di artikan dengan mengajak pada
sesuatu, mengubah dengan perkataan, perbuatan dan amal.
Sedangkan
ditinjau dari aspek terminologinya dakwah, memiliki arti yang beragam. Di
antaranya menurut Asmuni Syukir istilah dakwah dapat didefinisikan dalam dua
sudut pandang, yaitu antara dakwah dalam sudut pandang pembinaan dan pengertian
dakwah dalam sudut pandang pengembangan. Dakwah dalam sudut pandang pembinaan
adalah suatu kegiatan untuk mempertahankan dan menyempurnakan sesuatu hal yang
telah ada sebelumnya. Sedangkan yang dimaksud dakwah dalam sudut pandang
pengembangan adalah suatu usaha mengajak umat manusia untuk beriman kepada Allah
swt, dan mentaati syari’at islam agar
bahagia di dunia maupun akhirat.
Menurut M.
Shulton dakwah adalah usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan
sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat. Mengubah
situasi yang dimaksudkan adalah memberikan sebuah stimulus kepada mad’u agar bisa mengamalkan setiap pesan
dakwah yang telah disampaikan oleh da’i
(penyampai pesan). Selain itu, dakwah juga dapat diartikan dengan memberikan
motivasi kepada mad’u (penerima
pesan) dengan tujuan agar si penerima pesan lebih bersemangat lagi untuk
melaksanakan setiap perintah dalam agama dengan baik. Sesuai dengan tuntunan
dan ajaran yang perintahkan oleh Allah SWT dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Dikaji
dari sisi etimologi dan terminologinya, maka dakwah merupakan sebuah konsep
yang harus dipahami dengan baik. Tujuannya agar dakwah yang dilakukan tidak
menyimpang dari esensi dakwah itu sendiri. Menurut Kustadi Suhandang dalam
pengertian dakwah baik itu secara bahasa maupun istilah terbagi menjadi dua, di
antaranya dakwah Islamiyah dan dakwah. Dakwah
Islamiyah artinya dakwah yang mengacu pada seruan dan panggilan Islam yang
terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sedangkan dalam arti secara
umum bahwa dakwah merupakan kewajiban bagi semua muslim dalam menyiarkan ajaran
agama Islam.
Dari
beberapa pengertian di atas, maka dapat di pahami bahwa dakwah secara
konseptual merupakan salah satu bagian dari usaha penyebaran Islam, di samping amar ma’ruf dan nahi munkar. Ditujukan kepada perorangan atau masyarakat bahkan
golongan agar terpanggil hatinya kepada ajaran Islam untuk dipelajari,
dihayati, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan
uraian di atas, maka secara konseptual hakikat dari dakwah dapat dibagi menjadi
tiga gagasan pokok. Di
antaranya, pertama dakwah adalah
proses mengajak mad’u kembali kepada jalan Allah SWT. Adapun cara dalam upaya
tersebut menurut Abdul Baasit dengan
tiga cara, yaitu Tabligh (Penyampaian),
Thahyir (Perubahan, Internalisasi,
dan Pengembangan), dan Uswah
(Keteladanan).
Kedua, dakwah merupakan
sebagai upaya mempengaruhi. Adapun yang perlu digaris bawahi, bahwa maksud
mempengaruhi adalah bukan dalam artian dilakukan dengan paksaan. Namun dakwah
yang dilakukan dengan santun, baik dan benar sehingga pesan dakwah benar-benar
tersampaikan dengan baik. Sehingga penerima pesan akan tertarik dan terpengaruh
untuk melaksanakan setiap perintah yang diberikan.
Sedangkan yang terakhir adalah dakwah dalam
artian sebuah sistem yang komplit. Secara umum sistem yang dimaksudkan adalah
adanya da’i, mad’u, mawdhu’, materi,
metode, evaluasi dan konteks dakwahnya. Mengingat dakwah adalah sebuah proses,
maka dakwah yang dilakukan tidak akan berjalan lancar apabila salah satu sub
sistem tersebut tidak terpenuhi.
Internalisasi
Pesan Dakwah
Sebagaimana
diketahui bersama bahwa Rasulullah SAW telah berhasil mengembangkan agama Islam
ke seluruh penjuru manusia. Dalam mengembangkan agama Islam, beliau mendapat
tantangan yang amat keras. Kemudian dalam waktu yang relatif singkat dunia
menyaksikan bahwa Rasulullah adalah pendakwah yang ulung. Maka dari itu,
melalui dakwah akan bisa diubah. Sebagai contoh, dunia Arab yang pada waktu itu
dalam suasana kejahiliahan kemudian berubah menjadi masyarakat yang beriman
kepada Allah SWT. Kemudian mereka menjadi bangsa yang berperadaban yang maju
dan besar.
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, bahwa dakwah merupakan suatu kegiatan yang bertujuan
untuk mengajak manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru
mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan mungkar agar mereka
mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selain itu, dakwah juga dimaknai
sebagai upaya seseorang atau lembaga dalam mengimplementasikan nilai ajaran
agama Islam dengan menggunakan sistem dan cara tertentu.
Mengingat
umat Islam sekarang ini dihadapkan dengan berbagai problematika. Di antaranya
mulai lunturnya nilai-nilai Islam dalam aspek sosial budaya masyarakat. Selain
itu, ditambah meraknya kasus-kasus kriminalitas dengan berbagai rupa. Hal ini
tentu perlu menjadi perhatian serius, karena menyangkut persoalan masa depan
umat muslim. Lalu untuk menghadapi berbagai tantangan umat Islam dakwah
haruslah di kembangkan agar pesan dakwah dapat tersampaikan dengan baik dan
benar.
Tata
Sukayat dalam bukunya “Ilmu Dakwah”
menyebutkan bahwa ada solusi tepat untuk mengatasi problematika yang dihadapi
dalam dakwah, di
antaranya dakwah dengan kultural dan dakwah struktural. Dakwah kultural adalah
dakwah yang menggunakan pendekatan kultural (budaya). Sedangkan dakwah
struktural adalah dakwah dengan menggunakan pendekatan politik atau politik
dakwah.
Dilihat
dari aspek sejarah bahwa dakwah yang dikembangkan oleh para da’i masa lalu sangatlah berbeda dengan
sekarang. Terutama dalam konteks dakwahnya. Pada masa lalu dengan kondisi dan
situasi yang berbeda tentu akan mempengaruhi metode, media dan pesan dakwah
yang akan disampaikan kepada mad’unya.
Oleh sebab itu, guna terwujudnya dakwah yang efektif, maka diperlukan sebuah
upaya dalam menyampaikan pesan dakwah. Sesuai konteks kekinian, khususnya di
Indonesia yang kaya akan keragaman kulturnya. Maka internalisasi pesan dakwah
dalam budaya menjadi salah satu pilihan guna mencapai sebuah dakwah yang
efektif.
Internalisasi
pesan dakwah adalah istilah lain dari dakwah kultural. Karena secara etimologi
esensi internalisasi merupakan bagian dari dakwah. Sukriadi Sambas menyebutkan
bahwa dakwah adalah sebuah proses internalisasi, transmisi, difusi,
Institusionalisasi, dan transformasi Islam yang melibatkan unsur-unsur dakwah. Sedangkan dakwah kultural sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah dakwah
yang menggunakan pendekatan kultural. Mengacu pada pengertian tersebut, maka pada
esensinya pendekatan kultural atau budaya dilakukan dengan internalisasi pesan
dakwah dalam budaya (kultur) masyarakat.
Menurut Tata Sukayat secara substansional dakwah
kultural memiliki
dua aspek. Pertama, dakwah kultural
bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tertentu. Namun dalam proses inovatif
dan kreativitasnya, tetap tidak mengubah atau menghilangkan aspek substansi
dari keagamaannya. Kedua, lebih
menekankan pada pentingnya kearifan dalam memahami kebudayaan komunitas
tertentu sebagai sasaran dakwah (Objek Dakwah).
Pesan dakwah yang disampaikan melalui
pendekatan budaya dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dan metode. Di
antaranya ditinjau dari aspek komunikasinya menurut Wilbur Schramm yang dikutip
oleh Kustadi Suhandang ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan. Pertama, melihat situasi keberlangsungan
proses komunikasinya. Maksudnya adalah seorang da’i harus melihat bagaimana kondisi lokasi dari masyarakatnya yang
menjadi sasaran dakwahnya. Karena masyarakat kota berbeda budayanya dengan
masyarakat desa. Sehingga di desa yang budayanya lebih cenderung dan kental
budayanya maka dakwah melalui adat, tradisi merupakan strategi yang tepat untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Kedua, mengetahui
status pribadi komunikan. Maksudnya adalah dalam menyampaikan pesan-pesan
dakwah kepada masyarakat terlebih dahulu perlu dipahami bagaimana status
masyarakat tersebut. Apakah masyarakat tersebut adalah masyarakat umum atau
masyarakat yang paham dan mengerti agama. Sekiranya merupakan masyarakat umum,
maka proses internalisasi nilai melalui budaya juga sangat memungkinkan karena
masyarakat umum sangat akrab dengan adat dan tradisi yang ada di
lingkungannya.
Ketiga, ikatan
norma-norma dalam kelompok. Maksudnya adalah norma-norma atau nilai-nilai yang
menjadi kesepakatan di masyarakat. Nilai-nilai dan Norma inilah yang terwujud
dalam bentuk adat dan tradisi di masyarakat, sehingga mengetahui latar belakang
budaya formal suatu masyarakat merupakan cara atau metode yang tepat. Sebagai contoh tradisi-tradisi yang ada di masyarakat seperti, arisan,
pengajian, seni budaya, tradisi zikir-zikiran, dan budaya-budaya lainnya.
Dakwah
dalam Tradisi dan Keberhasilannya
Proses
internalisasi nilai budaya dalam kehidupan sosial masyarakat telah diuraikan
sebelumnya, bahwa proses tersebut merupakan sebuah upaya yang sangat urgen
dalam proses penyampaian nilai-nilai ajaran agama. Pentingnya proses tersebut
dilakukan karena tradisi dan masyarakat memiliki hubungan yang saling
mempengaruhi. Menurut Hasan Hanafi tradisi itu lahir dan dipengaruhi oleh
masyarakat demikian pula sebaliknya, masyarakat muncul dipengaruhi oleh
tradisi. Oleh sebab itu, dakwah yang disampaikan melalui budaya merupakan hal yang tepat
dalam menyampaikan nilai-nilai ajaran agama.
Berangkat
dari tradisi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kebudayaan
masyarakat, misalnya masyarakat Melayu Sambas. Sambas adalah salah satu wilayah
yang mayoritas masyarakatnya adalah suku Melayu. Budaya Melayu adalah budaya
yang sudah lama berkembang di Indonesia khususnya di Sambas. Budaya Melayu ini
diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang Melayu. Bagi masyarakat Melayu,
budaya Melayu adalah ciri khas daerah Kabupaten Sambas. Bentuk manifestasi dari
nilai-nilai warisan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang Melayu terdapat
dalam bahasa dan tradisi-tradisi Melayu yang menjadi identitas Masyarakat Melayu
Sambas. Satu di antara sekian banyak tradisi yang identik dengan agama pada masyarakat Melayu
Sambas, contohnya adalah Tradisi Zikir Nazam dan Zikir Maulid.
Tradisi
Zikir Nazam dan Zikir Maulid dalam masyarakat Melayu Sambas merupakan salah
satu bentuk budaya lokal yang sarat dengan muatan nilai-nilai keislaman.
Terlebih lagi tradisi ini masih tetap terjaga dengan baik hingga sekarang ini.
Berbeda dengan tradisi lainnya, tradisi Zikir Nazam dan Zikir Maulid masyarakat
Melayu Sambas sudah merupakan bagian penting yang selalu hadir dalam setiap
upacara keagamaan, misalnya dalam acara hari besar keagamaan Islam, upacara
perkawinan, upacara kelahiran, penyambutan tahun baru tahun Islam, dan bahkan
menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan oleh Majelis Adat dan Budaya Melayu.
Pada
dasarnya tradisi Zikir adalah salah satu bentuk puji-pujian yang ditujukan
kepada Nabi Muhammad SAW. Puji-pujian ini merupakan sebuah pengabdian yang
diaplikasikan dalam bentuk tradisi. Tujuannya adalah untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT yang dilakukan dengan mengingat Allah (berzikir), mensucikan
Allah (bertasbih), dan memuji kebesaran Allah (bertahmid). Bentuk-bentuk
pengabdian ini, kemudian dipadukan dengan sebuah seni yang berupa syair.
Syair-syair yang berisikan pujian dan zikir dilakukan terus menerus oleh
masyarakat adalah untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Tradisi
Zikir Nazam dan Zikir Maulid dalam kehadirannya di masyarakat Melayu Sambas
mengalami perkembangan dan pengembangan. Tidak sekedar merupakan bentuk
pengabdian tetapi menjadi sebuah kebiasaan yang melekat di masyarakat, bahkan
penggunaannya juga mengalami proses pengembangan. Tradisi Zikir sebelumnya
hanya dilakukan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi dalam
pengembangannya tradisi Zikir Nazam dan Zikir Maulid dilakukan dalam acara
keagamaan, hiburan dan acara sosial.
Tradisi
zikir bagi masyarakat Melayu Sambas adalah sebuah seni budaya yang di dalamnya
sarat dengan muatan dakwah Islam. Isi yang terkandung di dalamnya banyak
mengajarkan tentang nilai-nilai keagamaan. Bagi masyarakat Melayu Sambas
tradisi Zikir bukan sekedar seni budaya yang menjadi hiburan, tetapi dakwah
Islam yang terkandung di dalamnya berimplikasi bagi masyarakat Melayu Sambas.
Implikasi yang ditimbulkan di antaranya banyak ditemukan seseorang yang dulunya
sering melakukan perbuatan yang melanggar aturan dan jauh dari syariat, tetapi
setelah ikut serta dalam tradisi zikir dan aktif di dalamnya justru berubah
menjadi seseorang yang taat beribadah dan aktif di masyarakat.
Implikasi
lainnya dari tradisi Zikir Nazam dan Zikir maulid adalah terhadap kehidupan
sosial masyarakat, yaitu yang ditandai dengan semakin eratnya hubungan silaturahmi,
tumbuhnya sikap gotong-royong, dan tumbuh rasa tanggung jawab yang tinggi.
Implikasi yang ditimbulkan ternyata mengubah pola hidup, tingkah laku, tatanan
sosial, dan sistem sosial Masyarakat Melayu Sambas. Mengingat banyak sekali
Implikasi yang timbul dari tradisi Zikir Nazam dan Zikir Maulid. Khususnya bagi
masyarakat Melayu Sambas, maka internalisasi pesan dakwah melalui tradisi dapat
dikatakan efektif dan berhasil.
Menurut kamus bahasa Indonesia kata efektif
merupakan sebuah keterangan yang menandakan adanya ukuran hasil dari tugas atau
adanya keberhasilan dalam mencapai tujuan. Sedangkan menurut Dennis Mc Quail dari sudut pandang teori komunikasi
mengartikan bahwa kata efektif menandakan adanya suatu perubahan atau
tindakan sebagai akibat dari adanya
suatu pesan. Adapun perubahan tersebut ditandai dengan adanya penerimaan pesan yang
melahirkan sebuah tindakan dari pesan tersebut. Merujuk pada pengertian di
atas, maka secara umum efektivitas dapat diartikan sebagai adanya suatu
pengaruh, akibat atau adanya kesan. Selain itu, efektif juga dapat dikaitkan
dengan keberhasilannya sebuah tujuan.
Abdul
Baasit menyebutkan bahwa secara umum indikator keberhasilan dakwah dibagi
menjadi dua, yaitu secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif Abdul
Baasit menyebutkan terdapat beberapa standar keberhasilan, di antaranya
bertambahnya jumlah pemeluknya, bertambahnya jumlah organisasi dan pranata
sosial di masyarakat, dan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam menunjang
keberhasilan dakwah. Sedangkan secara kualitatif standar keberhasilan dakwah di
yang ditandai dengan adanya perubahan, baik itu terhadap individu, kelompok
atau masyarakat secara keseluruhan. Adapun bentuk perubahan tersebut di
antaranya adalah bertambahnya pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran
Islam dalam sendi kehidupan.
Berdasarkan
kedua indikator di atas, maka dakwah dalam tradisi zikir Nazam dan Zikir maulid
dikatakan efektif dan berhasil dengan beberapa kriteria, di antaranya sebagai
berikut:
Ditinjau
dari aspek kuantitatifnya, ditandai dengan bertambahnya kesadaran dalam
menjalankan syariat yang pada akhirnya akan berdampak pada bertambahnya
kesadaran akan pentingnya dakwah dan perkembangannya. Selain itu, ditinjau
secara kualitatifnya di buktikan dengan banyaknya perubahan yang terjadi di
masyarakat, seperti menjadi seseorang yang taat beribadah dan aktif di
masyarakat, semakin eratnya hubungan silaturahmi, tumbuhnya sikap gotong-royong,
dan tumbuh rasa tanggung jawab yang tinggi.
Penutup
Kegiatan
dakwah merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa komponen pokok yaitu da`i, sebagai juru dakwah atau
komunikator, mad`u, (audience atau mustami’) yakni manusia yang menjadi sasaran dakwah atau komunikan,
metodologi berdakwah, maudhu’ atau
pesan dakwah, media dakwah, yakni sarana yang digunakan dalam berdakwah dan
tujuan dakwah.
Merujuk
pada dakwah kultural yang diinternalisasikan dalam bentuk tradisi Zikir maulud
dan zikir nazam pada masyarakat Melayu Sambas merupakan bakti adanya dakwah
yang efektif dan berhasil.
Indikator
dari keberhasilan dakwah tersebut terletak pada dua aspek. Pertama
secara kuantitatif ditandai dengan tercapainya tujuan dakwah, yaitu
tersampaikannya pesan dakwah sehingga berdampak pada jumlah pemeluk Islam,
banyaknya lahir ormas-ormas Islam serta tingginya kesadaran akan perkembangan
dakwah. Kedua, secara kualitatif
ditandai dengan banyaknya perubahan yang terjadi di masyarakat (baik itu secara
individu maupun kelompok) dari proses internalisasi pesan dakwah dalam tradisi,
seperti menjadi taat beribadah, aktif di masyarakat, semakin eratnya hubungan
silaturahmi, tumbuhnya sikap gotong-royong, dan tumbuh rasa tanggung jawab yang
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. “Peran Elite
Masyarakat Melayu Dalam Peace Keeping; Studi Tentang Etnis Melayu Kecamatan
Jawai Pasca Konflik Etnis Di Kabupaten Sambas Tahun 1999”. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2013.
Adnan. “Model Pendidikan Agama Anak
Usia Prasekolah dalam Keluarga Melayu Sambas”. Disertasi Sarjana
Pendidikan. Bandung: Pasca Sarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2015.
Amin, M. Mansyur. Dakwah Islam dan
Pesan Moral. Jakarta: Al-Amin Press, 1997.
Aripuddin, Acep dan Syukriadi Sambas. Dakwah
Damai: Pengantar Dakwah Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007.
Baasit, Abdul. Filsafat Dakwah. Jakarta: Rajawali
Press, 2013.
Bamuallim, Mubarok Bin Mahfudh. Fadhilah
Shalawat Kepada Nabi Saw;
Menurut Al-Qur’an dan As-Sunah. Jakarta: Pustaka Imam AsySyafi’i, 2007.
Departemen Agama R.I. Al-Qur`an dan
Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan)
Jakarta: Departemen Agama R.I, 2008. Cet. I.
Hanafi, Hasan. Oposisi Pasca Tradisi. Yogyakarta:
Serikat, 2003.
Nasution, Harun dan Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 1993.
Quail, Dennis Mc. Teori Komunikasi
Suatu Pengantar. Jakarta; Erlangga Pratama, 1992.
Shulthon, Mohammad. Desain Ilmu
Dakwah. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2003.
Suhandang, Kustadi. Ilmu dakwah; Perspektif Komunikasi. Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2013.
Suharto. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Surabaya: PT. Indah, 1995. cet. Ke-1.
Sukayat, Tata. Ilmu Dakwah;
Perspektif Filsafat Mabadi ‘Asyarah, Bandung: Simbiosa Rekatama Media,
2015.
Syukur, Asmuni. Dasar-Dasar
Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Usana Ofset Printing, 1983.
Maaf, footnotenya dihapus
No comments:
Post a Comment