Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Menempuh Jalan Tashawwuf

Penulis: Syaikh Jayadi Muhammad Zaini
Kandidat Doktor UIN Malang
Isi Buku Tasawwuf
Jalan tashawwuf di sini dimaksudkan adalah usaha pendekatan diri kepada Allah melalui beberapa pendakian dari satu tingkat ke tingkat lainnya yang lebih tinggi sebagaimana biasa dikerjakan oleh para shufi. Hal ini dimaksudkan agar mencapai tujuan utama bertashawwuf, yaitu ma’rifat billah dan insan kamil.
Selanjutnya agar seorang shufi benar-benar dapat mencapai tujuan utama tashawwuf itu, maka harus menempuh langkah-langkah dalam bertashawwuf yang harus ditempuh adalah syari’at, thariqah, hakikat dan ma’rifat

Syari’ah
Mengerjakan syariat itu diartikan sebagai mengerjakan amal badaniyah daripada segala hukum-hukum: shalat, puasa, zakat dan haji. Tegasnya bahwa syariat itu ialah peraturan­-peraturan yang bersumber dari Qur'an dan Sunnah. Sebagai dasar pegangan, Qur'an menyebutkan (Q. S. Al-Maidah 48):
“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu”.
Dalam syariat, apabila seseorang mengerjakan shalat dan sudah ada wudhu, telah menghadap ke Kiblat, bertakbiratul Ihram, membaca Fatihah, Rukuk dan Sujud dan sampai dengan Taslim (salam), seseorang itu oleh syariat sudah dianggap shalatnya telah sempurna. Tujuan utama syariat itu ialah membangun kehidupan manusia atas dasar amar ma'ruf dan nahi mungkar.
Syariat membagi ma'ruf dalam 3 katagori:
ü Fardhu atau wajib.
ü Sunnat atau mustahab.
ü Mubah atau boleh
Selanjutnya Syariat membagi munkarat atas dua kategori:
ü Haram,
ü Makruh.
Petunjuk-petunjuk tersebut di atas memberi pegangan yang kuat bagi setiap manusia untuk dapat pengertian dalam membedakan: mana yang baik dan mana yang buruk, mana benar dan mana yang salah. Petunjuk-petunjuk itu mengikat manusia sebagai kewajiban moral dalam segala sikap hidupnya.
Dalam mengerjakan wajib, sunat, kebaikan, kebenaran, dianggap sebagai suatu kewajiban moral untuk          mengerjakannya yang kelak akan mendapat pahala dan balasannya ialah surga. Dalam mengerjakan: haram, makruh, kemaksiatan atau kejahatan, semuanya itu dipandang sebagai dosa dan balasannya ialah Neraka.
Peraturan-peraturan yang diatur oleh syariat seperti tersebut di atas, adalah atas dasar Qur'an dan Sunnah yang merupakan sumber-sumber hukum dalam Islam untuk keselamatan manusia. Tetapi menurut Ahli Shufi, bahwa syariat itu baru merupakan tingkat pertama dalam menuju jalan kepada Tuhan.
Sebagaimana Ilmu Tasawwuf menerangkan: bahwa syariat itu hanya berupa peraturan-peraturan belaka. Tarekatlah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila "syariat" dan "tarekat" itu sudah dapat dikuasai maka lahirlah "Hakekat" yang tidak lain dari pada perbaikan keadaan dan ahwal, sedang tujuan terakhir ialah "Ma'rifat" yaitu mengenal Tuhan yang sebenar-benar­nya, serta mencintainya sebaik-baiknya. Syariat ialah pengenalan jenis perintah dan Hakekat ialah pengenalan pemberi perintah.

Thariqat
Thariqah menurut pandangan para ulama' Mutashawwifin, yaitu jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang di bawah oleh Rasulullah SAW dan yang dicontohkan oleh beliau dan para shahabatnya serta pada Tabi'in, Tabi'it-tabi'in dan terus bersambung sampai kepada para guru­-guru, Ulama', Kiyai-kiyai secara bersambung hingga pada masa sekarang ini. Thariqah adalah suatu cara atau pendakian yang ditempuh oleh para ahli tashawwuf atau kaum mutahawwifin untuk mencapai tujuan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Zainuddin bin Ali Al Malibary:
Artinya: "Thariqah adalah menjalankan amal yang lebih baik, berhaiti-­hati dan tidak memilih kemurahan (keringanan) syara' seperti sifat wara' serta ketetapan hati yang kuat seperti latihan­-latihan jiwa".
Dalam ilmu tashawwuf dikatakan bahwa syari'at itu merupakan peraturan, thariqah itu merupakan pelaksanaan sedangkan hakikat merupakan keadaan dan ma'rifat merupakan tujuan yang terakhir. Tentang pelaksanaan dan cara untuk mencapai tujuan, antara satu dengan lainnya berbeda-beda.
Perbedaan tersebut muncul diakibatkan sebab-sebab dari timbulnya thariqah itu sendiri. Di antara sebab-sebab timbulnya thariqah itu adalah antara lain:
ü Karena memang dalam diri manusia terselip bakat yang cenderung pada kehidupan kerohanian menjadi Kegemarannya, menjadi hobinya.
ü Karena reaksi zaman dan tempat. Misalnya sesudah adanya suatu revolusi setempat atau penguasa bertindak sewenang­-wenang, sehingga banyak orang   bersikap apatis, masa bodoh kemudian menerjunkan diri memasuki thariqah atau mengadakan thariqah sebagai pelopor, pionir (perintis jalan) di tempat itu.
ü Karena jenuhnya orang dengan penghidupan dunia yang enak, lalu ingin menyendiri dan hidup secara sederhana. Sejarah mencatat bahwa saat timbulnya thariqah adalah penghabisan abad ketiga dan permulaan abad ke 4 hijriyah, para shufi merasa perlu adanya thariqah atau sistem yang harus ditempuh oleh para murid dalam menempuh jalan menuju lapangan tashawwuf.
Dalam masalah thariqah yang berbeda-beda meskipun tujuan pokoknya sama dapatlah dikemukakan suatu contoh, misalnya mengenai masalah zikir kepada Allah, zikrullah. Ada thariqah yang mempunyai zikir-zikir tertentu dengan bersuara atau yang disebut zikrul lisan, ada dzikir yang hanya diucapkan dalam hati yang dinamakan zikrul Qalbi dan ada juga zikrullah yang, diucapkan secara rahasia, yang dinamakan zikrus sirr. Biasanya dzikir lisan itu berupa lafadh "La Ilaha illallah", zikir qalbi berbunyi "Allah" dan zikir sirr berupa "Hu" artinya Dia, yaitu Allah. Ada zikir yang diucapkan secara bersama, ratib, baik diiringi dengan tabuh-tabuhan, maupun diiringi dengan nyanyian, tari-tarian, menurut irama zikir dengan tarikan nafas, langgam suara dan gerak badan tertentu.
Dari bermacam-macam cara ini pada hakikatnya tujuan utama thariqah ini tak lain adalah agar seorang hamba dapat mengenal Allah atau ma'rifat billah dan selalu dekat dengan Allah. Seorang shufi akan dapat berma'rifat billah dan selalu dekat dengan Allah, apabila sudah berhasil menyingkap hijab yang menghalang­-halangi antara dirinya dengan Allah. Hijab yang menghalang­-halangi antara makhluk dan khaliq (pencipta) itu tak lain adalah hawa nafsu dan kemewahan duniawi.
Bila manusia sudah berhasil mengekang hawa nafsu dan cinta dunia akan dapat mengenal Allah. Dan untuk mengenal Allah dan merasakan adanya zat Allah dibutuhkan suatu jalan yang dinamakan thariqah. Menurut pandangan kaum shufi, keberadaan Allah sebenarnya tidak tersembunyi hanyalah manusia saja yang tidak mampu mengenal-Nya. Dan Allah sendiri juga ingin dikenal makhluk-Nya. Cara utama agar Allah dikenal makhluk-Nya adalah dengan menciptakan semua makhluk di alam ini. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi:
Artinya: "Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka pun mengenal Aku".
Menurut pandangan para ahli shufi, bahwa Allah itu adalah permulaan segenap kejadian, yang awalnya tidak ada permulaan. Allah telah sedia Ada dan tidak ada yang lain sertanya. Dan ingin upaya zat-Nya dilihat pada sesuatu yang bukan zat-Nya, sebab itulah dijadikan semua makhluk. Maka alam ini laksana kaca yang terang benderang yang di sana dapat dilihat zat Allah. Itulah dasar yang melatar belakangi kaum shufi penganut faham Wahdatul Wujud.
Selanjutnya kaum shufi berpendapat, bahwa kehidupan dan alam penuh dengan rahasia-rahasia tersembunyi. Rahasia­-rahasia itu tertutup oleh dinding-dinding yang membatasi. Di antara dinding itu ialah hawa nafsu manusia sendiri, keinginan dan kemewahan hidup duniawi. Tetapi rahasia itu mungkin terbuka dan dinding itu mungkin tersingkap dan manusia dapat melihat dan merasai atau berhubungan langsung dengan Allah, yang rahasia, asalkan manusia menempuh jalannya atau Thariqahnya. Thariqah itulah jalan yang digunakan untuk sampai pada tujuan mengenal Allah dan mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam menempuh jalan (Thariqah) untuk terbukanya rahasia dan tersingkapnya dinding (kasyaf), maka kaum shufi mengadakan kegiatan bathin, riyadlah (latihan-latihan dan mujahadah (perjuangan) kerohanian. Perjuangan demikian itu dinamakan suluk dan orang yang mengerjakannya dinamakan Salik. Maka jelaslah bahwa thariqat itu ialah suatu sistem atau metode untuk menempuh jalan yang pada akhirnya mengenal dan merasakan adanya Tuhan. Dalam keadaan mana seseorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya ('ainu; bashirah). Hal demikian, itu didasarkan atas pertanyaan Sayyidina All bin Abi Thalib kepada Rasulullah SAW: "Ya Rasulullah, manakah thariqat yang sedemikian dekatnya mencapai Tuhan?" Jawab Rasulullah: "Tidak lain daripada zikir  kepada Allah". Dengan demikian jelaslah bahwa dalam menempuh jalan sedekat-dekatnya mencapai Tuhan, ialah dengan berzikir kepada-Nya (zikrullah), di samping melakukan latihan-latihan (riyadlah) lahir dan bathin seperti yang biasa dilakukan oleh kaum shufi, antara lain, ikhlas, zuhud, muraqabah, muhasabah, isyq, mahabbah,  cinta kepada Allah dan sebagainya.

Hakikat
"Hakikat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan menyaksikan cahaya nan gemerlapan  dari ma'rifattullah yang penuh harapan".
Sebuah syair tersebut ada dalam buku karangan Sayyid Abi Ibnu Muhammad Syatha dalam Missi Suci Para Sufi. Sebuah syair yang menerangkan tentang hakikat yang sesungguhnya adalah merupakan perjalanan tujuan akhir dari dua pengamalan, yaitu syariat dan tariqat. Pada anak tangga ketiga sebuah tujuan akhir dari perjalanan rohani itu ada, yang sudah datang tentu ketika seorang hamba telah mencapai pada tingkat-tingkat ini dia akan menemukan tujuan yang didambakan tersebut, yaitu ma'rifatullah.
Sebagai suatu mata rantai yang tak mungkin bisa dipisahkan syariat, tariqah dan hakikat), hakikat sebenarnya lebih merupakan hasil perolehan atau prestasi setelah melakukan perjalanan panjang syariat dan tariqat. Siapa saja yang telah menjalani kehidupan syariat dengan baik dan benar kemudian melanjutkan perjalanan melalui jalur yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya (tariqah), maka dia akan mendapatkan satu prestasi, yaitu hakikat.
Pada tingkat hakikat ini seorang hamba akan merasakan akan kebenaran yang sejati dan mutlak, yang masih belum diperolehnya hakikat, syariat maupun tariqah. Memang ada suatu kebenaran dalam syariat maupun tariqah, tetapi suatu kebenaran tersebut masih belum mencapai puncaknya. Dan kalau dikaji lebih jauh, sebenarnya dalam syariat itupun ada suatu upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perlu diketahui bahwa kesemua hukum-hukum atau aturan yang tertuang dalam syariat itu mempunyai suatu tujuan, yaitu pendekatan kepada-Nya. Tetapi upaya dalam syariat ini adalah baru pada tahap pertama, di mana tahap berikutnya harus ditempuh yakni dalam jalan tariqah, yang baru setelah kedua tahap ini dilalui maka akan mencapai pada tingkat hakikat.
Ada sebuah contoh untuk menggambarkan tentang keterkaitan antara tahapan syariat, tariqah dan hakikat ini, yaitu bisa dicontohkan dalam masalah thaharah atau bersuci. Dalam syariat, suci adalah juga merupakan satu upaya untuk mendekat­kan diri kepada Allah. Dalam syariat upaya bersuci dimaksudkan untuk mensucikan segi dhahir, yaitu suci dari najis dan hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar. Hal ini bisa dilakukan dengan mandi atau mencuci bila yang dimaksudkan adalah suci dari najis. Tetapi untuk menghilangkan hadas, bisa dilakukan dengan berwudhu bila yang dimaksud adalah hadas kecil, dan bisa dengan mandi junub bila yang dihilangkan adalah hadas besar.
Dalam tariqah upaya suci atau bersih tidak hanya sebatas itu. Tidak cukup bersih atau suci itu hanya dengan mandi menghilangkan kotoran dan najis, dengan berwudhu atau hanya dengan junub. Dalam tariqat mengupayakan bersih adalah bukan hanya segi lahir, tetapi juga harus segi batin. Makanya upaya suci atau pembersihan dalam tariqah adalah pada sisi dalam, yaitu bersih hati dari hawa nafsu.
Maka setelah seseorang sudah berupaya untuk membersihkan diri dari segi syariat dan segi tariqah, atau sudah dalam keadaan suci luar dalam, dhahir dan batin, maka seorang tersebut akan bisa memasuki tingkat hakikat. Dalam hakikat, suci atau bersih tidak hanya sebatas apa yang telah diupayakan dalam syariat dan tariqat, tetapi lebih jauh dari keduanya, bersih dan suci yang dimaksud adalah bersihnya hati dari sesuatu selain Allah.
Itu adalah sekedar contoh dari keterkaitan dan tingkatan-tingkatan dari syariat yang merupakan pintu pertama, lalu tariqah yang menjadi pintu kedua dan hakikat yang merupakan perolehan yang ketiga. Pada tingkat puncak hakikat inilah seorang hamba akan bisa merasakan ma'rifatullah juga bisa musyahadah kepada­Nya. Al-Ghazali memberikan gambaran mengenai hal ini sebagai berikut:
"Syariat adalah menyembah kepada Allah sedangkan hakikat adalah melihat kepada-Nya. "
Imam Al-Qusyairi juga mengemukakan:
"Syariat adalah urusan tentang kewajiban-kewajiban peribadatan sedangkan hakikat adalah melihat ketuhanan."

Ma'rifat
Ma'rifat adalah mengenal Allah, baik lewat sifat-sifat-Nya, asma- asma-Nya maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Ma'rifat merupakan puncak dari tujuan tashawwuf dan dari semua ilmu yang dituntut dan satu-satunya perbuatan yang paling mulia. Sehingga pernah terjadi suatu peristiwa seorang sahabat Nabi SAW bertanya kepada beliau:
"Wahai Rasulullah amalan yang lebih utama itu?"
Rasulullah SAW menjawab : "Ilmu pengetahuan tentang Allah".
Sahabat itu bertanya pula :"Apakah ilmu yang Nabi maksudkan?" Jawab Nabi SAW: "Ilmu pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala". Sahabat itu rupanya menyangka Rasulullah SAW salah tangkap, ditegaskan lagi: "Wahai Rasulullah kami bertanya tentang amalan, sedang tuan menjawab tentang ilmu “jawab Nabi Muhammad SAW pula: "Sesungguhnya Allah SWT dan banyak amalan tidak akan bermanfa'at bila disertai dengan kejahilan (kebodohan) tentang Allah".
Mengapa Rasulullah SAW mengarahkan jawaban yang penekanannya pada ilmu? sebab pengenalan akan Tuhan merupakan puncak dari semua yang dituntut dan yang akan diangan-angan oleh seseorang, dimana ma'rifat merupakan fundamen yang diatasnya didirikan segala kehidupan rohani. Dari akar ma'rifatullah, kemudian akan mempunyai cabang-cabang ma'rifat kepada Rasul, kepada Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab suci-Nya, termasuk ranting­-ranting-Nya yakni mu'jizat, keramat dan kewalian. Sedang puncaknya adalah ma'rifat akan kehidupan sesudah mati, dimana semua makhluk akan kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Selanjutnya ma'rifat itu di samping merupakan anugerah dari Allah, dapat pula dicapai dengan melalui syari'at, menempuh thariqah dan memperoleh hakikat. Apabila syari'at dan thariqah sudah dapat dikuasai, maka timbullah hakikat yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal, sedangkan tujuan terakhir ialah "Ma'rifat" yaitu mengenal Allah dan mencintai-Nya yang sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.
Taftazani menyatakan: "Apabila seseorang telah mencapai tujuan terakhir dalam perjalanan suluknya ilallah (kepada Allah) dan fillah (pada Allah), pasti ia akan tenggelam, dalam lautan tauhid dan 'irfan sehingga zatnya selalu dalam pengawasan Zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan. Ketika itulah orang tersebut fana' dan lenyap dalam keadaan "masiwallah" (segala yang lain daripada Allah) la tidak lagi melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah".
Orang yang telah mencapai maqam ma'rifat ini disebut `Arif billah. Dan pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan merasakan adanya Tuhan, bukan sekedar mengetahui Tuhan itu ada. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dan ma'rifatullah hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Shufi.
Selanjutnya Al Ghazali berkara: "Barang siapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, dan jangan lagi bertanya". Beliau berkat lagi: "Bahwa hatilah yang dapat mencapai hakikat sebagaimana yang tertulis pada Lauh Mahfuzh, yaitu hati yang sudah bersih dan suci murni. Walhasil, tempat untuk melihat dan mengenal Allah ialah hati".
Ketika Syaikh Abut Faidh Dzunnun al Mishri ditanya orang, dengan jalan apa Tuan mencapai ma'rifat? Beliau menjawab: "Aku mencapai ma’rifat ialah dengan kurnia Tuhanku. Dan kalau bukan karena kurnia dari Tuhanku, maka akupun tidak memperoleh ma'rifat".
Menurut keterangan Dzunnun Al Mishri diatas telah ditegaskan bahwa ma'rifat itu adalah anugerah dan karunia besar dari Allah SWT. Hal ini sejalan dengan pandangan Syaikh Ahmad Ibnu Atha'illah As Sakandary dalam "Al Hikam".
"Apabila telah dibuka bagimu jalan ma'rifat kepada Allah, maka dengan kema'rifatanmu itu jangan kamu pedulikan amalmu yang sedikit. Maka sesungguhnya Allah tidak akan membuka jalan kema'rifatan untukmu kecuali Dia menghendaki pengenalan kepadamu. Tidak lah kamu mengerti bahwa ma'rifat itu anugerah Allah kepadanya sedang sesama amal perhuatanmu merupakan hadiah kepada-Nya. Sedang dimanakah letak perhandingannya antara yang kamu hadiahkan kepada-Nya dengan apa yang telah diberikan Allah kepadamu".
Maka jelaslah bila Allah telah membukakan pintu ma'rifat kepada seseorang atau pada kita, maka janganlah kita memperdulikan dulu akan amal kita yang sedikit, sebab ma'rifat itu sendiri sudah merupakan rahmat, anugerah yang luar biasa. Siapa yang dibukakan akan pintu ma'rifatullah, berarti orang itu akan dikenal baik oleh Tuhan sendiri dan penduduk langit. Yang mencari itu sesungguhnya yang dicari. Yang mengenal itu sesungguhnya yang dikenal.
Sedikit amal tapi disertai ma'rifat kepada Allah jauh lebih utama daripada banyak amal yang tidak disertai ma'rifat kepada Allah. Jelasnya mencapai ma'rifat itu tidak cukup dengan jalan melalui dalil-dalil atau bukan semata didapat melalui akal atau banyaknya amalan, akan tetapi ma'rifat billah dapat dicapai dengan pertolongan Allah, di samping berusaha mendapatkannya melalui amal sholeh.







«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: