@Part 4, Novel “Jantung Cintaku”
Setelah
sampai di depan komplek rumah Bhita, ia berjalan
sendirian. Bhita terus saja membayangkan saat-saat ia duduk di
samping Mr. Riko. Tanpa dia sadari seseorang dari belakang sedang
memperhatikannya.
“Assalamualaikum”!
ucap seseorang.
“Kayaknya
gue kenal sama ne suara, pasti….”.
“Assalamualaikum”.
Kembali lagi ibu itu menyapa
“Iyah
Bude!!! Seneng banged ya ngagetin Bhita”!
“Salam
Bude kok nggak dijawab? Itu doa buat kamu, menjawab salam
itu wajib loh”.
“iya...iya,
Waalaikumsalam Bude”!
“Gitu
dong, kan buat kebaikan kamu juga nak”.
“Iya
Bu Haji, hehehe...”.
”Oh
iya, Bude mau ngajakin kamu ikut pengajian, kamu mau kan”?
“Haaah
pengajian, Bude??? Nggak salah ngajak ne”?
jawab Bhita.
“Iya
pengajian. Loh apa salahnya, kamu kan sudah dewasa
dan sudah saatnya untuk bersosialisasi sama
warga sini”.
“Ihhh
Bude ada-ada aja, iya deh nanti Bhita tanya Mama dulu ya, bye Bude”.
“Bukan
sekedar pengajian biasa aja loh, nanti juga bakal ada seseorang yang akan
ngajarin kita untuk ngobrol-ngobrol Bahasa Inggris”, teriak Bude.
Sambil
berjalan Bhita memikirkan perkataan Bude tentang
seseorang yang akan mengajarkan bahasa Inggris di
pengajian nanti. Sesampainya di rumah, Bhita langsung
tersandar di atas sofa di depan TV. Ia kelihatan begitu lelah. Bhita
sesekali terlelap sambil menatap televisi. Tiba-tiba ibu datang
dan melihat putrinya terlelap di atas sofa
dengan keadaan yang lemas. Ibu ingin membangunkannya, tapi ibu
kasihan melihat anaknya yang begitu lelah. Ibu berpikir
kembali bahwa Bhita itu belum mandi, waktu juga sebentar
lagi akan memasuki Maghrib.
“Bhita...bangun
Nak…” sambil menepuk bahu Bhita dengan pelan.
“Ah..ntar
lagi Ma, nanggung ne. Bhita masih capek ne Ma…” jawab Bhita dengan mata
yang masih terpejam.
“Udah
mau maghrib Bhita! Ngak boleh tidur waktu Maghrib-Maghrib
loh, dan sebentar lagi Papa kamu pulang. Mau di marah Papa
ntar?”
“Tuh
kan pasti deh bawa-bawa nama Papa, bosan tau dengarnya! Bhita capek banget ne Ma”!
dengan nada suara yang agak keras.
“Bhita
gak boleh teriak-teriak gitu, Mama kan cuma
ngingetin kamu. Kamu mandi ya Nak” jawab Mama dengan
nada lembut.
Bhita
pergi meninggalkan ruang TV dan langsung menuju kamar mandi. Mama
sedikit sedih, karena tadi Bhita membentak dirinya, tapi Mama
maklumi itu karena memang Bhita sedang kecapean. Barang-barang Bhita yang
masih berantakan di ruangan segera Mama bereskan, setelah itu ia segera lanjut
ke dapur untuk kembali menyiapkan makan malam. Bhita sudah selesai mandi, ia
langsung menuju kamarnya. Di sini Bhita terlihat aneh,
ia begitu resah karena sedang memikirkan sikapnya tadi yang telah membentak
Mama.
“Apa
aku salah tadi? Apa sikap ku terhadap Mama tadi berlebihan? Ya Allah, maafkan
aku yang tadi telah berlaku kasar kepada Mama. Bhita menyesal ya
Allah”. Gumam Bhita sembari menutupkan bantal
ke mukanya.
Tak
lama kemudian Papa pulang, dan pastinya ia selalu menanyakan di mana Bhita.
“Assalamualaikum…”
“Iya,
waalaikumsalam Pa”, sembari manyalami Papa
“Hemmm…masak
apa Ma? Sepertinya enak sekali”.
“Cuma
habis memasak semur ayam, capchai, sama sambel mentah kesukaan Bhita, Pa”.
“Wah...enak
ni, eh ngomong-ngomong Bhita mana Ma”?
“Bhita
di kamarnya Pa, sepertinya ia lagi kecapean habis Ekskul di sekolahnya tadi
sampai-sampai terlelap di atas sofa, tapi sekarang dia udah di kamarnya kok.”
“Tok…tok..tok”
beberapa kali Papa mengetuk pintu kamar Bhita tapi tak ada jawaban dari kamar.
Papa
berpikir mungkin memang benar Bhita lagi kecapean seperti apa yang Mama
ceritakan tadi. Papa meninggalkan kamar Bhita dan segera mandi. Sementara
itu, Mama sedang asyik menyusun hidangan untuk makan
malam. Sambil menunggu Papa selesai mandi dan Bhita bangun. Tak lama kemudian Papa
sudah selesai mandi dan siap untuk shalat Maghrib berjamaah, tiba-tiba ia teringat
dengan anaknya yang masih terlelap tidur. Papa menuju kamar Bhita.
“Bhita…bangun
Nak”! sambil mengetuk pintu.
“Bhita
bangun, udah maghrib. Ayo kita shalat berjamaah! Papa tunggu di ruang tengah ya,
kalau 1 menit kamu ngak muncul juga, Papa marah sama kamu.”
Setelah
hampir satu menit, tak lama kemudian Bhita datang menuju
ruang tengah dengan menggunakan mukena lengkap
sambil menggosok gosok matanya yang masih ngantuk.
“Bangun
juga rupanya anak Papa”
“Apaan
sih Pa!!! Ngantuk ne, pakai acara ngancem-ngancem segala lagi”.
“Kalau
ngak digituin kamu ngak bakal bangun deh. Sudah-sudah, ayo
kita shalat nanti keburu habis pula waktu maghribnya.”
Selesai
melaksanakan Shalat, mereka menuju meja makan untuk makan
malam bersama. Selama di meja makan Bhita begitu semangatnya
menceritakan apa yang ia kerjakan tadi. Termasuk ia bertemu Bude yang mengajaknya
ikut pengajian.
“Paaa,
tadi pas aku pulang dari sekolah di jalan ketemu Bude”.
“Terus”?
jawab Papa
“Dia
ngajakin Bhita ikut pengajian di masjid sini, Pa, katanya sih bukan pengajian
seperti biasa pada umumnya”.
“Emang
pengajian seperti apa Nak”?
“Kata
Bude sih, nanti pengajiannya bakalan ada sambil belajar-belajar bahasa
Inggrisnya juga, yah semacam belajar berbicara gitu lah”.
“Loh,
bukannya itu bagus. Ikutan aja Bhita, Papa dukung
kamu kok buat ikut pengajian itu dan kalau kamu merasa gak
punya teman kamu kan bisa ajak Oky’ teman kamu itu, ya gak Ma”?
“Iya,
Mama setuju sekali sama Papa kamu. Hitung-hitung kamu kan jadi bisa mengenal
warga-warga di komplek sini sekalian kamu buat cari pahala”.
“Lah,
Mama sendiri kok ngak ikutan? Hayooooo….” Goda Bhita
“Kemaren
Mama belum sempat aja, soalnya masih keteteran sama
pekerjaan di rumah Nak, tapi nanti-nanti Mama juga
bakalan ikut pengajian itu.”
“Ah,
itu sih cuma alasan Mama aja...Hehehe”!
Suasana
makan malam begitu hangat, hampir tak terlihat raut wajah
yang menampakkan suatu kelelahan. Mereka bercanda ria
di meja makan, hingga tak sadar sudah memasuki waktu Isya. Keluarga itu pun kembali
melakukan shalat berjamaah.
Selesai
melakukan shalat, Bhita kembali ke kamar untuk belajar serta
menyiapkan buku jadwal pelajaran besok. Pada saat belajar, ia sesekali senyum
sendiri. Ia kembali memikirkan wajah Riko ketika mengajar tadi. Bhita memang
sudah jatuh hati sekali dengan Mr. Riko, tak perduli Riko sudah punya pacar
atau belum, bahkan Bhita tak sempat memikirkan kisah asmaranya dengan
cowok-cowok manapun. Terakhir ia pacaran sewaktu ia duduk
di kelas 10, setelah itu tak pernah lagi ia menjalin
hubungan spesial dengan cowok manapun juga. Ia hanya
memikirkan sekolahnya dan obsesinya pada Mr. Riko. Sungguh remaja yang begitu agresif
dengan obsesinya. “Hoaaambh…kayaknya gue udah bener-bener ngantuk ne dan uups
lupa deh sama something?”
Langsung
membuka laci meja belajar dan mengambil sebuah buku khusus yang tak lain adalah
diary milik Bhita. Ia pun langsung menulis:
Dear
Diary
Dan
sekali lagi gue ingin berterima kasih kepada Allah yang masih ngasi Bhita
kesempatan buat menghabiskan hari ini dengan keadaan yang baik-baik saja. Hari
ini semua kegiatan yang Bhita inginkan berjalan dengan lancar. Bhita begitu bahagianya
dengan keadaan sekarang.
Bhita bisa melihat senyum Mr. Riko dan Bhita juga diajarkan main gitar olehnya.
Yang terakhir Bhita begitu bahagia bisa tertawa bersama keluarga Bhita, Papa
dan Mama yang Bhita sayang.
Bhita
menutup buku diarynya dan langsung merebahkan diri di tempat tidur, tak
lupa ia panjatkan doa untuk kedua orang tuanya. Tidak lama kemudian Papa masuk
ke kamarnya dan menyelimuti Bhita. Sebelum pergi, ia sempat membaca isi diary
Bhita. Papa hanya tersenyum sambil membaca luahan isi hati milik anak
kesayangannya itu.
No comments:
Post a Comment