#Aslan, Dosen IAIS Sambas
@Kandidat
Doktor UIN Antasari Banjarmasin
Pendahuluan
Pendidikan saat ini berbeda dengan pendidikan
zaman orangtua kita dahulu. Zaman dahulu, pendidikan bukan saja untuk mengasah
ranah kognitif, tetapi pada ranah afektif dan psikomotorik sama-sama berjalan.
Seingat saya, orangtua bercerita zaman dulu pada saat ia masih sekolah,
kira-kira angkatan pendidikan Sekolah Rakyat (SR) hanya bermodalkan kognitif
dengan hapalan yang kuat, karena hampir siswanya tidak mempunyai buku dan hanya
mempunyai kapur tulis dengan kayu atau sejenis papan dengan metode mencatat apa
yang dijelaskan oleh guru dan penjelasan tersebut lansung diingat, karena
penjelasan yang dicatat oleh siswa lansung juga dihapus jika adanya pergantian
mata pelajaran baru. Orang dahulu, bukan hanya metode hapalannya kuat tetapi
hormatnya kepada guru sangat tinggi. Berbeda halnya dengan zaman sekarang yakni
era informasi, hanya mengandalkan nilai yang tinggi tanpa memperhatikan karakter
anak. Mungkin, itulah tantangan pendidikan di abad 21 ini yang hanya
mengandalkan ranah kognitif tanpa memikirkan aspek afektif.
Selain itu, tantangan pendidikan di abad 21 ini,
bukan saja berkaitan dengan perilaku anak yang negatif, tetapi berkaitan juga
dengan perilaku guru yang tidak mencontohkan sebagai seorang pendidik. Perilaku
guru maupun anak banyak beredar di dunia maya saat ini, baik dari media cetak
yang telah dicetak, seperti surat kabar, koran, tabloid dan lain-lain, media televisi
yang selalu memberikan informasi tanpa jeda di layar kaca televisi kita selama
24 jam, dari media internet yang selalu bisa diakses kapan saja dan dimana saja
dengan biaya murah dengan mendapatkan informasi melimpah ruah.
Perilaku yang tidak menampakkan karakter pada
guru merupakan tantangan lembaga pendidikan di abad 21 ini yang seharusnya perlu
mendapat sorotan dari pemerintah. Nilai-nilai positif yang diajarkan oleh
orangtua melalui pendidikan dalam keluarga, guru, melalui pendidikan di sekolah
yang diserap oleh anak hanya
terinternalisasi dari perbuatan yang negatif dan hanya sebagian
terinternalisasi dari perbuatan yang positif.[1]
Bahkan, untuk menanggulangi dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh guru
maupun oleh siswa yang tidak perlu dicontoh dalam dunia pendidikan sehingga
lahir berbagai macam ragam penelitian tentang pendidikan karakter saat ini.
Bahkan menyikapi permasalahan tersebut, menurut Thomas Lickona, perlunya penanaman nilai sehingga dengan adanya
nilai-nilai yang diajarkan oleh orangtua, guru maupun pendidik lainnya dapat
membentuk karakter anak sejak dini, karena “Pendidikan karakter tak ubahnya seperti
mengukir, memberikan sentuhan agar barang tersebut memiliki nilai lebih. Itulah
sebabnya, ukiran sering lebih bernilai daripada harga barang yang diukir itu
sendiri”.[2]
Oleh karena itu, tugas guru dalam
memberikan pendidikan, bukan saja mengajarkan anak pada ranah kognitif, tetapi
mampu membentuk ranah pada aspek afektif dan psikomotorik, karena guru bukan
hanya mengajar di kelas tetapi
mampu mendidik dan membimbing peserta didik kearah perilaku yang positif.[3] Akan tetapi, menjadi seorang guru
yang mampu “digugu dan ditiru”, bukan berarti perilaku yang tidak mengandung
karakter ditiru oleh anak, tetapi guru harus siap dan mampu membentuk karakter
anak, sehingga dapat menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, beriman
dan bertaqwa.[4]
Guru yang dianggap mampu memberikan
nilai-nilai pendidikan dan karakter selalu menjadi sorotan dalam dunia
pendidikan. Bahkan, orangtua menganggap guru, bukan saja mampu mengajarkan
semua mata pelajaran yang ada di sekolah tetapi mampu juga dalam membentuk
karakter anak.
Paparan di atas, mengilhami penulis dalam artikel ini untuk memberikan gambaran
terhadap dunia pendidikan di abad 21 ini, yakni era informasi dengan tantangan
yang bermacam ragam dari kelah-kesuh orangtua, masyarakat terhadap perilaku
anak-anak, remaja dengan tidak menggambarkan karakter yang telah diajarkan pada
lembaga keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi
tragedi realita pendidikan kita saat ini, seharusnya guru bisa menjadi “Pumping
Teacher” yang bukan saja memberikan motivasi kepada anak didik, tetapi
mampu menanamkan nilai-nilai karakter sehingga menjadi kebiasaan dan menjadi
perilaku dalam kehidupannya sehari-hari.
Adapun fokus kajian dalam artikel
ini adalah; a) Apa sebenarnya fitrah seorang guru? dan b) Bagaimana untuk
menjadi Pumping Teacher di abad 21 ini, yang bukan saja mampu dalam
kompetensi tetapi mampu “digugu dan ditiru”?
Metode Penelitian
Penulis dalam memberikan jawaban
sesuai dengan fokus penelitian melalui metode kualitatif dengan kajian dokumen.
Kajian dokumen dianggap sebagai analisis dokumen, yang terdiri buku, artikel,
internet dan bahan-bahan yang sesuai dengan penelitian. Adapun cara-cara dalam
pengumpulan datanya, Pertama, melalui kajian kepustakaan yang sesuai
dengan bahan yang akan diteliti. Kedua, setelah data-data telah
diperoleh oleh peneliti, maka selanjutnya menganalisis datanya melalui metode
deskriptif sesuai dengan pemahaman penulis dalam melakukan kajian ini.[5]
Pumping Teacher
Istilah Pumping, diambil dari
bahasa Inggris, artinya
“memompa”.[6] Sedangkan Pumping,
dikatikan dengan proses belajar mengajar adalah membangkitkan motivasi siswa
dengan mengoptimalkan keseluruhan jiwa dan raga, (“panca indera, otak dan hati”).[7] Sedangkan dalam ilmu psikologi, Pumping termasuk
aliran psikologi behaviourisme, dimana guru selalu melakukan
pelatihan-pelatihan kepada siswa untuk membentuk kerpribadian yang berkarakter
yang dilakukan secara terus menerus tanpa jeda. Selain itu, dalam aliran behaviorisme
ini, guru bukan hanya mampu membentuk
karakter anak di sekolah tetapi mampu menciptakan lingkungan yang dapat
membentuk karakter anak.
Seorang guru untuk menjadi Pumping
teacher, terlebih dahulu tertanam hatinya untuk mendidik siswanya, tanpa pernah
terlintas sedikitpun dalam hatinya, bahwa mengajar adalah untuk mencari materi semata. Hati yang bersih, jiwa yang suci
yang ada pada guru, sehingga dapat menghidupkan cahaya
hati guru untuk menjadi guru yang kaya. Setelah
menjadi guru kaya, baru bisa menjadi Pumping teacher, sehingga proses belajar
mengajar yang dilakukan dikelas menjadi hidup tanpa kaku sedikitkan. Guru yang
dapat menghidupkan suasana belajar dianggap guru yang memiliki tekhnik pengajaran “Biofili”.[8]
Biofili dapat diartikan sebagai “Bio
(hidup) dan Fili
(jiwa) yakni jiwa yang hidup”. Jika dikaitkan
dengan guru, maka guru biofili adalah guru yang memberikan pelajaran kepada
siswa tanpa ada tekanan dari pihak manapun, baik masalah kewajiban menjadi guru
maupun kewajiban tugas yang harus di jalankan. Guru biofili mengajar dari hati
tanpa mencari materi, sehingga rasa kasih sayang, cinta, dalam belajar tumbuh
dengan sendirinya untuk membentuk perilaku anak yang berkarakter.
Teknik biofili adalah teknik yang
dapat menghidupkan suasana belajar mengajar siswa tanpa siswa merasa bosan
dalam menerima pelajaran yang disampaikan oleh guru. Untuk menjadi guru
biofili, sehingga disenangi bukanlah semudah membalikkan telapak tangan, karena
tugas guru amatlah berat dalam mendidik dan mengajar siswa. Oleh karena itu,
“biofili” yang ingin dimiliki oleh guru, pertama-tama adalah tertanam dengan
kuat dalam hatinya untuk mengajar dari hati bukan dari materi.
Adapun langkah-langkah untuk menjadi guru biofili,[9] adalah;
Pertama, yakinkan dalam hati kita, mengajar
dengan rasa kerelaan, tanpa merasa beban, baik secara intern maupun extern., Kedua,
ubah cara pandang mengajar, bahwa guru tahu segala-galanya sehingga menjadi
rasa angkuh, tetapi guru dan siswa sama-sama belajar., Ketiga, segala
permasalahan yang dilakukan siswa dijadikan sebagai cobaan hidup., Keempat,
jadikan anak didik kita sebagai mitra belajar., Kelima, mengajar didasari rasa
cinta yang mendalam kepada anak didik.
Menurut Jaudah Muhammad Awwad,[10] menjelaskan
pentingnya sifat yang dimiliki oleh guru, karena dengan sifat-sifat tersebut
dalam dijadikan contoh oleh anak didik, diantaranya jauhkan diri dari sifat iri,
dengki dan dusta, jaga selalu penampilan guru, yang meyangkut kebersihan
jasmani maupun rohani agar dapat
dijadikan teladan yang bisa dicontoh oleh anak-anak.
Guru
adalah “orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam
mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik”.[11] Guru merupakan
profesi yang bukan sembarang dipegang oleh orang. Guru dianggap professional
adalah guru yang bukan saja mampu dalam memberi pendidikan kepada anak tetapi
mampu meningkatkan pendidikan dan pelatihan demi mendapatkan pendidikan yang selanjutnya.[12]
Menurut Hudaya Latuconsina, menjelaskan bahwa guru dianggap professional adalah
guru yang mempunyai kompetensi pribadi, kompetensi
sosial, kompetensi professional. Selain itu, guru bukan hanya mampu memiliki
kompetensi tersebut tetapi juga mampu memberikan pelajaran kepada siswa secara
kreatif, sehingga dalam menghasilkan lulusan pun mampu juga bersaing dalam
dunia kerja maupun di bangku kuliah.[13]
Paradigma guru yang dulunya dalam
proses belajar mengajar selalu didominasi oleh guru tanpa memberikan kesempatan
kepada siswa untuk bertanya, sehingga saat itu, guru dianggap mematikan
berpikir kritis anak.[14]
Menurut ingatan saya sejak masih mengeyam pendidikan di bangku Sekolah Dasar
(SD) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), saya menilai pada saat guru
memberikan ulangan harian dan guru memberikan nilai seratus jika sama
kalimatnya seperti yang tertera dalam buku. Sedangkan jawaban yang tidak sesuai
dengan kalimat yang tertera dibuku dianggap salah, padahal jawabannya hampir
sama tetapi redaksi kalimatnya yang berbeda.
Paparan ini, yang perlu kita garis
bawahi adalah anak yang dianggap pintar adalah anak yang mampu memberikan
jawaban yang sama seperti buku., dan anak yang dianggap bodoh adalah anak yang
tidak bisa memberikan jawaban yang sama seperti apa adanya dalam buku., padahal
jawaban anak tersebut sama tetapi redaksi kalimatnya yang berbeda. Hal ini
berarti, guru telah mematikan berpikir kritas anak. Berpikir kritis adalah
siswa yang mampu memahami bacaan yang ada dibuku tanpa mengutip isi buku
seperti aslinya. Matinya daya nalar siswa berarti matinya juga kreativitas
siswa.
Hal ini juga senada dengan pendapat Thoifuri. Ia menjelaskan, tugas guru yang
paling dominan dalam memberikan pengajaran kepada anak adalah mengembangkan potensi
anak.[15] Potensi dalam hal ini bukan
saja berkaitan dengan menghapal seperti “Sejarah”[16]
tetapi mampu memahami bacaan sesuai dengan apa yang ia pahami, baik melalui
bacaan atau apa yang disampaikan oleh guru.
Dalam hal ini, tugas bagi seorang guru bukan hanya
mematikan daya nalar siswa sehingga berakibat pada kreatifitas siswa, tetapi
mampu juga dalam “mendidik, mengajar dan melatih”. Mendidik yang dimaksud
adalah bukan hanya sebatas memberikan mata pelajaran tetapi siswa mampu
mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui didikan yang diberikan oleh
guru. Sedangkan mengajar adalah bukan hanya sebatas memberikan pelajaran di
sekolah, tetapi siswa mampu mengembangkan pendidikan dalam bersosialisasi pada masyarakat.
Sementara melatih adalah bukan hanya melatih untuk maju didepan kelas tetapi
siswa mampu tampil di masyarakat untuk menjadi bagian dari masyarakat.[17]
Guru bukan saja mampu mempersiapkan Sumber Daya
Manusia (SDM) tetapi mampu juga mempersiapkan generasi-generasi penerus sebagai
pengganti penerus nantinya. Guru bukan hanya memiliki kompetensi yang melekat
pada dirinya tetapi melekat juga pada anak didiknya. Guru bukan hanya bisa
menjadi idola bagi anak didiknya, tetapi bisa juga mencetak anak didik yang
beriman, berilmu, bertakwa agar menjadi idola dan harapan masyarakat. Hal
inilah sebenarnya yang penting untuk kita ketahui, sebagai fitrah seorang guru
dan guru yang ingin untuk menjadi pumping teacher, yang bukan hanya
dapat memberikan motivasi kepada anak tetapi dapat juga mencetak anak yang
berkarakter.
Motivasi Guru dalam Pengajaran yang dilakukan dikelas
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa menjadi seorang guru bukanlah
mudah seperti membalikkan telapak tangan, tetapi ingin menjadi guru harus
memenuhi syarat-syarat tertentu agar bisa menjadi guru.
Syarat yang perlu ada untuk
menjadi guru sudah diatur oleh Undang-Undang seperti yang telah diutarakan oleh
Syaiful Bahri Djamarah. Ia
menjelaskan untuk menjadi guru, syarat yang pertama adalah memiliki ijazah
sebagai pendidik. Selanjutnya “profesional, sehat jasmani dan
rohani, takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepribadian yang luhur,
bertanggung jawab dan berjiwa nasional”.[18] Apabila semua syarat telah
terpenuhi, maka akan bisa menjadi guru, tetapi belum tentu bisa untuk digugu
dan ditiru. Guru dalam proses belajar mengajar, kunci yang utama untuk
keberhasilan dalam menyampaikan mata pelajaran adalah memberikan motivasi
kepada anak.
Motivasi yang diberikan kepada
anak, bukan hanya ditentukan oleh faktor intelektual maupun faktor non-intelektual.[19] Motivasi adalah energi yang berfungsi sebagai “pendorong, pengarah dan penggerak tingkah laku” anak didik.
Dengan adanya motivasi, siswa terasa semangat untuk belajar tanpa ada paksaan
dari guru.[20] Motivasi yang diberikan oleh guru
kepada anak didiknya dapat menjadi bekal untuk dia belajar, sehingga rasa ingin
mengetahui lebih mendalam.[21] Untuk membangkitkan motivasi siswa
agar semangat belajar tanpa paksaan, perlu pengorbanan, baik masalah waktu
maupun masalah kesabaran pada diri seorang guru.
Tabrani menjelaskan, untuk
menumbuhkan motivasi siswa perlu beberapa cara yang ditempuh, diantaranya
menghargai pendapat siswa walaupun jawaban siswa terkadang salah, memberikan
kesempatan kepada siswa untuk bertanya.[22] Sementra, Jeremy Joe, memberikan penjelasan terhadap
motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Namun, yang paling menarik disini adalah
tentang motivasi ekstrinsik yang diberikan oleh guru adalah tidak terlepas dari
hukuman dan hadiah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Alfie Kohn,[23] bahwa, jika siswa
tidak semangat dalam belajar karena beberapa faktor, sehingga guru memberikan
dorongan kepada siswa berupa hadiah jika mendapatkan nilai A. Adanya dorongan
tersebut, sehingga siswa dengan giatnya untuk belajar, tetapi hadiah tersebut ternyata
telah mematikan kretivitas siswa., karena tujuan dari belajar siswa adalah
untuk mendapatkan hadiah, tetapi tidak tertanam dalam midset siswa,
belajar adalah suatu kewajiban. Hasil penelitiannya, menggemparkan kita semua
dalam ruang lingkup pendidikan, ternyata implikasi dari motivasi tersebut,
telah melatih otak kita dan mengubah midset kita, bahwa kesungguhan
dalam belajar adalah untuk mendapatkan hadiah sehingga ruh-ruh pendidikan telah
hilang.
Oleh karena
itu, menjadi Pumping teacher, bukan saja mampu
memberikan motivasi tetapi mampu memberikan pengajaran yang terbaik, tanpa
secara sadar siswa dengan giatnya belajar tanpa adanya beban. Bahkan, siswa
dalam belajar tanpa mengharapkan apa-apa dari guru tetapi siswa belajar untuk
dirinya sendiri dan untuk masa depannya.
Potret Diri Pumping Teacher dan Gaya Belajar Siswa
Saat ini kita hidup dalam dunia
informasi dengan berbagai kecanggihan teknologi, baik media cetak, internet
dengan berbagai macam ragamnya dan berbagai macam murahnya.
Paparan ini mengingatkan saya,
tentang diskusi dengan teman saya yang masih kuliah S1 di Universitas
Banjarmasin Program Studi Dakwah. Ia menjelaskan, dahulu yang menentukan hidup
adalah “harta, tahta dan wanita”. Tetapi sekarang ini sudah bertambah satu
lagi, yakni “kuota internet”. Manusia tidak mati kelaparan jika
kehabisan makanan dalam satu hari, tetapi jika kuota internet habis,
bukan satu hari saja, dalam hitungan menit sudah diisi lagi dengan kuota
baru. Hal ini berarti, seseorang yang kehabisan kuota internet, bukan
jangka waktu sehari, tetapi jangka hitungan detik, sudah mati, yakni matinya
informasi.
Oleh karena itu, kuota
internet sangat menentukan hidup dalam dunia maya yakni untuk mendapatkan
informasi dan begitu juga seharusnya dalam dunia pendidikan., karena dengan
adanya teknologi informasi dalam dunia pendidikan memberi gambaran bahwa
bagaimana kita berpikir dan bagaimana untuk mengolah informasi agar siswa dapat
membedakan hoax atau tidak.[24] Selain itu, teknologi bukan saja memberikan informasi, tetapi dapat juga
dijadikan bahan belajar untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
Prestasi belajar adalah usaha yang
dilakukan guru untuk memotivasi siswa agar dengan giatnya belajar, sehingga
hasilnya dapat dinilai dalam bentuk angka, huruf dan simbol yang telah
dibukukan yang disebut “raport”.[25]
Untuk melihat
hasil belajar, siswa tidak terlepas dari peran seorang guru dalam memberikan
motivasi kepada anak didiknya. Bahkan, menjadi guru adalah mengasyikkan
sehingga terbitlah buku dengan judul “Pumping Teacher” yang telah
mendapat lisensi dengan pengarang bukunyanya adalah Amir Tengku Ramly.
Menurut seorang
filosop Yunani Hippocrates yang dipopulerkan oleh Florence Littaur dalam
bukunya Personality Plus tentang empat potret dasar prilaku manusia yakni “Sanguinis popular, prilaku koleris kuat, perilaku phlegmatis damai,
dan prilaku melankolis sempurna”.[26]
Menurut hemat penulis, empat potret dasar
perilaku manusia ini, ada kaitannya dengan “Pumping Teacher” dalam
memberikan teladan kepada anak didiknya.
Pertama, Guru Sanguinis adalah guru yang mampu
menimbulkan auranya kepada peserta didik dengan menampakkan kesenangan kepada
siapa saja. Akan tetapi kelemahan dari guru ini adalah mudah lupa dan kurangnya
persiapan dalam memberikan pelajaran kepada siswa.
Kedua, Guru Koleris adalah guru yang mementingkan
tugasnya sebagai kewajiban, sehingga dalam hubungan kemasyarakatan agak kurang.
“Guru koleris senantiasa berkata bagaimanapun saya
mengajar untuk kepentingan sekolah ini. Sebagai orang koleris, ia merasa bersalah
jika satu hari saja tidak produktif”.
Ketiga, Guru Phlegmatis adalah guru yang tidak senang
dipuji sehingga dalam melakukan sesuatu secara diam-diam. Karakter yang
dimiliki guru ini adalah “tenang dan terkendali”.
Keempat, Guru Melankolis adalah peka terhadap
lingkungan sosial., misalnya dalam mengajar selalu memperhatikan perasaan anak
didiknya, tetapi “dalam praktik pembelajaran, secara tegas mereka ingin
berada pada garis yang benar”.
Guru bukan saja menjadi teladan bagi siswa
tetapi guru bisa juga menginspirasi siswa. Menjadi guru yang baik adalah bukan
dari wibawanya yang selalu ingin dihormati tetapi menjadi sahabat yang selalu
menimbulkan karakter, sehingga dihormati oleh anak didiknya. Guru bukan saja
mendengar yang terbaiknya saja dari siswa tetapi guru harus mendengar juga
keluhan-keluhan apa saja yang ada pada siswa.[27]
Dari paparan diatas, memberi penjelasan kepada
kita, bahwa manusia tidaklah sempurna, masih ada saja kelemahan-kelemahan yang
dimilikinya termasuk guru dalam memiliki perilaku “Sanguinis popular, prilaku koleris kuat, perilaku phlegmatis
damai, dan prilaku melankolis sempurna”. Tidak semuanya guru memiliki semua perilaku tersebut yang dimiliki oleh
seorang guru, tetapi perilaku tersebut hanya dimiliki oleh satu guru. Namun,
bukan berarti perilaku tersebut, guru tidak bisa menampilkan gaya belajarnya
yang monoton tanpa ada pembaharuan.
Guru yang ingin merubah gaya belajarnya, agar
selalu disenangi oleh anak, sebaiknya guru bersama-sama berlatih sesama guru,
agar dengan gaya belajar yang baru, motivasi siswa muncul dengan sendirinya
tanpa perlunya motivasi ektrinsik dengan hadiah atau hukuman.[28] Oleh karena itu, menjadi “Pumping
teacher” bukan saja mampu memotivasi siswa tetapi bisa juga menampilkan gaya belajar
yang baru dan selalu diperbaharui agar semakin baru.
Kesimpulan
Menanggulangi realitas pendidikan saat ini,
dengan berbagai permasalahan yang ditimbulkan, baik dari anak-anak maupun dari
guru dalam pentas pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari pembicaraan karakter.
Bahkan, untuk menanggulangi perbuatan tersebut, berbagai macam penelitian, baik
dari skripsi, tesis, disertasi yang telah dibukukan maupun dari jurnal lokal
dan jurnal internasional, dari media sosial, baik dari internet, facebook,
telah hangat-hangatnya membicarakan tentang penanggulangan karakter anak.
Tulisan ini, hanya memberikan asumsi pemikiran
saya untuk menanggulangi tantangan pendidikan di abad 21 ini terhadap realitas
pendidikan saat ini dengan konsep “Pumping Teacher”. Pumping Teacher
yang dimaksud adalah guru bukan hanya bisa memberikan motivasi kepada anak
tetapi dapat mencetak generasi yang berkarakter. Oleh karena itu, mindset
mendidik guru harus dirubah, yakni mengajar dari hati bukan mengejar materi,
mengajar bukan karena mengejar sertifikasi tetapi mengajar dari hati sanubari,
mengajar bukan kewajiban kita sebagai guru, tetapi mengajar yang selalu
dirindu, sehingga gaya biofili tanpa dicari tetapi secara sadar sudah
menjadi jati diri.
Maaf, footnate dan Daftar Pustaka Tidak Disertakan. Tulisan ini akan diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah
No comments:
Post a Comment