Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Gerakan Feminis di Mesir dan Maroko


#Adnan Mahdi >> 
@Makalah Kuliah Studi Gender

Pendahuluan
Pembicaraan masalah gerakan feminis atau seputar persoalan kaum perempuan merupakan hal yang selalu menarik, baik dari segi eksistensi, karakteristik, maupun problematikanya seiring dengan laju perkembangan masyarakat. Ia selalu menjadi bahan pembicaraan formal dan non formal dari dulu hingga sekarang, seolah-olah pembahasan tentang perempuan tidak pernah ada habisnya. Hal tersebut disebabkan belum selesainya hak-hak yang diperjuangkan oleh kaum perempuan, karena secara historis, posisi perempuan seringnya dirugikan.
Menurut informasi sejarah, bahwa perempuan sebelum Islam tidak pernah memperoleh hak-haknya sesuai dengan undang-undang, atau tidak pernah memperoleh kedudukan sebagaimana yang seharus dan sewajarnya diberikan kepada mereka sesuai dengan tugas dan fungsinya yang besar di dalam kehidupan ini.[1] Kesadaran akan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender yang dialami kaum perempuan baru mulai memperlihatkan cikal-bakalnya pada akhir abad ke-19 sampai pada pertengahan abad ke-20. Akan tetapi, pembicaraan yang dinilai serius dan berani dari kaum perempuan untuk membahas tentang peran gender dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat, eksploitasi perempuan, misoginis, dan sistem patriarki itu baru tampak pada paruh kedua abad ke-20.[2] Hal itu bisa dilihat dari karya tulis kaum muslimah di berbagai media, baik dalam bentuk koran, novel, buku, majalah, dan sebagainya. Untuk melihat lebih jauh gerakan feminis yang mereka lakukan tersebut, di bawah ini akan disajikan pembahasannya dengan menampilkan dua negara yang mayoritas muslim, yaitu Mesir dan Maroko. Namun sebelumnya, akan dibahas terlebih dahulu gerakan feminis itu sendiri secara umum.

Gerakan Feminis
Ø Pengertian Gerakan Feminis
Untuk menghindari kesalahan dalam memaknai istilah feminis, ada baiknya dijelaskan sekilas arti dari kata tersebut. Secara etimologi, kata “feminisme” berasal dari bahasa Latin “femina” dan dalam bahasa Inggris menjadi “feminine”, yang mengandung arti memiliki sifat-sifat sebagai perempuan. Apabila kata feminis ditambah “ism”, maka akan menjadi feminism, yang berarti segala sesuatu tentang perempuan, atau dapat pula berarti paham mengenai perempuan. Namun ada juga yang memahami kata feminis itu berasal dari kata fides dan minus atau feminus, yang berarti kurang iman.[3]
Menurut Kamla Bahsin dan Nighat Said Khan, feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat di tempat kerja dan keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Adapun hakikat dari feminisme adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat serta kebebasan bagi perempuan untuk memilih dalam mengelola kehidupan, baik di dalam maupun di luar rumah. Sedangkan menurut Yunahar Ilyas, feminisme lebih tepat diartikan sebagai suatu kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.[4]
Berdasarkan keterangan di atas, inti dari gerakan feminis adalah suatu kesadaran akan penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga serta tindakan sadar kaum perempuan atau laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Berdasarkan pemaknaan tersebut, maka dalam tulisan ini akan disajikan gerakan feminis yang tidak hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja, tetapi juga pembelaan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.

Ø Sekilas Sejarah dan Arah Gerakan Feminis
Penderitaan perempuan menurut prediksi sebagian ilmuan sudah mulai sejak + 200 tahun Sebelum Masehi. Kaum laki-laki meletakkan posisi perempuan pada derajat yang rendah. Mereka dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang suami dalam memperlakukan istrinya. Sebagian Yahudi membolehkan seorang bapak untuk menjual anak perempuannya. Sedangkan di Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan banyak laki-laki (poliandri). Adapun di Jazirah Arab, lahirnya bayi perempuan adalah kehinaan atau kutukan bagi keluarganya sehingga layaknya dikubur hidup-hidup. Sementara di Mesir dan Persia, perempuan diperlakukan dengan sadis karena hanya dinilai alat pemuas laki-laki. Untuk Cina Kuno, ada sebuah adagium yang ditulis oleh Wall Dewrant, bahwa: “Tidak ada di dunia ini yang lebih rendah harganya dari perempuan”.
Dalam tradisi Yunani juga terdengar sebuah adagium, bahwa “kita menyewa perempuan cantik itu demi kenikmatan, mengambil budak-budak perempuan itu sebagai pembantu rumah dan meminang istri-istri sebagai ibu yang sah dari anak-anak”. Dalam UU Manao India Kuno pada pasal 148, ditegaskan bahwa: “Masa kecil perempuan sepenuhnya berada di tangan sang ayah. Masa dewasanya berada di tangan suami. Jika suami meninggal, perempuan tersebut berada di bawah pengawasan anak-anaknya atau kerabat dekatnya. Jika ia tidak memiliki kerabat dekat, maka statusnya berada di bawah pengawasan pemerintah”. Lebih parah lagi, UU Romawi menempatkan perempuan laiknya orang gila, yaitu: “penyebab hilangnya hak kepemilikan ada tiga; karena ia adalah anak kecil, karena gila dan karena ia adalah seorang perempuan”.
Begitulah gambaran sekilas penderitaan yang panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai predikat buruk yang disematkan pada pundak perempuan. Pada abad ke-7 Masehi, tampillah Nabi Muhammad sebagai manusia pelopor yang melakukan gerakan feminis, jika disepakati bahwa substansi dari gerakan feminis tersebut adalah memperjuangkan tatanan masyarakat yang adil secara gender, bebas dari bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan. Untuk itu, tidak salah kiranya Rasulullah disebut sebagai feminis, karena jika dilihat dari misi kehadirannya, Ia adalah utusan Allah yang ditugaskan untuk membebaskan perbudakan dalam arti luas,[5] dan kekangan dari belenggu thaghut serta khurafat dengan memperkenalkan konsep tauhid (monoteisme).
Tauhid adalah pandangan dunia (worldview), basis, titik fokus dan awal-akhir dari seluruh pandangan dan tradisi masyarakat muslim. Kalimat Laa ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) yang diucapkan setiap hari, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam ritual maupun relasi sosial menunjukkan bentuk komitmen verbal atas keimanan kepada Tuhan yang Esa, Allah SWT. Dalam sejarah agama-agama langit, konsep tauhid hadir di tengah-tengah moralitas masyarakat yang runtuh dan kacau, yang ditandai dengan menipisnya penghargaan manusia pada nilai kemanusiaan mereka sendiri. Konteks kesejarahan pada waktu Nabi Muhammad lahir dan diangkat sebagai utusan Tuhan adalah dengan suasana ideologi dan keyakinan politeistik (banyak tuhan) yang mengabaikan arti kemanusiaan. Rasulullah hadir untuk membawa kembali ajaran tauhid, sebagaimana yang telah dilakukan oleh utusan-utusan Tuhan sebelumnya.[6]
Ajaran tauhid yang dibawa Rasulullah itu merupakan pernyataan yang menegasikan segala bentuk politeisme atau kemusyrikan, bukan hanya pada tataran ritualistik yang lebih berdimensi personal belaka, seperti penyembahan berhala, patung, api dan sebagainya, tapi juga pada segala bentuk kemusyrikan sosial dan politik, seperti me-mahaagung-kan dan memuja kepentingan pribadi, golongan, etnis dan sebagainya.[7] Hal ini mengisyaratkan bahwa tindakan diskriminasi yang dilandaskan pada perbedaan jenis kelamin (gender), warna kulit, kelas, ras, teritorial, suku, agama dan sebagainya tidak memiliki dasar pijakan dalam ajaran tauhid. Ukuran satu-satunya yang menjadikan seseorang manusia itu unggul atas manusia lainnya adalah pada tingkat komitmennya terhadap penegakan moralitas ketuhanan Allah. Ini tidak lain adalah kode etik dan moralitas kemanusiaan universal,[8] dan tugas utama Rasulullah diutus adalah untuk merealisasikan ide moral universal itu di tengah-tengah masyarakatnya.
Pada masa Rasulullah, perempuan benar-benar terangkat harkat dan martabatnya, namun dipenghujung abad ke-13, kondisi itu secara gradual memudar dan akhirnya dominasi kaum laki-laki muncul kembali. Setelah berjalan selama 6 abad dominasi tersebut, barulah muncul benih-benih gerakan feminis pada abad ke-19 yang difasilitasi dalam Women Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).[9] Gerakan yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya untuk memperoleh kesamaan hak. Mereka memperjuangkannya melalui parlemen, turun ke jalan untuk melakukan aksi demonstrasi maupun pemboikotan. Pada awal abad ke-20, gerakan feminis di AS, difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak untuk memilih, karena saat itu wanita disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak memiliki hak pilih dalam pemilu. Hingga pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Fall, New York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara.
Namun demikian, setelah hak-hak itu diperoleh, gerakan tersebut sempat tenggelam. Baru sekitar tahun 1963, Betty Friedan menerbitkan bukunya “The Feminine Mystique”. Gerakan ini sempat mengejutkan masyarakat, karena mampu memberikan kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan, bahwa peran-peran tradisional selama ini ternyata menempatkan mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi dan menganalisasi kaum perempuan.[10]
Dampak feminisme memang nyata di mana dalam waktu 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang menyangkut nasib perempuan,[11] sampai akhir tahun 1980-an. Teori feminisme menunjukkan pola berulang hasil analisisnya merefleksikan pandangan perempuan kelas menengah Amerika Utara dan Eropa Barat. Namun sayangnya, secara akademis justru muncul kecenderungan maskulinis di Barat. Sebab secara tidak disadari, para feminis di Barat telah terkooptasi oleh hirarki, cara berfikir, mekanisme kerja, epistomologi dan metodologi maskulin.[12] Hal ini jelas akan dapat membahayakan feminisme itu sendiri. Sebab suatu gerakan yang awalnya dimaksudkan untuk sebuah pembebasan malah terbalik menjadi penindasan.
Dengan demikian, jika gerakan feminisme Barat diterapkan secara mentah-mentah dalam dunia Islam, maka menjadi kurang tepat dan akan mengalami banyak kendala, bahkan bisa jadi ide-ide pembebasan kaum perempuan yang dicita-citakan akan berubah menjadi perlawanan dan bisa juga melenceng dari kode etik dan moralitas kemanusiaan universal yang diperjuangkan Rasulullah.

Gerakan Feminis di Dunia Muslim
Perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan gender oleh negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tampaknya sudah rata-rata dilakukan. Namun, untuk memfokuskan pembahasan dalam makalah yang sangat terbatas ini, penulis hanya memilih negara Mesir dan Maroko.

Ø Gerakan Feminis di Mesir
Periode modern sejak 1800 M dan seterusnya merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengisyafkan dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan menjadi salah satu ancaman bagi Islam. Raja-raja dan para pemuka Islam mulai serius memikirkan bagaimana caranya meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam.[13] Setelah dikaji-kaji, ternyata salah satu penyebabnya ialah tidak terdidiknya kaum perempuan.[14]
Negara yang pertama menyadari persoalan tersebut adalah Mesir. Kesadaran itu muncul tidak hanya semata disebabkan oleh minimnya kesempatan yang diperoleh kaum perempuan Mesir untuk mendapatkan pendidikan, tetapi juga dipengaruhi oleh penindasan yang dilakukan Inggris. Mesir adalah salah satu negara jajahan Inggris yang hidupnya tampak makmur, namun selalu ditekan dan penduduknya diperlakukan secara diskriminatif. Seluruh posisi administratif kunci dan jabatan-jabatan puncak dinas sipil selalu dikuasai dan dijabat oleh orang-orang Inggris. Betapapun prigel dan mahirnya seorang Mesir, pasti ada saja rintangan yang tidak bisa dilaluinya. Diskriminasi yang cukup parah juga terjadi di dalam sekolah-sekolah, misalnya, staf Inggris dan Mesir mempunyai ruang bersama yang terpisah, dan ini dilakukan agar orang Inggris tidak berbaur dengan orang-orang Mesir.[15]
Kebencian itu semakin meningkat ketika kontrol yang dilakukan oleh kekuatan asing sudah memasuki ranah penghinaan terhadap orang Mesir. Ekonomi berkembang secara ganjil, karena kemakmuran hanya terjadi secara esensial di daerah-daerah yang menguntungkan Inggris dan investor asing. Sementara industri-industri lokal yang diprediksi akan bersaing dengan berbagai industri di Eropa, selalu dilumpuhkan. Apalagi dengan terjadinya insiden di Dinsyawai yang mengakibatkan empat orang warga desa dihukum gantung, dua orang dihukum seumur hidup, dan 15 orang dihukum cambuk 50 kali serta dipenjara beberapa tahun. Hukuman mati dan cambuk itu dilakukan di hadapan orang-orang desa di luar desa Dinsyawai.[16]
Tragedi tersebut bukannya memadamkan semangat juang orang-orang Mesir, tapi sebaliknya, semakin mengobarkan rasa nasionalisme mereka untuk mengusir dan menghentikan penguasaan Inggris di Mesir. Seiring dengan semangat nasionalisme itu, kesadaran kaum perempuan Mesir juga terusik, sehingga timbul keinginan mereka untuk berjuang dan menuntut kesetaraan serta perlakuan adil dalam kehidupan seperti yang diterima oleh kaum laki-laki. Dari kesadaran itu, sehingga Mesir dikenal sebagai negara pertama yang mencetuskan gerakan feminis di dunia Islam dan memperjuangkan kesetaraan gender. Gerakan itu tidak hanya di negaranya semata, tetapi juga di wilayah Timur Tengah pada umumnya. Bahkan, perempuan Mesir dianggap sebagai pelopor pertama yang berani membatalkan kewajiban memakai cadar di negaranya.[17] Informasi ini tentu mencengangkan bagi sebagian muslim yang awam, karena mereka pasti tidak menyangka jika Mesir yang dikenalnya sebagai kiblat pendidikan Islam di Timur Tengah, ternyata menyimpan pusaka historis berupa gerakan feminis.
Gerakan-gerakan perempuan yang terjadi di Mesir menggunakan media tulisan, dan tulisan perempuan yang sangat dikenal dan dinilai hebat adalah tulisan dari Zainab al-Fawwaz dan Aisha al-Taimuriyya pada abad ke-19.[18] Namun, menurut versi dari berbagai tulisan yang lain, bahwa gerakan feminis di Mesir sebenarnya telah dimulai oleh para feminis laki-laki, seperti tulisan Rifa’at at-Thahthawi (1801-1873), Ahmad Faris as-Syidyaq (1804-1888), Qasim Amin (1863-1908), dan Muhammad Abduh (w. 1905). Hanya saja, penilaian tersebut dianggap masih kontroversial dan menjadi polemik dari berbagai kalangan, seperti Margot Badran yang mempertanyakan pandangan bahwa gerakan feminis Mesir itu dimulai oleh laki-laki seperti Muhammad Abduh dan Qasim Amin.[19] Badran sangat tidak sependapat dengan penilaian tersebut, karena ia memandang bahwa gerakan feminis di Mesir memiliki akar pribumi yang sangat nyata.[20]
Namun bagi penulis, terlepas dari kesangsian Badran tersebut, yang jelas tulisan atau gagasan feminis laki-laki sebagai pendahulu dari gerakan feminis kaum perempuan tersebut, sedikit banyaknya telah menginspirasi, atau paling tidak, sudah mempengaruhi atmosfir cara pandang, pemikiran, atau gaya hidup di Mesir. Untuk itu, penulis akan memberikan porsi guna mengulas pemikiran dan gerakan dilakukan oleh Qasim Amin. Meskipun ada beberapa feminis laki-laki yang berada di Mesir, namun pemikiran dan perhatian yang dinilai khusus dan serius hanyalah Qasim Amin.
Qasim Amin lahir di Iskandariyah pada bulan Desember 1863 M. Ia lahir dari keluarga campuran karena ayahnya bernama Beyk Amin dari keturunan Turki, sedangkan ibunya dari keturunan Mesir.[21] Qasim Amin memperoleh pendidikan dasarnya pada Madrasah Raksu al-Tiyn di pusat Kota Iskandariyah. Ketika ayah dan ibunya pindah ke dekat Kota Kairo, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah al-Tijhiziyah, lalu di Madrasah al-Huquq (Sekolah Tinggi Hukum), dan memperoleh Ijazah pada tahun 1881 M.[22] Ia pernah belajar di Paris mengenai ilmu hukum, sosiologi, etika, ilmu jiwa dan beberapa disiplin ilmu lainnya.
Setelah selesai menamatkan studinya di Paris, Qasim Amin kembali dan bekerja di Jaksa Agung (Niyabah Al-Ammah) dan di bidang peradilan. Tahun 1892 M, ia diangkat menjadi hakim agung di Mahkamah al-Isti’naf, dan pernah mendirikan al-Jami’ah al-Mishriyah bersama Sa’ad Zaglul.[23] Sebelum ide-idenya terrealisasi, dia meninggal dunia dalam usia muda, yaitu usia 45 tahun. Meskipun dalam usia singkatnya, Qasim Amin masih sempat menulis dua buku yang cukup populer, yaitu Tahrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadidah. Dalam bukunya, Tahrir al-Mar’ah, Qasim Amin membahas tentang kebebasan dan pengembangan kemampuan perempuan untuk mencapai kemajuan. Sedangkan dalam buku keduanya al-Mar’ah al-Jadidah, Qasim Amin mempertegas dan memperkuat ide-idenya dalam buku pertamanya. Adapun hal-hal yang menjadi fokus perhatiannya dalam meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan Mesir, Qasim Amin membahas serius mengenai pendidikan, hijab, dan pernikahan. Di antara ide atau pemikirannya, adalah:
ü Pendidikan bagi perempuan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam memajukan suatu bangsa, baik statusnya sebagai ibu rumah tangga maupun anggota masyarakat. Menurutnya, perempuan tidak mungkin baik mengurus rumah tangganya, kecuali dengan bekal ilmu pengetahuan.[24]
ü Hijab yang dipakai oleh perempuan Mesir bukanlah datangnya dari syari’at Islam, tetapi dari adat-istiadat di luar Islam yang telah lama berkembang.[25] Syari’at Islam memandang bahwa muka dan telapak tangan perempuan bukan termasuk aurat, jadi tidak harus ditutupi dengan cadar.[26]
ü Pandangan masyarakat dan para fuqaha sangat merendahkan posisi dan kedudukan perempuan dalam pernikahan, karena mereka hanya memandang istri itu sebagai obyek saja. Hal tersebut bertentangan dengan al-Qur’an, surat ar-Ruum [24]: 21. Sesungguhnya pernikahan itu adalah ikatan antar suami istri yang didasari oleh rasa kasih sayang.[27] Mengenai poligami, Qasim Amin berpendapat bahwa hal itu merupakan penghinaan yang keras terhadap perempuan karena tidak akan pernah ada perempuan yang rela melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya, seperti halnya seorang laki-laki juga tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya.[28]
Itulah beberapa cuplikan dari pemikiran Qasim Amin yang pada masanya dinilai cukup berani dan belum bisa diterima oleh masyarakat Mesir. Pemikiran seperti itu dianggap berbahaya dan bisa merusak sendi agama serta dapat menimbulkan dekadensi moral bagi masyarakat Mesir.
Setelah beberapa lama meninggalnya Qasim Amin, pada awal abad ke-20, barulah tampak tonggak-tonggak kemajuan kaum perempuan di Mesir, seperti keberhasilan yang dicapai oleh Nabawiyah Musa sebagai perempuan pertama yang memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun 1908, meskipun dihalang-halangi oleh Douglas Dunlop sebagai penasihat Inggris pada Kementerian Pendidikan. Selain itu, dikenal juga nama Malak Hifni Nassef sebagai penulis di surat kabar Partai Ummah yang sekularis dan liberal, dengan nama samaran Bahitsat al-Badiyyah (pencari di gurun pasir).[29] Selain dia, banyak lagi penulis perempuan yang aktif menuangkan ide-idenya di majalah atau buku, seperti Anis al-Jalis (1898-1908), Fatat asy-Syarq (1906), al-Jins al-Lathif (1908), al-‘Afaf (1910), dan Fatat an-Nil (1913).
Sekitar tahun 1910, perubahan-perubahan sudah mulai terjadi di Mesir. Gaya busana, khususnya variasi-variasi hijab, dari yang tebal hingga yang tipis sudah jelas terlihat. Penanggalan hijab meningkat tajam sehingga para pengunjung dari negara-negara Arab lainnya tersentak dengan merebaknya fenomena itu. Sebagian perempuan muslim sudah ada yang menanggalkan hijabnya, dan sudah banyak perempuan yang sekolah. Seorang pengunjung Amerika yang datang ke Kairo pada tahun 1913 merasa bingung karena sudah banyaknya sekolah Prancis, Inggris dan Italia yang didirikan untuk anak-anak perempuan.[30]
Selain melalui jalur tulisan dan sekolah, perjuangan perempuan juga tampak pada bidang organisasi. Pada tahun 1908, telah dibentuk Himpunan untuk Kemajuan Wanita yang berhaluan Islam konservatif. Sedangkan pada tahun 1914, dibentuk pula Asosiasi Intelektual Wanita Mesir yang didirikan oleh Huda Sya’rawi dan Mai Ziyadah. Organisasi lain juga menyusul didirikan, seperti: Himpunan Kebangkitan Kembali Wanita Mesir, Himpunan Ibu-ibu Masa Depan (1921), dan Himpunan Wanita Baru (1919). Selain itu, juga dilakukan serangkaian kuliah untuk kaum wanita yang dilaksanakan pada hari Jum’at oleh Huda Sya’rawi. Ia mendatangkan pembicara pertamanya, Marguerite Clement, dan ia meminta agar Clement memaparkan perbedaan kehidupan wanita-wanita Timur dan Barat serta berbicara mengenai praktek sosial seperti hijab. Wanita-wanita Mesir termasuk Nassef serta wanita-wanita Eropa lainnya diundang untuk menjadi pembicara dalam kuliah tersebut.[31]
Dalam dekade pertama abad ke-20, perempuan juga mendirikan berbagai apotek, sekolah perawat, rumah sakit, dan badan wakaf untuk kaum wanita, yang sering juga memberi layanan pada anak-anak lelaki dan kaum pria dewasa. Semua kegiatan tersebut dibiayai dari pameran, bazar, perjudian, dan donasi dari anggota dan sahabat mereka.[32] Ketika pergolakan politik memuncak akibat dideportasinya Sa’d Zaghloul, pimpinan partai politik besar di Mesir, kaum perempuan juga mengambil peran dan berjuang untuk menentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh Inggris. Pada tanggal 16 Maret 1923, Huda Sya’rawi mendirikan Himpunan Feminis Mesir (HFM), dengan tujuan untuk memperjuangkan hak pilih bagi kaum perempuan, karena sebelumnya perempuan dalam pentas politik Mesir tidak memiliki hak pilih. Melalui HFM itu juga, kaum perempuan mengusulkan beberapa rancangan untuk memajukan mereka, di antaranya memperjuangkan kesetaraan dalam bidang politik, sosial, dan hukum (perkawinan). Pada tahun 1923, ternyata usulan mereka itu ditanggapi parlemen, dan disahkanlah hukum yang mengatur bahwa usia perkawinan itu minimum 16 tahun untuk anak perempuan dan 18 tahun untuk anak lelaki. Pada tahun yang sama, pemerintah juga mengumumkan program wajib belajar bagi anak perempuan dan lelaki.[33]
Pada tahun 1923 itu pula, HFM mengutus wanita Mesir untuk menghadiri pertemuan Aliansi Wanita Internasional di Roma, diwakili oleh Huda Sya’rawi, Saiza Nabarawi, dan Nabawiyyah Musa. Ketika kembali dari pertemuan tersebut, Sya’rawi dan Nabarawi melepaskan hijab mereka saat turun dari kereta api di Kairo. Tindakan mereka itu dinilai sebagai simbolis pembatalan kewajiban memakai hijab. Mereka juga mendeklarasikan keinginan perempuan untuk mengakhiri pemisahan antara laki-laki dan perempuan di rumah.[34]
Pada tahun 1933, perempuan Mesir telah berhasil menjadi sarjana pertama di Universitas Kairo, yang pada saat masuknya mereka telah diusulkan melalui organisasi HFM yang dipimpin Huda Sya’rawi. Pada tahun 1938, perempuan Mesir mengadakan konferensi feminis “Timur” yang dihadiri oleh berbagai utusan dari tujuh negara Arab. Sedangkan konferensi keduanya dilaksanakan pada tahun 1944, dan dalam acara tersebut, dibentuklah Himpunan Feminis Arab yang diketuai oleh Huda Sya’rawi. Ketika Huda Sya’rawi meninggal tahun 1947, kepemimpinan HFA tersebut digantikan oleh Ibtihaj Qaddus dari Libanon.[35]
Setelah Huda Sya’rawi meninggal, tidak berarti tuntutan kaum perempuan Mesir mengenai keadilan dan kesetaraan gender sudah selesai. Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa feminis lainnya yang cukup diperhitungkan ide-ide pemikirannya. Salah satunya adalah Nawal el-Saadawi. Ia adalah seorang penulis dan novelis yang peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh individu dan masyarakat. Dalam salah satu bukunya yang berjudul “Perempuan dalam Budaya Patriarki”, ia mengatakan bahwa hak seksual seperti yang dipraktekkan masyarakat Barat tidaklah memberikan kemerdekaan pada kaum perempuan, malah mengakibatkan bertambahnya penindasan karena wanita diubah menjadi tubuh-tubuh komersil serta peningkatan laba kapitalis. Hal ini tentunya akan mengukuhkan idealisme patriarki yang memandang bahwa maskulin akan selalu berada di atas feminim dalam keadaan apapun. Walaupun adanya dominasi kaum feminim, tetapi pria akan selalu mampu mencari celah untuk menjadikan wanita sebagai objek bagi mereka.[36]
Selain itu, el-Saadawi juga memiliki beberapa goresan penting mengenai sikap penentangannya terhadap kultur sekaligus doktrin serta undang-undang di negaranya. Berikut cuplikannya:
ü Saat suaminya kembali dari ladang dan karena ia tidak menemukan sang anak dimana-mana ia memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiatnya. “Setiap anak laki-lakinya meninggal, suaminya akan memukulnya secara membabi buta begitu pula bila anak yang dilahirkan anak perempuan”.[37]
ü Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya dengan sepatunya, muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman tapi paman mengatakan pada saya bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa paman adalah seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan karena itu dia tidak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab, bahwa “justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya, karena aturan agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu”.[38]
ü Mengapa kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya? Mengapa tidak terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan keadilan? Mengapa para ibu tidak mau mengakui bahwa anak perempuan sama saja dengan anak laki-laki atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai orang yang sederajat dan sebagai mitra, mengapa masyarakat tidak mengakui hak seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan otak ataupun tubuhnya.[39]
ü Bapak ku memperlakukanku lebih buruk daripada pembunuhan. Permasalahannya adalah undang-undang tidak menghukum bapak ku serta tidak menghukum suami Rabiah. Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan para suami yang memperjual-belikan kami atas nama nikah yang sah, talak/poligami yang sah.[40]
Begitulah beberapa cuplikan dari karya Nawal el-Saadawi, dan semua itu merupakan cerminan dari pergolakan jiwanya yang ingin memberontak segala aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Itulah bentuk sumbangan Nawal el-Saadawi dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender di Mesir.

Ø Gerakan Feminis di Maroko
Maroko merupakan salah satu negara yang penduduknya dominan beragama Islam. Oleh karenanya, banyak umat Islam sangat tertarik untuk memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah mengenai gerakan feminis yang terjadi di negara tersebut. Jika pembicaraan diarahkan ke persoalan feminis, sudah tentu semua tertuju pada nama satu orang yang sangat populer asal Maroko tersebut, yaitu Fatima Mernissi.
Fatima Mernissi dikenal sebagai salah satu feminis muslim yang sangat gigih memperjuangkan hak-hak kaum perempuan melalui wacana keagamaan. Ia lahir di lingkungan harem,[41] di Kota Fez atau Qarawiyin Maroko pada bulan Ramadhan tahun 1940. Kota Fez merupakan sebuah kota yang berada sekitar 5000 KM di sebelah barat Mekkah dan 1000 KM di sebelah selatannya Madrid, Spanyol.[42] Semasa studinya, Fatima Mernissi pernah belajar di Universitas Sorbonne Paris dan Universitas Brandeis Amerika Serikat.[43]
Maroko atau Maghrib al-Aqsha (barat yang jauh) atau lumrahnya disebut Maghrib merupakan salah satu negara teokrasi di kawasan Arab (muslim) yang sangat kental tradisi patriarki. Poligami, harem, dan hijab merupakan praktek yang mereka anggap sebagai bagian dari tradisi patriarki yang sangat menonjol di wilayah Arab, termasuk di Maroko.[44] Selain itu, Maroko juga merupakan negara yang berada di bawah bayang-bayang kolonial Spanyol dan Perancis. Pasukan Spanyol bermarkas di Maroko Utara, sedangkan pasukan Prancis bermarkas di Maroko Selatan, sehingga ada wilayah Maroko yang disebut Maroko Spanyol dan Maroko Prancis.[45] Namun, ketika Mernissi lahir, para nasionalis Maroko telah berhasil merebut kekuasaan pemerintahan negara dari kolonial Prancis.
Semenjak kecil, Mernissi sudah sering terlibat dalam pergulatan pemikiran dan senang bertanya yang sifatnya menantang kala itu. Misal saja, dia pernah bertanya: “jika disepakati ada batas antara perempuan dan laki-laki, kenapa yang harus ditutupi dan dibatasi itu hanya kaum perempuan”. Pertanyaan seperti itu selalu ditanyakannya pada neneknya, Yasmina, dan neneknya tidak berani menjawab karena dinilai terlalu berbahaya. Sejak kecil pula, Mernissi sudah meyakini bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam sangat tergantung pada bagaimana cara pandang dan resepsi (penerimaan) umat Islam terhadapnya. Menurutnya, al-Qur’an itu membawa ke dalam mimpi, tapi juga bisa menjadi pelemah semangat. Semuanya tergantung pada cara seseorang untuk memahami dan menerimanya.
Ketika Mernissi menginjak dewasa, ia pernah mendengar hadis dalam kitab Bukhari, yang intinya: “anjing, keledai dan perempuan akan membatalkan shalat seseorang jika ia melintas di depan mereka, menyela di antara orang yang shalat dan kiblat”. Mendengar hadis tersebut, Mernissi merasa tidak percaya bahwa tidak mungkin rasanya Rasulullah mengatakan hadis semacam itu. Perkataan tersebut jelas melukai hati dan perasaannya.[46] Begitu juga dengan hadits yang menyatakan bahwa “tidak akan memperoleh kemakmuran suatu kaum jika menyerahkan urusannya kepada perempuan”.[47] Hal ini sangat merisaukan hatinya, karena menurut Mernissi, tidak mungkin Nabi Muhammad yang sangat penyantun itu mengucapkan sabda yang menyakitkan. Sikap penolakan Mernissi terhadap hadits misoginis ini semakin kuat ketika ia mulai berinteraksi dengan Barat.
Berdasarkan latar belakang dan pengalaman mempelajari agama inilah yang memotivasi Mernissi untuk memperjuangkan hak-hak serta menggugat kedudukan perempuan. Tekad itu semakin kuat sehingga mengantarkannya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Setelah studinya selesai di Universitas Sorbonne Paris dan Universitas Brandeis Amerika Serikat, Mernissi semakin gigih memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Menurut beberapa catatan, studinya di Barat itu ternyata cukup mempengaruhi pemikiran Mernissi,[48] sehingga pikiran dan ide perjuangan feminisnya dinilai liberal sebagaimana hal tersebut sudah lumrah di Barat. Adapun pemikiran-pemikiran Mernissi terkait perjuangannya untuk kesetaraan dan keadilan gender, diantaranya:
ü Mendapatkan Nafkah
Menurut Mernissi, batasan seksualitas muslim menciptakan pola-pola tingkatan, tugas, dan wewenang. Umumnya wanita dimiliki dan dicukupi secara material oleh laki-laki, dan mereka meminta imbalannya dengan ketaatan dan pemenuhan layanan seksual dari perempuan.[49] Dalam posisi tersebut, jelas perempuan lebih dominan menjadi obyek bagi kaum lelaki, oleh karenanya perempuan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka sehingga kaum perempuan tidak hanya sekedar menerima nafkah, tetapi juga mampu mencari nafkah.
ü Mendapatkan Perlakuan Adil dari Suami yang Berpoligami
Suami yang berpoligami wajib menjaga persamaan di antara istri-istrinya dan tidak melebihkan satu dengan lainnya.[50] Poligami bukan saja mewajibkan laki-laki untuk membagi-bagi keterlibatan emosionalnya dengan istrinya, tetapi juga menetapkan aturan tentang kemampuan untuk saling berbagi dan melakukan hubungan badan dengan adil.[51] Meskipun penjelasan tersebut seakan-akan Mernissi setuju dengan poligami, tetapi sesungguhnya ia tidak setuju dengan poligami tersebut, karena menurutnya poligami itu memiliki suatu dampak psikologis terhadap anggapan diri laki-laki maupun wanita. Bagi laki-laki, poligami dianggapnya sebagai dasar bahwa mereka itu adalah makhluk seksual dan menekankan sifat seksual tersebut dalam satu pertalian suami istri (conjugal unit). Lebih ironis lagi, poligami dijadikan laki-laki sebagai sarana untuk merendahkan kaum wanita bahwa mereka adalah makhluk seksual. Hal ini sejalan dengan kata-kata mutiara di Maroko, bahwa: “rendahkan martabat seorang wanita dengan memasukkan wanita lain ke dalam rumah”.[52]
ü Mengajukan Gugatan Cerai
Menurut pandangan Mernissi, kaum wanita bisa mengajukan gugatan untuk cerai terhadap suaminya yang memukul mereka, karena perbuatan itu merupakan hak istimewa yang tidak terkendali dari suami.[53] Selain perbuatan memukul, seorang istri juga bisa meminta hakim untuk menetapkan perceraian jika suaminya terbukti impoten, meskipun Imam Malik menetapkan bagi wanita agar menunggu satu tahun sebelum meminta cerai atas dasar itu.[54] Selain memiliki hak gugatan cerai, wanita juga memiliki hak-hak lain, seperti: hak untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk budaya masyarakat, hak untuk menjadi seorang mufassir atau ahli agama,[55] hak dalam mengambil keputusan politik dan pembentukan hukum.[56]
ü Hijab atau Jilbab
Menurut Mernissi, hijab atau jilbab merupakan bukti konkret adanya upaya pengucilan dan marginalisasi perempuan dari dunia publik walaupun alasannya untuk mengontrol kekuatan seksual. Mernissi menilai kalau jilbab itu hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum wanita dari ranah publik. Mernissi menilai bahwa asbab nuzul tentang pemakaian jilbab itu bukan membatasi hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi justru sebagai pembatas antara sesama laki-laki. Menurutnya, asbab nuzul ayat tersebut lebih bermakna etis daripada sosial, namun kemudian ayat itu mengalami pergeseran makna.
Selain memahami asbab nuzul, perlu juga melakukan analisis yang berkembang dalam kajian ilmiah kontemporer. Salah satu jenis pendekatan yang tampak tepat untuk digunakan adalah pendekatan sosiologis, karena dengan pendekatan tersebut sangat memungkinkan untuk memahami suasana dan kondisi yang berkembang di dunia Islam yang membentuk sejarah (hubungan laki-laki dan perempuan), misalnya tentang ideologi seksual dalam Islam serta peran laki-laki dan perempuan. Menurut Mernissi, ideologi seksual dalam Islam pada umumnya didasarkan pada keyakinan terhadap kekuasaan seksual yang ada dalam diri perempuan, sehingga perlu di kontrol dengan ketat terhadapnya.
Dalam pandangan Mernissi, hijab itu mengandung tiga dimensi yaitu: dimensi visual, ruang, dan etika. Dimensi visual adalah suatu dimensi yang mempunyai pengertian untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan orang. Dimensi kedua bersifat ruang yang bermakna memisahkan untuk membuat batas dan membuat pintu gerbang. Sedangkan dimensi ketiga bermakna etika, yang berkaitan dengan persoalan larangan.[57]
ü Kepemimpinan Perempuan
Dalam memahami pemimpin perempuan dalam Islam, Fatima Mernissi berpegang kepada prinsip etis yang mendasari Islam, yaitu prinsip kesetaraan, keadilan, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Sebagai makhluk ciptaan Allah, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama sehingga siapapun boleh menjadi pemimpin termasuk perempuan. Mernissi berpandangan bahwa terdapat kesalahan dalam menafsirkan dan memahami dalil tentang kepemimpinan. Menurut Mernissi, dalam memahami dalil tersebut mestinya lebih menekankan pada aspek kronologis yang melatarbelakangi teks itu muncul, sehingga makna keseluruhan teks bisa diketahui secara detail supaya tidak terjadi miss information serta pemotongan wacana dalam memahami atau menafsirkannya. Adapun dalil tersebut bersumber dari riwayat Abu Bakra, berbunyi: “Lan yufliha kaumun wallau amrahum imraatan”, (tidak akan pernah sejahtera suatu kaum apabila segala urusannya diserahkan kepada perempuan).[58]

Selain membahas persoalan di atas, Mernissi juga membahas tentang seksualitas dalam Islam. Menurutnya, aturan seksualitas dalam Islam telah menerapkan standar ganda yang memberatkan kalangan perempuan. Seringkali pengaturan atas seksualitas itu hanya ditujukan pada perempuan yang harus tampil beradab dan berbudaya, sementara seksualitas laki-laki tetap saja bebas melalui poligami. Menurutnya, aturan standar ganda yang dikhususkan pada wanita itu sebenarnya kesalahan umat Islam dalam memahami konsep atau aturan seksualitas yang ditawarkan dalam al-Qur’an.[59]
Itulah beberapa cuplikan dari pemikiran Fatima Mernissi yang sering dikaji oleh banyak kalangan, namun penulis menyadari bahwa semua itu tentunya belum mewakili keseluruhan gagasan dan tawaran yang diabadikan dalam beberapa karyanya. Akan tetapi, paling tidak hal ini bisa memberikan sedikit gambaran mengenai perjuangan dan gerakannya dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.

Persamaan dan Perbedaan Gerakan Feminis di Mesir dan Maroko
Setelah melakukan pembahasan terhadap gerakan feminis di dunia Islam, yang dalam hal ini dihadirkan negara Mesir dan Maroko, maka tahap selanjutnya penulis akan mengulas tentang persamaan dan perbedaan dari gerakan feminis yang telah disajikan.

Ø Persamaan
Berdasarkan sajian di atas, penulis menilai bahwa tujuan dari gerakan feminis yang dilakukan oleh kedua negara memiliki kesamaan, yaitu ingin mengangkat derajat kaum perempuan agar setara dengan derajat yang telah lama dinikmati oleh kaum laki-laki. Budaya patriarki selalu menjadi hentakan semangat kaum perempuan untuk membela dan memperjuangkan hak mereka.
Dari sisi sumber kajian, tampaknya feminis Mesir dan Maroko sama-sama mengkritisi hasil penafsiran yang telah dilakukan oleh kaum lelaki, dan mereka menilai bahwa hasil kajian kaum lelaki itu selalu bias gender. Lebih tajam lagi penilaian kaum feminis bahwa kaum laki-laki itu sering keliru memahami pesan-pesan moral dalam al-Qur’an dan Hadis. Dalil-dalil tersebut seringkali dipahami secara tidak utuh atau suka melakukan penafsiran secara “comotisme” (meminjam istilah Nina Nurmila, dosen Studi Gender UIN SGD), sehingga sangat terasa kesan memanipulasi ayat atau dalil yang hasilnya selalu bias gender. Sedangkan jika dilihat dari sisi media gerakan yang digunakan, mereka sama-sama menggunakan “tulisan” sebagai senjata untuk menyalurkan ide perjuangan feminis. Media itu sangat beragam, ada yang melalui surat kabar/koran, novel, buku, makalah dan lainnya.
Dari beberapa tema gerakan yang mereka lakukan, baik di Mesir maupun Maroko, persoalan hijab menjadi tema sentral dalam tuntutan mereka. Pandangan mereka sama bahwa hijab tersebut yang menjadi penghambat kaum perempuan untuk maju. Bahkan bagi Mernissi, hijab tersebut merupakan bukti konkrit bahwa kaum laki-laki mengucilkan dan memarginalkan mereka dari dunia publik. Selain itu, soal poligami juga menjadi pembicaraan di dua negara tersebut. Bagi feminis Mesir, poligami itu merupakan bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan, sedangkan bagi feminis Maroko, poligami menjadi alat untuk menjadikan perempuan sebagai makhluk seksual. Persoalan kepemimpinan wanita juga menjadi sorotan bagi kedua negara, dan seakan-akan mereka telah sepakat bahwa perempuan itu boleh menjadi pemimpin selaiknya laki-laki, termasuk menjadi pimpinan dalam suatu negara.

Ø Perbedaan
Kendatipun tujuan dari gerakan feminis itu pada umumnya sama, namun pada sisi-sisi tertentu juga memiliki perbedaan, dan hal ini sangat tergantung dari latar belakang pribadi dan kondisi sosial negara yang didiami oleh para feminis yang bersangkutan. Berdasarkan sebab itulah, penulis menemukan ada sisi perbedaan yang diperjuangkan feminis di Mesir dan Maroko.
Jika di Mesir, pendidikan menjadi fokus pembahasan yang cukup serius di kalangan feminis bahwa kaum perempuan harus sekolah dan menuntut pendidikan seperti laiknya laki-laki, baik perempuan yang berstatus sebagai ibu rumah tangga maupun yang berkecimpung di ranah publik. Sementara di Maroko, persoalan pendidikan tidak dibahas serius, hanya saja yang tampak adalah perjuangan Mernissi untuk memperoleh pendidikan tinggi, baik di negaranya maupun di dunia Barat. Selain itu, perjuangan para feminis Mesir kurang begitu tampak membahas soal hak nafkah seorang istri, hak gugatan cerai, dan hak-hak perempuan yang di poligami, namun di Maroko yang disuarakan oleh Mernissi, permasalahan di maksud sangat serius dibahasnya. Bahkan Mernissi juga serius menyinggung bahwa perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah keluarga. Perbedaan tersebut barangkali disebabkan oleh perbedaan kultur atau budaya di dua negara tersebut, di mana, perempuan dan feminis Mesir sudah bisa berinteraksi di dunia publik, sementara Mernissi merasa trauma dengan penyekapan di balik tembok kemewahan (harem).
Sisi lain dari perbedaan itu juga tampak pada kegiatan yang mereka lakukan, feminis Mesir menggunakan organisasi sebagai mobil penggerak untuk percepatan perubahan pada misi-misi yang mereka perjuangkan. Bahkan mereka juga turut berdemonstrasi, berjuang untuk melawan penjajah, mendirikan rumah sakit bahkan juga mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Sementara di Maroko, Mernissi hanya bergerak sendiri tanpa ditopang dengan organisasi. Perjuangan Mernissi lebih dominan melalui kertas bukunya, dan sangat minim dari aksi yang dilakukannya di dunia publik. Selain itu, jika para feminis Mesir selalu berjuang di negaranya sehingga mereka sangat populer di negara sendiri, sementara Mernissi, tulisannya lebih terkenal di negara luar, seperti di Indonesia, di banding di negaranya sendiri, Maroko. Hal ini disebabkan tulisannya selalu menggunakan bahasa asing, dan mungkin juga tidak ada tulisan bukunya yang berbahasa Maroko.

Penutup
Berdasarkan ulasan di atas, penulis berkesimpulan bahwa gerakan feminis yang terjadi di dunia muslim atau di dunia non muslim, selalunya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Hanya saja caranya atau media yang digunakan sangat bervariasi, bahkan masalah-masalah yang mereka perjuangkan juga berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya. Semua itu dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda pula. Hal inilah yang menyebabkan beragamnya gerakan feminis yang dilakukan oleh kaum perempuan. Minimal ada lima kelompok gerakan feminis di dunia, yaitu: gerakan Feminis Liberal, Feminis Sosialis, Feminis Marxis, Feminis Radikal, dan Feminis Islam. Feminis Liberal adalah gerakan feminis yang muncul dalam gerakan pro hak suara dan sosial. Isu-isu yang diangkat, seperti persamaan hak waris, ekonomi, hak politik, serta hak-hak yang selama itu cuma dinikmati oleh kaum laki-laki. Feminis Marxis muncul seiring dengan gerakan pro ajaran Marx itu sendiri. Isu-isu yang diangkat adalah ketidaksetaraan gender muncul akibat adanya struktur kelas di dalam masyarakat kapitalis. Feminis Sosialis lebih menekankan pada aspek kebudayaan sebagai penyebab munculnya ketidaksetaraan gender. Budaya masyarakat mainstream adalah patriarki, dan budaya itulah yang mereka perjuangkan untuk dirombak. Feminis Radikal, lebih menekankan pada aspek personal/pribadi. Masalah ketidaksetaraan gender adalah masalah hubungan laki-laki dan perempuan. Laki-laki secara fisik adalah kaum yang selalu hendak mendominasi perempuan. Banyak para feminis radikal yang berkesimpulan untuk mengakhiri hubungan dengan laki-laki, termasuk pernikahan. Kelompok ini yang mempopulerkan lesbianisme sebagai upaya mempertahankan status perempuan agar tidak lagi didominasi laki-laki.
Adapun Feminis Islam, lebih menekankan pada pengaruh tafsir agama yang didominasi ulama laki-laki. Hasilnya, banyak hasil penafsiran hukum Islam yang lebih membela laki-laki dari pada perempuan. Feminis Islam berusaha menggali sumber klasik (turats) ajaran Islam yang tidak terungkap dan lebih mengakomodasi peran perempuan, dan tokohnya, seperti Fatima Mernissi dan Nawal el-Saadawi. Fatimah Mernisi menawarkan pengkajian ayat al-Qur’an dari aspek kultur-historis. Ia selalu menganalisa bagaimana kontek ayat tersebut turun dan bagaimana kondisi/kultur masyarakat pada suatu daerah yang selanjutnya akan berbeda penafsirannya dari daerah satu dengan daerah lainnya.
Perbedaan penafsiran itu juga dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki penafsir, tujuan penafsiran, serta pengaruh dari perubahan zaman. Menyadari hal tersebut, sudah sewajarnya jika hasil penafsiran itu hanya dipahami secara kondisional dan bersifat dzanni, bukan qath’i, karena ia akan selalu berubah sesuai perkembangan zamannya. Untuk itu, treatment terhadap penafsiran dalil-dalil yang terkait dengan perempuan juga harus mengalami perkembangan sesuai realitas kekinian tanpa menafikan pesan esensial yang terkandung dalam al-Qur’an. Jika hal ini sudah terjadi, maka kesetaraan gender akan tercipta. Setara tidak semestinya dipahami “sama”, tapi setara itu menyangkut soal keadilan dan kesesuaian (appropriateness), karena kesamaan itu belum tentu adil dan sesuai. Filosofi inilah yang perlu dijadikan pondasi dalam setiap gerakan feminis, agar tidak “keceplosan” dan “hilang kendali” dalam menuntut hak-hak kaum perempuan. Wallahu a’lam@


--------------------------------
Maaf, daftar pustaka & footnote-nya dihapus



«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: