#Adnan Mahdi
>>
@Makalah Kuliah
Studi Gender
Pendahuluan
Pembicaraan masalah gerakan feminis atau
seputar persoalan kaum perempuan merupakan hal yang selalu menarik, baik dari
segi eksistensi, karakteristik, maupun problematikanya seiring dengan laju perkembangan
masyarakat. Ia selalu menjadi bahan pembicaraan formal dan non formal dari dulu
hingga sekarang, seolah-olah pembahasan tentang perempuan tidak pernah ada
habisnya. Hal tersebut disebabkan belum selesainya hak-hak yang diperjuangkan
oleh kaum perempuan, karena secara historis, posisi perempuan seringnya
dirugikan.
Menurut informasi sejarah, bahwa perempuan
sebelum Islam tidak pernah memperoleh hak-haknya sesuai dengan undang-undang, atau
tidak pernah memperoleh kedudukan sebagaimana yang seharus dan sewajarnya
diberikan kepada mereka sesuai dengan tugas dan fungsinya yang besar di dalam
kehidupan ini.[1] Kesadaran akan ketidaksetaraan
dan ketidakadilan gender yang dialami kaum perempuan baru mulai memperlihatkan
cikal-bakalnya pada akhir abad ke-19 sampai pada pertengahan abad ke-20. Akan
tetapi, pembicaraan yang dinilai serius dan berani dari kaum perempuan untuk
membahas tentang peran gender dan hubungannya dengan keluarga dan masyarakat, eksploitasi perempuan, misoginis, dan sistem patriarki itu baru tampak
pada paruh kedua abad ke-20.[2] Hal itu bisa dilihat
dari karya tulis kaum muslimah di berbagai media, baik dalam bentuk koran,
novel, buku, majalah, dan sebagainya. Untuk melihat lebih jauh gerakan feminis
yang mereka lakukan tersebut, di bawah ini akan disajikan pembahasannya dengan
menampilkan dua negara yang mayoritas muslim, yaitu Mesir dan Maroko. Namun
sebelumnya, akan dibahas terlebih dahulu gerakan feminis itu sendiri secara
umum.
Gerakan Feminis
Ø Pengertian
Gerakan Feminis
Untuk menghindari kesalahan dalam memaknai istilah
feminis, ada baiknya dijelaskan sekilas arti dari kata tersebut. Secara
etimologi, kata “feminisme” berasal dari bahasa Latin “femina” dan
dalam bahasa Inggris menjadi “feminine”, yang mengandung arti memiliki
sifat-sifat sebagai perempuan. Apabila kata feminis ditambah “ism”, maka
akan menjadi feminism, yang berarti segala sesuatu tentang perempuan, atau
dapat pula berarti paham mengenai perempuan. Namun ada juga yang memahami kata
feminis itu berasal dari kata fides dan minus atau feminus,
yang berarti kurang iman.[3]
Menurut Kamla Bahsin dan Nighat Said Khan, feminisme
adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam
masyarakat di tempat kerja dan keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan
maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut. Adapun hakikat dari feminisme
adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat serta kebebasan bagi perempuan
untuk memilih dalam mengelola kehidupan, baik di dalam maupun di luar rumah.
Sedangkan menurut Yunahar Ilyas, feminisme lebih tepat diartikan sebagai
suatu kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat serta tindakan sadar oleh perempuan
maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.[4]
Berdasarkan keterangan di atas, inti dari gerakan
feminis adalah suatu kesadaran akan penindasan dan diskriminasi terhadap
perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga serta tindakan
sadar kaum perempuan atau laki-laki untuk merubah keadaan tersebut. Berdasarkan
pemaknaan tersebut, maka dalam tulisan ini akan disajikan gerakan feminis yang tidak
hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja, tetapi juga pembelaan yang dilakukan
oleh kaum laki-laki.
Ø Sekilas
Sejarah dan Arah Gerakan Feminis
Penderitaan perempuan menurut prediksi
sebagian ilmuan sudah mulai sejak + 200 tahun Sebelum Masehi. Kaum
laki-laki meletakkan posisi perempuan pada derajat yang rendah. Mereka dipaksa
hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang
suami dalam memperlakukan istrinya. Sebagian Yahudi membolehkan seorang bapak untuk
menjual anak perempuannya. Sedangkan di Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan
banyak laki-laki (poliandri). Adapun di Jazirah Arab, lahirnya bayi perempuan
adalah kehinaan atau kutukan bagi keluarganya sehingga layaknya dikubur
hidup-hidup. Sementara di Mesir dan Persia, perempuan diperlakukan dengan sadis
karena hanya dinilai alat pemuas laki-laki. Untuk Cina Kuno, ada sebuah adagium
yang ditulis oleh Wall Dewrant, bahwa: “Tidak ada di dunia ini yang lebih
rendah harganya dari perempuan”.
Dalam tradisi Yunani juga terdengar sebuah
adagium, bahwa “kita menyewa perempuan cantik itu demi kenikmatan, mengambil
budak-budak perempuan itu sebagai pembantu rumah dan meminang istri-istri
sebagai ibu yang sah dari anak-anak”. Dalam UU Manao India Kuno pada pasal 148,
ditegaskan bahwa: “Masa kecil perempuan sepenuhnya berada di tangan sang ayah.
Masa dewasanya berada di tangan suami. Jika suami meninggal, perempuan tersebut
berada di bawah pengawasan anak-anaknya atau kerabat dekatnya. Jika ia tidak
memiliki kerabat dekat, maka statusnya berada di bawah pengawasan pemerintah”.
Lebih parah lagi, UU Romawi menempatkan perempuan laiknya orang gila, yaitu: “penyebab
hilangnya hak kepemilikan ada tiga; karena ia adalah anak kecil, karena gila
dan karena ia adalah seorang perempuan”.
Begitulah gambaran sekilas penderitaan yang
panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai predikat buruk yang disematkan pada
pundak perempuan. Pada abad ke-7 Masehi, tampillah Nabi Muhammad sebagai manusia
pelopor yang melakukan gerakan feminis, jika disepakati bahwa substansi dari
gerakan feminis tersebut adalah memperjuangkan tatanan masyarakat yang adil
secara gender, bebas dari bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan
kekerasan. Untuk itu, tidak salah kiranya Rasulullah disebut sebagai feminis,
karena jika dilihat dari misi kehadirannya, Ia adalah utusan Allah yang
ditugaskan untuk membebaskan perbudakan dalam arti luas,[5] dan
kekangan dari belenggu thaghut serta khurafat dengan memperkenalkan
konsep tauhid (monoteisme).
Tauhid adalah pandangan dunia (worldview),
basis, titik fokus dan awal-akhir dari seluruh pandangan dan tradisi masyarakat
muslim. Kalimat Laa ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah) yang
diucapkan setiap hari, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dalam
ritual maupun relasi sosial menunjukkan bentuk komitmen verbal atas keimanan
kepada Tuhan yang Esa, Allah SWT. Dalam sejarah agama-agama langit, konsep
tauhid hadir di tengah-tengah moralitas masyarakat yang runtuh dan kacau, yang
ditandai dengan menipisnya penghargaan manusia pada nilai kemanusiaan mereka
sendiri. Konteks kesejarahan pada waktu Nabi Muhammad lahir dan diangkat
sebagai utusan Tuhan adalah dengan suasana ideologi dan keyakinan politeistik
(banyak tuhan) yang mengabaikan arti kemanusiaan. Rasulullah hadir untuk
membawa kembali ajaran tauhid, sebagaimana yang telah dilakukan oleh
utusan-utusan Tuhan sebelumnya.[6]
Ajaran tauhid yang dibawa Rasulullah itu
merupakan pernyataan yang menegasikan segala bentuk politeisme atau
kemusyrikan, bukan hanya pada tataran ritualistik yang lebih berdimensi
personal belaka, seperti penyembahan berhala, patung, api dan sebagainya, tapi
juga pada segala bentuk kemusyrikan sosial dan politik, seperti me-mahaagung-kan
dan memuja kepentingan pribadi, golongan, etnis dan sebagainya.[7]
Hal ini mengisyaratkan bahwa tindakan diskriminasi yang dilandaskan pada perbedaan
jenis kelamin (gender), warna kulit, kelas, ras, teritorial, suku, agama
dan sebagainya tidak memiliki dasar pijakan dalam ajaran tauhid. Ukuran
satu-satunya yang menjadikan seseorang manusia itu unggul atas manusia lainnya
adalah pada tingkat komitmennya terhadap penegakan moralitas ketuhanan Allah.
Ini tidak lain adalah kode etik dan moralitas kemanusiaan universal,[8]
dan tugas utama Rasulullah diutus adalah untuk merealisasikan ide moral
universal itu di tengah-tengah masyarakatnya.
Pada masa Rasulullah, perempuan benar-benar
terangkat harkat dan martabatnya, namun dipenghujung abad ke-13, kondisi itu
secara gradual memudar dan akhirnya dominasi kaum laki-laki muncul
kembali. Setelah berjalan selama 6 abad dominasi tersebut, barulah muncul benih-benih
gerakan feminis pada abad ke-19 yang difasilitasi dalam Women Liberation
(Gerakan Pembebasan Wanita).[9] Gerakan
yang berpusat di Amerika Serikat ini berupaya untuk memperoleh kesamaan hak.
Mereka memperjuangkannya melalui parlemen, turun ke jalan untuk melakukan aksi
demonstrasi maupun pemboikotan. Pada awal abad ke-20, gerakan feminis di AS,
difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak untuk memilih, karena saat itu
wanita disamakan dengan anak di bawah umur yang tidak memiliki hak pilih dalam
pemilu. Hingga pada tahun 1948, sejumlah wanita berkumpul di Seneca Fall, New
York untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara.
Namun demikian, setelah hak-hak itu
diperoleh, gerakan tersebut sempat tenggelam. Baru sekitar tahun 1963, Betty
Friedan menerbitkan bukunya “The Feminine Mystique”. Gerakan ini sempat
mengejutkan masyarakat, karena mampu memberikan kesadaran baru, terutama bagi
kaum perempuan, bahwa peran-peran tradisional selama ini ternyata menempatkan
mereka dalam posisi yang tidak menguntungkan, yaitu subordinasi dan
menganalisasi kaum perempuan.[10]
Dampak feminisme memang nyata di mana dalam
waktu 20 tahun banyak terjadi perubahan dan perkembangan yang menyangkut nasib perempuan,[11]
sampai akhir tahun 1980-an. Teori feminisme menunjukkan pola berulang hasil
analisisnya merefleksikan pandangan perempuan kelas menengah Amerika Utara dan
Eropa Barat. Namun sayangnya, secara akademis justru muncul kecenderungan maskulinis
di Barat. Sebab secara tidak disadari, para feminis di Barat telah terkooptasi
oleh hirarki, cara berfikir, mekanisme kerja, epistomologi dan metodologi
maskulin.[12] Hal ini jelas akan dapat
membahayakan feminisme itu sendiri. Sebab suatu gerakan yang awalnya
dimaksudkan untuk sebuah pembebasan malah terbalik menjadi penindasan.
Dengan demikian, jika gerakan feminisme
Barat diterapkan secara mentah-mentah dalam dunia Islam, maka menjadi kurang
tepat dan akan mengalami banyak kendala, bahkan bisa jadi ide-ide pembebasan kaum
perempuan yang dicita-citakan akan berubah menjadi perlawanan dan bisa juga melenceng
dari kode etik dan moralitas kemanusiaan universal yang diperjuangkan
Rasulullah.
Gerakan Feminis di Dunia Muslim
Perjuangan untuk menegakkan keadilan dan
kesetaraan gender oleh negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim,
tampaknya sudah rata-rata dilakukan. Namun, untuk memfokuskan pembahasan dalam
makalah yang sangat terbatas ini, penulis hanya memilih negara Mesir dan
Maroko.
Ø Gerakan
Feminis di Mesir
Periode modern sejak 1800 M dan seterusnya
merupakan zaman kebangkitan umat Islam. Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengisyafkan
dunia Islam akan kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah
timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan menjadi salah satu ancaman bagi
Islam. Raja-raja dan para pemuka Islam mulai serius memikirkan bagaimana caranya
meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam.[13]
Setelah dikaji-kaji, ternyata salah satu penyebabnya ialah tidak terdidiknya
kaum perempuan.[14]
Negara yang pertama menyadari persoalan
tersebut adalah Mesir. Kesadaran itu muncul tidak hanya semata disebabkan oleh minimnya
kesempatan yang diperoleh kaum perempuan Mesir untuk mendapatkan pendidikan,
tetapi juga dipengaruhi oleh penindasan yang dilakukan Inggris. Mesir adalah
salah satu negara jajahan Inggris yang hidupnya tampak makmur, namun selalu
ditekan dan penduduknya diperlakukan secara diskriminatif. Seluruh posisi
administratif kunci dan jabatan-jabatan puncak dinas sipil selalu dikuasai dan
dijabat oleh orang-orang Inggris. Betapapun prigel dan mahirnya seorang Mesir,
pasti ada saja rintangan yang tidak bisa dilaluinya. Diskriminasi yang cukup
parah juga terjadi di dalam sekolah-sekolah, misalnya, staf Inggris dan Mesir
mempunyai ruang bersama yang terpisah, dan ini dilakukan agar orang Inggris
tidak berbaur dengan orang-orang Mesir.[15]
Kebencian itu semakin meningkat ketika
kontrol yang dilakukan oleh kekuatan asing sudah memasuki ranah penghinaan
terhadap orang Mesir. Ekonomi berkembang secara ganjil, karena kemakmuran hanya
terjadi secara esensial di daerah-daerah yang menguntungkan Inggris dan
investor asing. Sementara industri-industri lokal yang diprediksi akan bersaing
dengan berbagai industri di Eropa, selalu dilumpuhkan. Apalagi dengan
terjadinya insiden di Dinsyawai yang mengakibatkan empat orang warga desa
dihukum gantung, dua orang dihukum seumur hidup, dan 15 orang dihukum cambuk 50
kali serta dipenjara beberapa tahun. Hukuman mati dan cambuk itu dilakukan di
hadapan orang-orang desa di luar desa Dinsyawai.[16]
Tragedi tersebut bukannya memadamkan
semangat juang orang-orang Mesir, tapi sebaliknya, semakin mengobarkan rasa
nasionalisme mereka untuk mengusir dan menghentikan penguasaan Inggris di Mesir.
Seiring dengan semangat nasionalisme itu, kesadaran kaum perempuan Mesir juga
terusik, sehingga timbul keinginan mereka untuk berjuang dan menuntut
kesetaraan serta perlakuan adil dalam kehidupan seperti yang diterima oleh kaum
laki-laki. Dari kesadaran itu, sehingga Mesir dikenal sebagai negara pertama
yang mencetuskan gerakan feminis di dunia Islam dan memperjuangkan kesetaraan gender.
Gerakan itu tidak hanya di negaranya semata, tetapi juga di wilayah Timur
Tengah pada umumnya. Bahkan, perempuan Mesir dianggap sebagai pelopor pertama yang
berani membatalkan kewajiban memakai cadar di negaranya.[17] Informasi
ini tentu mencengangkan bagi sebagian muslim yang awam, karena mereka pasti tidak
menyangka jika Mesir yang dikenalnya sebagai kiblat pendidikan Islam di Timur
Tengah, ternyata menyimpan pusaka historis berupa gerakan feminis.
Gerakan-gerakan perempuan yang terjadi di
Mesir menggunakan media tulisan, dan tulisan perempuan yang sangat dikenal dan
dinilai hebat adalah tulisan dari Zainab al-Fawwaz dan Aisha al-Taimuriyya pada
abad ke-19.[18] Namun, menurut versi dari
berbagai tulisan yang lain, bahwa gerakan feminis di Mesir sebenarnya telah
dimulai oleh para feminis laki-laki, seperti tulisan Rifa’at at-Thahthawi
(1801-1873), Ahmad Faris as-Syidyaq (1804-1888), Qasim Amin (1863-1908), dan
Muhammad Abduh (w. 1905). Hanya saja, penilaian tersebut dianggap masih
kontroversial dan menjadi polemik dari berbagai kalangan, seperti Margot Badran
yang mempertanyakan pandangan bahwa gerakan feminis Mesir itu dimulai oleh
laki-laki seperti Muhammad Abduh dan Qasim Amin.[19]
Badran sangat tidak sependapat dengan penilaian tersebut, karena ia memandang
bahwa gerakan feminis di Mesir memiliki akar pribumi yang sangat nyata.[20]
Namun bagi penulis, terlepas dari kesangsian
Badran tersebut, yang jelas tulisan atau gagasan feminis laki-laki sebagai pendahulu
dari gerakan feminis kaum perempuan tersebut, sedikit banyaknya telah
menginspirasi, atau paling tidak, sudah mempengaruhi atmosfir cara pandang,
pemikiran, atau gaya hidup di Mesir. Untuk itu, penulis akan memberikan porsi
guna mengulas pemikiran dan gerakan dilakukan oleh Qasim Amin. Meskipun ada
beberapa feminis laki-laki yang berada di Mesir, namun pemikiran dan perhatian
yang dinilai khusus dan serius hanyalah Qasim Amin.
Qasim Amin lahir di Iskandariyah pada bulan
Desember 1863 M. Ia lahir dari keluarga campuran karena ayahnya bernama Beyk
Amin dari keturunan Turki, sedangkan ibunya dari keturunan Mesir.[21]
Qasim Amin memperoleh pendidikan dasarnya pada Madrasah Raksu al-Tiyn di pusat Kota
Iskandariyah. Ketika ayah dan ibunya pindah ke dekat Kota Kairo, ia melanjutkan
pendidikannya di Madrasah al-Tijhiziyah, lalu di Madrasah al-Huquq (Sekolah
Tinggi Hukum), dan memperoleh Ijazah pada tahun 1881 M.[22]
Ia pernah belajar di Paris mengenai ilmu hukum, sosiologi, etika, ilmu jiwa dan
beberapa disiplin ilmu lainnya.
Setelah selesai menamatkan studinya di
Paris, Qasim Amin kembali dan bekerja di Jaksa Agung (Niyabah Al-Ammah)
dan di bidang peradilan. Tahun 1892 M, ia diangkat menjadi hakim agung di
Mahkamah al-Isti’naf, dan pernah mendirikan al-Jami’ah al-Mishriyah
bersama Sa’ad Zaglul.[23]
Sebelum ide-idenya terrealisasi, dia meninggal dunia dalam usia muda, yaitu usia
45 tahun. Meskipun dalam usia singkatnya, Qasim Amin masih sempat menulis dua
buku yang cukup populer, yaitu Tahrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah
al-Jadidah. Dalam bukunya, Tahrir al-Mar’ah, Qasim Amin membahas tentang
kebebasan dan pengembangan kemampuan perempuan untuk mencapai kemajuan. Sedangkan
dalam buku keduanya al-Mar’ah al-Jadidah, Qasim Amin mempertegas dan
memperkuat ide-idenya dalam buku pertamanya. Adapun hal-hal yang menjadi fokus
perhatiannya dalam meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan Mesir, Qasim
Amin membahas serius mengenai pendidikan, hijab, dan pernikahan. Di
antara ide atau pemikirannya, adalah:
ü Pendidikan
bagi perempuan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam memajukan suatu
bangsa, baik statusnya sebagai ibu rumah tangga maupun anggota masyarakat. Menurutnya,
perempuan tidak mungkin baik mengurus rumah tangganya, kecuali dengan bekal
ilmu pengetahuan.[24]
ü Hijab yang dipakai oleh
perempuan Mesir bukanlah datangnya dari syari’at Islam, tetapi dari adat-istiadat
di luar Islam yang telah lama berkembang.[25]
Syari’at Islam memandang bahwa muka dan telapak tangan perempuan bukan termasuk
aurat, jadi tidak harus ditutupi dengan cadar.[26]
ü Pandangan
masyarakat dan para fuqaha sangat merendahkan posisi dan kedudukan perempuan
dalam pernikahan, karena mereka hanya memandang istri itu sebagai obyek saja. Hal
tersebut bertentangan dengan al-Qur’an, surat ar-Ruum [24]: 21. Sesungguhnya
pernikahan itu adalah ikatan antar suami istri yang didasari oleh rasa kasih
sayang.[27]
Mengenai poligami, Qasim Amin berpendapat bahwa hal itu merupakan penghinaan
yang keras terhadap perempuan karena tidak akan pernah ada perempuan yang rela
melihat perempuan lain ikut mencintai suaminya, seperti halnya seorang
laki-laki juga tidak rela ada laki-laki lain ikut mencintai istrinya.[28]
Itulah beberapa cuplikan dari pemikiran
Qasim Amin yang pada masanya dinilai cukup berani dan belum bisa diterima oleh
masyarakat Mesir. Pemikiran seperti itu dianggap berbahaya dan bisa merusak
sendi agama serta dapat menimbulkan dekadensi moral bagi masyarakat Mesir.
Setelah beberapa lama meninggalnya Qasim
Amin, pada awal abad ke-20, barulah tampak tonggak-tonggak kemajuan kaum
perempuan di Mesir, seperti keberhasilan yang dicapai oleh Nabawiyah Musa
sebagai perempuan pertama yang memperoleh ijazah sekolah menengah pada tahun
1908, meskipun dihalang-halangi oleh Douglas Dunlop sebagai penasihat Inggris
pada Kementerian Pendidikan. Selain itu, dikenal juga nama Malak Hifni Nassef
sebagai penulis di surat kabar Partai Ummah yang sekularis dan liberal, dengan
nama samaran Bahitsat al-Badiyyah (pencari di gurun pasir).[29]
Selain dia, banyak lagi penulis perempuan yang aktif menuangkan ide-idenya di
majalah atau buku, seperti Anis al-Jalis (1898-1908), Fatat asy-Syarq (1906),
al-Jins al-Lathif (1908), al-‘Afaf (1910), dan Fatat an-Nil (1913).
Sekitar tahun 1910, perubahan-perubahan sudah
mulai terjadi di Mesir. Gaya busana, khususnya variasi-variasi hijab, dari yang
tebal hingga yang tipis sudah jelas terlihat. Penanggalan hijab meningkat tajam
sehingga para pengunjung dari negara-negara Arab lainnya tersentak dengan
merebaknya fenomena itu. Sebagian perempuan muslim sudah ada yang menanggalkan
hijabnya, dan sudah banyak perempuan yang sekolah. Seorang pengunjung Amerika
yang datang ke Kairo pada tahun 1913 merasa bingung karena sudah banyaknya
sekolah Prancis, Inggris dan Italia yang didirikan untuk anak-anak perempuan.[30]
Selain melalui jalur tulisan dan sekolah,
perjuangan perempuan juga tampak pada bidang organisasi. Pada tahun 1908, telah
dibentuk Himpunan untuk Kemajuan Wanita yang berhaluan Islam konservatif.
Sedangkan pada tahun 1914, dibentuk pula Asosiasi Intelektual Wanita Mesir yang
didirikan oleh Huda Sya’rawi dan Mai Ziyadah. Organisasi lain juga menyusul
didirikan, seperti: Himpunan Kebangkitan Kembali Wanita Mesir, Himpunan Ibu-ibu
Masa Depan (1921), dan Himpunan Wanita Baru (1919). Selain itu, juga dilakukan
serangkaian kuliah untuk kaum wanita yang dilaksanakan pada hari Jum’at oleh
Huda Sya’rawi. Ia mendatangkan pembicara pertamanya, Marguerite Clement, dan ia
meminta agar Clement memaparkan perbedaan kehidupan wanita-wanita Timur dan
Barat serta berbicara mengenai praktek sosial seperti hijab. Wanita-wanita
Mesir termasuk Nassef serta wanita-wanita Eropa lainnya diundang untuk menjadi
pembicara dalam kuliah tersebut.[31]
Dalam dekade pertama abad ke-20, perempuan
juga mendirikan berbagai apotek, sekolah perawat, rumah sakit, dan badan wakaf
untuk kaum wanita, yang sering juga memberi layanan pada anak-anak lelaki dan
kaum pria dewasa. Semua kegiatan tersebut dibiayai dari pameran, bazar,
perjudian, dan donasi dari anggota dan sahabat mereka.[32]
Ketika pergolakan politik memuncak akibat dideportasinya Sa’d Zaghloul,
pimpinan partai politik besar di Mesir, kaum perempuan juga mengambil peran dan
berjuang untuk menentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh Inggris. Pada
tanggal 16 Maret 1923, Huda Sya’rawi mendirikan Himpunan Feminis Mesir (HFM),
dengan tujuan untuk memperjuangkan hak pilih bagi kaum perempuan, karena
sebelumnya perempuan dalam pentas politik Mesir tidak memiliki hak pilih. Melalui
HFM itu juga, kaum perempuan mengusulkan beberapa rancangan untuk memajukan mereka,
di antaranya memperjuangkan kesetaraan dalam bidang politik, sosial, dan hukum
(perkawinan). Pada tahun 1923, ternyata usulan mereka itu ditanggapi parlemen,
dan disahkanlah hukum yang mengatur bahwa usia perkawinan itu minimum 16 tahun
untuk anak perempuan dan 18 tahun untuk anak lelaki. Pada tahun yang sama,
pemerintah juga mengumumkan program wajib belajar bagi anak perempuan dan lelaki.[33]
Pada tahun 1923 itu pula, HFM mengutus wanita
Mesir untuk menghadiri pertemuan Aliansi Wanita Internasional di Roma, diwakili
oleh Huda Sya’rawi, Saiza Nabarawi, dan Nabawiyyah Musa. Ketika kembali dari
pertemuan tersebut, Sya’rawi dan Nabarawi melepaskan hijab mereka saat turun
dari kereta api di Kairo. Tindakan mereka itu dinilai sebagai simbolis pembatalan
kewajiban memakai hijab. Mereka juga mendeklarasikan keinginan perempuan untuk
mengakhiri pemisahan antara laki-laki dan perempuan di rumah.[34]
Pada tahun 1933, perempuan Mesir telah
berhasil menjadi sarjana pertama di Universitas Kairo, yang pada saat masuknya
mereka telah diusulkan melalui organisasi HFM yang dipimpin Huda Sya’rawi. Pada
tahun 1938, perempuan Mesir mengadakan konferensi feminis “Timur” yang dihadiri
oleh berbagai utusan dari tujuh negara Arab. Sedangkan konferensi keduanya
dilaksanakan pada tahun 1944, dan dalam acara tersebut, dibentuklah Himpunan
Feminis Arab yang diketuai oleh Huda Sya’rawi. Ketika Huda Sya’rawi meninggal
tahun 1947, kepemimpinan HFA tersebut digantikan oleh Ibtihaj Qaddus dari
Libanon.[35]
Setelah Huda Sya’rawi meninggal, tidak
berarti tuntutan kaum perempuan Mesir mengenai keadilan dan kesetaraan gender
sudah selesai. Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa feminis lainnya yang
cukup diperhitungkan ide-ide pemikirannya. Salah satunya adalah Nawal
el-Saadawi. Ia adalah seorang penulis dan novelis yang peka terhadap
masalah-masalah yang dihadapi oleh individu dan masyarakat. Dalam salah satu
bukunya yang berjudul “Perempuan dalam Budaya Patriarki”, ia mengatakan
bahwa hak seksual seperti yang dipraktekkan masyarakat Barat tidaklah
memberikan kemerdekaan pada kaum perempuan, malah mengakibatkan bertambahnya
penindasan karena wanita diubah menjadi tubuh-tubuh komersil serta peningkatan
laba kapitalis. Hal ini tentunya akan mengukuhkan idealisme patriarki yang
memandang bahwa maskulin akan selalu berada di atas feminim dalam
keadaan apapun. Walaupun adanya dominasi kaum feminim, tetapi pria akan selalu
mampu mencari celah untuk menjadikan wanita sebagai objek bagi mereka.[36]
Selain itu, el-Saadawi juga memiliki
beberapa goresan penting mengenai sikap penentangannya terhadap kultur
sekaligus doktrin serta undang-undang di negaranya. Berikut cuplikannya:
ü Saat suaminya kembali dari ladang dan karena ia tidak
menemukan sang anak dimana-mana ia memulai memukul Sakeya. Begitulah tabiatnya.
“Setiap anak laki-lakinya meninggal, suaminya akan memukulnya secara membabi
buta begitu pula bila anak yang dilahirkan anak perempuan”.[37]
ü Pada suatu peristiwa dia memukul seluruh badan saya
dengan sepatunya, muka dan badan saya menjadi bengkak dan memar. Lalu saya
tinggalkan rumah lalu pergi ke rumah paman tapi paman mengatakan pada saya
bahwa semua suami memukul isterinya, dan isterinya menambahkan bahwa paman
adalah seorang Syekh yang terhormat, terpelajar dalam ajaran agama, dan karena
itu dia tidak mungkin memiliki kebiasaan memukul isterinya. Dia menjawab, bahwa
“justru laki-laki yang memahami itulah yang suka memukul isterinya, karena aturan
agama mengijinkan untuk melakukan hukuman itu”.[38]
ü Mengapa kehidupan tak berjalan sebagaimana mestinya?
Mengapa tidak terdapat pemahaman yang lebih besar terhadap kebenaran dan
keadilan? Mengapa para ibu tidak mau mengakui bahwa anak perempuan sama saja
dengan anak laki-laki atau mengapa lelaki tak mau mengakui perempuan sebagai
orang yang sederajat dan sebagai mitra, mengapa masyarakat tidak mengakui hak
seorang perempuan untuk hidup normal dengan menggunakan otak ataupun tubuhnya.[39]
ü Bapak ku memperlakukanku lebih buruk daripada
pembunuhan. Permasalahannya adalah undang-undang tidak menghukum bapak ku serta
tidak menghukum suami Rabiah. Undang-undang juga tidak menghukum para bapak dan
para suami yang memperjual-belikan kami atas nama nikah yang sah, talak/poligami
yang sah.[40]
Begitulah beberapa cuplikan dari karya
Nawal el-Saadawi, dan semua itu merupakan cerminan dari pergolakan jiwanya yang
ingin memberontak segala aturan yang mengikatnya sebagai seorang wanita. Itulah
bentuk sumbangan Nawal el-Saadawi dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan
gender di Mesir.
Ø Gerakan
Feminis di Maroko
Maroko merupakan salah satu negara yang
penduduknya dominan beragama Islam. Oleh karenanya, banyak umat Islam sangat
tertarik untuk memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
Salah satunya adalah mengenai gerakan feminis yang terjadi di negara tersebut.
Jika pembicaraan diarahkan ke persoalan feminis, sudah tentu semua tertuju pada
nama satu orang yang sangat populer asal Maroko tersebut, yaitu Fatima
Mernissi.
Fatima Mernissi dikenal sebagai salah satu
feminis muslim yang sangat gigih memperjuangkan hak-hak kaum perempuan melalui
wacana keagamaan. Ia lahir di lingkungan harem,[41]
di Kota Fez atau Qarawiyin Maroko pada bulan Ramadhan tahun 1940. Kota Fez
merupakan sebuah kota yang berada sekitar 5000 KM di sebelah barat Mekkah dan
1000 KM di sebelah selatannya Madrid, Spanyol.[42] Semasa
studinya, Fatima Mernissi pernah belajar di Universitas Sorbonne Paris dan
Universitas Brandeis Amerika Serikat.[43]
Maroko atau Maghrib al-Aqsha (barat
yang jauh) atau lumrahnya disebut Maghrib merupakan salah satu negara teokrasi
di kawasan Arab (muslim) yang sangat kental tradisi patriarki. Poligami,
harem, dan hijab merupakan praktek yang mereka anggap sebagai
bagian dari tradisi patriarki yang sangat menonjol di wilayah Arab,
termasuk di Maroko.[44] Selain
itu, Maroko juga merupakan negara yang berada di bawah bayang-bayang kolonial
Spanyol dan Perancis. Pasukan Spanyol bermarkas di Maroko Utara, sedangkan pasukan
Prancis bermarkas di Maroko Selatan, sehingga ada wilayah Maroko yang disebut Maroko
Spanyol dan Maroko Prancis.[45]
Namun, ketika Mernissi lahir, para nasionalis Maroko telah berhasil merebut
kekuasaan pemerintahan negara dari kolonial Prancis.
Semenjak kecil, Mernissi sudah sering
terlibat dalam pergulatan pemikiran dan senang bertanya yang sifatnya menantang
kala itu. Misal saja, dia pernah bertanya: “jika disepakati ada batas
antara perempuan dan laki-laki, kenapa yang harus ditutupi
dan dibatasi itu hanya kaum perempuan”. Pertanyaan seperti itu
selalu ditanyakannya pada neneknya, Yasmina, dan neneknya tidak berani menjawab
karena dinilai terlalu berbahaya. Sejak kecil pula, Mernissi sudah meyakini
bahwa al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam sangat tergantung pada bagaimana
cara pandang dan resepsi (penerimaan) umat Islam terhadapnya. Menurutnya, al-Qur’an
itu membawa ke dalam mimpi, tapi juga bisa menjadi pelemah semangat. Semuanya
tergantung pada cara seseorang untuk memahami dan menerimanya.
Ketika Mernissi menginjak dewasa, ia pernah
mendengar hadis dalam kitab Bukhari, yang intinya: “anjing, keledai dan
perempuan akan membatalkan shalat seseorang jika ia melintas di depan mereka,
menyela di antara orang yang shalat dan kiblat”. Mendengar hadis tersebut, Mernissi
merasa tidak percaya bahwa tidak mungkin rasanya Rasulullah mengatakan hadis
semacam itu. Perkataan tersebut jelas melukai hati dan perasaannya.[46] Begitu juga dengan hadits yang menyatakan bahwa “tidak akan memperoleh
kemakmuran suatu kaum jika menyerahkan urusannya kepada perempuan”.[47] Hal
ini sangat merisaukan hatinya, karena menurut Mernissi, tidak mungkin Nabi
Muhammad yang sangat penyantun itu mengucapkan sabda yang menyakitkan. Sikap
penolakan Mernissi terhadap hadits misoginis ini semakin kuat ketika ia
mulai berinteraksi dengan Barat.
Berdasarkan latar belakang
dan pengalaman mempelajari agama inilah yang memotivasi Mernissi untuk
memperjuangkan hak-hak serta menggugat kedudukan perempuan. Tekad itu semakin
kuat sehingga mengantarkannya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Setelah studinya selesai di Universitas Sorbonne Paris dan Universitas Brandeis
Amerika Serikat, Mernissi semakin gigih memperjuangkan kesetaraan dan keadilan
gender. Menurut beberapa catatan, studinya di Barat itu ternyata cukup
mempengaruhi pemikiran Mernissi,[48]
sehingga pikiran dan ide perjuangan feminisnya dinilai liberal sebagaimana hal
tersebut sudah lumrah di Barat. Adapun pemikiran-pemikiran Mernissi terkait
perjuangannya untuk kesetaraan dan keadilan gender, diantaranya:
ü Mendapatkan
Nafkah
Menurut Mernissi, batasan seksualitas
muslim menciptakan pola-pola tingkatan, tugas, dan wewenang. Umumnya wanita dimiliki
dan dicukupi secara material oleh laki-laki, dan mereka meminta imbalannya
dengan ketaatan dan pemenuhan layanan seksual dari perempuan.[49] Dalam
posisi tersebut, jelas perempuan lebih dominan menjadi obyek bagi kaum lelaki,
oleh karenanya perempuan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka
sehingga kaum perempuan tidak hanya sekedar menerima nafkah, tetapi juga mampu
mencari nafkah.
ü Mendapatkan
Perlakuan Adil dari Suami yang Berpoligami
Suami yang berpoligami wajib menjaga
persamaan di antara istri-istrinya dan tidak melebihkan satu dengan lainnya.[50] Poligami
bukan saja mewajibkan laki-laki untuk membagi-bagi keterlibatan emosionalnya
dengan istrinya, tetapi juga menetapkan aturan tentang kemampuan untuk saling
berbagi dan melakukan hubungan badan dengan adil.[51]
Meskipun penjelasan tersebut seakan-akan Mernissi setuju dengan poligami,
tetapi sesungguhnya ia tidak setuju dengan poligami tersebut, karena menurutnya
poligami itu memiliki suatu dampak psikologis terhadap anggapan diri laki-laki
maupun wanita. Bagi laki-laki, poligami dianggapnya sebagai dasar bahwa mereka
itu adalah makhluk seksual dan menekankan sifat seksual tersebut dalam satu
pertalian suami istri (conjugal unit). Lebih ironis lagi, poligami dijadikan
laki-laki sebagai sarana untuk merendahkan kaum wanita bahwa mereka adalah makhluk
seksual. Hal ini sejalan dengan kata-kata mutiara di Maroko, bahwa: “rendahkan martabat seorang wanita dengan memasukkan wanita lain ke dalam
rumah”.[52]
ü Mengajukan Gugatan Cerai
Menurut pandangan Mernissi, kaum wanita
bisa mengajukan gugatan untuk cerai terhadap suaminya yang memukul mereka,
karena perbuatan itu merupakan hak istimewa yang tidak terkendali dari suami.[53]
Selain perbuatan memukul, seorang istri juga bisa meminta hakim untuk
menetapkan perceraian jika suaminya terbukti impoten, meskipun Imam
Malik menetapkan bagi wanita agar menunggu satu tahun sebelum meminta cerai
atas dasar itu.[54] Selain memiliki hak gugatan
cerai, wanita juga memiliki hak-hak lain, seperti: hak untuk berpartisipasi
aktif dalam membentuk budaya masyarakat, hak untuk menjadi seorang mufassir
atau ahli agama,[55] hak dalam mengambil
keputusan politik dan pembentukan hukum.[56]
ü Hijab atau Jilbab
Menurut Mernissi, hijab atau jilbab
merupakan bukti konkret adanya upaya pengucilan dan marginalisasi perempuan
dari dunia publik walaupun alasannya untuk mengontrol kekuatan seksual. Mernissi
menilai kalau jilbab itu hanya menjadi penghalang yang menyembunyikan kaum
wanita dari ranah publik. Mernissi menilai bahwa asbab nuzul tentang
pemakaian jilbab itu bukan membatasi hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi
justru sebagai pembatas antara sesama laki-laki. Menurutnya, asbab nuzul
ayat tersebut lebih bermakna etis daripada sosial, namun kemudian ayat itu mengalami
pergeseran makna.
Selain memahami asbab nuzul, perlu
juga melakukan analisis yang berkembang dalam kajian ilmiah kontemporer. Salah
satu jenis pendekatan yang tampak tepat untuk digunakan adalah pendekatan sosiologis,
karena dengan pendekatan tersebut sangat memungkinkan untuk memahami suasana
dan kondisi yang berkembang di dunia Islam yang membentuk sejarah (hubungan
laki-laki dan perempuan), misalnya tentang ideologi seksual dalam Islam serta
peran laki-laki dan perempuan. Menurut Mernissi, ideologi seksual dalam Islam pada
umumnya didasarkan pada keyakinan terhadap kekuasaan seksual yang ada dalam
diri perempuan, sehingga perlu di kontrol dengan ketat terhadapnya.
Dalam pandangan Mernissi, hijab itu mengandung
tiga dimensi yaitu: dimensi visual, ruang, dan etika. Dimensi visual adalah suatu
dimensi yang mempunyai pengertian untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan
orang. Dimensi kedua bersifat ruang yang bermakna memisahkan untuk membuat
batas dan membuat pintu gerbang. Sedangkan dimensi ketiga bermakna etika, yang
berkaitan dengan persoalan larangan.[57]
ü Kepemimpinan
Perempuan
Dalam memahami pemimpin perempuan dalam
Islam, Fatima Mernissi berpegang kepada prinsip etis yang mendasari Islam,
yaitu prinsip kesetaraan, keadilan, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Sebagai
makhluk ciptaan Allah, laki-laki dan perempuan memiliki derajat yang sama dan
mempunyai hak serta kewajiban yang sama sehingga siapapun boleh menjadi
pemimpin termasuk perempuan. Mernissi berpandangan bahwa terdapat kesalahan dalam
menafsirkan dan memahami dalil tentang kepemimpinan. Menurut Mernissi, dalam
memahami dalil tersebut mestinya lebih menekankan pada aspek kronologis yang
melatarbelakangi teks itu muncul, sehingga makna keseluruhan teks bisa
diketahui secara detail supaya tidak terjadi miss information serta
pemotongan wacana dalam memahami atau menafsirkannya. Adapun dalil tersebut
bersumber dari riwayat Abu Bakra, berbunyi: “Lan yufliha kaumun wallau
amrahum imraatan”, (tidak akan pernah sejahtera suatu kaum apabila segala
urusannya diserahkan kepada perempuan).[58]
Selain membahas persoalan
di atas, Mernissi juga membahas tentang seksualitas dalam Islam. Menurutnya,
aturan seksualitas dalam Islam telah menerapkan standar ganda yang memberatkan
kalangan perempuan. Seringkali pengaturan atas seksualitas itu hanya ditujukan
pada perempuan yang harus tampil beradab dan berbudaya, sementara seksualitas
laki-laki tetap saja bebas melalui poligami. Menurutnya, aturan standar ganda yang
dikhususkan pada wanita itu sebenarnya kesalahan umat Islam dalam memahami
konsep atau aturan seksualitas yang ditawarkan dalam al-Qur’an.[59]
Itulah beberapa cuplikan dari pemikiran
Fatima Mernissi yang sering dikaji oleh banyak kalangan, namun penulis menyadari
bahwa semua itu tentunya belum mewakili keseluruhan gagasan dan tawaran yang diabadikan
dalam beberapa karyanya. Akan tetapi, paling tidak hal ini bisa memberikan
sedikit gambaran mengenai perjuangan dan gerakannya dalam mewujudkan keadilan
dan kesetaraan gender.
Persamaan dan Perbedaan Gerakan Feminis di Mesir dan
Maroko
Setelah melakukan pembahasan terhadap gerakan
feminis di dunia Islam, yang dalam hal ini dihadirkan negara Mesir dan Maroko,
maka tahap selanjutnya penulis akan mengulas tentang persamaan dan perbedaan
dari gerakan feminis yang telah disajikan.
Ø Persamaan
Berdasarkan sajian di atas, penulis menilai
bahwa tujuan dari gerakan feminis yang dilakukan oleh kedua negara memiliki
kesamaan, yaitu ingin mengangkat derajat kaum perempuan agar setara dengan derajat
yang telah lama dinikmati oleh kaum laki-laki. Budaya patriarki selalu
menjadi hentakan semangat kaum perempuan untuk membela dan memperjuangkan hak
mereka.
Dari sisi sumber kajian, tampaknya feminis
Mesir dan Maroko sama-sama mengkritisi hasil penafsiran yang telah dilakukan
oleh kaum lelaki, dan mereka menilai bahwa hasil kajian kaum lelaki itu selalu
bias gender. Lebih tajam lagi penilaian kaum feminis bahwa kaum laki-laki itu
sering keliru memahami pesan-pesan moral dalam al-Qur’an dan Hadis. Dalil-dalil
tersebut seringkali dipahami secara tidak utuh atau suka melakukan penafsiran secara
“comotisme” (meminjam istilah Nina Nurmila, dosen Studi Gender UIN SGD),
sehingga sangat terasa kesan memanipulasi ayat atau dalil yang hasilnya selalu
bias gender. Sedangkan jika dilihat dari sisi media gerakan yang digunakan,
mereka sama-sama menggunakan “tulisan” sebagai senjata untuk menyalurkan ide
perjuangan feminis. Media itu sangat beragam, ada yang melalui surat
kabar/koran, novel, buku, makalah dan lainnya.
Dari beberapa tema gerakan yang mereka
lakukan, baik di Mesir maupun Maroko, persoalan hijab menjadi tema
sentral dalam tuntutan mereka. Pandangan mereka sama bahwa hijab
tersebut yang menjadi penghambat kaum perempuan untuk maju. Bahkan bagi
Mernissi, hijab tersebut merupakan bukti konkrit bahwa kaum laki-laki
mengucilkan dan memarginalkan mereka dari dunia publik. Selain itu, soal
poligami juga menjadi pembicaraan di dua negara tersebut. Bagi feminis Mesir,
poligami itu merupakan bentuk penghinaan terhadap kaum perempuan, sedangkan
bagi feminis Maroko, poligami menjadi alat untuk menjadikan perempuan sebagai
makhluk seksual. Persoalan kepemimpinan wanita juga menjadi sorotan bagi kedua
negara, dan seakan-akan mereka telah sepakat bahwa perempuan itu boleh menjadi
pemimpin selaiknya laki-laki, termasuk menjadi pimpinan dalam suatu negara.
Ø Perbedaan
Kendatipun tujuan dari gerakan feminis itu
pada umumnya sama, namun pada sisi-sisi tertentu juga memiliki perbedaan, dan
hal ini sangat tergantung dari latar belakang pribadi dan kondisi sosial negara
yang didiami oleh para feminis yang bersangkutan. Berdasarkan sebab itulah,
penulis menemukan ada sisi perbedaan yang diperjuangkan feminis di Mesir dan
Maroko.
Jika di Mesir, pendidikan menjadi fokus
pembahasan yang cukup serius di kalangan feminis bahwa kaum perempuan harus sekolah
dan menuntut pendidikan seperti laiknya laki-laki, baik perempuan yang berstatus
sebagai ibu rumah tangga maupun yang berkecimpung di ranah publik. Sementara di
Maroko, persoalan pendidikan tidak dibahas serius, hanya saja yang tampak
adalah perjuangan Mernissi untuk memperoleh pendidikan tinggi, baik di
negaranya maupun di dunia Barat. Selain itu, perjuangan para feminis Mesir kurang
begitu tampak membahas soal hak nafkah seorang istri, hak gugatan cerai, dan
hak-hak perempuan yang di poligami, namun di Maroko yang disuarakan oleh
Mernissi, permasalahan di maksud sangat serius dibahasnya. Bahkan Mernissi juga
serius menyinggung bahwa perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah untuk
mencari nafkah keluarga. Perbedaan tersebut barangkali disebabkan oleh perbedaan
kultur atau budaya di dua negara tersebut, di mana, perempuan dan feminis Mesir
sudah bisa berinteraksi di dunia publik, sementara Mernissi merasa trauma dengan
penyekapan di balik tembok kemewahan (harem).
Sisi lain dari perbedaan itu juga tampak
pada kegiatan yang mereka lakukan, feminis Mesir menggunakan organisasi sebagai
mobil penggerak untuk percepatan perubahan pada misi-misi yang mereka
perjuangkan. Bahkan mereka juga turut berdemonstrasi, berjuang untuk melawan
penjajah, mendirikan rumah sakit bahkan juga mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan. Sementara di Maroko, Mernissi hanya bergerak sendiri tanpa ditopang
dengan organisasi. Perjuangan Mernissi lebih dominan melalui kertas bukunya,
dan sangat minim dari aksi yang dilakukannya di dunia publik. Selain itu, jika
para feminis Mesir selalu berjuang di negaranya sehingga mereka sangat populer
di negara sendiri, sementara Mernissi, tulisannya lebih terkenal di negara
luar, seperti di Indonesia, di banding di negaranya sendiri, Maroko. Hal ini
disebabkan tulisannya selalu menggunakan bahasa asing, dan mungkin juga tidak
ada tulisan bukunya yang berbahasa Maroko.
Penutup
Berdasarkan ulasan di atas, penulis berkesimpulan
bahwa gerakan feminis yang terjadi di dunia muslim atau di dunia non muslim,
selalunya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender. Hanya saja caranya
atau media yang digunakan sangat bervariasi, bahkan masalah-masalah yang mereka
perjuangkan juga berbeda antara satu negara dengan negara yang lainnya. Semua
itu dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda pula. Hal inilah yang menyebabkan
beragamnya gerakan feminis yang dilakukan oleh kaum perempuan. Minimal ada lima
kelompok gerakan feminis di dunia, yaitu: gerakan Feminis
Liberal, Feminis Sosialis, Feminis Marxis, Feminis Radikal,
dan Feminis Islam. Feminis Liberal adalah gerakan feminis yang
muncul dalam gerakan pro hak suara dan sosial. Isu-isu yang diangkat, seperti persamaan
hak waris, ekonomi, hak politik, serta hak-hak yang selama itu cuma dinikmati
oleh kaum laki-laki. Feminis Marxis muncul seiring dengan gerakan pro
ajaran Marx itu sendiri. Isu-isu yang diangkat adalah ketidaksetaraan gender
muncul akibat adanya struktur kelas di dalam masyarakat kapitalis. Feminis
Sosialis lebih menekankan pada aspek kebudayaan sebagai penyebab munculnya
ketidaksetaraan gender. Budaya masyarakat mainstream adalah
patriarki, dan budaya itulah yang mereka perjuangkan untuk dirombak. Feminis Radikal, lebih menekankan pada aspek
personal/pribadi. Masalah ketidaksetaraan gender adalah masalah hubungan
laki-laki dan perempuan. Laki-laki secara fisik adalah kaum yang selalu hendak
mendominasi perempuan. Banyak para feminis radikal yang berkesimpulan untuk
mengakhiri hubungan dengan laki-laki, termasuk pernikahan. Kelompok ini yang mempopulerkan
lesbianisme sebagai upaya mempertahankan status perempuan agar tidak
lagi didominasi laki-laki.
Adapun Feminis
Islam, lebih menekankan pada pengaruh tafsir agama yang didominasi ulama
laki-laki. Hasilnya, banyak hasil penafsiran hukum Islam yang lebih membela
laki-laki dari pada perempuan. Feminis Islam berusaha menggali sumber klasik (turats)
ajaran Islam yang tidak terungkap dan lebih mengakomodasi peran perempuan, dan
tokohnya, seperti Fatima Mernissi dan Nawal el-Saadawi. Fatimah Mernisi
menawarkan pengkajian ayat al-Qur’an dari aspek kultur-historis. Ia
selalu menganalisa bagaimana kontek ayat tersebut turun dan bagaimana kondisi/kultur
masyarakat pada suatu daerah yang selanjutnya akan berbeda penafsirannya dari
daerah satu dengan daerah lainnya.
Perbedaan penafsiran itu juga dipengaruhi
oleh pengetahuan yang dimiliki penafsir, tujuan penafsiran, serta pengaruh dari
perubahan zaman. Menyadari hal tersebut, sudah sewajarnya jika hasil penafsiran
itu hanya dipahami secara kondisional dan bersifat dzanni, bukan qath’i,
karena ia akan selalu berubah sesuai perkembangan zamannya. Untuk itu, treatment
terhadap penafsiran dalil-dalil yang terkait dengan perempuan juga harus mengalami
perkembangan sesuai realitas kekinian tanpa menafikan pesan esensial yang terkandung
dalam al-Qur’an. Jika hal ini sudah terjadi, maka kesetaraan gender akan
tercipta. Setara tidak semestinya dipahami “sama”, tapi setara itu menyangkut
soal keadilan dan kesesuaian (appropriateness), karena kesamaan itu
belum tentu adil dan sesuai. Filosofi inilah yang perlu dijadikan pondasi dalam
setiap gerakan feminis, agar tidak “keceplosan” dan “hilang kendali” dalam
menuntut hak-hak kaum perempuan. Wallahu a’lam@
--------------------------------
Maaf, daftar pustaka & footnote-nya dihapus
No comments:
Post a Comment