Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Selfie dalam Perspektif Al-Qur'an


#Dr. Adnan, M.S.I.
@LKTI Siswa

Foto selfie pada dasarnya termasuk perkara mu’amalah, yang hukum asalnya adalah mubah atau boleh. Hal ini bisa dirujukkan pada kaidah fiqh yang berbunyi: al-aslu fil mu’amalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala at-tahrim, artinya: asal hukum mu’amalah adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya.

Bagi sebagian orang, ada yang mengharamkan foto dengan objek makhluk yang bernyawa, karena mereka menyandarkan pendapat tersebut dengan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
إِنَّ مِنْ أَشَدِّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الَّذِينَ يُشَبِّهُونَ بِخَلْقِ اللَّهِ
Artinya: Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang menyerupakan makhluk Allah (HR. Bukhari No. 5954 & Muslim No. 5525).

Selain hadits di atas, ada lagi hadits yang berisi kecaman bagi para penggambar. Hadits tersebut berasal dari Abdullah bin Umar ra., dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
Artinya: Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “hidupkanlah apa yang kalian ciptakan” (HR. Al-Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535)

Masih banyak lagi hadits-hadits Rasulullah SAW yang melarang keras bagi para penggambar untuk melukis makhluk yang benyawa. Namun, pendapat yang melarang dan mengharamkan gambar tersebut dibantah oleh para fotografer, bahwa berfoto dengan melukis sangat jauh berbeda, karena dalam foto tidak ada unsur meniru ciptaan Allah SWT. Teknik pengambilan foto sama sekali berbeda dengan lukisan. Tidak ada unsur meniru dalam fotografi, karena hanya mencetak objek hasil dari bayangan.[1]

Terlepas dari perdebatan di atas, pada prinsipnya hukum asal berfoto adalah mubah, termasuk berfoto selfie. Bila foto-foto diambil dan digunakan untuk kenangan pribadi, atau foto-foto digunakan untuk surat kabar, bahan investigasi atau bahan bukti pihak kepolisian dan pengadilan, dokumentasi dan pencatatan sipil warga negara, serta hal-hal penting lainnya, maka keberadaan foto sangat dibutuhkan. Begitu pula bila foto selfie digunakan untuk mengirimi orang tua yang berjauhan dengan anaknya, dengan tujuan untuk mengobati rasa rindu dengan orang tua, maka foto selfie yang dikirimkan oleh anaknya menjadi penting dan bersifat mubah hukumnya.

Lain halnya bila berfoto selfie bertujuan untuk pamer, membanggakan diri sendiri, merasa lebih sempurna dan melahirkan rasa sombong pada orang lain, hukumnya tentu tidak sama dengan hukum asalnya berfoto. Apabila dikaji dari hasil penelitian kepada beberapa remaja di atas, telah diketahui bahwa perilaku-perilaku yang lahir dari berfoto selfie dan mengunggahnya di media sosial, di antaranya adalah riya’, sum’ah, ujub, dan takabur. Sifat riya’ lahir dengan memamerkan kegiatan atau moment-moment penting kepada publik, sifat ujub lahir dari foto cantik atau merasa sempurna di depan kamera, sifat sum’ah lahir dari foto-foto yang menunjukkan keaktifannya dalam kegiatan, dan sifat takabur lahir akibat dari kemampuannya mengunjungi tempat-tempat istimewa yang diabadikan dengan berfoto selfie.

Bila seseorang benar-benar memiliki sifat riya’, sum’ah, ujub dan takabur dalam hatinya akibat dari foto selfie yang diunggahnya di media sosial, al-Qur’an benar-benar mengecamnya. Larangan untuk bersifat atau berperilaku riya’ dan sum’ah diantaranya terdapat dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 264 dan al-Mâ’ûn ayat 4-6 sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (QS. Al-Baqarah: 264).

فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥  ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ٦

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya (QS. Al-Mâ’ûn: 4-6).

Berdasarkan dua surah di atas, Allah SWT secara tegas mengecam orang yang melakukan sesuatu karena riya’ (ingin dilihat oleh orang) dan sum’ah (memperdengarkan atau memberitahukan amalan kepada orang lain). Menurut Ibnu al-Jauzy,[2] penyakit riya’ termasuk juga sum’ah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1)      Manusia yang melakukan amal perbuatannya hanya untuk memperoleh pujian dari makhluk.
2)      Manusia yang melakukan amal perbuatannya untuk mencari ridla Allah SWT dan sekaligus mendapat pujian dari makhluk.
3)      Manusia yang semula beramal hanya untuk mencari ridla Allah SWT, bukan untuk memperoleh pujian dari makhluk, namun kemudian dikala makhluk melihatnya, ia membaguskan amal perbuatannya demi mendapatkan pujian.

Berdasarkan tiga kriteria di atas, maka mengunggah foto selfie di media sosial berkaitan dengan kegiatan amal atau momentum penting di masyarakat juga termasuk ke dalam kategori riya’ dan sum’ah, khususnya pada kriteria kedua yaitu seseorang yang melakukan amal perbuatannya untuk mencari ridla Allah SWT dan sekaligus mendapat pujian dari makhluk.

Sedangkan larangan untuk ujub dan takabur terkait dengan mengunggah foto selfie di media sosial, bisa dirujukan pada ayat-ayat di bawah ini.

لَا جَرَمَ أَنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعۡلِنُونَۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡتَكۡبِرِينَ ٢٣

Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasia-kan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong (QS. An-Nahl: 23).

فَٱدۡخُلُوٓاْ أَبۡوَٰبَ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَاۖ فَلَبِئۡسَ مَثۡوَى ٱلۡمُتَكَبِّرِينَ ٢٩

Maka masukilah pintu-pintu neraka Jahannam, kamu kekal di dalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu (QS. An-Nahl: 29).

وَلَا تُصَعِّرۡ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٖ ١٨

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan-lah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri (QS. Luqman: 18).

Selain ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang melarang manusia untuk bersifat ujub (membanggakan diri) dan takabur (sombong). Bila seseorang yang berfoto selfie dan mengunggahnya di media sosial, lalu lahir dalam hatinya sifat ujub dan takabur, maka kegiatan berselfie menjadi dilarang dan mendapatkan kecaman dari Allah SWT sesuai dengan firman-Nya di atas.

Berdasarkan ulasan-ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an melarang bahkan mengancam seseorang yang berfoto selfie lalu mengunggahnya di media sosial sehingga melahirkan sifat-sifat riya’, sum’ah, ujub dan takabur. Namun perlu untuk digarisbawahi, manakala foto selfie hanya digunakan untuk koleksi pribadi atau sebagai kenangan belaka dan tidak diunggah di media sosial, maka tidak ada larangan selama tidak bertentangan dengan ajaran dan syariat Islam.




«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: