Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Selfie & Bahayanya


@Dr. Adnan, M.S.I.
#lktimansambas


Seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, disadari atau tidak, telah berkembangnya budaya-budaya baru dalam masyarakat.[1] Salah satu contoh adalah lahirnya budaya berfoto selfie dan mengunggahnya di media sosial. Foto selfie sudah dinilai lumrah dan dianggap sebagai sebuah fenomena sosial yang paling populer saat ini. Apalagi dengan bertambah banyaknya media sosial seiring semakin canggihnya perangkat gadget, seperti handphone, smartphone atau laptop/netbook yang dilengkapi dengan kamera, menjadikan foto selfie begitu bermakna, bahkan dijadikan sebagai kebutuhan bagi sebagian masyarakat.

Selfie atau self potrait adalah foto hasil memotret diri sendiri. Istilah ini menurut beberapa literatur online telah resmi masuk ke dalam Oxford English Dictionary pada tahun 2013. Realitas ini jelas menunjukkan bahwa selfie dinilai penting bahkan dianggap sebagai sebuah revolusi oleh seorang pakar Digital Social Media di Durham University bernama Mariann Hardey. Dia mengatakan, “dengan memamerkan foto-foto selfie, seseorang akan merasa ‘bernilai’, lebih-lebih lagi bila ada yang berkomentar bagus tentang foto tersebut”.[2] Untuk mendapatkan foto selfie yang unik agar memperoleh komentar yang bagus, seseorang atau sekelompok pemuda sanggup berfoto di tempat-tempat yang rawan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Tidak sedikit korban yang jatuh dan berujung maut lantaran dia berfoto selfie di tempat-tempat berbahaya, seperti enam remaja hanyut terbawa arus deras akibat berfoto selfie di bawah jembatan Tinjomoyo Semarang pada tanggal 3 Maret 2016, tiga di antaranya meninggal dunia.[3] Contoh lain, ratusan orang terjatuh ke danau setelah jembatan gantung putus di Kawasan Wisata Hutan Kota Langsa, Desa Paya Bujok Seuleumak Kecamatan Langsa Baro, Aceh pada Sabtu 26 Desember 2015. Akibat peristiwa yang terjadi sekitar pukul 17.00 WIB ini, beberapa pengunjung mengalami luka-luka karena tertimpa besi dan tali baja.[4]

Selain kemudharatan yang diakibatkan oleh berfoto selfie di atas, ternyata di dalam sebuah studi psikologi yang dilakukan kepada 1000 responden laki-laki berusia 18-40 tahun, ditemukan adanya kecenderungan memiliki kepribadian narcissistic, psychopathic dan self-objectifying bagi orang yang gemar berfoto selfie.[5] Orang yang menghabiskan waktu lebih lama di media sosial untuk setiap harinya dan lebih sering mengedit foto-foto selfie-nya terlebih dahulu sebelum mengunggah ke media sosial, cenderung memiliki narcissism dan self-objectification. Sementara seseorang yang mengunggah banyak foto selfie setiap harinya cenderung memiliki narcissism dan psychopathy.[6] Berdasarkan klasifikasi di atas, dapat ditegaskan bahwa seseorang memiliki kepribadian narcissist apabila ia suka pamer melalui foto-foto selfie dan berusaha mengeditnya sebagus mungkin. Sedangkan memiliki kepribadian apabila dia lebih sering selfie namun tidak merasa perlu mengedit foto-fotonya. Sementara seseorang dinilai memiliki kepribadian self-objectification bila ia lebih jarang mengunggah foto selfie, tapi memilih dengan seksama selfie mana yang paling sempurna menampilkan fisiknya.[7]

Selain hasil penelitian di atas, Nova Riyanti Yusuf, seorang politisi sekaligus psikiater menjelaskan bahwa selfie dapat memicu munculnya gejala gangguan kepribadian narsisistik dan histrinoik (caper atau ingin jadi pusat perhatian). Selain dua gejala tersebut, orang yang gemar selfie juga cenderung mengalami gangguan adiksi atau kecanduan, body dismorphic disorder, dan eksibisionis atau kecenderungan untuk memamerkan bagian tubuh tertentu kepada orang lain. Hasil penelitian University of Strathclyde, Ohio University dan University of Iowa, ditemukan bahwa semakin banyak wanita melakukan selfie dan mengunggahnya di media sosial, maka semakin mereka merasa insecure atau tidak nyaman dengan citra tubuhnya sendiri. Apalagi bila kegiatan ini disertai dengan mengamati selfie temannya, rasa insecure akan semakin meningkat karena ini akan memicu si wanita untuk membanding-bandingkan tubuhnya dengan tubuh orang lain, dan hal ini akan semakin memicu mereka untuk berpikir negatif tentang penampilannya.[8]

Selain kemudharatan dan gangguan kejiwaan di atas, foto selfie juga memicu sifat atau perilaku tercela dalam perspektif Islam, diantaranya adalah riya’, sum’ah, ujub, dan takabur. Perilaku atau akhlak tercela ini lahir akibat dari foto yang diunggah di media sosial seperti facebook, BBM, twitter, line, instagram atau media lainnya. Sifat riya’ lahir dengan memamerkan ibadah atau amal sosial kemasyarakatan, sifat ujub lahir dari foto-foto cantik atau merasa sempurna di depan kamera, sifat sum’ah lahir dari foto-foto yang menunjukkan ketaatannya dalam beribadah, dan sifat takabur lahir akibat dari foto-foto yang dikagumi atau keberaniannya dalam berselfie.

Empat sifat tercela di atas akibat foto selfie yang diunggah di media sosial, ternyata banyak mendapat kecaman dari Allah SWT di dalam al-Qur’an. Larangan untuk bersifat dan berperilaku riya’ dan sum’ah di antaranya terdapat di dalam al-Qur’an surah al-Baqarah 264 dan al-Mâ’ûn 4-6. Sedangkan larangan untuk berperilaku ujub dan takabur di antaranya terdapat dalam al-Qur’an surah an-Nahl 23, an-Nahl 29 dan Luqman 18.





[1]Perubahan budaya dalam pandangan Koentjaraningrat dinamakan evolusi budaya. Maksud dari evolusi budaya adalah proses perkembangan kebudayaan umat manusia dari bentuk-bentuk kebudayaan yang sederhana sampai yang makin lama makin kompleks, yang dilanjutkan dengan proses difusi, yaitu penyebaran kebudayaan-kebudayaan yang terjadi bersamaan perpindahan bangsa-bangsa di muka bumi ini. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 142.
[2]Lihat dalam http://www.duniaislam.org/19/02/2015/pengertian-dan-hukum-selfie-dalam-islam/, diakses tanggal 14 April 2016.
[3]Lihat http://regional.liputan6.com/read/2450666/selfie-di-sungai-6-remaja-semarang-hanyut, diakses tanggal 14 April 2016.
[4]Lihat http://www.asliindonesia.net/2016/01/6-aksi-selfie-yang-mengakibatkan.html, diakses tanggal 14 April 2016.
[5]Penjelasan ketiga istilah di atas adalah: Narcissism merupakan kepribadian seseorang yang cenderung berpusat pada dirinya sendiri (self-centeredness), terlalu melebih-lebihkan dalam memandang dirinya sendiri. Seseorang dengan narcissism menganggap dirinya lebih baik dari yang lain dan mempunyai kebutuhan berlebihan untuk dikagumi oleh orang lain. Ia cenderung memamerkan hal-hal yang dianggapnya hebat tentang dirinya di media sosial, setiap kali ada kesempatan; Psycopathy adalah sifat impulsif yang berlebihan dan kurang empati. Seseorang dengan psychopathy cenderung reaktif dalam mengunggah foto selfie, mengomentari atau merespon hal-hal yang dilihatnya di media sosial, dia akan langsung melakukannya tanpa pertimbangan rasio atau memikirkan apakah tindakannya tersebut melukai orang lain; Self-objectification adalah kecenderungan seseorang untuk memandang tubuhnya sebagai obyek terpenting dan berharga. Ia memandang baik-buruk dirinya tergantung dari penampilan fisiknya.
[6]Lihat http://ruri-online.blogspot.co.id/2015/06/benarkah-kecanduan-selfie-termasuk.html, diakses tanggal 14 Mei 2016.
[7]Idem.
[8]Lihat dalam http://health.detik.com/read/2014/08/14/180732/2662446/763/5-macam-gangguan-jiwa-yang-bermula-dari-foto-selfie, diakses tanggal 14 Mei 2016.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: