Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Pendidikan Karakter di Sekolah



#Dr. Adnan Mahdi, M.S.I.
@Isi Buku Pendidikan Karakter

Abstrak

Pendidikan karakter menjadi salah satu solusi penting untuk mengobati krisis karakter dan kegagalan pendidikan di Indonesia saat ini. Melalui pendidikan karakter, seorang anak didik akan mendapatkan pengetahuan yang integral dan holistis dengan cara olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa atau karsanya. Dari empat simpul pengolahan tersebut, akan lahir sebuah budaya baru yang berasal dari sekolah. Melalui sekolah inilah, akan tampil individu-individu yang berkarakter, yang mampu mempengaruhi keluarga dan masyarakatnya sehingga membentuk budaya yang sehat, yaitu budaya bangsa yang berkarakter.

Keyword: Pendidikan Karakter, Sekolah, Budaya.

Pendahuluan
Pendidikan merupakan unsur yang sangat penting bagi setiap negara, karena pendidikan tidak memiliki batasan tepinya. Setiap keterbelakangan, kegagalan, kebejatan, kekalahan dan sederet sebutan yang menunjukkan kejatuhan suatu negara, selalu yang dipersalahkan adalah pendidikannya. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena melalui pendidikan itulah yang bisa menjadikan manusia sebagai manusia sesungguhnya.[1] Untuk itu, pendidikan harus dirancang dan dilaksanakan secara baik agar warga negaranya juga berkepribadian yang baik.
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan yang dilakukan selama ini dinilai gagal oleh berbagai kalangan, karena pendidikan yang diselenggarakan tersebut belum mampu menjadikan manusia yang beradab. Buktinya bisa disaksikan selama ini, cukup banyak kasus-kasus yang terjadi, mulai dari tawuran pelajar dan mahasiswa, penyuapan, perjokian dalam penerimaan mahasiswa baru atau pegawai negeri, makelar kasus dan perkara, korupsi, perselingkuhan, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan rendahnya mutu pendidikan kita dibandingkan dengan negara tetangga, seperti: Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam, semakin memperkuat indikasi bahwa pendidikan yang kita selenggarakan saat ini masih jauh dari harapan dan keberhasilan.
Untuk itu, agar kegagalan bisa segera diakhiri, harus ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan. Saat ini, pemerintah sudah mulai untuk melakukan langkah-langkah tersebut melalui reformasi pendidikan. Hal ini terlihat dari tema Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2010 ini, berbunyi: “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Tema tersebut menunjukkan komitmen Kementerian Pendidikan Nasional yang bertekad untuk melaksanakan revitalisasi pendidikan, yaitu pendidikan berbasis karakter. Namun pertanyaannya, apa pendidikan karakter tesebut? Apa tujuan dan manfaatnya, serta bagaimana pula strategi untuk melaksanakannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penjelasannya akan diuraikan di bawah ini.

Krisis Karakter di Indonesia
Melihat fenomena yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, timbul sebuah pertanyaan besar yang perlu mendapatkan jawabannya dengan segera, apakah dekadensi moral yang melanda negeri ini masih sebatas gejala atau sudah menjadi budaya? Sebab, jika melihat perilaku atau akhlak anak bangsa ini, rasanya sudah teramat jauh manakala slogan “bangsa yang beradab” masih menjadi kebanggaan warga negaranya. Berdasarkan hasil survei pelaku bisnis yang dirilis pada Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy(PERC) yang berbasis di Hong Kong, ternyata Indonesia menempati urutan pertama terkorup dari 16 negara di Asia Pasifik.[2] Lebih ironis lagi, bahwa pelaku korupsi yang menempati urutan teratas berdasarkan hasil survei dari Transparansi Internasional (TI) tahun 2006-2007, ternyata institusi tersebut adalah kepolisian dan pengadilan. Polisi mendapatkan skor 4,2; pengadilan memperoleh skor 4,1, parlemen dengan skor 4,1, dan disusul partai politik dengan skor 4,0.[3] Meskipun data ini sudah belalu sekitar tiga tahun yang lalu, namun penulis masih berkeyakinan bahwa jika perubahan itu terjadi kearah membaik, namun masih tetap saja lembaga penegak hukum itulah yang mendominasi tindak korupsi saat ini berdasarkan kenyataan yang tampak di layar televisi atau surat kabar dalam negeri.
Sedangkan dari sisi kualitas pendidikan, Political & Economic Risk Consultancy mencatat bahwa pada tahun 2006, Indonesia menempati urutan terakhir dari 12 negara di Asia. Bahkan, pendidikan di Indonesia justru dihiasi dengan ragam tindak kriminal. Hasil survei yang ditampilkan pada koran Media Indonesia tanggal 23 Juni 2006, bahwa di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat menunjukkan sekitar 92% anak di bawah usia 18 tahun menjadi pengguna narkoba, bahkan sebagian darinya sekaligus menjadi pengedar narkoba.[4] Informasi terkait dari hasil survei Unesco pada tahun 2009, bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih menempati urutan terbawah untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia Pasifik.
Pada tahun 2010 ini, menurut Polda Metro Jaya, kejahatan di Ibu Kota Jakarta diprediksikan tidak berbeda jauh dengan tahun sebelumnya. Sepuluh kasus kejahatan tetap masih menonjol di Ibu Kota, seperti curas (pencurian dengan kekerasan/rampok), anirat (penganiayaan berat), curat (pencurian dengan pemberatan), pembunuhan, tindak curanmor (pencurian kendaraan bermotor), judi, pemerasan, perkosaan, narkotik, dan kenakalan remaja.[5]
Itulah sederet tindak kriminal dan raport merah bangsa ini, dan yang pasti itu belum mewakili dari keseluruhan kasus yang terjadi. Penulis agak yakin bahwa kejahatan yang terjadi di Indonesia ini masih seperti gunung es yang berada di lautan, yang tampak hanya sekitar puncak gunungnya saja, sementara masih banyak lagi kejahatan yang belum terungkap. Pernyataan ini tidak bermaksud mendeskriditkan bangsa sendiri, namun maksud yang ingin disampaikan adalah sebagai bahan introspeksi diri bahwa ternyata bangsa Indonesia masih jauh dari kriteria bangsa yang beradab.
Apakah kejahatan dan tindak kriminal di atas masih berupa gejala atau sudah menjadi budaya karaktek Indonesia? Jika dikatakan semua itu baru merupakan gejala, bagaimana persoalannya dengan korupsi yang telah terjadi sejak lama dari pemerintahan pusat hingga ke pejabat-pejabat desa? Hampir di semua lini kehidupan masyarakat telah ditulari wabah penyakit yang bernama korupsi. Ditambah lagi dengan perubahan perilaku anarkis di segala sektor, kenakalan remaja, pergaulan bebas, pornoaksi dan pornografi yang sangat sering terjadi, tentunya semakin memperburuk citra bangsa ini. Jika kita bingung untuk menentukan apakah itu sebatas gejala atau sudah menjadi budaya, yang jelas saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter yang cukup serius.
Menurut Thomas Lickona, terdapat sepuluh tanda perilaku manusia yang menunjukkan arah pada kehancuran suatu bangsa, yaitu: meningkatnya tindak kekerasan di kalangan remaja; ketidakjujuran yang membudaya; tingginya rasa tidak hormat terhadap orang tua, guru dan figur pemimpin; pengaruh teman sebaya terhadap perilaku kekerasan; meningkatnya rasa curiga dan benci; penggunaan bahasa yang memburuk; penurunan etos kerja; menurunnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; meningginya perilaku merusak diri; dan semakin kaburnya pedoman moral.[6] Dari sepuluh tanda-tanda kehancuran tersebut, tampaknya sebagian besarnya bangsa ini telah memilikinya, meskipun volumenya belum tinggi. Dalam kaitannya dengan krisis moral atau karakter yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, Darmiyati Zuchdi menyebutnya ada tujuh macam krisis yang telah terjadi, yaitu krisis kejujuran, tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, disiplin, kebersamaan, dan krisis keadilan.[7] Adapun penyebab krisis di Indonesia, menurut Gede Raka,[8] antara lain:
ü  Terlena oleh sumber daya alam yang melimpah.
ü Pembangunan ekonomi terlalu bertumpu pada modal fisik. Walaupun tidak terang-terangan, namun secara tersirat sangat jelas pembangunan ekonomi selama tiga dekade lalu pada zaman pemerintahan Presiden Suharto adalah pembangunan yang bertumpu pada modal fisik. Semua ukuran keberhasilan pembangunan sebagian besarnya bersifat fisik.
ü Idealisme menurun, sementara pragmatisme berkembang melebihi ukuran/overdoses. Kecenderungan yang selalu saja mengedepankan keberhasilan ekonomi (jangka pendek) telah membuat sebagian dari masyarakat terperangkap dalam pragmatisme yang overdoses, dan kemudian terjebak dalam sikap “menghalalkan segala cara”.
ü Kurang berhasil belajar dari pengalaman bangsa sendiri, bahwa untuk mencapai kemerdekaan, ada perubahan cara berjuang dari berjuang mengandalkan kekuatan atau modal fisik menjadi berjuang dengan mengandalkan kekuatan atau modal maya. Beberapa tokoh pahlawan nasional, seperti Pattimura, Diponegoro, dan Teuku Umar mengangkat senjata, mengobarkan peperangan untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang gagah berani yang tidak takut mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah cita-cita luhur, meskipun mereka belum berhasil mengalahkan lewat kekuatan senjata pada saat itu.
Selain faktor di atas, krisis karakter di Indonesia juga bisa disebabkan oleh rendahnya kualitas pengamalan nilai-nilai keagamaan dalam hidup dan kehidupan, rapuhnya keluarga sebagai basis pendidikan akhlak, dan belum berhasilnya lembaga pendidikan untuk membentuk karakter bangsa karena kurikulum yang dirumuskan masih dikotomis bahkan masih cukup kentara dengan unsur sekulerisasi.
Berdasarkan bentuk dan faktor penyebab krisis karakter di atas, perlu sebuah langkah bijak untuk mengatasinya mulai saat ini, dan langkah itu tidak lain adalah membenahi konsep pendidikan, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pendidikan harus mampu berperan sebagai sebuah power yang memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter bangsa. Pendidikan harus menjadi “the power in building character” dalam menghadapi perubahan zaman. Untuk itu, pendidikan yang berbasis karakter merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat ini, agar krisis karakter di Indonesia dapat segera teratasi.

Pendidikan Karakter
Istilah karakter, ternyata belum masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini bisa jadi karena istilah karakter tersebut masih kurang populer di Indonesia pada beberapa waktu yang lalu. Istilah yang sering digunakan dan mungkin bisa saja sepadan maknanya adalah kata “watak” dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “watak” itu dimaknai dengan sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, tabiat.[9] Sedangkan dalam kamus English-Indonesian Dictionary, kata character diartikan kadar, watak, kealaman, akhlak, pekerti, budi. Adapun terjemahan lain, kata karakter diartikan sebagai “distinctive trait, distinctive quality, moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group”. Arti karakter yang lebih representatif adalah suatu kehendak yang sudah biasa dan sering dilakukan secara spontan.
Meskipun pengertian karakter itu berbeda, namun artinya selalu berkaitan dengan kekuatan moral. Bahkan Gede Raka,[10] meyakini bahwa arti karakter itu selalu berkonotasi positif. Orang yang berkarakter itu, menurutnya adalah orang yang memiliki kualitas moral yang positif. Bagi penulis, pendapat Gede Raka tersebut tidak sepenuhnya benar, karena karakter itu merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, karakter itu bisa saja berkonotasi positif, tetapi juga bisa berkonotasi negatif. Misal saja dalam kehidupan bermasyarakat, ada karakter kelompok masyarakat tertentu yang dinilai kasar, arogan, suka anarkhis dan sebagainya, tentu saja karakter seperti itu tidak baik dan berkonotasi negatif. Jika dikaji lebih dalam lagi, karakter masyarakat yang kasar tersebut merupakan buah dari hasil pendidikan yang terjadi secara alami.
Untuk itu, jika ingin mewujudkan suatu karakter masyarakat yang baik, jalannya adalah melalui gerbang pendidikan, baik pendidikan di dalam keluarga, di sekolah, maupun di masyarakat. Sebab, pendidikan karakter merupakan pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tiga aspek tersebut harus terintegrasi dengan baik agar bisa melahirkan sebuah kepribadian atau ciri khas yang baik pula dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian tentang arti karakter yang dikaitkan dengan pendidikan di atas, maka penulis lebih sependapat dengan pengertian yang dirumuskan Doni Koesoema,[11] bahwa pendidikan karakter adalah dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan di dalam diri manusia untuk mengadakan internalisasi nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif dan stabil di dalam individu. Dinamika ini membuat pertumbuhan individu menjadi semakin utuh. Unsur-unsur ini menjadi dimensi yang menjiwai proses formasi setiap individu.

Tujuan
Secara umum, sebenarnya pendidikan karakter telah disinggung dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 3 berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Hanya saja, karakter-karakter yang dikehendaki itu belum menggambarkan pendidikan karakter yang sesungguhnya. Untuk itu, perlu perumusan kembali agar karakter bangsa yang dikehendaki bisa terwujud.
Adapun tujuan pelaksanaan dari pendidikan karakter itu adalah untuk membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.[12] Tujuan yang lebih spesifik dari pendidikan karakter itu adalah untuk membangun jati diri dan karakter bangsa berlandaskan Pancasila yang dibangun melalui:
ü Olah hati, meliputi: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Olah hati selalu bermuara pada pengelolaan spiritual dan emosional.
ü  Olah pikir, meliputi: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. Olah pikir bermuara pada pengelolaan intelektual.
ü  Olah  raga, meliputi: bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, ceria, kompetitif, dan gigih. Olah raga bermuara pada pengelolaan fisik.
ü  Olah rasa atau karsa, meliputi: ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong-royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja. Olah rasa bermuara pada pengelolaan kreativitas.[13]
Semua olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa atau karsa itu saling berhubungan sehingga terintegrasi menjadi satu-kesatuan.

Manfaat
Sebagaimana telah disinggung pada bagian atas mengenai krisis karakter di Indonesia, ditambah lagi dengan masuknya berbagai macam perilaku non-edukatif dalam lembaga pendidikan,[14] mendesak untuk menerapkan pendidikan karakter di sekolah. Tanpa pendidikan karakter, seolah-olah campur aduknya kejernihan pemahaman nilai-nilai moral dan sifat ambigu yang menyertainya dibiarkan begitu saja, sehingga sikap itu menghambat siswa untuk mengambil keputusan yang memiliki landasan moral yang kuat. Banyak manfaat yang akan diperoleh jika pendidikan karakter itu dilaksanakan, diantaranya:
ü  Memperluas wawasan siswa tentang nilai-nilai moral dan etis yang dapat membantu mereka untuk memutuskan sesuatu yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan.
ü  Sebagai sarana pembudayaan dan pemanusiaan agar lingkungan hidup dapat tercipta sebagai lingkungan yang selalu menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan-Nya, dan dapat menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral yang seimbang.
ü Sebagai salah satu sarana untuk penyembuhan penyakit sosial di masyarakat.[15]
Selain manfaat-manfaat di atas, Brooks dan Goble [16] juga merinci beberapa manfaat pendidikan karakter di sekolah, diantaranya:
ü  Siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku dan kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri mereka, membuat hidup mereka lebih bahagia dan produktif.
ü  Tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki disiplin yang lebih besar di dalam kelas.
ü  Orang tua bergembira ketika anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki rasa hormat dan produktif.
ü  Pengelola sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin, kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral untuk siswa maupun guru, dan tindakan vandalisme juga berkurang di sekolah.
Manfaat pendidikan karakter tidak hanya terbatas pada hal-hal di atas saja, tetapi masih banyak lagi manfaat lain yang akan diperoleh jika pendidikan tersebut dilaksanakan secara baik di sekolah.

Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang harus dimulai dari keluarga, karena rumah merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Islam mengajarkan bahwa keluarga hendaknya menjadi wahana pendidikan manusia dan menempatkan pendidikan keluarga sebagai inti dalam membentuk sebuah masyarakat, bangsa bahkan peradaban. Orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membentuk kepribadian anak. Menurut Yuni Nur Kayati,[17] orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak, karena orang tua adalah orang yang pertama kali dikenal anak. Sejak bayi, ayah dan ibu adalah orang yang paling dekat dan sering berinteraksi dengan anak, sehingga tidak dipungkiri jika pendidikan yang pertama masuk adalah pendidikan dari orang tuanya. Hal serupa juga dikemukakan oleh Istiadah,[18] bahwa tugas menyiapkan generasi penerus yang berkualitas adalah tugas bersama antara suami dan isteri. Sebab, Al-Qur’an sangat tegas memerintahkan suami dan isteri untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas dan takut akan hadirnya generasi yang lemah.
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. an-Nisa: 9).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ayah dan ibu memiliki tanggung jawab yang sama terhadap anaknya, baik dalam kesejahteraan, intelektual, spiritual, maupun akhlaknya. Tanggung jawab itu harus dipikul bersama-sama dan tidak ada yang lebih ditekankan siapa yang harus menanganinya.
Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa kedua orang tua sangat esensial dalam pembentukan karakter anaknya di rumah. Kendati demikian, secara psikologis tidak bisa dinafikan bahwa seorang ibu memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak-anaknya. Bahkan menurut kalangan medis, bahwa ibu dan anak itu memiliki kontak batin sejak dalam kandungan.[19] Berangkat dari pemahaman ini, sudah semestinya pendidikan karakter itu diberikan sejak usia kanak-kanak (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Menurut Suyanto,[20] hasil penelitian menunjukkan sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika ia berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usianya 8 tahun, dan 20% sisanya terjadi pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Berdasarkan hasil penelitian itu, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, karena keluarga merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun sayangnya, keluarga yang diharapkan menjadi andalan utama dalam pembentukan karakter anak, kini telah mengecil fungsinya. Hal ini disebabkan kesibukan atau rutinitas kerja orang tua yang sangat tinggi, sehingga seringkali pendidikan anak hanya dititipkan dengan pembantu rumah tangga. Lebih ironis lagi, pembantu yang dijadikan tumpuan itu rata-rata memiliki tamatan pendidikan yang rendah sehingga semakin rendah pula kualitas dan kuantitas pendidikan yang diterima oleh anak. Untuk itu, harapan satu-satunya yang dapat membantu orang tua dalam membentuk karakter anaknya hanyalah sekolah. Dalam konteks ini, berarti peran guru sangat menentukan dalam pembentukan karakter anak.
Guru merupakan figur yang diharapkan mampu mendidik anak yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Peran pendidik sebagai pembentuk generasi muda yang berkarakter sesuai undang-undang guru dan dosen nomor 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Berdasarkan definisi di atas, berarti guru merupakan agen perubahan, yaitu merubah peserta didik menjadi manusia yang berkualitas, baik dari segi keilmuan maupun akhlaknya. Namun, untuk menjadi guru yang mampu mewujudkan misi mulia tersebut, guru perlu memahami dan menerapkan 11 prinsip dalam pendidikan karakter seperti yang dirumuskan oleh Thomas Lickona dan dikutip Khoiruddin Bashori,[21] sebagai berikut:
ü Mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik.
ü Mendefinisikan karakter secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku.
ü  Menggunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja dan proaktif dalam pengembangan karakter.
ü Menciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian.
ü Memberi siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.
ü Membuat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil.
ü  Berusaha untuk mendorong motivasi diri siswa
ü Melibatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa.
ü Menumbuhkan rasa kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter.
ü Melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
ü Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauhmana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Melalui prinsip-prinsip pendidikan karakter tersebut, diharapkan guru akan memiliki arah dalam membentuk karakter anak didiknya. Adapun pilar-pilar karakter yang perlu disampaikan kepada siswa sebagai nilai-nilai luhur yang bersifat universal, adalah: karakter cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggungjawab, kejujuran atau amanah serta diplomatis, rasa hormat dan santun, dermawan dan suka tolong-menolong serta bergotong-royong/kerjasama, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, dan karakter toleransi, kedamaian serta kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.
Knowing the good cukup mudah untuk diajarkan karena pengetahuan yang bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good, harus ditumbuhkan feeling loving the good, yaitu upaya untuk bisa merasakan dan mencintai kebajikan sebagai engine yang dapat membuat orang senantiasa mau untuk berbuat sesuatu kebaikan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang akan mau melakukan kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa untuk melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan (habit).[22]
Dalam bahasa lain, Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas[23] telah merancang tiga komponen karakter baik (components of good character) yang perlu diajarkan pada peserta didik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values), penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge).
Sedangkan dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral feeling atau penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter, adalah kesadaran akan jati diri sendiri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility). Adapun dimensi yang termasuk ke dalam moral action, yaitu perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Melihat keterkaitan moral di atas, terasa memberikan harapan besar bagi keberhasilan pendidikan karakter dalam membentuk karakter bangsa di masa depan. Untuk itu, agar rancangan tersebut dapat terkawal dan terlaksana nantinya dengan baik, harus diintegrasikan dalam kurikulum, atau jika perlu merumuskan kembali kurikulum yang berbasis karakter bangsa. Sebab, kurikulum merupakan acuan dan kendaraan dalam mengembangkan nilai-nilai dan kepedulian terhadap etika. Bahkan bagi Lickona,[24] kurikulum diibaratkan seperti raksasa yang sedang tidur bagi pendidikan karakter.
Semestinya pemerintah dan warga negara sadar, betapa ambruknya moral bangsa ini karena salah satu sebabnya adalah kurikulum yang selalu berorientasi pada kecerdasan otak. Benar kata Ahmad Tafsir,[25] bahwa ada yang salah dalam pendidikan di Indonesia, salah satu yang dimaksudnya adalah keringnya orientasi karakter atau akhlak dalam kurikulum pendidikan. Perubahan-perubahan yang dilakukan dalam kurikulum selama ini selalu mementingkan aspek kognitif, sehingga aspek apektif dan psikomotorik selalu terabaikan. Barangkali, hanya 10-20% saja kurikulum pendidikan di Indonesia ini yang cocok untuk diberikan pada anak-anak yang cerdas. Selebihnya, anak-anak tidak mampu untuk mengikuti pelajaran secara baik di sekolah.
Implikasi negatif dari model kurikulum seperti itu adalah menciptakan mental anak yang merasa “bodoh” sejak mereka duduk di bangku sekolah. Lebih parah lagi dengan adanya sistem ranking, anak yang berada di atas urutan sepuluh benar-benar merasa “bodoh” dan hilang rasa percaya dirinya. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan tumbuh mental mudah putus asa, kurang percaya diri, dan stress yang berkepanjangan. Pada usia remajanya, keadaan seperti itu biasanya akan mendorong untuk berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kemudian muncul perilaku remaja, dan bahkan orang dewasa yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, koruptif, manipulatif, dan tidak tahu malu. Bahkan perbuatan yang dianggap memalukan itu bisa menjadi kebiasannya.[26]
Untuk itu, sudah saatnya kurikulum didesain ulang dengan memuat dimensi karakter yang lebih dominan, bahkan jika perlu, desain kurikulum yang berbasis karakter bangsa, seperti telah disebutkan di atas. Mulai dari jenjang pendidikan terendah (seperti play group atau TK) hingga jenjang pendidikan tinggi (PT), kurikulum berbasis karakter dirancang secara integral dan berkesinambungan, agar begitu anak didik menamatkan pendidikannya pada semua jenjang, ada ciri khas karakter yang telah dimilikinya.
Jika hal ini bisa diterapkan pada semua jenjang, maka akan terbentang peluang untuk mulai memperbaiki dan menyehatkan budaya bangsa ini, yang pada saat ini sedang mengalami krisis dan sakit.

Strategi Menyehatkan Budaya Bangsa Melalui Pendidikan Karakter
Budaya merupakan daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Menurut Taylor,[27] kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat yang berisi aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang bisa berwujud kepandaian, kepercayaan, moral, kesenian, hukum, adat kebiasaan dan lain-lain. Sedangkan menurut Koentjaraningrat,[28] kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan berpola dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan manusia yang dijadikan milik manusia dengan cara belajar.
Berdasarkan definisi di atas, berarti budaya atau kebudayaan itu bisa berubah dan bersifat dinamis sesuai keinginan masyarakatnya. Perubahan budaya itu dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
ü Karena adanya perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
ü Karena adanya inovasi (penemuan baru), baik yang berupa discovery (penemuan konsep baru) maupun invention (penemuan teknologi baru berdasar konsep yang sudah ada).
ü Karena adanya revolusi dalam masyarakat itu sendiri, misalnya ada pemberontakan atau pertentangan dalam masyarakat itu.
ü Karena perubahan lingkungan alam tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidup di lingkungan terbuka, yang berada pada jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain cenderung berubah secara cepat.[29]
Melihat arti dan faktor penyebab berubahnya suatu kebudayaan, maka penulis berasumsi bahwa budaya itu bisa direkayasa atau bisa diciptakan sesuai kehendak masyarakatnya. Berhubungan dengan hal tersebut, berarti budaya Indonesia yang kini dinilai sakit dan sedang berada dalam krisis karakter, bisa dirubah menjadi lebih baik sesuai keinginan masyarakatnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui jalur pendidikan yang berbasis karakter.
Pendidikan berbasis karakter dapat dilaksanakan secara maksimal dan bisa memperbaiki atau menyehatkan karakter bangsa jika tiga lingkungan pendidikan itu saling mendukung dan bekerja sama, yaitu antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Namun sayangnya, seperti yang telah dibahas di atas, kondisi keluarga saat ini sudah banyak yang tidak berfungsi optimal dalam memberikan pendidikan terhadap anaknya, lantaran kesibukan ibu dan bapaknya berkerja di luar rumah.[30] Untuk itu, satu-satunya harapan saat ini hanya bertumpu pada sekolah.
Untuk menyehatkan budaya bangsa, maka sekolah saat ini dituntut untuk mengerahkan semua potensi yang dimiliki dan memberikan peluang yang seluas-luasnya agar pendidikan berbasis karakter bisa dilakukan secara maksimal. Semua komponen diberdayakan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan berbasis karakter, mulai dari sistemnya, kepala sekolah, guru dan staf sekolah, kurikulum atau materi, kegiatan belajar mengajar, siswa sampai pada kegiatan ekstrakurikulernya. Sistem pendidikan yang dibangun harus selalu mengedepankan karakter, dan ujung tombaknya adalah kepala sekolah, guru, dan staf sekolah. Setiap kebijakan, kepribadian, dan akhlak yang diperlihatkan harus bisa menjadi teladan bagi siswa. Kurikulum atau materi, kegiatan pembelajaran, dan kegiatan ekstrakurikuler harus selalu diarahkan pada pembangunan karakter, sehingga setiap gerak langkah dan denyut nadi siswa selama di sekolah selalu mendapatkan sentuhan karakter, dan pada akhirnya siswa akan terkondisi dan merasa terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan karakter.
Semua komponen di atas selalu terkait dan saling mendukung antara satu dengan lainnya.
Mengapa harapan sepenuhnya tertumpu pada siswa untuk merubah budaya bangsa menjadi budaya yang berkarakter (beradab)? Jawabannya jelas bahwa siswa merupakan pribadi-pribadi calon intelektual yang akan mempengaruhi, mewarnai, bahkan menggantikan peran dari masyarakatnya. Awal proses itu bermula dari individu, keluarga, masyarakat, wilayah, dan selanjutnya negara.
Jika perilaku atau pola hidup berkarakter sudah menjadi kebiasaan dari individu sampai ke masyarakat, berarti sudah mulai terbentuk sebuah kebudayaan baru, yaitu kebudayaan berkarakter. Disitulah saatnya budaya bangsa akan sehat dan terobati dari sakitnya.

Penutup
Melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini, rasanya sangat mendesak untuk segera diterapkan pendidikan yang berbasis karakter. Tampaknya kita perlu banyak belajar dari pengalaman Cina, karena pada tahun 1970-an, negara tersebut masih diliputi keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao. Namun saat ini, Cina telah mampu bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. Salah satu rahasianya ternyata berada pada sektor pendidikan. Pada tahun 1985, Deng Xiaoping melakukan reformasi pendidikan dengan program pendidikan berbasis karakter mulai dari tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi. Hasilnya, dalam waktu yang relatif cukup singkat itu, Cina telah berhasil mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), yang membawa kemajuan negaranya hingga saat ini.
Jika Cina telah mampu melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar warga negaranya, rasanya Indonesia juga mampu untuk melakukan hal yang sama. Syaratnya, semua komponen bangsa harus bekerjasama dan saling bahu-membahu untuk merealisasikannya, mulai dari pemerintah, keluarga, sekolah hingga masyarakat. Melalui pendidikan berbasis karakter inilah, rasanya kita akan mampu menyehatkan budaya bangsa agar menjadi bangsa beradab yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA
ü Aryandini, Woro, Citra Bima dalam kebudayaan Jawa, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2000.
ü Bashori, Khoiruddin, Menata Ulang Pendidikan Karakter Bangsa, http:// www.mediaindonesia.com, diunduh tanggal 20 Maret 2010.
ü Brooks & Goble, The Case for Character Education: The Role of The School in Teaching Values and Virtue, Northridge: Studio 4 Productions, 1997.
ü http://bataviase.co.id/detailberita-10477132.html, diunduh tgl. 29 Nopember 2010.
ü http://goehs.blogspot.com/2010_04_01_archive.html, diunduh tgl. 29 Nopember 2010.
ü http://misyantoyebe.blogspot.com/2010_04_01_archive.html, diunduh tgl. 29 Nopember 2010
ü http://nusantaranews.wordpress.com/2010/03/09/prestasi-terus-naik-indonesia-negara-terkorup-asia-2010/, diunduh tgl. 29 Nopember 2010.
ü http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html, diunduh tgl. 08 Desember 2010.
ü Istiadah, Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 1999.
ü Jalal, Faisal, Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa, Makalah, dalam Rembuk Nasional yang diselenggarakan oleh Kedeputian Seswapres Bidang Politik bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung tanggal 1 Juni 2010, Universitas Pendidikan Indonesia.
ü Kayati, Yuni Nur, Anakku Sayang, Ibumu Ingin Bicara, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.
ü Koesoema A., Doni, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007.
ü Lickona, Thomas, Educating for Character; How Our School can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books, 1991.
ü Naga, Dali Santun, Rukiyanto, dkk, Pendidikan Karakter, Aku Dicintai, Bimbingan Konseling untuk Siswa SD Kelas 1, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
ü Raka, Gede, Pendidikan Membangun Karakter, Makalah, Orasi Perguruan Taman Siswa, Bandung 10 Februari 2007.
ü Rohiat, Manajemen Sekolah; Teori Dasar dan Praktik, Bandung: Refika Aditama, 2009.
ü Shadily, Hassan, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
ü Tafsir, Ahmad, ed., Pendidikan Agama dalam Keluarga, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996.
ü Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010.
ü Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas, Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: Tidak Diterbitkan, 2010.
ü Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
ü  Triatmanto, Tantangan Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
ü Williams, Russell T. dan Ratna Megawangi, Kecerdasan Plus Karakter, http://ihf-org. tripod.com./pustaka/KecerdasanPlusKarakter.htm, diunduh tgl. 9 Desember 2010.
ü  Zuchdi, Darmiyati, Pendidikan Karakter, Yogyakarta: UNY Press, 2009.






Maaf footnote dihapus

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: