#Dr. Adnan Mahdi, M.S.I.
@Isi Buku Pendidikan Karakter
Abstrak
Pendidikan karakter menjadi salah satu solusi penting
untuk mengobati krisis karakter dan kegagalan pendidikan di Indonesia saat ini.
Melalui pendidikan karakter, seorang anak didik akan mendapatkan pengetahuan
yang integral dan holistis dengan cara olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah
rasa atau karsanya. Dari empat simpul pengolahan tersebut, akan lahir sebuah
budaya baru yang berasal dari sekolah. Melalui sekolah inilah, akan tampil
individu-individu yang berkarakter, yang mampu mempengaruhi keluarga
dan masyarakatnya sehingga membentuk budaya yang sehat, yaitu budaya bangsa yang
berkarakter.
Keyword: Pendidikan Karakter, Sekolah,
Budaya.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan unsur yang
sangat penting bagi setiap negara, karena pendidikan tidak memiliki batasan
tepinya. Setiap keterbelakangan, kegagalan, kebejatan, kekalahan dan sederet sebutan
yang menunjukkan kejatuhan suatu negara, selalu yang dipersalahkan adalah
pendidikannya. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena melalui pendidikan itulah
yang bisa menjadikan manusia sebagai manusia sesungguhnya.[1] Untuk itu, pendidikan harus dirancang dan
dilaksanakan secara baik agar warga negaranya juga berkepribadian yang baik.
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan
yang dilakukan selama ini dinilai gagal oleh berbagai kalangan, karena
pendidikan yang diselenggarakan tersebut belum mampu menjadikan manusia yang
beradab. Buktinya bisa disaksikan selama ini, cukup banyak kasus-kasus yang
terjadi, mulai dari tawuran pelajar dan mahasiswa, penyuapan, perjokian dalam
penerimaan mahasiswa baru atau pegawai negeri, makelar kasus dan perkara, korupsi,
perselingkuhan, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan rendahnya mutu
pendidikan kita dibandingkan dengan negara tetangga, seperti: Malaysia,
Singapura, dan Brunai Darussalam, semakin memperkuat indikasi bahwa pendidikan
yang kita selenggarakan saat ini masih jauh dari harapan dan keberhasilan.
Untuk itu, agar kegagalan bisa segera diakhiri, harus
ada langkah-langkah konkrit yang dilakukan. Saat ini, pemerintah sudah mulai
untuk melakukan langkah-langkah tersebut melalui reformasi pendidikan. Hal ini
terlihat dari tema Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2010
ini, berbunyi: “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Tema
tersebut menunjukkan komitmen Kementerian Pendidikan Nasional yang bertekad
untuk melaksanakan revitalisasi pendidikan, yaitu pendidikan
berbasis karakter. Namun pertanyaannya, apa pendidikan karakter tesebut? Apa tujuan
dan manfaatnya, serta bagaimana pula strategi untuk melaksanakannya? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, penjelasannya akan diuraikan di bawah ini.
Krisis Karakter di Indonesia
Melihat fenomena yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
Indonesia saat ini, timbul sebuah pertanyaan besar yang
perlu mendapatkan
jawabannya dengan segera, apakah dekadensi moral yang melanda negeri ini
masih sebatas gejala atau sudah menjadi budaya? Sebab, jika melihat perilaku
atau akhlak anak bangsa ini, rasanya sudah teramat jauh manakala slogan
“bangsa yang beradab” masih menjadi kebanggaan warga negaranya. Berdasarkan hasil
survei pelaku bisnis yang dirilis pada Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan
konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC)
yang berbasis di Hong Kong, ternyata Indonesia menempati urutan pertama terkorup
dari 16 negara di Asia Pasifik.[2] Lebih ironis lagi, bahwa
pelaku korupsi yang menempati urutan teratas berdasarkan hasil survei dari Transparansi
Internasional (TI) tahun 2006-2007, ternyata institusi tersebut adalah kepolisian
dan pengadilan. Polisi mendapatkan skor 4,2; pengadilan memperoleh skor 4,1,
parlemen dengan skor 4,1, dan disusul partai politik dengan skor 4,0.[3] Meskipun data ini sudah
belalu sekitar tiga tahun yang lalu, namun penulis masih berkeyakinan bahwa jika
perubahan itu terjadi kearah membaik, namun masih tetap saja lembaga
penegak hukum
itulah yang mendominasi tindak korupsi saat ini berdasarkan kenyataan yang tampak
di layar televisi atau surat kabar dalam negeri.
Sedangkan dari sisi kualitas pendidikan, Political
& Economic Risk Consultancy
mencatat bahwa pada tahun 2006, Indonesia menempati urutan terakhir dari 12
negara di Asia. Bahkan, pendidikan di Indonesia justru dihiasi dengan ragam
tindak kriminal. Hasil survei yang ditampilkan pada koran Media Indonesia
tanggal 23 Juni 2006, bahwa di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat
menunjukkan sekitar 92% anak di bawah usia 18 tahun menjadi pengguna narkoba, bahkan
sebagian darinya sekaligus menjadi pengedar narkoba.[4] Informasi terkait dari
hasil survei Unesco pada tahun 2009, bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih
menempati urutan terbawah untuk negara-negara yang berada di kawasan Asia
Pasifik.
Pada tahun 2010 ini, menurut Polda Metro Jaya,
kejahatan di Ibu Kota Jakarta diprediksikan tidak berbeda jauh dengan tahun
sebelumnya. Sepuluh kasus kejahatan tetap masih menonjol di Ibu Kota, seperti
curas (pencurian dengan kekerasan/rampok), anirat (penganiayaan berat), curat
(pencurian dengan pemberatan), pembunuhan, tindak curanmor (pencurian kendaraan
bermotor), judi, pemerasan, perkosaan, narkotik, dan kenakalan remaja.[5]
Itulah sederet tindak kriminal dan
raport merah bangsa ini, dan yang pasti itu belum mewakili dari keseluruhan
kasus yang terjadi. Penulis agak yakin bahwa kejahatan yang terjadi di
Indonesia ini masih seperti gunung es yang berada di
lautan, yang tampak hanya sekitar puncak gunungnya saja, sementara masih
banyak lagi kejahatan yang belum terungkap. Pernyataan ini tidak bermaksud mendeskriditkan
bangsa sendiri, namun maksud yang ingin disampaikan adalah sebagai bahan
introspeksi diri bahwa ternyata bangsa Indonesia masih jauh dari kriteria
bangsa yang beradab.
Apakah kejahatan dan tindak kriminal di atas masih
berupa gejala atau sudah menjadi budaya karaktek Indonesia? Jika dikatakan semua
itu baru merupakan gejala, bagaimana persoalannya dengan
korupsi yang telah
terjadi sejak lama dari pemerintahan pusat hingga ke pejabat-pejabat desa?
Hampir di semua lini kehidupan masyarakat telah ditulari wabah penyakit yang
bernama korupsi. Ditambah lagi dengan perubahan perilaku anarkis di segala
sektor, kenakalan remaja, pergaulan bebas, pornoaksi dan pornografi yang sangat sering
terjadi, tentunya semakin memperburuk citra bangsa ini. Jika kita
bingung untuk menentukan apakah itu sebatas gejala atau sudah menjadi budaya,
yang jelas saat ini bangsa Indonesia sedang mengalami krisis karakter yang cukup
serius.
Menurut Thomas Lickona, terdapat
sepuluh tanda perilaku manusia yang menunjukkan arah pada kehancuran
suatu bangsa, yaitu: meningkatnya tindak kekerasan di kalangan remaja; ketidakjujuran
yang membudaya; tingginya rasa tidak hormat terhadap orang tua, guru dan figur
pemimpin; pengaruh teman sebaya terhadap perilaku kekerasan; meningkatnya rasa curiga
dan benci; penggunaan bahasa yang memburuk; penurunan etos kerja; menurunnya rasa tanggung
jawab individu dan warga negara; meningginya perilaku merusak
diri; dan semakin kaburnya pedoman moral.[6] Dari sepuluh tanda-tanda
kehancuran tersebut, tampaknya sebagian besarnya bangsa ini telah memilikinya,
meskipun volumenya belum tinggi. Dalam kaitannya dengan krisis moral atau karakter yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia saat ini, Darmiyati Zuchdi menyebutnya ada tujuh macam krisis yang telah terjadi, yaitu krisis kejujuran, tanggung
jawab, tidak berpikir jauh ke depan, disiplin,
kebersamaan, dan krisis keadilan.[7] Adapun penyebab krisis di Indonesia, menurut Gede Raka,[8] antara lain:
ü Terlena oleh sumber daya alam yang melimpah.
ü Pembangunan ekonomi terlalu
bertumpu pada modal fisik. Walaupun tidak terang-terangan, namun secara tersirat
sangat jelas pembangunan ekonomi selama
tiga dekade lalu pada zaman pemerintahan Presiden Suharto adalah pembangunan yang bertumpu pada modal
fisik. Semua ukuran
keberhasilan pembangunan sebagian besarnya bersifat fisik.
ü Idealisme menurun, sementara pragmatisme berkembang
melebihi ukuran/overdoses. Kecenderungan yang selalu saja mengedepankan keberhasilan
ekonomi (jangka pendek) telah membuat sebagian dari masyarakat terperangkap dalam
pragmatisme yang overdoses, dan kemudian terjebak dalam sikap “menghalalkan
segala cara”.
ü Kurang berhasil
belajar dari pengalaman bangsa sendiri, bahwa untuk mencapai kemerdekaan, ada perubahan
cara berjuang dari berjuang mengandalkan kekuatan atau modal
fisik menjadi berjuang dengan mengandalkan
kekuatan atau modal maya. Beberapa tokoh pahlawan nasional, seperti Pattimura, Diponegoro, dan Teuku
Umar mengangkat senjata, mengobarkan peperangan untuk mengusir
penjajah Belanda dari bumi Indonesia. Mereka adalah tokoh-tokoh yang gagah berani
yang tidak takut mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah cita-cita luhur, meskipun mereka belum berhasil mengalahkan lewat
kekuatan senjata pada saat itu.
Selain
faktor di atas, krisis karakter di Indonesia juga bisa disebabkan oleh rendahnya kualitas pengamalan nilai-nilai keagamaan dalam hidup dan kehidupan,
rapuhnya keluarga sebagai basis pendidikan akhlak, dan belum berhasilnya
lembaga pendidikan untuk membentuk karakter bangsa karena kurikulum yang dirumuskan masih dikotomis
bahkan masih cukup kentara dengan unsur sekulerisasi.
Berdasarkan
bentuk dan faktor penyebab krisis karakter di atas, perlu sebuah langkah bijak untuk mengatasinya mulai saat ini, dan langkah itu
tidak lain adalah membenahi konsep pendidikan, baik di dalam keluarga, sekolah,
maupun masyarakat. Pendidikan harus mampu berperan sebagai sebuah power
yang memberikan kontribusi dalam pembentukan karakter bangsa. Pendidikan harus menjadi “the power in
building character” dalam menghadapi perubahan zaman. Untuk itu, pendidikan yang berbasis karakter merupakan kebutuhan yang sangat mendesak saat ini, agar krisis karakter di
Indonesia dapat segera teratasi.
Pendidikan Karakter
Istilah karakter, ternyata belum
masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Hal ini bisa jadi karena istilah karakter
tersebut masih kurang
populer di Indonesia pada beberapa waktu yang lalu.
Istilah yang sering
digunakan dan mungkin bisa saja sepadan maknanya adalah
kata “watak”
dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “watak” itu
dimaknai dengan sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, tabiat.[9] Sedangkan dalam kamus English-Indonesian Dictionary, kata character
diartikan kadar, watak, kealaman, akhlak, pekerti, budi. Adapun terjemahan
lain, kata karakter diartikan sebagai “distinctive trait, distinctive quality,
moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group”. Arti karakter
yang lebih representatif adalah suatu kehendak yang sudah biasa dan sering
dilakukan secara spontan.
Meskipun pengertian karakter itu berbeda, namun artinya selalu berkaitan
dengan kekuatan moral. Bahkan Gede Raka,[10] meyakini bahwa arti karakter itu
selalu berkonotasi positif. Orang yang berkarakter itu, menurutnya
adalah orang yang memiliki kualitas moral yang positif. Bagi penulis,
pendapat Gede Raka tersebut tidak sepenuhnya benar, karena karakter itu
merupakan cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara. Oleh karena itu, karakter itu bisa saja berkonotasi positif, tetapi
juga bisa berkonotasi negatif. Misal saja dalam kehidupan
bermasyarakat, ada karakter kelompok masyarakat tertentu yang dinilai kasar,
arogan, suka anarkhis dan sebagainya, tentu saja karakter seperti itu tidak
baik dan berkonotasi negatif. Jika dikaji lebih dalam lagi, karakter masyarakat
yang kasar tersebut merupakan buah dari hasil pendidikan yang terjadi secara
alami.
Untuk itu, jika ingin mewujudkan
suatu karakter masyarakat yang baik, jalannya
adalah melalui gerbang pendidikan, baik pendidikan di dalam keluarga, di
sekolah, maupun di masyarakat. Sebab, pendidikan karakter merupakan pendidikan
budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tiga aspek
tersebut harus terintegrasi dengan baik agar bisa melahirkan sebuah kepribadian atau
ciri khas yang baik pula dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian tentang arti karakter yang dikaitkan
dengan pendidikan di atas, maka penulis lebih sependapat dengan pengertian yang
dirumuskan Doni Koesoema,[11] bahwa pendidikan karakter
adalah
dinamika pengembangan kemampuan yang berkesinambungan di dalam diri
manusia untuk mengadakan internalisasi nilai sehingga menghasilkan disposisi aktif
dan stabil di dalam individu. Dinamika ini membuat pertumbuhan individu menjadi
semakin utuh. Unsur-unsur ini menjadi dimensi yang menjiwai proses formasi
setiap individu.
Tujuan
Secara umum, sebenarnya pendidikan karakter telah
disinggung dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 3
berbunyi: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Hanya saja, karakter-karakter
yang dikehendaki itu belum menggambarkan pendidikan karakter yang sesungguhnya.
Untuk itu, perlu perumusan kembali agar karakter bangsa yang dikehendaki bisa
terwujud.
Adapun tujuan pelaksanaan dari pendidikan karakter itu
adalah untuk membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.[12] Tujuan yang lebih
spesifik dari pendidikan karakter itu adalah untuk membangun jati diri dan
karakter bangsa berlandaskan Pancasila yang dibangun melalui:
ü Olah
hati, meliputi: beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung
jawab, berempati, berani mengambil risiko, pantang menyerah, rela
berkorban, dan berjiwa patriotik. Olah hati selalu bermuara pada pengelolaan
spiritual dan emosional.
ü Olah
pikir, meliputi: cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir
terbuka, produktif, berorientasi iptek, dan reflektif. Olah pikir bermuara
pada pengelolaan intelektual.
ü Olah raga, meliputi: bersih dan sehat, disiplin,
sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif,
ceria, kompetitif, dan gigih. Olah raga bermuara pada pengelolaan
fisik.
ü Olah rasa atau karsa, meliputi: ramah, saling menghargai,
toleran,
peduli, suka menolong, gotong-royong, nasionalis, kosmopolit, mengutamakan
kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras,
dan beretos kerja. Olah rasa bermuara pada pengelolaan kreativitas.[13]
Semua olah hati, olah pikir, olah
raga, dan olah rasa atau karsa itu saling berhubungan sehingga
terintegrasi menjadi satu-kesatuan.
Manfaat
Sebagaimana telah disinggung pada bagian atas mengenai
krisis karakter di Indonesia, ditambah lagi dengan masuknya berbagai macam
perilaku non-edukatif dalam lembaga pendidikan,[14] mendesak untuk menerapkan
pendidikan karakter di sekolah. Tanpa pendidikan karakter, seolah-olah campur
aduknya kejernihan pemahaman nilai-nilai moral dan sifat ambigu yang menyertainya
dibiarkan begitu saja, sehingga sikap itu menghambat siswa untuk mengambil
keputusan yang memiliki landasan
moral yang kuat. Banyak manfaat yang akan diperoleh jika pendidikan karakter itu
dilaksanakan, diantaranya:
ü Memperluas wawasan siswa tentang nilai-nilai moral dan
etis yang dapat
membantu mereka untuk memutuskan sesuatu yang secara moral dapat
dipertanggungjawabkan.
ü Sebagai
sarana pembudayaan dan pemanusiaan agar lingkungan hidup dapat tercipta sebagai
lingkungan yang selalu menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan
keunikan ciptaan-Nya, dan dapat menghasilkan sosok pribadi yang memiliki
kemampuan
intelektual dan moral yang seimbang.
ü Sebagai
salah satu sarana untuk penyembuhan penyakit sosial di masyarakat.[15]
Selain manfaat-manfaat di atas, Brooks
dan Goble [16]
juga merinci
beberapa manfaat pendidikan karakter di sekolah, diantaranya:
ü Siswa mendapatkan keuntungan dengan memperoleh perilaku
dan
kebiasaan positif yang mampu meningkatkan rasa percaya diri mereka, membuat
hidup mereka lebih bahagia dan produktif.
ü Tugas guru menjadi lebih ringan dan lebih memberikan kepuasan ketika para siswa memiliki
disiplin yang lebih besar di dalam kelas.
ü Orang
tua bergembira ketika anak mereka belajar untuk menjadi lebih sopan, memiliki
rasa hormat dan produktif.
ü Pengelola
sekolah akan menyaksikan berbagai macam perbaikan dalam hal disiplin,
kehadiran, beasiswa, pengenalan nilai-nilai moral untuk siswa maupun guru, dan
tindakan vandalisme juga berkurang di sekolah.
Manfaat pendidikan karakter tidak hanya terbatas pada hal-hal
di atas saja, tetapi masih banyak lagi manfaat lain yang akan diperoleh jika
pendidikan tersebut dilaksanakan secara baik di sekolah.
Pendidikan Karakter di Sekolah
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang harus dimulai
dari keluarga, karena rumah merupakan tempat pendidikan pertama dan utama bagi
seorang anak. Islam
mengajarkan bahwa keluarga hendaknya menjadi wahana
pendidikan manusia dan menempatkan pendidikan keluarga sebagai inti
dalam membentuk sebuah masyarakat, bangsa bahkan peradaban. Orang tua mempunyai
tanggung jawab yang besar dalam membentuk kepribadian anak.
Menurut Yuni Nur Kayati,[17] orang tua merupakan
pendidik utama dan
pertama bagi anak-anak, karena orang tua adalah orang yang pertama kali dikenal
anak. Sejak bayi, ayah dan ibu adalah orang yang paling dekat dan sering
berinteraksi dengan anak, sehingga tidak dipungkiri jika pendidikan yang
pertama masuk adalah pendidikan dari orang tuanya. Hal serupa juga dikemukakan
oleh Istiadah,[18]
bahwa tugas menyiapkan generasi penerus yang berkualitas adalah tugas bersama
antara suami dan isteri. Sebab, Al-Qur’an sangat tegas memerintahkan suami dan
isteri untuk mempersiapkan generasi yang berkualitas dan takut akan hadirnya
generasi yang lemah.
Artinya:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS. an-Nisa: 9).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ayah dan ibu memiliki
tanggung
jawab yang sama terhadap anaknya, baik dalam kesejahteraan, intelektual,
spiritual, maupun akhlaknya. Tanggung jawab itu harus dipikul bersama-sama dan
tidak ada yang lebih ditekankan siapa yang harus menanganinya.
Berdasarkan pendapat di atas, jelaslah bahwa kedua orang
tua sangat
esensial dalam pembentukan karakter anaknya di rumah.
Kendati demikian,
secara psikologis tidak bisa dinafikan bahwa seorang ibu memiliki
hubungan
yang lebih dekat dengan anak-anaknya. Bahkan menurut kalangan medis, bahwa ibu
dan anak itu memiliki kontak batin sejak dalam kandungan.[19] Berangkat dari pemahaman
ini, sudah semestinya pendidikan karakter itu diberikan sejak usia
kanak-kanak (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan
kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Menurut Suyanto,[20] hasil penelitian menunjukkan
sekitar
50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika ia berusia 4
tahun. Peningkatan
30% berikutnya terjadi pada usianya 8 tahun, dan 20% sisanya terjadi pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Berdasarkan hasil penelitian itu, sudah
sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, karena keluarga
merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.
Namun sayangnya, keluarga yang diharapkan menjadi andalan
utama dalam
pembentukan karakter anak, kini telah mengecil fungsinya. Hal ini disebabkan kesibukan
atau rutinitas kerja orang tua yang sangat tinggi, sehingga seringkali
pendidikan anak hanya dititipkan dengan pembantu rumah tangga.
Lebih ironis lagi, pembantu yang dijadikan tumpuan itu rata-rata memiliki
tamatan pendidikan yang rendah sehingga semakin rendah pula kualitas dan
kuantitas pendidikan yang diterima oleh anak. Untuk itu, harapan satu-satunya yang
dapat membantu orang tua dalam membentuk karakter anaknya hanyalah sekolah.
Dalam konteks ini, berarti peran guru sangat menentukan dalam pembentukan
karakter anak.
Guru merupakan figur yang diharapkan mampu mendidik
anak yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi
siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa.
Peran pendidik sebagai pembentuk generasi muda yang berkarakter sesuai undang-undang
guru dan dosen nomor 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional
dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, serta mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Berdasarkan definisi di atas,
berarti guru merupakan agen perubahan, yaitu merubah
peserta didik menjadi manusia yang berkualitas, baik dari segi keilmuan maupun akhlaknya. Namun, untuk menjadi
guru yang mampu mewujudkan misi mulia tersebut, guru perlu memahami
dan menerapkan 11 prinsip dalam pendidikan
karakter seperti yang dirumuskan oleh Thomas Lickona dan
dikutip Khoiruddin Bashori,[21] sebagai berikut:
ü Mengembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai kinerja
pendukungnya
sebagai fondasi karakter yang baik.
ü Mendefinisikan karakter secara komprehensif yang mencakup
pikiran,
perasaan, dan perilaku.
ü Menggunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja dan
proaktif
dalam pengembangan karakter.
ü Menciptakan
komunitas sekolah yang penuh perhatian.
ü Memberi
siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral.
ü Membuat
kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil.
ü Berusaha
untuk mendorong motivasi diri siswa
ü Melibatkan
staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung
jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai inti yang sama
yang membimbing pendidikan siswa.
ü Menumbuhkan
rasa kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi
inisiatif pendidikan karakter.
ü Melibatkan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter.
ü Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai
pendidik
karakter, dan sejauhmana siswa memanifestasikan karakter
yang baik.
Melalui prinsip-prinsip pendidikan karakter tersebut,
diharapkan guru akan memiliki arah dalam
membentuk karakter anak didiknya. Adapun pilar-pilar
karakter yang perlu disampaikan kepada siswa sebagai nilai-nilai luhur yang
bersifat universal, adalah: karakter cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,
kemandirian dan tanggungjawab, kejujuran atau amanah serta
diplomatis, rasa hormat dan santun, dermawan dan suka tolong-menolong
serta bergotong-royong/kerjasama, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan
keadilan, baik dan rendah hati, dan karakter toleransi, kedamaian serta
kesatuan. Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam
model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling
the good, dan acting the good.
Knowing the good cukup mudah untuk diajarkan
karena pengetahuan
yang bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good, harus ditumbuhkan
feeling loving the good, yaitu upaya untuk bisa merasakan dan mencintai
kebajikan sebagai engine yang dapat membuat orang senantiasa mau untuk berbuat
sesuatu kebaikan, sehingga tumbuh kesadaran bahwa orang akan mau melakukan
kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa untuk
melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan (habit).[22]
Dalam bahasa lain, Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas[23] telah merancang tiga komponen
karakter baik (components of good character) yang
perlu diajarkan pada peserta didik, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang
moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan
moral action atau perbuatan bermoral. Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral
knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral
awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moral values),
penentuan sudut pandang (perspective taking), logika moral (moral
reasoning), keberanian mengambil sikap (decision making), dan
pengenalan diri (self knowledge).
Sedangkan dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral
feeling atau
penguatan aspek emosi peserta didik untuk menjadi manusia berkarakter, adalah kesadaran
akan jati diri sendiri (conscience), percaya diri (self esteem),
kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving
the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan hati (humility).
Adapun dimensi yang termasuk ke dalam moral action, yaitu perbuatan atau
tindakan moral yang merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya. Untuk
memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally)
maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence),
keinginan (will), dan kebiasaan (habit).
Melihat keterkaitan moral di atas, terasa memberikan
harapan besar bagi keberhasilan pendidikan karakter dalam membentuk karakter
bangsa di masa depan. Untuk itu, agar rancangan tersebut dapat terkawal dan
terlaksana nantinya dengan baik, harus diintegrasikan dalam kurikulum, atau
jika perlu merumuskan kembali kurikulum yang berbasis karakter bangsa. Sebab,
kurikulum merupakan acuan dan kendaraan dalam mengembangkan nilai-nilai dan
kepedulian terhadap etika. Bahkan bagi Lickona,[24] kurikulum diibaratkan
seperti raksasa yang sedang tidur bagi pendidikan karakter.
Semestinya pemerintah dan warga negara sadar, betapa
ambruknya moral bangsa ini karena salah satu sebabnya adalah kurikulum yang
selalu berorientasi pada kecerdasan otak. Benar kata Ahmad Tafsir,[25] bahwa ada yang salah dalam
pendidikan di Indonesia, salah satu yang dimaksudnya adalah keringnya orientasi karakter atau akhlak dalam
kurikulum pendidikan. Perubahan-perubahan yang dilakukan dalam kurikulum
selama ini selalu mementingkan aspek kognitif, sehingga aspek apektif dan psikomotorik
selalu terabaikan. Barangkali, hanya 10-20% saja kurikulum pendidikan di
Indonesia ini yang cocok untuk diberikan pada anak-anak yang cerdas.
Selebihnya, anak-anak tidak mampu untuk mengikuti pelajaran secara baik di
sekolah.
Implikasi negatif dari model
kurikulum seperti itu adalah menciptakan mental anak yang
merasa “bodoh” sejak mereka duduk di bangku sekolah. Lebih parah lagi dengan
adanya sistem ranking, anak yang berada di atas urutan sepuluh benar-benar merasa “bodoh” dan hilang rasa percaya dirinya. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan tumbuh mental mudah putus asa,
kurang percaya diri, dan stress yang berkepanjangan. Pada usia remajanya, keadaan
seperti itu biasanya akan mendorong untuk berperilaku negatif. Maka, tidak
heran kalau kemudian muncul perilaku remaja, dan bahkan orang dewasa yang
senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, koruptif, manipulatif, dan tidak tahu malu. Bahkan perbuatan
yang dianggap memalukan itu bisa menjadi kebiasannya.[26]
Untuk itu, sudah saatnya kurikulum didesain ulang
dengan memuat dimensi karakter yang lebih dominan, bahkan jika perlu, desain
kurikulum yang berbasis karakter bangsa, seperti telah disebutkan di atas. Mulai
dari jenjang pendidikan terendah (seperti play group atau TK) hingga
jenjang pendidikan tinggi (PT), kurikulum
berbasis karakter dirancang secara integral dan berkesinambungan, agar begitu anak didik
menamatkan pendidikannya pada semua jenjang, ada ciri khas karakter yang telah
dimilikinya.
Jika hal ini bisa diterapkan pada semua jenjang, maka akan
terbentang peluang untuk mulai memperbaiki dan menyehatkan budaya
bangsa ini, yang pada saat ini sedang mengalami krisis dan
sakit.
Strategi Menyehatkan
Budaya Bangsa Melalui Pendidikan Karakter
Budaya merupakan daya dari budi
yang berupa cipta, rasa dan karsa. Menurut Taylor,[27] kebudayaan merupakan
keseluruhan dari hasil manusia hidup bermasyarakat yang berisi
aksi-aksi terhadap dan oleh sesama manusia sebagai anggota masyarakat yang bisa
berwujud kepandaian, kepercayaan, moral, kesenian, hukum, adat kebiasaan dan
lain-lain. Sedangkan menurut Koentjaraningrat,[28] kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan berpola dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan manusia yang dijadikan milik manusia dengan cara belajar.
Berdasarkan definisi di atas, berarti
budaya atau kebudayaan itu bisa berubah dan bersifat dinamis sesuai
keinginan masyarakatnya. Perubahan budaya itu dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain:
ü Karena
adanya perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
ü Karena adanya inovasi (penemuan baru), baik yang
berupa discovery
(penemuan konsep baru) maupun invention (penemuan
teknologi baru
berdasar konsep yang sudah ada).
ü Karena
adanya revolusi dalam masyarakat itu sendiri, misalnya ada pemberontakan atau
pertentangan dalam masyarakat itu.
ü Karena perubahan lingkungan alam tempat mereka hidup.
Masyarakat
yang hidup di lingkungan terbuka, yang berada pada jalur hubungan dengan
masyarakat dan kebudayaan lain cenderung berubah secara cepat.[29]
Melihat arti dan faktor penyebab
berubahnya suatu kebudayaan, maka penulis berasumsi bahwa budaya itu bisa
direkayasa atau bisa diciptakan sesuai kehendak masyarakatnya. Berhubungan
dengan hal tersebut, berarti budaya Indonesia yang kini dinilai sakit dan
sedang berada dalam krisis karakter, bisa dirubah menjadi lebih baik sesuai
keinginan masyarakatnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui
jalur pendidikan yang berbasis karakter.
Pendidikan berbasis karakter dapat dilaksanakan secara
maksimal dan bisa memperbaiki atau menyehatkan karakter bangsa jika
tiga lingkungan pendidikan
itu saling mendukung dan bekerja sama, yaitu antara keluarga, sekolah dan
masyarakat. Namun sayangnya, seperti yang telah dibahas di atas, kondisi
keluarga saat ini sudah banyak yang tidak berfungsi optimal dalam memberikan
pendidikan terhadap anaknya, lantaran kesibukan ibu dan
bapaknya berkerja di luar rumah.[30] Untuk itu, satu-satunya
harapan saat
ini hanya bertumpu pada sekolah.
Untuk menyehatkan budaya bangsa, maka sekolah saat ini dituntut
untuk mengerahkan semua potensi yang dimiliki dan memberikan peluang yang
seluas-luasnya agar pendidikan berbasis karakter bisa dilakukan secara maksimal. Semua komponen
diberdayakan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan berbasis karakter, mulai
dari sistemnya, kepala sekolah, guru dan staf sekolah, kurikulum atau materi, kegiatan
belajar mengajar, siswa sampai pada kegiatan ekstrakurikulernya. Sistem pendidikan
yang dibangun
harus selalu mengedepankan karakter, dan ujung tombaknya adalah kepala sekolah,
guru, dan staf sekolah. Setiap kebijakan, kepribadian, dan akhlak yang
diperlihatkan harus bisa menjadi teladan bagi siswa. Kurikulum atau materi,
kegiatan pembelajaran, dan kegiatan ekstrakurikuler harus selalu diarahkan pada
pembangunan karakter, sehingga setiap gerak langkah dan denyut
nadi siswa selama di sekolah selalu mendapatkan sentuhan karakter, dan pada akhirnya
siswa akan terkondisi dan merasa terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan
karakter.
Semua komponen di atas selalu
terkait dan saling mendukung antara satu dengan lainnya.
Mengapa harapan sepenuhnya tertumpu pada siswa untuk
merubah budaya bangsa menjadi budaya yang berkarakter (beradab)? Jawabannya jelas
bahwa siswa merupakan pribadi-pribadi calon intelektual yang akan mempengaruhi,
mewarnai, bahkan menggantikan peran dari masyarakatnya. Awal proses itu
bermula dari individu, keluarga, masyarakat, wilayah, dan selanjutnya negara.
Jika perilaku atau pola hidup berkarakter sudah menjadi
kebiasaan dari individu sampai ke masyarakat, berarti sudah mulai terbentuk
sebuah kebudayaan baru, yaitu kebudayaan berkarakter. Disitulah saatnya budaya
bangsa akan sehat dan terobati dari sakitnya.
Penutup
Melihat kondisi bangsa Indonesia saat ini, rasanya
sangat mendesak untuk segera diterapkan pendidikan yang berbasis karakter.
Tampaknya kita
perlu banyak belajar dari pengalaman Cina, karena pada tahun 1970-an, negara
tersebut masih diliputi keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya akibat
Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao. Namun saat ini, Cina telah mampu
bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari bangsa-bangsa lain. Salah satu
rahasianya ternyata berada pada sektor pendidikan. Pada tahun 1985, Deng
Xiaoping melakukan reformasi pendidikan dengan program
pendidikan berbasis karakter mulai dari tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi.
Hasilnya, dalam waktu yang relatif cukup singkat itu, Cina telah berhasil
mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi manusia yang berkarakter
(rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), yang membawa kemajuan negaranya hingga
saat ini.
Jika Cina telah mampu melakukan pendidikan karakter
untuk 1,3 miliar warga negaranya, rasanya Indonesia juga mampu untuk melakukan
hal yang sama. Syaratnya, semua komponen bangsa harus bekerjasama dan saling
bahu-membahu untuk merealisasikannya, mulai dari pemerintah, keluarga,
sekolah hingga masyarakat. Melalui pendidikan berbasis karakter inilah,
rasanya kita akan mampu menyehatkan budaya bangsa agar menjadi bangsa beradab
yang disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
ü Aryandini,
Woro, Citra Bima dalam kebudayaan Jawa, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia, 2000.
ü Bashori, Khoiruddin, Menata Ulang Pendidikan Karakter
Bangsa, http:// www.mediaindonesia.com,
diunduh tanggal 20 Maret 2010.
ü Brooks & Goble, The Case for Character Education:
The Role of The School in Teaching Values and
Virtue, Northridge: Studio 4 Productions, 1997.
ü http://bataviase.co.id/detailberita-10477132.html,
diunduh tgl. 29 Nopember
2010.
ü http://goehs.blogspot.com/2010_04_01_archive.html,
diunduh tgl. 29 Nopember
2010.
ü http://misyantoyebe.blogspot.com/2010_04_01_archive.html, diunduh tgl. 29
Nopember 2010
ü http://nusantaranews.wordpress.com/2010/03/09/prestasi-terus-naik-indonesia-negara-terkorup-asia-2010/, diunduh tgl. 29
Nopember 2010.
ü http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html,
diunduh
tgl. 08 Desember 2010.
ü Istiadah,
Pembagian Kerja Rumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan
Jender, 1999.
ü Jalal, Faisal, Desain Induk Pembangunan Karakter Bangsa, Makalah,
dalam Rembuk
Nasional yang diselenggarakan oleh Kedeputian Seswapres Bidang
Politik bekerjasama dengan Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung tanggal 1
Juni 2010, Universitas Pendidikan Indonesia.
ü Kayati,
Yuni Nur, Anakku Sayang, Ibumu Ingin Bicara,
Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000.
ü Koesoema A., Doni, Pendidikan Karakter, Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo, 2007.
ü Lickona, Thomas, Educating for
Character; How Our School can Teach Respect and Responsibility, New York: Bantam Books, 1991.
ü Naga, Dali Santun, Rukiyanto, dkk, Pendidikan Karakter,
Aku Dicintai, Bimbingan Konseling untuk Siswa SD Kelas 1, Yogyakarta:
Kanisius,
2009.
ü Raka, Gede, Pendidikan Membangun Karakter, Makalah, Orasi Perguruan Taman Siswa, Bandung 10 Februari 2007.
ü Rohiat,
Manajemen Sekolah; Teori Dasar dan Praktik, Bandung:
Refika Aditama, 2009.
ü Shadily, Hassan, Sosiologi
untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
ü Tafsir,
Ahmad, ed., Pendidikan Agama dalam
Keluarga, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996.
ü Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islami; Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2010.
ü Tim Pendidikan Karakter Kemendiknas, Pembinaan
Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: Tidak
Diterbitkan, 2010.
ü Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
ü Triatmanto, Tantangan Implementasi
Pendidikan Karakter di Sekolah, Jurnal Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY.
ü Williams, Russell T. dan Ratna
Megawangi, Kecerdasan Plus Karakter, http://ihf-org.
tripod.com./pustaka/KecerdasanPlusKarakter.htm, diunduh tgl. 9
Desember 2010.
ü Zuchdi,
Darmiyati, Pendidikan Karakter,
Yogyakarta: UNY Press, 2009.
Maaf footnote dihapus
No comments:
Post a Comment