Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Makna Progresif Pergantian Tahun Hijriyah

Penulis: Dr. Adnan, M.S.I.

Setiap pergantian detik, menit, jam, hari, minggu, bulan hingga pergantian tahun, sesungguhnya adalah sebuah pergerakan menuju kematian. Makna pergantian tersebut semestinya menjadi media muhasabah diri, bahwa semakin banyak waktu yang ditinggalkan, berarti semakin dekat seseorang pada kematiannya. Makna ini seringkali terlewatkan oleh manusia di setiap pergantian waktu, malah tidak sedikit yang salah kaprah dalam menantikan pergantiannya.
Pergantian tahun dalam sistem kalender Islam diperingati setiap tanggal 1 Muharram. Tahun kalender dalam Islam dinamakan Tahun Hijriyah. Penetapan tahun Hijriyah ini terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab melalui persetujuan dari para sahabat, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Abdurrahman bin `Auf, Sa`ad bin Abi Waqqas, dan Thalhah bin Ubaidillah. Kalender Hijriyah dan Masehi sama-sama 12 bulan. Lantaran tahun Hijriyah bersandarkan pada peredaran bulan, maka jumlah harinya berbeda dengan tahun Masehi yang bersandarkan pada peredaran matahari. Dalam satu tahun, kalender Hijriyah memiliki 354 hari 8 jam 84 detik, sementara dalam kalender Masehi terdapat 365 hari. Jadi sekitar 12 hari selisihnya antara kalender Hijriyah dengan kalender Masehi. Selain itu, awal waktu dalam kalender Hijriyah terjadi pada waktu Maghrib, yaitu pada saat matahari tenggelam di ufuk Barat, sementara awal waktu dalam kalender Masehi dimulai tepat pada pukul 00:00 tengah malam.
Penetapan kalender Hijriyah disandarkan pada peredaran bulan, dengan dasar adanya perintah Allah SWT yang tersirat dalam al-Qur’an surah Yunus ayat 36 dan surah al-Baqarah ayat 189. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa perhitungan waktu dengan acuan peredaran bulan adalah ketentuan yang bersumber dari Allah SWT. Lalu apa makna yang tersirat dari kata Hijriyah tersebut?
Secara bahasa, kata Hijriyah tersebut berasal dari Bahasa Arab, هِجْرَة yang berarti pindah, menjauhi atau menghindari. Dari arti kata tersebut, terpahat sebuah makna yang sangat esensial bahwa Hijriyah sesungguhnya adalah pindahnya seseorang dari suatu keadaan yang tidak baik ke keadaan yang lebih baik. Makna kontekstual ini dapat dilihat dalam al-Qur’an surah al-Ankabût ayat 26: “Maka Luth membenarkan (kenabian)nya. Dan berkatalah Ibrahim: Sesungguhnya aku senantiasa berhijrah kepada Tuhanku, sesungguhnya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam perspektif sejarah, penetapan kalender Hijriyah dikaitkan dengan peristiwa monumental Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Mekah ke tempat baru bernama Yatsrib (kemudian berubah namanya menjadi Madinah). Dari beberapa fakta sejarah yang ada, terjadinya hijrah Rasulullah tersebut disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Adanya tekanan berupa penyiksaan dan pemboikotan kaum kafir Quraisy kepada umat Islam; dan adanya rencana pembunuhan Rasulullah oleh kaum kafir Quraisy berdasarkan hasil rapat mereka di Darun Nadwah. Penyebab hijrah tersebut tentu menunjukkan suatu keadaan yang sangat genting, keadaan yang tidak baik bagi Rasulullah, kaum muslimin dan keberlangsungan dakwah Islam tentunya. Singkat cerita, setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, keadaan berbalik 1800, kehadiran beliau bukannya dimusuhi, malah sangat dinanti-nantikan oleh umat Islam di Madinah. Cuplikan peristiwa singkat ini tentu menyingkap makna esensial dari hijrah itu sendiri, meninggalkan suatu keadaan yang tidak baik ke keadaan yang lebih baik.
Berdasarkan uraian singkat di atas, ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik untuk dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain:
Pertama, penetapan tahun Hijriyah tidak didasarkan pada hari kelahiran Rasulullah, akan tetapi didasarkan pada peristiwa monumental yang menjadi tonggak sejarah dan perubahan signifikan bagi kemajuan ummat dan dakwah Islam. Dalam konteks ini, Islam tetap konsisten menunjukan dirinya sebagai agama yang progresif, selalu bergerak menuju suatu keadaan yang lebih prospektif.
Kedua, hijrah mengandung semangat perjuangan yang tinggi, tidak mengenal rasa putus asa, dan selalu optimis mampu mengatasi suatu keadaan yang tersulit sekalipun. Dalam konteks ini, sejatinya umat Islam tidak dibenarkan merasa terpenjara oleh persoalan yang dihadapi, ia harus berjuang hingga ia mampu menghijrahkan dirinya ke keadaan yang lebih baik. Dalam persoalan ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan berbagai persoalan hidup yang dihadapi, tidak tepat sekiranya ada ummat yang hanya bersikap pasrah, menggantungkan diri pada suatu takdir, padahal makna esensial takdir yang sesungguhnya adalah ikhtiar, perjuangan, atau pengorbanan. Sesuatu yang sudah diikhtiarkan atau diperjuangkan dengan maksimal, maka hasil akhirnya itulah yang dinamakan takdir. Konsep takdir seperti ini sejalan dengan terminal akhir dari prosesi hijrah sesungguhnya.
Ketiga, hijrah mengandung semangat persaudaraan, tidak hanya Ukhuwah Insaniyah (persaudaraan sesama manusia) semata, tetapi juga Ukhuwah Wathoniyah (persaudaraan sesama bangsa) dan Ukhuwah Bashoriyah (persaudaraan emosional sesama muslim). Dalam konteks ini, semestinya antar sesama manusia saling mengasihi, toleransi, dan saling membantu. Jika ada tetangga atau teman yang sakit meskipun tidak seakidah, seharusnya kita terpanggil untuk ikut membantu, minimal mendoakannya. Apalagi antar sesama muslim, dimanapun ia berada, jika mereka mendapatkan kesulitan, kita harus merasakan kesulitan yang sama, karena sesama muslim ibaratkan satu tubuh, jika ada bagian tubuh yang sakit, maka anggota badan yang lainnya pasti merasakan sakit yang sama. Manakala rasa persaudaraan ini sudah terpatri menjadi satu, maka sangat memungkinkan sebuah pergerakan untuk menuju kemajuan akan lebih mudah tercapai, dan di sini terletak makna hijrah yang sesungguhnya.
Keempat, inti (core) dari hijrah sesungguhnya adalah perubahan, yaitu perubahan dari yang buruk kepada yang baik, perubahan dari yang baik kepada yang lebih baik. Jika bangsa ini sedang mengalami dekadensi (keterpurukan) moral, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan sebagainya, semestinya kita sebagai ummat tidak putus asa atau hanya menyalahkan pemerintah saja. Tanggung jawab semua itu bukan hanya terletak pada pemerintah saja, tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama. Sudah selaiknya kita sebagai rakyat dari negara ini melakukan sesuatu yang bisa merubah keadaan yang tidak baik menjadi keadaan yang lebih baik. Mulailah kebaikan tersebut dari hal-hal yang terkecil dan realistis, dimulai dari diri sendiri dan keluarga, dengan tindakan yang nyata itu akan bisa merubah keadaan suatu masyarakat bahkan bangsa yang kita cintai ini, Bangsa Indonesia.
Selamat Menyambut Tahun Baru Islam, Tahun Baru Hijriyah... Mari kita berhijrah menuju masa depan yang lebih baik, baik untuk konteks keduniaan maupun konteks keakhiratan.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: