Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Studi Agama: Pendekatan Antropologi & Sosiologi

Talqin dalam Tariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah


A.  Pendahuluan
Dalam buku Seven Theories of Religion, Daniel L. Pals[1] menyatakan bahwa pada awalnya orang Erofa menolak anggapan adanya kemungkinan meneliti agama, sebab antara ilmu dan nilai, antara ilmu dan agama tidak bisa disinkronkan. Kasus seperti ini juga terjadi di Indonesia pada awal tahun 70-an, dimana penelitian agama masih dianggap sesuatu yang tabu. Kebanyakan orang berkata: mengapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti, agama adalah wahyu Allah yang tidak bisa diutak-atik lagi.
Namun seiring dengan perkembangan zaman, akhirnya sebagian besar orang dapat memahami bahwa agama bisa diteliti tanpa merusak ajaran atau esensi agama itu sendiri. Kini, penelitian terhadap agama bukanlah hal yang asing lagi, malah orang “berlomba-lomba” melakukannya dengan berbagai pendekatan. Terkait dengan hal tersebut, dalam makalah ini kami mencoba menyajikan dua pendekatan penelitian dalam studi agama, yaitu pendekatan antropologi dan sosiologi. Semoga bermanfaat.
B.   Pendekatan Antropologi
  1. Sekilas tentang Perkembangan Antropologi
Antropologi adalah salah satu disiplin ilmu dari cabang ilmu pengetahuan sosial yang memfokuskan kajiannya pada manusia. Kajian antropologi ini setidaknya dapat ditelusuri pada zaman kolonialisme di era penjajahan yang dilakukan bangsa Barat terhadap bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika Latin serta suku Indian. Selain menjajah, mereka juga menyebarkan agama Nasrani. Setiap daerah jajahan, ditugaskan pegawai kolonial dan missionaris, selain melaksanakan tugasnya, mereka juga membuat laporan mengenai bahasa, ras, adat istiadat, upacara-upacara, sistem kekerabatan dan lainnya yang dimanfaatkan untuk kepentingan jajahan.
Perhatian serius terhadap antropologi dimulai pada abad 19. Pada abad ini, antropologi sudah digunakan sebagai pendekatan penelitian yang difokuskan pada kajian asal usul manusia. Penelitian antropologi ini mencakup pencarian fosil yang masih ada, dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, apakah yang paling tua dan tetap bertahan (survive). Pada waktu itu, semua dilakukan dengan ide kunci, ide tentang evolusi.[2]
Antropolog pada masa itu beranggapan bahwa seluruh masyarakat manusia tertata dalam keteraturan seolah sebagai eskalator historis raksasa dan mereka (bangsa Barat) menganggap bahwa mereka sudah menempati posisi puncak, sedangkan bangsa Eropa dan Asia masih berada pada posisi tengah, dan sekelompok lainnya yang masih primitif terdapat pada posisi bawah. Pandangan antropolog ini mendapat dukungan dari karya Darwin tentang evolusi biologis, namun pada akhirnya teori tersebut ditolak oleh para fundamentalis populis di USA.
Selain perdebatan seputar masyarakat, antropolog juga tertarik mengkaji tentang agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan di kalangan mereka, seperti pertanyaan tentang: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan, suatu bentuk agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama primitif itu sangat digemari pembaca-nya pada abad ke 19. Sebagai contoh, terdapat dua karya besar yang masing-masing ditulis Sir James Frazer tentang “The Golden Bough” dan Emil Durkheim tentang “The Element Forms of Religious Life”.
Dalam karyanya tersebut, Frazer menampilkan contoh-contoh magic dan ritual dari teks klasik. Frazer berkesimpulan bahwa seluruh agama itu sebagai bentuk sihir (magic) fertilitas. Dalam karyanya yang lain, Frazer mengemukakan skema evolusi sederhana yaitu suatu ekspresi dari keyakinan rasionalismenya bahwa sejarah manusia melewati tiga fase yang secara berurutan didominasi oleh magic (sihir), agama dan ilmu.
Berbeda dengan Durkheim, dia kurang sependapat jika mengambil contoh dari semua agama di dunia dengan kurang memperhatikan konteks aslinya seperti yang dilakukan oleh Frazer, karena itu adalah metode antropologi yang keliru. Menurutnya, “eksperimen yang dilakukan dengan baik dapat membuktikan adanya aturan tunggal, dan mengatakan perlunya menguji sebuah contoh secara mendalam, seperti agama Aborigin di Arunto Australia Tengah. Terlepas dari kontroversi terhadap penelitiannya, yang jelas Durkheim telah memberikan inspirasi kepada para antropolog untuk menggunakan studi kasus dalam mengungkap sebuah kebenaran.
Setelah Frazer dan Durkheim, kajian antropologi agama terus mengalami perkembangan dengan beragam pendekatan penelitiannya. Beberapa antropolog ada yang mengorientasikan kajian agamanya pada psikologi kognitif, sebagian lain pada feminisme, dan sebagian lainnya pada secara sejarah sosiologis.
  1. Karakteristik Dasar Pendekatan Antropologi
Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedang diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan praktik pertanian, kekeluargaan, politik, magic, dan pengobatan secara bersama-sama. Maksudnya agama tidak bisa dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh praktik-praktik sosial lainnya.
Beberapa tahun terakhir, ketika dekonstruksi postmodernisme yang sedang digemari menjalar melalui ilmu sosial, pendekatan holistik mendapat serangan. Jika ada masa-masa keemasannya, kerangka kerja fungsionalisme struktural lebih membesarkan watak sistematik yang ditelitinya, namun saat ini sudah dibuka peluang terhadap fungsionalis struktural. Karya yang melakukan hal ini dapat dilihat dalamLugbara Religion hasil penelitian Middleton. Dalam karyanya tersebut, dia lebih senang memilih istilah Inggris daripada bahasa Lugbara itu sendiri, misalnya ancertor (nenek moyang), ghost (hantu), witchcraft(ilmu ghaib) dan sorcery (ilmu sihir). Kendatipun demikian, karya Middleton tidak mengurangi kekayaan etnografi, buktinya siapa saja yang membaca hasil karyanya masih merasakan proses aksi sosial dan agama seperti yang benar-benar dipraktikan. Dengan caranya ini, terlihat adanya pergeseran karakteristik penelitian, dari karakteristik struktural ke “makna”.
Karakteristik antropologi bergeser lagi dari antropologi “makna” ke antropologi interpretatif yang lebih global, seperti yang dilakukan oleh C. Geertz. Ide kuncinya bahwa apa yang sesungguhnya penting adalah kemungkinan menafsirkan peristiwa menurut cara pandang masyarakat itu sendiri. Penelitian seperti ini harus dilakukan dengan cara tinggal di tempat penelitian dalam waktu yang lama, agar mendapatkan tafsiran dari masyarakat tentang agama yang diamalkannya. Jadi, pada intinya setiap penelitian yang dilakukan oleh antropolog, memiliki karakteristik masing-masing, dan bagi siapa saja yang ingin melakukan penelitian dengan pendekatan antropologi, bisa memilih contoh yang telah ada atau menggunakan pendekatan baru yang diinginkan.
  1. Obyek Kajian dalam Pendekatan Antropologi
Berdasarkan uraian tentang perkembangan antropologi di atas, maka secara umum obyek kajian antropologi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu antropologi fisik yang mengkaji makhluk manusia sebagai organisme biologis, dan antropologi budaya dengan tiga cabangnya: arkeologilinguistik danetnografi. Meski antropologi fisik menyibukan diri dalam usahanya melacak asal usul nenek moyang manusia serta memusatkan studi terhadap variasi umat manusia, tetapi pekerjaan para ahli di bidang ini sesungguhnya menyediakan kerangka yang diperlukan oleh antropologi budaya. Sebab tidak ada kebudayaan tanpa manusia.[3]
Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah agama sebagai fenomena budaya, bukan ajaran agama yang datang dari Allah. Antropologi tidak membahas salah benarnya suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual dan kepercayaan kepada yang sakral,[4] wilayah antropologi hanya terbatas pada kajian terhadap fenomena yang muncul. Menurut Atho Mudzhar,[5] ada lima fenomena agama yang dapat dikaji, yaitu:
  1. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
  2. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yakni sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya.
  3. Ritus, lembaga dan ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris.
  4. Alat-alat seperti masjid, gereja, lonceng, peci dan semacamnya.
  5. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan, seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan, Syi’ah dan lain-lain.
Kelima obyek di atas dapat dikaji dengan pendekatan antropologi, karena kelima obyek tersebut memiliki unsur budaya dari hasil pikiran dan kreasi manusia.
  1. Contoh Penelitian yang Menggunakan Pendekatan Antropologi
Salah satu contoh penelitian yang akan dikemukakan pada bagian ini adalah runtuhnya Daulat Bani Umayah dan bangkitnya Daulat Bani Abasiyah. Untuk membahas topik ini, M. Atho Mudzhar[6]menyarankan sedikitnya ada empat hal yang harus diperhatikan dan diperjelas dalam rancangan penelitian, yaitu: rumusan masalah, arti penting penelitian, metode penelitian dan literatur yang digunakan. Keempat hal tersebut akan dirincikan secara singkat sebagai berikut:
Pertama: rumusan masalahnya adalah faktor-faktor apa saja yang menyebabkan jatuhnya Bani Umayah dan bangkitnya Bani Abasiyah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dirumuskan faktor penyebab runtuh atau bangkitnya dinasti, dan aspek apa saja yang akan dilihat.
Kedua: menjelaskan signifikasi penelitian, seperti menjelaskan maksud penelitian (sesuatu yang belum pernah diteliti atau dibahas sebelumnya) dan kontribusi apa yang diperoleh dari hasil penelitian setelah dilakukan nantinya.
Ketiga: metode yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian dengan merinci hal-hal seperti: bentuk dan sumber informasi serta cara mendapatkannya, memahami dan menganalisa informasi serta cara pemaparannya.
Keempat: melakukan telaah pustaka dan membuat rangkuman dari teori yang telah dipaparkan. Setelah itu, seorang peneliti harus mengetahui apa saja yang belum dibicarakan, dan dari sinilah akan diperoleh kontribusi dari hasil penemuan penelitian.
C.  Pendekatan Sosiologi
  1. Sekilas tentang Perkembangan Sosiologi
Semenjak kelahirannya, sosiologi concern dengan studi agama, meskipun perhatiannya terkadang menguat dan melemah. Karya-karya founding fathers sosiologi, termasuk Comte, Durkheim, Max dan Weber, sering mengacu pada wacana-wacana sosiologis atau studi perilaku dan sistem keyakinan keagamaan. Namun demikian, pada pertengahan abad 20, para sosiolog di Erofa atau Amerika Utara melihat bahwa agama memiliki signifikansi marginal dalam dunia sosial, dan sosiologi agama bergerak dalam garis tepi studi sosiologis.
Seiring dengan datangnya postmodernitas (high or late modernity) dan bangkitnya agama dalam beragam konteks global, agama kembali memperoleh signifikansi sosiologis baik dalam masyarakat yang sedang berkembang maupun di Erofa dan Amerika Utara. Konsekuensinya studi sosiologi terhadap agama mulai keluar dari garis tepi disiplinnya dan memanifestasikan tumbuhnya minat pada mainstreamsosiologis yang memfokuskan perhatiannya sekitar persoalan ekologi dan perwujudan, gerakan dan protes sosial, globalisasi, nasionalisme dan postmodernitas.
Menurut anggapan umum, Aguste Comte dan Henri Saint Simon adalah pendiri sosiologi. Bagi Comte, sosiologi mengikuti jejak ilmu alam. Observasi empiris terhadap masyarakat manusia akan melahirkan kajian rasional dan positivistik mengenai kehidupan sosial yang akan memberikan prinsip-prinsip pengorganisasian bagi ilmu kemasyarakatan. Dalam pandangan Comte, bentuk positivistik konsepsi sosiologis akan membawa konsekuensi hilangnya agama dan teologi sebagai model prilaku dan keyakinan dalam masyarakat modern.
Sedangkan Durkheim, dalam kajian sosiologinya memfokuskan agama pada aspek fungsi, di mana agama dilihatnya sebagai jembatan ketegangan dengan suku atau kelompok lain, karena agama seringkali melahirkan keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat dalam suatu proyeksi kebersamaan, sekumpulan nilai dan tujuan sosial bersama. Kondisi inilah yang memperkuat fanatisme kelompok sosial sehingga saat berhadapan dengan kelompok lain yang berbeda agama, akan sangat mudah memunculkan ketegangan antar kelompok.
Setelah Durkheim, kajian sosiologi terhadap agama mengalami perkembangan yang cukup signifikan, misalnya muncul para sosiolog yang bernama Talcott Parsons, Robert Bellah, Bryan Wilson, Karl Marx, Max Weber dan beberapa sosiolog lainnya yang cukup serius mengkaji agama dengan pendekatan sosiologi, kendatipun banyak diantaranya yang memperkuat paham sekuler.
  1. Karakteristik Dasar Pendekatan Sosiologi
Teorisasi sosiologis tentang karakteristik agama serta kedudukan dan signifikansinya dalam dunia sosial, mendorong untuk ditetapkannya serangkaian kategori sosiologis, meliputi:
  1. Stratifikasi sosial, seperti kelas dan etnisitas
  2. Kategori biososial, seperti seks, gender, perkawinan, keluarga, masa kanak-kanak dan usia.
  3. Pola organisasi sosial meliputi politik, produksi ekonomis, sistem pertukaran dan birokrasi.
  4. Proses sosial, seperti formasi batas, relasi intergroup, interaksi personal, penyimpangan dan globalisasi.
Peran kategori-kategori dalam studi sosiologi terhadap agama ditentukan oleh pengaruh paradigma utama tradisi sosiologi dan oleh refleksi empiris dari organisasi dan perilaku keagamaan. Paradigma fungsionalis yang mula-mula berasal dari Durkheim dan kemudian di-kembangkan oleh sosiolog Amerika Utara Talcott Parsons, secara khusus memiliki pengaruh kuat dalam sosiologi agama. Parsons melihat bahwa masyarakat adalah suatu sistem sosial yang dapat disamakan dengan ekosistem. Bagian-bagian unsur sistem sosial memiliki fungsi esensial kuasi organik yang memberikan kontribusi terhadap kesehatan dan vitalias sistem sosial serta dapat menjamin kelangsungan hidup manusia.
Sedangkan bagi Bryan Wilson, agama memiliki fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifesnya adalah memberikan keselamatan identitas personal dan jiwa bagi laki-laki dan perempuan. Sedangkan fungsi latennya adalah memberdayakan personal dan spiritual dalam menghadapi gangguan emosionalinner, kondisi spiritual dan upaya untuk menghadapi ancaman keimanan dan penyembahan.
Untuk mendapatkan gambaran dari persoalan-persoalan yang di kaji, para sosiolog menggunakan dua corak metodologi penelitian, yaitu kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dalam sosiologi agama disandarkan pada skala besar survey terhadap keyakinan keagamaan, nilai-nilai etis dan praktik kehadiran di gereja. Pendekatan seperti ini digunakan oleh Rodney Stark dan William Bainbridge dalamThe Futureof Religion saat mengumpulkan sejumlah besar database statistik nasional dan regional tentang kehadiran di gereja dan keanggotaan peribadatan dalam upaya menghasilkan teori sosial yang telah direvisi mengenai posisi agama dalam masyarakat modern. Sedangkan penelitian kualitatif terhadap agama disandarkan pada komunitas atau jama’ah keagamaan dalam skala kecil dengan menggunakan metode seperti pengamatan partisipan atau wawancara mendalam. Metode ini diprakarsai oleh Max Weber[7] dan kemudian disempurnakan oleh Ernst Troeltsch dari Jerman.
Jelasnya bahwa dua metode tersebut (kuantitatif dan kualitatif) dapat digunakan untuk meneliti agama melalui pendekatan sosiologi.
  1. Obyek Kajian dalam Pendekatan Sosiologi
Menurut M. Atho Mudzhar,[8] pendekatan sosiologi agama dapat mengambil beberapa tema atau obyek penelitian, seperti:
  1. Studi tentang pengaruh agama terhadap perubahan masyarakat.
  2. Studi tentang pengaruh struktur dan perubahan masyarakat ter-hadap pemahaman ajaran atau konsep keagamaan.
  3. Studi tentang tingkat pengalaman beragama masyarakat.
  4. Studi pola interaksi sosial masyarakat muslim.
  5. Studi tentang gerakan masyarakat yang membawa paham yang dapat melemahkan atau menjunjung kehidupan beragama.
Setiap tema yang dikaji, setidaknya tetap relevan dengan teori sosiologi, baik teori fungsionalisme, konflik maupun interaksionalisme. Teori fungsionalisme dan konflik bekerja dengan cara analisis makro sosiologi yaitu memfokuskan perhatiannya pada struktur sosial. Adapun teori interaksionalisme dengan cara analisis mikro, yaitu lebih mem-fokuskan perhatiannya pada karakteristik personal dan interaksi yang terjalin antar individu.
  1. Contoh Penelitian yang Menggunakan Pendekatan Sosiologi
Satu contoh penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi, seperti yang dijelaskan Atho Mudzhar tentang Mesjid dan Bakul Keramat: Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Bugis Amparita. Judul tersebut diteliti dengan menggunakan metode grounded research. Penelitian ini mempelajari bagaimana tiga kelompok keagamaan di mana orang-orang Islam, orang-orang Towano Tolitang, dan orang-orang Tolitang Benteng di desa Amparita Sulawesi Selatan, berinteraksi satu sama lain, kadang dalam bentuk konflik, terkadang kerjasama, dan terkadang juga dalam bentuk integrasi.[9]
Penelitian itu menemukan bahwa konflik antar ketiga kelompok itu bermula dari soal keagamaan, kemudian bertambah intens setelah dimasuki unsur politik. Setelah itu, berbagai pranata sosial seperti perkawinan, pendidikan agama, aturan makanan dan lainnya berfungsi melesatarikan konflik tersebut. Itulah di antara hasil penelitian agama yang menggunakan metodologi penelitian grounded researchmelalui pendekatan sosiologi.
D.  Penutup
Setelah menguraikan secara singkat kedua pendekatan di atas, dapat dijelaskan bahwa pendekatan antropologi dan sosiologi sama-sama mengkaji manusia (masyarakat) dan hal-hal yang terkait dengannya. Sedangkan pada lingkup agama, kedua pendekatan tersebut memiliki perbedaan pada fokus atau obyeknya. Kajian agama yang menggunakan pendekatan antropologi lebih terfokus pada naskah dan simbol agama, para penganut atau pemuka agamanya, ritus dan lembaga serta ibadatnya, alat-alat, serta organisasi keagamaannya. Sedangkan kajian agama yang menggunakan pendekatan sosiologi lebih terfokus perhatiannya pada fungsi, konflik dan interaksi yang ada dalam kehidupan beragama.
E.   Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006.
Agus, Bustanuddin, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006.
Connolly, Peter (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS, 2002.
Mudzhar, M. Atho, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Mudzhar, M. Atho, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999
Olson, Carl, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, Canada: Thomson Wadsworth, 2003.
Pals, Daniel L. (ed), Seven Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 1996.

[1] Lihat Daniel L. Pals (ed), Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 1.
[2] Lihat David N. Gellner dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta:LKiS, 2002), hlm. 15.
[3] Abd. Shomad dalam M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama, Pendekatan Multidisipliner, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 62.
[4] Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2006), hlm. 18.
[5] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 15.
[6] Ibid. hlm. 60.
[7] Lihat lengkapnya dalam Carl Olson, Theory and Method in the Study of Religion; a Selection of Critical Readings, (Canada: Thomson Wadsworth, 2003), hlm. 229.
[8] M. Atho Mudzhar, Studi Hukum Islam dengan Pendekatan Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 15 September 1999.
[9] Lihat lebih lengkapnya dalam M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam… hlm. 127-228.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: