Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Pendidikan Anak Prasekolah


Persoalan serius yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah merosotnya budaya dan karakter bangsa. Bangsa Indonesia yang dulu dikenal memiliki karakter gotong royong yang sangat kuat, saat ini sudah sangat sulit ditemukan karakter tersebut. Indonesia masa lalu juga dikenal memiliki semangat juang yang tinggi, hanya bermodalkan Bambu Runcing, mereka berani melawan penjajah yang menggunakan senjata-senjata modern. Selain itu, dalam konteks lokal, bangsa Indonesia memiliki berbagai karakter yang unik dan membanggakan. Misalnya, etnis Jawa memiliki karakter yang cukup khas seperti sopan, segan, pintar menyimpan perasaan, memiliki etika berbicara dengan berbagai tingkatan, dan lain sebagainya. Pada etnis Sunda, karakternya lebih dikenal dengan istilah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer(mawas diri), dan pinter (pandai atau cerdas). Karakter etnis Sunda telah ada sejak zaman Salakanagara sampai pada Pakuan Pajajaran yang mengantarkan kemakmuran dan kesejahteraan pada etnisnya lebih dari 1000 tahun.[1]
Dalam suku Batak, karakter atau nilai budaya yang cukup dikenal, diantaranya, seperti hagabeon (selalu berharap yang baik-baik), hamoraan (keseimbangan spiritual dengan material), uhum (sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan), dan ugari (setia kepada janji), pengayoman serta marsisarian (saling mengerti, menghargai, dan saling membantu). Sementara di dalam suku Melayu, budaya yang mereka miliki, seperti tahu diri, sadar diri, sadar diuntung, dan mempunyai harga diri yang selalu diajarkan pada anak mereka. Dari keempat nilai tersebut, lahirlah karakter suku Melayu yang bersifat merendah, pemalu atau penyegan, suka damai atau toleransi, sederhana, periang, dan bersifat mempertahankan harga diri.
Dari empat contoh karakter yang dimiliki oleh suku-suku di atas, menunjukkan bahwa secara umum karakter bangsa Indonesia pada masa lalu cukup baik dan membanggakan. Karakter sebagai moral excellence atau akhlak yang dibangun di atas berbagai kebajikan (virtues) yang pada gilirannya hanya memiliki makna apabila dilandasi dengan nilai-nilai yang berlaku dalam budaya bangsa. Karakter bangsa Indonesia adalah karakter yang dimiliki oleh warga Indonesia berdasarkan tindakan-tindakan yang dinilai sebagai suatu kebajikan berdasarkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.[2] Apabila parameter ini dijadikan sebagai acuan dalam menilai karakter bangsa saat ini, jelas bangsa Indonesia sedang dilanda crisis nation character.
Berbagai krisis karakter yang sedang dialami bangsa Indonesia pada dasarnya disebabkan oleh rusaknya individu-individu di masyarakat yang terjadi secara kolektif, sehingga terbentuk menjadi sebuah budaya. Dari budaya inilah yang kemudian membentuk sebuah karakter yang sulit untuk dirubah. Misalnya saja, mentalitas korupsi yang telah membudaya mulai dari lembaga pemerintahan hingga ke lapisan masyarakat bawah sepertinya telah menjadi karakter bangsa ini. Begitu juga sifat masyarakat Indonesia yang digambarkan Mochtar Lubis,[3] seperti: hipokrik/munafik, segan dan kurang bertanggungjawab, mentalfeodal, percaya tahayul, artistik, berwatak lemah, boros, pemalas, pengkhayal, tidak sabar, cepat cemburu dan dengki, mudah merasa puas dan bangga, egois dan peniru, semua sifat tersebut sulit dirubah karena sudah membudaya dan menjadi karakter masyarakat Indonesia.
Crisis nation character yang sedang dialami saat ini merupakan salah satu indikator belum berhasilnya pendidikan yang telah diusung. Penilaian seperti ini sangat banyak diucapkan oleh pengamat dan pakar pendidikan di Indonesia,[4] karena pendidikan yang telah dilaksanakan ternyata belum mampu untuk membentuk karakter bangsa yang lebih baik. Salah satu faktor penyebabnya menurut Ketut Sumarta,[5]karena pendidikan nasional masih cenderung menonjolkan pembentukan kecerdasan berpikir (kognitif) dan menepikan kecerdasan rasa, kecerdasan budi bahkan juga kecerdasan batin. Akibatnya, lahirlah manusia-manusia yang berotak pintar, manusia yang berprestasi secara kuantitatif akademik, namun tidak ada berkecerdasan budi, masih sangat tergantung, tidak merdeka, dan tidak mandiri. Manusia seperti ini termasuk manusia yang akan sulit berhasil di dalam dunia kerja maupun di masyarakat. Hal ini cukup sejalan dengan hasil penelitian Daniel Goleman (1995),[6] yang menyimpulkan bahwa keberhasilan seseorang dalam masyarakat ternyata 80%-nya dipengaruhi oleh kecerdasan emosional dan lainnya, hanya 20% saja yang ditentukan oleh kecerdasan otak. Bahkan di dalam keberhasilan kerja, kecerdasan intelektual hanya berkontribusi 4% saja. Bahkan Daniel Goleman menegaskan,[7] bahwa intelektual tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa ditopang oleh kecerdasan emosional.
Lebih jauh Goleman menjelaskan bahwa emosi itu merupakan mesin penggerak dari sebuah tindakan. DalamThe Nicomachea Ethics, Aristoteles pernah mengatakan bahwa emosi itu jika dilatih dengan baik, ia akan bisa melahirkan kebijaksanaan, sebab emosional atau nafsu itu akan membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup manusia.[8] Goleman merumuskan emosi itu pada delapan kelompok, yaitu:
  1. Amarah, terdiri dari rasa beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, berang, tersinggung, dan bermusuhan.
  2. Kesedihan, terdiri dari rasa pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat.
  3. Rasa takut, terdiri dari rasa cemas, takut, gugup khawatir, waswas, perasaan takut sekali, khawatir, waspada, sedih, tidak tenang, ngeri.
  4. Kenikmatan, yang terdiri dari rasa bahagia, gembira, ringan, puas, riang, senang, terhidup, bangga, kenikmatan, indrawi, takjub, rasa terpesona, dan rasa terpesona.
  5. Cinta, terdiri dari penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih.
  6. Terkejut, terdiri dari terkejut, terkesiap, takjub, dan terpana.
  7. Jengkel, terdiri dari rasa hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka, dan mau muntah.
  8. Malu, terdiri dari rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur.[9]
Berdasarkan cakupan emosional yang cukup luas di atas, wajar saja jika Goleman berkeyakinan bahwa kecerdasan emosional itu lebih dominan dalam menentukan keberhasilan seseorang. Jika demikian realitanya, maka dalam penyelenggaraan pendidikan, tidak semestinya aspek kognitif yang lebih diprioritaskan. Sebab berdasarkan analisa dari pemerhati pendidikan di Indonesia, kekeliruan pendidikan masa lalu terletak pada kurikulum yang telah dirumuskan. Setiap pergantian atau revisi kurikulum yang dilakukan, masih tetap saja aspek kognitif yang lebih diutamakan. Padahal, mungkin hanya sekitar 10-20% saja anak-anak cerdas yang mampu untuk menyerap kurikulum seperti itu, selebihnya adalah mereka yang kurang mampu untuk mengikuti pelajaran secara baik di sekolah.
Implikasi negatif dari model kurikulum tersebut akan menciptakan mental anak yang merasa “bodoh” sejak duduk di bangku sekolah. Lebih parah lagi, dengan adanya sistem ranking, anak yang berada di bawah urutan 10 benar-benar merasa “bodoh” dan hilang rasa percaya dirinya. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan tumbuh mental mudah putus asa, kurang percaya diri, dan stress yang berkepanjangan. Sementara pada usia remaja, keadaan seperti itu biasanya akan mendorong pada perilaku yang negatif. Tidak heran jika hasil pendidikan dengan model kurikulum seperti di atas, telah melahirkan perilaku remaja yang mudah tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, korupsi, manipulatif, dan tidak tahu malu. Bahkan perbuatan yang dianggap memalukan tersebut bisa menjadi kebiasaannya.[10]
Berdasarkan fenomena dan implikasi dari hasil pendidikan selama ini, akhirnya pemerintah akan melakukan revisi kurikulum kembali, yaitu kurikulum yang berbasiskan karakter.[11] Maksud dari revisi tersebut adalah untuk menekan dan meminimalisir aspek kognitif di dalam kurikulum dan berupaya untuk menyeimbangkan bahkan melebihkan aspek apektif dan psikomotorik. Atas dasar itu, maka pendidikan karakter yang diwacanakan ini tidak akan dijadikan sebagai materi pelajaran, karena dikhawatirkan akan menjadi materi yang bersifat kognitif.[12] Berbeda dengan materi ajar yang bersifat mastery, seperti halnya suatuperformance content di dalam kompetensi, maka materi pendidikan karakter lebih bersifat developmental. Materi pendidikan yang bersifat developmental tersebut menghendaki proses pendidikan yang cukup panjang dan bersifat saling menguatkan (reinforce) antara kegiatan belajar dengan kegiatan lainnya, antara proses belajar di kelas dengan kegiatan kurikuler di sekolah dan luar sekolah.[13]
Pendidikan yang berbasis karakter tersebut akan dimulai pada jenjang pendidikan sekolah dasar, kemudian dilanjutkan pada jenjang berikutnya hingga perguruan tinggi. Namun permasalahannya, jika model pendidikan karakter tersebut hanya dilakukan di lingkungan sekolah saja, rasanya masih sulit untuk memperoleh hasil yang maksimal, karena waktu yang tersedia masih sangat terbatas. Dalam buku Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama,[14] dijelaskan bahwa seorang anak mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar tujuh jam setiap hari, atau kurang dari 30% waktu yang digunakannya untuk belajar. Sementara lebih dari 70% waktu anak dihabiskan dalam keluarga dan masyarakat. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi paling besar 30% saja terhadap hasil pendidikan anak. Belum lagi jika dibagi dengan waktu libur atau hal lain yang menyebabkan anak tidak sekolah, jelas prosentasenya semakin kecil dari perhitungan di atas.
Untuk itu, agar pendidikan karakter berhasil dan bisa melahirkan manusia yang berkarakter, lingkungan pendidikan harus menggandeng dan mendapatkan dukungan dari keluarga dan masyarakat. Keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan utama harus terlebih dahulu menanamkan karakter kepada anak-anaknya. Sementara sekolah dapat mengambil peran sebagai tempat pengembangan, dan masyarakat bisa berperan sebagai tempat pendewasaan dan pematangan karakter anak.
Dari ketiga pusat pendidikan tersebut, berarti pendidikan karakter anak di dalam keluarga menjadi sangat penting dan tidak dapat diabaikan semua pihak. Ada alasan-alasan yang menunjukkan pentingnya pendidikan karakter dalam keluarga, antara lain:
  1. Dasar-dasar kelakuan dan kebiasaaan anak tertanam sejak di dalam keluarga.
  2. Anak menyerap adat istiadat dan prilaku kedua orangtuanya dengan cara meniru atau mengikuti disertai rasa puas.
  3. Pendidikan dalam keluarga berjalan secara natural, alami, dan tidak dibuat-buat.
  4. Pendidikan dalam keluarga berlangsung dengan penuh cinta kasih dan keikhlasan.
  5. Keluarga adalah unit pertama dalam masyarakat, dimana hubungan yang ada di dalamnya, sebagian besar bersifat hubungan langsung.[15]
Berdasarkan alasan di atas, jelaslah pendidikan di dalam keluarga itu sangat penting untuk membentuk karakter dasar anak. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Benyamin S. Bloom, Keith Osborn, dan Burton L. White dari Universitas Chicago Amerika Serikat pada tahun 1965 telah menyimpulkan bahwa perkembangan anak terjadi sangat pesat di tahun-tahun awal kehidupannya. Data empirik menunjukkan bahwa sebanyak 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi pada masa anak berusia 4 tahun, dan peningkatan berikutnya sekitar 30% terjadi pada masa anak berusia 8 tahun, kemudian sisanya sekitar 20% terjadi di atas usia 20 tahun. Hasil penelitian Bloom tersebut menunjukkan bahwa rangsangan belajar masa anak usia prasekolah telah memberikan kontribusi dan pengalaman yang sangat signifikan bagi perkembangan anak di masa selanjutnya.[16]
Hasil penelitian Bloom di atas menjadi salah satu pijakan utama yang mengatakan bahwa usia anak prasekolah disebut sebagai golden age. Para psikolog berkeyakinan bahwa pada masa golden age itu, kecerdasan intelektual dan emosional anak sangat pesat perkembangannya. Pada usia ini pula, terbuka peluang yang sangat besar untuk membentuk akhlak mulia pada anak.[17] Menurut Froebel,[18] apabila orang dewasa mampu menyediakan suatu taman yang dirancang sesuai dengan potensi dan bawaan anak, maka anak akan berkembang secara wajar. Bahkan bagi Santrock dan Yussen,[19] masa anak-anak merupakan masa kehidupan yang penuh dengan kejadian penting dan unik (a highly eventful and unique period of life) yang dapat meletakkan fondasi penting untuk masa-masa kehidupan selanjutnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, semakin memperkuat hasil penelitian Bloom, Osborn, dan White bahwa masa anak usia prasekolah merupakan masa-masa emas yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membentuk karakter anak. Sebagai langkah antisipatif yang dilakukan untuk memaksimalkan pendidikan anak masa golden age, pemerintah telah menggalakkan Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD, baik jalur formal maupun non-formal. Penyelenggaraan PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK)/Raudhatul Atfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk anak usia 4 – ≤ 6 tahun. Sedangkan penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan non-formal berbentuk Taman Penitipan Anak (TPA) dan bentuk-bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk anak usia 0 – < 2 tahun, 2 – <4 tahun, 4 – ≤ 6 tahun, dan Program Pengasuhan untuk anak usia 0 – ≤ 6 tahun; Kelompok Bermain (KB) dan bentuk lainnya yang sederajat, menggunakan program untuk anak usia 2 – < 4 tahun dan 4 – ≤ 6 tahun.[20]
Penyelenggaraan PAUD di atas mengacu kepada hasil pertemuan Forum Pendidikan Dunia pada tahun 2000 yang dilaksanakan di Dakar, Senegal. Hasil pertemuan tersebut telah menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua (The Dakar Framework for Action Education for All), yang salah satu bunyi dari butirnya itu adalah memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak yang rawan dan kurang beruntung.[21] Dengan lahirnya PAUD ini, orang tua merasa terbantu untuk mendidik anak-anak mereka. Namun, meskipun demikian, tugas orang tua dalam keluarga tidak dapat terwakilkan untuk mendidik anak mereka, karena fungsi orang tua di dalam keluarga menyangkut seluruh aspek kehidupan seorang anak. Dalam konteks ini, keluarga tetap menjadi tempat pertama dan paling utama di dalam mendidik karakter anak.
Metode yang digunakan oleh orang tua dalam mendidik anaknya di rumah sangatlah banyak ragamnya, seperti metode keteladanan, latihan dan pembiasaan, nasehat, memberikan perhatian/pengawasan, kisah dan cerita, mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa dan kejadian, memanfaatkan waktu luang, pemberian motivasi, pemberian hukuman, dan lain sebagainya. Metode-metode tersebut ada yang dominan digunakan, tetapi ada juga yang dikombinasikan. Penggunaan metode pendidikan tersebut sangat disesuaikan dengan kemampuan orang tua, termasuk juga mendidik atau menanamkan karakter anak di usia prasekolah.
Proses pendidikan anak di dalam keluarga merupakan transformasi nilai secara informal dalam masyarakat. Hasil dari pendidikan keluarga ini akan menjadi cerminan dari sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat. Transformasi nilai tersebut pada gilirannya akan berdampak pada perubahan tatanan sosial dan sistem nilai. Perubahan sistem nilai ini telah terjadi pada etnis Melayu Sambas. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut, diantaranya adalah:
Pertama, Sambas merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Dalam kehidupannya sehari-hari, masyarakat Melayu Sambas lebih banyak dipengaruhi oleh budaya Melayu Malaysia dibanding budaya Indonesia. Apalagi pada masa lalu, acara televisi yang dapat menjadi tontonan lebih mudah di dapat dari acara televisi Malaysia dari pada TVRI. Dari aspek ekonomi, masyarakat Sambas umumnya lebih banyak bekerja di negara tersebut di banding ke negara-negara lain di dunia. Apalagi bagi mereka yang berada di daerah perbatasan Aruk dan Sajingan, masyarakatnya lebih mengenal budaya, produk, dan mata uang Malaysia dibanding Indonesia. Bahkan dalam berbelanja, mereka sering menggunakan uang Ringgit Malaysia ketimbang Rupiah Indonesia.[22] Gempuran budaya ini semakin mengikis rasa nasionalisme mereka pada bangsa Indonesia.
Kedua, Melayu Sambas mengalami pergesekan budaya dengan etnis lain yang datang ke wilayah Sambas. Secara umum, etnis Melayu Sambas memiliki tingkat ekonomi yang lebih rendah di banding etnis lain seperti Cina atau Madura. Selain itu, dari aspek tata krama, karakter, dan lainnya juga berbeda dengan etnis-etnis yang datang ke Sambas. Misalnya, karakter Madura lebih keras di banding karakter Melayu suka mengalah atau yang lebih suka menghindari konflik. Dari berbagai gesekan perbedaan tersebut, akhirnya tahun 1999, terjadi konflik besar-besaran yang telah mengorbankan ribuan nyawa manusia dari kedua etnis yang bertikai. Tragedi konflik ini ternyata sangat berpengaruh terhadap perubahan karakter Melayu Sambas.
Ketiga, arus modernisasi dan globalisasi ternyata juga telah melanda masyarakat Melayu Sambas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, cukup merepotkan di kalangan orang tua untuk mempertahankan budaya dan sistem nilai yang telah mereka warisi dari leluhurnya.
Pengaruh dari faktor-faktor di atas ternyata telah merubah pola hidup, tatanan sosial, dan sistem nilai pada masyarakat Melayu Sambas. Perubahan tersebut juga merambah pada cara atau metode pendidikan orang tua kepada anak-anaknya. Pada saat ini, kebanyakan orang tua telah mempercayakan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan formal maupun non formal. Peranan dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik anak semakin berkurang. Akibatnya, lahirlah karakter-karakter anak yang sudah semakin menjauh dari nilai-nilai unggul warisan leluhurnya. Padahal, jika bercermin dari sejarah masa silam, Sambas disebut sebagai Serambi Mekah lantaran berbagai keunggulan yang dimiliki. Salah satu keunggulan dimaksud adalah ketinggian dan kemuliaan sifat dan akhlak yang menjadi karakter warga masyarakatnya. Karakter masyarakat Melayu Sambas yang sangat dikenal, seperti sabar dan pemaaf, sangat menghormati tamu, sangat sopan, berketurunan baik,[23] dan taat menjalankan ajaran agama. Dengan karakter yang unggul ini, tidak sedikit orang tua atau ibu-ibu Melayu yang menjadi orang tua angkat dari bayi-bayi keturunan Cina. Para wanita berketurunan Cina sering menawarkan bayinya untuk dipelihara atau diasuh oleh orang-orang Melayu,[24] dengan tujuan agar anak-anak mereka memiliki karakter yang baik seperti karakternya orang Melayu Sambas.
Keunggulan karakter masyarakat Melayu Sambas pada masa silam, umumnya ditransformasikan melalui pendidikan dalam keluarga. Orang tua sudah mulai mendidik anak mereka sejak dalam kandungan. Seorang isteri yang sedang hamil diberikan pantangan,[25] seperti tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak baik, misalnya marah, mencaci maki, berbohong, asal ngomong, melamun, malas-malasan, banyak tidur, berpakaian yang tidak sopan (sembarangan), makan dan minum yang tidak halal. Suami dan isteri juga dilarang menyembelih hewan, bersedih, mengikatkan kain handuk atau sejenisnya pada leher, makan kulit sapi, kulit ikan pari, terong asam, dan rabong. Apabila keluar malam hari, harus membawa pekaras seperti paku, parang dan sejenisnya (logam), membawa puntongan kayu yang masih ada apinya, dan memakaitapeh berwarna hitam.[26]
Setelah anak lahir, yang laki-laki diadzankan sementara perempuan diiqamatkan. Dalam masa ayunan, anak selalu ditidurkan dengan nyanyian “lailahaillallah”. Ketika anak sudah bisa berkomunikasi dengan orang tua, anak mulai dididik dengan berbagai pantangan, seperti tidak boleh makan Tebu pada matahari terbenam (sarap malam), tidak boleh tidur pada waktu maghrib (sarap malam), tidak boleh duduk atau berdiri di depan pintu teras, tidak boleh menjahit pada malam hari, tidak boleh tidur mendengkur, tidak boleh bertelingkap di lantai, tidak boleh berada di luar rumah pada waktu shalat maghrib,[27] tidak boleh memotong kuku atau rambut pada malam hari, dan lain sebagainya.
Selain itu, orang tua juga mendidik anaknya cara bersopan santun di dalam berbicara dan berperilaku terhadap yang lebih tua, termasuk kepada kedua orang tuanya. Anak juga dididik melalui cerita-cerita rakyat seperti “Pak Salui”, “Tang Nunggal Jadi Raja”, “Batu Betarup”, “Anak Hantu”, “SiMiskin dan Anaknya”, “Batu Ballah Batu Betangkup”, dan lain sebagainya. Cerita-cerita tersebut mengandung nilai edukasi dan moral yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai teladan bagi anak-anak Melayu Sambas.
Namun sayangnya, nilai-nilai unggul yang diajarkan orang tua kepada anaknya di atas sudah berangsur punah saat ini, lantaran disebabkan oleh beberapa faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Hanya sebagian kecil dari masyarakat Melayu Sambas yang masih melakukannya dengan metode dan materi yang jauh berkurang jika dibandingkan pada masa lalu. Meskipun demikian, permasalahan ini tetap menarik untuk diteliti karena metode dan materi pendidikan masa lalu itulah yang mampu menunjukkan ketinggian dan kemuliaan karakter masyarakat Melayu Sambas sehingga Sambas lebih dikenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Selain penelitian seperti ini belum pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu, kajian akademik terhadap sistem nilai di dalam pendidikan juga memungkinkan semakin kuatnya agumentasi pelestarian model pendidikan karakter di tengah terpaan globalisasi dan modernisasi yang sedang melanda budaya masyarakat di Indonesia. Pada sisi lain, penelitian seperti ini dapat menunjukkan betapa besarnya kontribusi yang disumbangkan oleh orang tua untuk sukses dan berhasilnya pendidikan karakter di sekolah kelak.
Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan sebagai salah satu ikhtiar dalam mengkaji dan mengungkap keunggulan lokal (local genius) mengenai dasar nilai dan norma yang terdapat di dalam pola pendidikan karakter anak usia prasekolah pada masyarakat Melayu Sambas. Dasar nilai dan norma tersebut menempati posisi yang sangat penting di dalam struktur masyarakat tradisional yang pada saat ini masih dipertaruhkan eksistensinya akibat berbagai desakan perubahan budaya di sekitarnya.
Note: Tulisan ini adalah latar belakang dari proposal Disertasi saya

[1]Lihat Watak Budaya Sunda, dalam http://www.kasundaan.org, diakses tgl. 19 Desember 2011.
[2]Tim Penulis, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, (Jakarta: Kemendiknas, 2010), hlm. ii.
[3]Mochtar Lubis, Manusia Indonesia; Sebuah Pertanggungjawaban, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 23-45. Lihat juga di dalam Adnan, Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jakarta Timur: Sedaun, 2011), hlm. 28.
[4]Misalnya, Doni Koesoema menyatakan dengan kiasan gagalnya pendidikan di Indonesia bahwa selama ini telah ada penyakit kronis dalam tubuh pendidikan Indonesia yang mengancam jiwa orang lain dan siswa sendiri. Penyakit itu adalah tawuran antar pelajar, kekerasan, dan tindak kejahatan. Lihat Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT. Grasindo, 2007), hlm. 286.
[5]Ketut Sumarta I, Pendidikan yang Memekarkan Rasa, Sindhunata (ed.), Membuka Masa Depan Anak-anak Kita; Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI, (Jogjakarta: Kanisius, 2000), hlm. 181.
[6]Daniel Goleman, (1995), Emotional Intelligence, Alih Bahasa oleh, T. Hermaya, Kecerdasan Emosional, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 53.
[7]Ibid., hlm. 38.
[8]Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence, Alih Bahasa oleh, Alex Tri Kantjono Widodo, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 106.
[9]Daniel Goleman, Emotional…, hlm. 411.
[10]Russell T. Williams dan Ratna Megawangi dalam Adnan, Pendidikan Karakter di …, hlm. 98.
[11]Sebenarnya kurikulum berbasis karakter yang direncanakan tersebut hampir sama dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang dilandasi dengan nilai-nilai budi pekerti. Namun sayangnya, belum sempat dilaksanakan secara maksimal, kurikulum yang berbasis budi pekerti tersebut dinyatakan telah habis masa uji cobanya.
[12]Lihat Tim Penulis, Pengembangan Pendidikan Budaya…, hlm. iii.
[13]Ibid., hlm. ii.
[14]Kemendiknas, Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, (Jakarta: Dirjen MPDM, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2010), hlm. 22.
[15]Alghoniya, Mendidik Anak Berkarakter Islami, lihat dalam http://alghoniyablogspot.com/, diakses tgl. 19 Desember 2011.
[16]Lihat Faisal Jalal, “Dari IQ Menuju Ragam Kecerdasan”, Buletin PADU JurnalIlmiah Anak Dini Usia, Vol. 2, (Jakarta: Direktorat PADU, 2003), hlm. 14.
[17]Bambang Trim, Menginstall Akhlak Mulia, (Bandung: MQS Publishing, 2005), hlm. 4.
[18]Froebel dalam Roopnaire, J.L. & Johnson J.E, Approaches to Early Childhood Education, (New York: Charles E.Merril Publishing Co, 1993), hlm. 57.
[19]Santrock, J.W. & Yussen, S.R, Child Development, 5 th, Ed. Dubuque, IA, Wm, C. Brown, (1992), hlm. 132.
[20]Peraturan Menteri Nomor 58, Standar Pendidikan Anak Usia Dini, (Jakarta: Menteri Pendidikan Nasional, 2009), hlm. 1.
[21]Faisal Jalal, “Pendidikan Anak Dini Usia, Pendidikan yang Mendasar”, Buletin PADU Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia, Vol. 1, (Jakarta: Direktorat PADU, 2002), hlm. 9.
[22]Pabali, dkk. Eksistensi Budaya Lokal dan Rasa Kebangsaan pada Masyarakat Perbatasan Kalimantan BaratTranskrip Wawancara Penelitian Strategis di Aruk, Jagoi Babang dan Badau, (Pontianak: Lembaga Penelitian Universitas Tanjungpura, 2009), hlm. 31.
[23]Lihat Urai Husna Asmara dalam Pabali H. Musa, Sejarah Kesultanan Sambas Kalimantan Barat, Kajian Naskah Asal Raja-raja dan Salsilah Raja Sambas, (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2003), hlm. 22.
[24]Muhammad Rahmatullah, Pemikiran Fikih Maharaja Imam Kerajaan Sambas Muhammad Basiuni Imran (1885-1976), (Pontianak: Bulan Sabit Press, 2003), hlm. 39.
[25]Pantangan adalah larangan yang harus dihindari oleh seseorang. Bagi ibu yang sedang hamil, ia harus menghindari pantangan yang sudah membudaya dan diyakini oleh masyarakat.
[26]Rabong adalah tunas bambu yang masih muda. Pekaras adalah alat-alat yang terbuat dari besi atau logam yang dapat dijadikan sebagai senjata untuk membela diri saat situasi darurat. Parang adalah sejenis pisau yang biasanya digunakan untuk memotong rumput di sawah. Puntongan adalah sepotong ranting kayu yang biasa digunakan untuk memasak di dapur. Tapeh adalah kain sarung yang diikatkan atau dipakai di pinggang. Supriadi, Pengembangan Model Pengasuhan Anak dalam Keluarga untuk Memulihkan Sistem Nilai; Studi Kasus pada Masyarakat Melayu Sambas, Disertasi, (Bandung: PPs UPI Bandung, 2010), hlm. 246.
[27]Ibid., hlm. 247-248.

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: