Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Tafsir Maudhu'i Perspektif M. Dawam Rahardjo


#Dr. Adnan, M.S.I.
@Bab I, isi buku

Al-Qur’ân memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nâs (petunjuk bagi manusia) dan sebagai kitab penerang agar manusia bisa keluar dari kegelapan menuju kehidupan yang terang benderang.[1] Proses untuk mencapai kehidupan yang ideal tersebut, manusia harus mengikuti setiap petunjuk yang telah tersedia dalam al-Qur’ân. Namun persoalannya, petunjuk-petunjuk itu masih bersifat umum, bahkan ada yang masih tersembunyi, sehingga diperlukan penafsiran untuk menemukannya.

Usaha untuk menafsirkan al-Qur’ân hingga saat ini telah banyak dilakukan oleh kaum muslim dengan berbagai latar belakang keilmuan dan kepentingan sehingga telah melahirkan corak penafsiran yang sangat variatif. Contoh penafsiran di maksud, seperti tafsîr sûfi, tafsîr falsafi, tafsîr fiqhi, tafsîr ‘ilmi, dan tafsîr adabi.[2] Selain variasi corak tersebut, penafsiran al-Qur’ân juga dilakukan dengan beragam metode, seperti metode tahlîlî, ijmalî, muqâran dan metode maudhû’î.[3] Menurut M. Quraish Shihab, di antara empat metode tersebut, yang paling populer digunakan dalam menafsirkan al-Qur’ân adalah metode tahlîlî dan metode maudhû’î.[4]

Metode tahlîlî merupakan metode yang digunakan untuk menjelaskan muatan atau kandungan ayat-ayat al-Qur’ân dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat al-Qur’ân sebagaimana tercantum di dalam mushaf. Dari metode tahlîlî ini, lahir beberapa tafsir terkemuka dengan corak penafsiran yang sangat variatif, seperti telah disebutkan sebelumnya.[5] Adapun metode maudhû’î merupakan cara menafsirkan al-Qur’ân yang didasarkan pada tema-tema yang dipilih untuk dibahas dan dianalisa kandungannya sehingga menjadi satu-kesatuan yang utuh. Adapun ulama tafsir yang menggunakan metode ini di antaranya Ibnu al-Qayyîm dengan karyanya berjudul al-Tibyân fi Aqsam al-Qur’ân,[6] Mahmûd ‘Abbas al-Aqqâd dengan karyanya al-Insân fi al-Qur’ân dan al-Mar’ah fi al-Qur’ân,[7] Abû al-A’lâ Al-Maudûdî dengan karyanya al-Riba,[8] dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia, penafsiran al-Qur’ân yang menggunakan metode maudhû’î di antaranya Wawasan al-Qur’ân karya M. Quraish Shihab, dan Ensiklopedi al-Qur’ân karya M. Dawam Rahardjo.[9]

Hadirnya tafsir-tafsir dengan berbagai corak dan metode yang jumlahnya sudah cukup banyak hingga saat ini, tidak berarti al-Qur’ân telah final ditafsirkan. Peluang untuk menafsirkan al-Qur’ân tetap saja terbuka bagi siapa saja yang memiliki keinginan terhadapnya. Sebab, semakin kompleks persoalan manusia atau semakin majunya perkembangan zaman, usaha untuk memahami petunjuk Allah semakin terasa diperlukan.

Walau demikian, bukan berarti semua orang punya otoritas dan bebas untuk menafsirkan al-Qur’ân. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Misalnya seperti syarat yang diajukan Mannâ’ Khalil al-Qaththân,[10] bahwa ada sembilan syarat yang harus dipenuhi seorang mufasir, yaitu: Akidah yang benar, bersih dari hawa nafsu, terlebih dahulu menafsirkan al-Qur’ân dengan al-Qur’ân, mencari penafsiran dari sunnah, mencari pendapat sahabat jika tidak ditemukan dalam sunnah, mencari pendapat ulama jika tidak didapatkan dari sunnah dan sahabat, mengetahui bahasa Arab dengan segala cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’ân, dan memiliki pemahaman yang cermat dalam menafsirkan al-Qur’ân.

Syarat yang ditujukan kepada seorang mufasir di atas bukan harga mati. Maksudnya, syarat itu bisa berubah sesuai perkembangan zaman. Pada masa lalu, syarat-syarat itu digunakan sebagai upaya kontrol agar tidak ada orang yang menafsirkan al-Qur’ân tanpa memiliki kemampuan pada hal-hal yang dipersyaratkan, dengan tujuan agar tidak terjadinya kekeliruan dalam memahami al-Qur’ân.[11] Sementara dewasa ini, fasilitas pendukung telah banyak tersedia untuk membantu dalam menafsirkan al-Qur’ân,[12] sehingga persyaratan tersebut perlu dipertimbangkan atau dikaji ulang, agar semakin banyak lahirnya para mufasir dari berbagai keahlian.

Dawam Rahardjo adalah salah seorang muslim Indonesia yang telah menafsirkan al-Qur’ân dengan metode tafsir maudhû’î, padahal dia seorang ahli ekonomi dan sosial keagamaan. Jika dikaitkan dengan persyaratan untuk seseorang yang berhak menyandang gelar mufasir, Dawam Rahardjo mengakui belum memenuhi persyaratan tersebut. Kendatipun demikian, dengan modal pendidikan di Madrasah Diniyah yang secara formal sudah pernah belajar bahasa Arab seperti nahwu, sharf, balâgah, tajwîd, dan ilmu tafsir al-Qur’ân, ditambah lagi dengan usahanya belajar secara otodidak dari buku-buku yang ia beli,[13] serta dibantu dengan terjemahan al-Qur’ân dan buku relevan lainnya, Dawam Rahardjo telah berhasil menafsirkan 27 tema dalam al-Qur’ân.

Tidak dipungkiri, apabila ada di antara ahli tafsir yang merasa keberatan bahwa karya Dawam Rahardjo yang berjudul Ensiklopedi al-Qur’ân itu disebut tafsir. Hal ini seperti dikatakan M. Quraish Shihab bahwa tulisan Dawam Rahardjo itu lebih tepat disebut sebagai pemahaman seorang sarjana ilmu sosial terhadap al-Qur’ân,[14] bukan sebuah tafsir. Memang, jika diukur dari metode maudhû’î yang sesungguhnya, karya Dawam Rahardjo belum sepenuhnya memenuhi syarat. Namun, jika penekanan metode maudhû’î bertitik tolak pada tema atau istilah-istilah dalam al-Qur’ân,[15] maka tidak salah jika hasil karya Dawam Rahardjo itu disebut tafsir tematik dalam makna yang sangat sederhana.
Terlepas dari polemik tersebut, Nurcholish Madjid telah memberikan apresiasi terhadap karya Dawam Rahardjo. Menurutnya,[16] tafsir Dawam Rahardjo itu lazimnya seperti sebuah ensiklopedi yang menggunakan pendekatan melalui kata masukan (entries), kemudian ia menjelaskan makna kata itu sebagai simpul dari pandangan dan ajaran-ajaran keagamaan. Selain itu, penafsiran yang dilakukan Dawam Rahardjo juga memiliki nilai kreativitas yang dibentuk oleh lingkungan budaya Indonesia, sehingga memungkinkan lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat Indonesia.

Selain itu, keunikan lainnya yang menarik untuk mendapat perhatian dari penafsiran Dawam Rahardjo adalah sikap rendah hati. Secara implisit ia mengakui bahwa dirinya tidak ahli dalam bidang bahasa Arab. Karena kelemahannya tersebut, dia tidak segan-segan bertanya kepada Ahmad Rifa’i Hasan yang diakuinya sebagai guru yang pandai berbahasa Arab serta menguasai ayat-ayat al-Qur’ân. Dawam Rahardjo sering juga berkonsultasi dengannya tentang soal-soal bahasa dan muatan al-Qur’ân.[17] Sikap dan strateginya ini tentunya langka atau jarang ditemukan pada mufasir lainnya, namun bagi Dawam Rahardjo hal itu menjadi suatu keharusan untuk menutupi kelemahan yang dimilikinya.

Dari sikap dan strategi yang dilakukannya itu, peneliti menilai bahwa Dawam Rahardjo memiliki semangat yang luar biasa untuk menafsirkan al-Qur’ân. Kelemahan yang ia miliki tidak menjadi halangan yang bisa mengurungkan niatnya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ân. Menurut hemat peneliti, begitulah seharusnya sikap yang patut dimiliki oleh setiap mufasir, dan hal itu bisa menjadi sebuah wacana yang dapat ditawarkan sebagai salah satu syarat bagi setiap muslim yang berniat menafsirkan al-Qur’ân.




Maaf dihapus, khawatir disalahgunakan

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: