#Dr. Adnan, M.S.I.
@Bab I, Isi Buku
Banyak pendapat yang
menjelaskan arti dari kata karakter. Ada yang berpendapat bahwa karakter
berasal dari bahasa Latin, charakter, yang mengandung arti: watak,
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian, atau akhlak. Ada juga
yang mengatakan bahwa karakter itu adalah karasso, sebuah cetak biru
atau pola.[1]
Ada lagi yang mengatakan bahwa karakter itu adalah stempel atau yang tercetak,
yang terbentuk karena adanya pengaruh dari faktor endogeen (dalam diri)
dan faktor exogeen (luar diri). Dalam bahasa Inggris, kata karakter
diartikan a distinctive differentiating mark, yaitu tanda yang
membedakan secara tersendiri. Karakter adalah keakuan rohaniah, het
geestelijk ik, yang nampak dalam keseluruhan sikap dan perilaku, yang
dipengaruhi oleh bakat atau potensi dalam diri dan lingkungan. Karakter juga
dimaknai dengan the stable and distinctive qualities built into an
individual’s life which determine his response regardless of circumstances,
atau suatu kualitas yang mantap dan khusus (pembeda) yang terbentuk dalam
kehidupan individu yang menentukan sikap dalam mengadakan reaksi terhadap
rangsangan tanpa mempedulikan situasi dan kondisi.[2]
Selain pendapat di atas,
masih banyak lagi pandangan lain yang menyumbangkan pikirannya untuk mengungkap
pengertian karakter tersebut, seperti Allport (1937) yang berpendapat bahwa “character
is personality eveluated, and personality is character devaluated ”.
Allport beranggapan bahwa watak (character) dan kepribadian (personality)
adalah satu dan sama, akan tetapi di pandang dari segi yang berlainan.[3]
Hampir sejalan dengan Abin Syamsuddin Makmun,[4]
yang mengatakan bahwa karakter adalah satu aspek dari kepribadian, dimana
karakter itu konsekuen tindakannya dalam mematuhi etika perilaku, konsisten
atau teguh tidaknya dalam memegang pendidikan atau pendapat.
Pendapat di atas berbeda
dengan pemahaman Arismantoro, yang menyatakan bahwa karakter itu berbeda dengan
kepribadian karena pengertian kepribadian dibebaskan dari nilai. Meskipun
demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud
tingkah laku yang ditujukan ke lingkungan sosial, keduanya relatif permanen dan
menuntun, mengerahkan dan mengorganisasikan aktivitas individu. Seseorang bisa
disebut orang yang berkarakter (a person of character) jika prilakunya
sesuai dengan kaidah moral.[5]
Pendapat ini sepertinya perlu dikritisi, karena orang yang berkarakter tersebut
belum tentu bermoral, sebab karakter itu ada yang positif dan ada pula yang
negatif. Sebagai contoh karakter negatif yang dikemukakan oleh seorang
budayawan Indonesia, Mochtar Lubis yang mengatakan bahwa karakter negatif yang
dimiliki orang Indonesia, adalah: hipokrit atau munafik, segan dan tidak mau
bertanggungjawab atas perbuatan, keputusan atau pikirannya, berjiwa feodal,
masih percaya pada tahayul, artistik, berwatak lemah, boros, tidak suka bekerja
keras, selalu bermimpi menjadi orang bangsawan, kurang sabar, cepat cemburu dan
dengki pada orang lain, mudah berasa senang dan bangga, manusia sok (perasan)
dan peniru.[6] Terlepas dari
setuju atau tidaknya dengan pendapat Mochtar Lubis tersebut, yang jelas
karakter yang bersifat negatif itu ada, dan hal ini membuktikan bahwa tidak
bisa diterima jika ada pendapat yang menyatakan bahwa karakter itu cenderung
positif atau selalu sesuai dengan kaidah moral semata.
Adapun
pendapat lain yang membahas pengertian karakter tersebut adalah Ratna
Megawangi. Ia mengatakan bahwa karakter ini mirip dengan akhlak (akar kata khuluk),
yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal-hal yang baik. Al-Ghazali
menggambarkan bahwa akhlak merupakan tingkah laku seseorang yang berasal dari
hati yang baik.[7]
Masih banyak lagi
pendapat-pendapat lain yang mencoba untuk mendefinisikan kata karakter
tersebut, namun rasanya tidak mungkin jika semuanya harus dipaparkan dalam
makalah ini. Untuk itu, penulis mencoba untuk membuat rumusan arti karakter
berdasarkan beberapa pendapat di atas. Intinya bahwa yang dimaksud karakter
tersebut adalah suatu sifat yang melekat pada diri seseorang yang ditunjukkan
secara spontan dan kontinyu.
Karakter tersebut ada yang
positif, tetapi ada pula yang negatif, namun keduanya tersebut masih cukup
memungkinkan untuk mengalami perubahan dalam waktu yang relatif lama. Perubahan
tersebut sangat bergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu,
agar karakter bisa positif, ia harus dibentuk melalui berbagai cara, salah satu
caranya yang paling utama adalah melalui jalur pendidikan. Jadi, dalam konteks
ini, pendidikan karakter merupakan proses internalisasi nilai-nilai positif
untuk membentuk sifat yang baik pada diri seseorang agar bisa ditunjukkannya
secara spontan dan kontinyu dalam kehidupan sehari-hari.
Latar
Belakang dan Urgensitas Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter pada dasarnya adalah pendidikan yang telah berlangsung sejak manusia
itu ada di dunia ini. Dalam konsepsi Doni Koesoema,[8]
pendidikan karakter itu diawali semenjak adanya keinginan manusia untuk
melawan/memerangi penyakit lupa, kemudian beranjak pada pendidikan karakter
aristokratis ala homeros, hesidos, patriotis spartan, harmonis ala Atena,
Sokrates, Plato, kosmopolitan Hellenis, ala Romawi, Kristiani, modern, F.W.
Foerstar, dan seterusnya hingga saat ini. Namun menurut versi Bambang dan
Adang, pendidikan karakter tersebut bermula bersamaan dengan misi utama yang
diemban oleh para Nabi.[9]
Meskipun terdapat perbedaan dalam penentuan awal mula dari pendidikan karakter
tersebut, yang jelas pembentukan karakter seseorang dimulai sejak manusia itu
ada di dunia ini, hanya saja pola atau model karakter yang ingin dibentuk
tersebut sangat beragam.
Dalam konteks Islam,
Muhammad sebagai Rasulullah mengemban misi yang sangat berat, yaitu untuk
menyempurnakan akhlak (karakter) manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataannya: Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik”.[10]
Berdasarkan hadis di atas,
tampak jelaslah bahwa pembentukan akhlak atau karakter manusia itu merupakan
kebutuhan yang utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat menciptakan
peradaban. Pada sisi lain, hadis di atas juga menunjukkan bahwa masing-masing
manusia itu telah memiliki akhlak/karakter tertentu, namun perlu disempurnakan.[11]
Para filsuf muslim sejak
awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn Miskawaih menulis
buku khusus tentang akhlak dan menjelaskan rumusan karakter utama seorang
manusia. Demikian pula dengan al-Ghazali, Ibn Sina, al-Farabi, dan beberapa
filsuf lainnya juga menyatakan hal serupa mengenai pentingnya pendidikan
karakter.[12] Suatu bangsa
atau negara akan sulit untuk menciptakan peradaban yang maju jika karakter
manusianya rusak. Hal ini bisa dilihat dari negara-negara yang telah
melaksanakan pendidikan karakter, seperti Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan
Korea, yang mana dari hasil penelitian pada negara-negara tersebut menunjukkan
bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis dapat berdampak
positif pada pencapaian akademis.
Belajar dari negara-negara
tersebut serta berkaca pada kondisi di negara sendiri, Indonesia berencana
untuk menerapkan pendidikan karakter. Latar belakang digagasnya pendidikan
karakter tersebut bukan semata-mata asal ikut-ikutan dengan negara lain atau
keinginan sesaat dari menteri pendidikan nasional saat ini, namun lebih
dilandasi oleh kebutuhan mendesak melihat merosotnya moral bangsa.
Sebenarnya, pendidikan
karakter bukanlah sesuatu yang asing dalam tradisi pendidikan di Indonesia.
Beberapa pendidik di Indonesia beberapa waktu yang lalu, seperti R.A. Kartini,
Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Moh. Natsir, dan lainnya
telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk
identitas dan kepribadian bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka alami.[13]
Sebagai contoh, Kartini
dengan lantang menyuarakan hak untuk memperoleh pendidikan bagi perempuan
Indonesia di dalam bukunya yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Meskipun perjuangan Kartini tak berdaya melawan kekuatan kultur bangsanya,
namun ia telah memberikan pondasi penting bahwa sebuah bangsa itu akan memiliki
karakter jika penduduknya tidak tinggal selamanya dalam kegelapan pengetahuan,
melainkan hidup dalam terangnya pemikiran dari akal budi manusia yang terbukti
telah mampu membawa bangsa-bangsa lain bisa menikmati kemajuan.[14]
Contoh lain adalah sosok
Soekarno. Ia bukanlah sekedar pemikir dan pejuang saja, tetapi juga sebagai
orang yang berkarakter khas yang mampu menyampaikan gagasan dan pemikirannya
pada khalayak dengan bahasa yang sederhana dan memberikan keyakinan bagi rakyat
sehingga semangat kebangsaan itu bisa menjadi milik semua. Sebagai pendidik
bangsa, Soekarno tidak ingin bangsa Indonesia memiliki mental budak yang enggan
berkeinginan untuk merdeka. Hal ini terlihat dari pokok pikirannya:
“Djikalau kita
ingin mendidik rakjat Indonesia ke arah kebebasan dan kemerdekaan, djikalau
kita ingin mendidik rakjat Indonesia menjadi tuan di atas dirinja, maka
pertama-tama haruslah kita membangun-bangunkan dan membangkit-bangkitkan dalam
hati sanubari rakjat Indonesia itu ia punja roch dan semangat menjadi roch
merdeka dan semangat merdeka jang sekeras-kerasnya, jang harus pula kita
hidup-hidupkan menjadi api kemauan merdeka jang sehidup-hidupnya! Sebab hanja
roch merdeka dan semangat merdeka jang sudah bangkit menjadi kemauan merdeka
sahadjalah jang dapat melahirkan sesuatu perbuatan merdeka jang berhasil”.[15]
Itulah sesungguhnya yang
menjadi cita-cita dasar Soekarno sejak sebelum kemerdekaan. Karakter bangsa
tidak akan terwujud jika prasyarat pokoknya, yaitu kemerdekaan belum tercapai. Masih
banyak lagi gagasan Soekarno atau tokoh-tokoh lainnya yang berusaha untuk
menanamkan karakter bangsa. Dari hasil gagasan dan perjuangan mereka itulah
yang turut andil dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari perbudakan kaum penjajah.
Berdasarkan uraian di
atas, timbul suatu pertanyaan, mengapa para pemikir bangsa yang mempelopori
gerakan nasional telah berhasil melahirkan pemikiran-pemikiran baru bagi sebuah
proses pembentukan bangsa dan pembentukan manusia Indonesia? Jawabnya adalah
karena mereka memiliki cita-cita serta idealisme dalam membangun manusia dan
masyarakat Indonesia baru. Dasar idealisme ini adalah nilai-nilai kebangsaan, nilai
budaya, nilai agama, dan nilai-nilai pengetahuan. Alas pijak akan nilai-nilai
inilah yang menggolongkan mereka menjadi para pemikir idealis yang menjadi jiwa
bagi pendidikan karakter bangsa.[16]
Berangkat dari point-point
uraian di atas, dapat dirumuskan bahwa hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya
ide atau gagasan dan urgensinya pendidikan karakter di Indonesia, di antaranya:
keinginan dasar manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik, keinginan untuk
mewujudkan misi utama para nabi, keinginan untuk mengatasi keterpurukan moral, dan
keinginan untuk melanjutkan gagasan dan perjuangan para guru dan pahlawan
bangsa agar Indonesia menjadi negara yang beradab, maju, serta dihormati oleh
negara dan bangsa-bangsa lain di dunia.
Maaf, footnotenya dihapus
No comments:
Post a Comment