#Deni Irawan
@Isi Buku II
Secara teoritik, bab ini akan menganalisis hasil temuan yang telah
disajikan dan merupakan kelanjutan pembahasan pada buku sebelumnya, yakni dengan mengungkap suatu
penalaran, baik secara teoritik, empirik, maupun non-empirik. Analisis tersebut
diharapkan mampu menghasilkan suatu analisis untuk menjawab rumusan masalah
yang diajukan pada bab awal. Pada bab ini lebih difokuskan untuk menjawab
mengenai langkah-langkah serta solusi alternatif yang bisa dilakukan baik oleh
adanya campur tangan pemerintah pusat maupun daerah serta peran aktif
masyarakat pasca konflik dalam upaya membangun perdamaian (peace building) di Kalimantan Barat.
Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih
dahulu mengenai
berbagai pandangan yang menilai bahwa konflik di Sambas disebabkan oleh
berbagai faktor penyebab sehingga menjadi perhatian dan tugas bagi semua pihak
terkait dan hal ini juga merupakan faktor-faktor yang telah menyebabkan
diprogramkannya berbagai kebijakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang
selalu peduli akan pentingnya membangun perdamaian. Faktor-faktor penyebab
tersebut dapat penulis sebutkan antara lain: bahwa pada dasarnya masyarakat
Sambas hidup berdampingan secara damai penuh toleransi dalam semangat
pluralisme yang tinggi. Namun kesadaran pluralisme tersebut, mulai bergeser
sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi yang tidak merata, sehingga
sering munculnya tindak kekerasan/konflik.
Selanjutnya diungkapkan oleh Saad variabel yang cukup signifikan
menjadi penyebab konflik antar warga etnik Madura dengan Melayu Sambas adalah masalah
perbedaan kultur dan hubungan sosial antaretnik tersebut. Hal tersebut semakin
menonjol sehingga menimbulkan sikap primordial (sentimen kesukuan
sempit) yang dapat merusak tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat, sebagai
akibat dari kecurigaan antarkelompok. Jika hal itu dibiarkan maka situasi
kerawanan konflik akan menjadi konflik nyata dan terbuka yang pada akhirnya
akan merusak integritas bangsa.[1]
Syarif Ibrahim
Alqadrie dan Bakran Suni mengatakan bahwa konflik dalam masyarakat itu seringkali
disebabkan oleh adanya pengambilalihan kepemilikan secara intimidasi, adanya
hak manusia atas sumber-sumber yang langka dan tidak terdapat kesamaan,
keadilan dan pemerataan dalam penyebaran sumber-sumber tersebut, khususnya
mengenai kekuasaan. Ini mengakibatkan munculnya ketimpangan dan kecemburuan
yang cukup mudah memancing kemarahan dan kerusuhan.[2]
Menurut Muhanni Abdur[3],
bahwa penyebab kejadian kerusuhan di Sambas adalah akibat daripada
berpuluh-puluh tahun harkat dan martabat dari orang-orang Melayu selalu
dilecehkan oleh etnik Madura bahwa orang-orang Melayu dianggap mempunyai mental
“kerupuk”. Hukum yang kurang ditegakkan dan kurang mengarah kekeadilan. Untuk
ketiga teori di atas dapat dicontohkan misalnya dalam kasus tragedi Parit
Setia, penganiayaan terhadap Hasan warga Desa Sari Makmur yang berusaha
melakukan percobaan pencurian, sehingga menyebabkan penyerbuan oleh warga etnik
Madura berjumlah kurang lebih 200 orang sehingga menewaskan 3 orang warga Parit
Setia.
Pada peristiwa ini, pelaku yang ditahan oleh pihak
berwajib hanya 1 orang warga Madura. Karena hukum tidak berdaya untuk
menuntaskan atau mengatasi tindakan Madura yang melawan hukum dan seolah kebal
terhadap hukum, maka final Justice (Pengadilan Terakhir) bagi mereka
caranya adalah amuk massa. Di dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang Madura
selalu bersikap arogansi (maunya dia) misalnya mereka selalu hidup mengelompok
sehingga sulit untuk membaur dengan masyarakat yang lainnya, membuat pemukiman,
masjid atau surau, dan sekolah sendiri. Dalam melaksanakan perkawinan,
kebanyakan mereka tidak lagi menggunakan UU No.1 Tahun 1974[4]
tentang pokok-pokok perkawinan. Mereka lebih abdhol nikah lewat kiai mereka dan
tidak terdaftar di KUA (Kantor Urusan Agama) setempat. Orang-orang
Madura tidak menghargai atau mencintai sesama manusia dan bahkan di dalam
penyelesaian permasalahan sepele saja mereka begitu tega melayangkan nyawa
orang lain, yang sangat dikenal dengan istilah carok-nya dengan
semboyan: “Dari pada Putih Mata Lebih Baik Putih Tulang”, sehingga rasa dendam
yang mereka miliki itu sampai tujuh keturunan. Orang-orang Madura dianggap
sebagai hambatan, ancaman, gangguan bagi Ketahanan Nasional dan masyarakat lain
di mana dilihat kalau mereka bepergian selalu membawa senjata tajam bahkan
senjata api. Orang-orang Madura selalu merugikan orang lain misalnya saja melakukan
pemerasan, pencurian seperti ternak ayam, itik. Kalau sewaktu masih kecil orang
yang punya tapi kalau sudah besar mereka yang punya[5]
begitu pula dengan tanaman pangan seperti padi, kelapa dan lain-lain, kalau
masih mentah yang punya orang kebun sedangkan kalau buahnya sudah masak mereka
yang memanennya.
Lain lagi masalah kepemilikan tanah yang semulanya
mereka statusnya adalah menumpang atau menyewa, lama kelamaan mereka membuat
hak miliknya sendiri dan kalau mereka membeli hanya dibayar dengan harga yang
murah atau cuma-cuma. Mereka selaku etnik pendatang tidak mau menyesuaikan
budaya dan norma masyarakat dimana mereka tinggal, sebagaimana kata pribahasa
”Di mana Bumi Dipijak di situ Langit Dijunjung” atau kata orang Sambas “Kalau
Masuk Kandang Sapi Mengemoh dan Kalau Kita Masuk Kandang Kambing Mengembek”.
Pada kenyataannya mereka berkeras hati dan menerapkan budaya mereka. Misal
budaya ronggeng yang selalu berbau kemaksiatan antara lain permainan judi,
sabung ayam, dan membawa senjata tajam. Dalam kehidupan bermasyarakat mereka
tidak memberikan kontribusi yang baik dan terbaik untuk mewujudkan kepentingan
bersama yang ada di masyarakat seperti hidup bergotong royong dan BAZIS (Badan
Amil Zakat dan Infaq Sadaqah), yang hanya untuk kepentingan kelompok mereka.[6]
Sedangkan menurut hasil penulisan yang dilakukan oleh
Deni Akramul Hakim bahwa beberapa penyebab konflik di Kabupaten Sambas antara
lain adalah: fanatik kesukuan yang cukup berlebihan, persaingan
dalam kehidupan ekonomi,
kurangnya penghayatan dan pengamalan agama yang benar dan utuh antara kedua belah
pihak, mengabaikan norma-norma sosial, budaya dan adat istiadat masyarakat
setempat, kurangnya kebersamaan di antara kedua belah pihak dalam kehidupan
bermasyarakat sehari-hari, pemerintah dan para penegak hukum setempat tidak
mempunyai konsep yang jelas dan utuh untuk mengantisipasi konflik kesukuan yang
telah berlarut-larut.[7]
Dalam bukunya Achmad dan Zainudin menyimpulkan
terjadinya konflik massal antar masyarakat Melayu dengan masyarakat Madura
disebabkan oleh akumulasi kekecewaan masyarakat Melayu terhadap berbagai
perilaku, sikap dan perbuatan masyarakat etnik Madura Kabupaten Sambas yang
terkesan arogan, anarkis dan sewenang-wenang. Benturan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh etnik pendatang itu (Madura) tidak hanya dilakukan terhadap
masyarakat Melayu namun juga dialami oleh etnik lain seperti Dayak, dan Cina.
Perlakuan pelanggaran itu sudah berlangsung cukup lama sehingga kemarahan,
kekecewaan, perasaan tertekan secara psikologis yang menjadi menumpuk dan pada
akhirnya lama kelamaan muncul letupan-letupan kecil sebagai pemicu awal dan
akhirnya meletuslah Tragedi Parit Setia dan peristiwa di Desa Pusaka Tebas dan
sekitarnya di wilayah Kabupaten Sambas sehingga peristiwa itu lebih dikenal
dengan “Tragedi Sambas” atau “Ketupat Beradarah”. Selain akumulasi dari kekecewaan,
perbedaan kultur yang sangat tajam antara kedua etnik bertikai[8]
ini seperti adat istiadat dan budaya yang ada dan berkembang dalam masyarakat
lokal kurang begitu dihormati dan diikuti.[9]
Sedangkan pernyataan yang sampaikan oleh
H. M. Sulaiman[10]
mengatakan bahwa orang Madura didasari pesan filosofi: Kalamun Mancah dek di
sana orang kudu te-ngate mon masok e kandang ajam akarono’, e kandang sape a’
ngar-ngar, ben e kandang kambing a’ ngembik”. Artinya bila merantau ke
negeri orang supaya berhati-hati. Kalau masuk ke kandang ayam harus bisa
berkokok, kalau masuk ke kandang sapi harus bisa bersuara sapi, dan bila masuk
ke kandang kambing maka harus bisa mengembik. Penulis melihat bahwa inilah
sebenarnya sebuah parameter untuk mengukur sejauh mana orang Madura sendiri
beradaptasi dengan lingkungan baru, namun pada kenyataannya tidak sesuai dengan
harapan yang diinginkan maka terjadilah peristiwa kerusuhan massal ini.
Selain penyebab tersebut, Achmad dan
Zainudin juga menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum merupakan starting
point bagi munculnya dan meluasnya “Tragedi Parit Setia Berdarah” (Tragedi
Sambas). Tragedi ini sebenarnya tidak akan berbuntut panjang dan merembet ke
daerah lain (wilayah Sambas) bila saja aparat keamanan selaku penegak hukum
bertindak tegas terhadap pelanggar hukum.[11]
Husna Asmara mengatakan bahwa
penyebab terjadinya kerusuhan Sambas ada beberapa yaitu arogansi perilaku etnik
Madura yang belum berubah yang sukanya memperlihatkan keberaniannya dan
diperlihatkan dengan bahasa yang oleh penduduk setempat dianggap terlalu kasar,
solidaritas negatif masing-masing etnik. Prasangka negatif terhadap etnik lain
masih muncul baik disadari maupun tidak. Hal ini terlihat dari pergaulan
sehari-hari. Misalkan etnik Madura selalu dituding tidak mengakui hak orang
lain padahal hanya terjadi pada orang tertentu. Demikian pula etnik Madura
terhadap Melayu yang selalu dituding pemalas. Jadi masing-masing etnik itu mengembangkan
stereotipe masing-masing. Miskomunikasi antar etnik (saling merasa terancam)
disebabkan solidaritas negatif maka terjadilah miskomunikasi dan saling curiga
sehingga bisa menyebabkan konflik. Stagnasi kegiatan dalam kehidupan
sehari-hari masing-masing etnik. Komunikasi yang tidak baik mengakibatkan
masing-masing etnik menjalankan kegiatannya sendiri sehingga terjadi
pengelompokan dan terbentuklah sifat eksklusivisme ke permukaan. Statemen pada
media massa (surat kabar, televisi) yang menyimpang sehingga
meningkatkan emosi masyarakat yang sedang bertikai. Arogansi balas dendam
etnik dari suatu daerah konflik yang disebabkan oleh adanya kecurigaan bahwa
etnik yang pernah dimusuhi berpendapat bahwa dendam kelompok itu tidak pernah
luntur. Akibat dari prasangka ini masing-masing etnik selalu berusaha untuk
membalas. Penguasaan ekonomi yang ilegal. Penegakan hukum yang tidak adil.
Hukum kadang-kadang diperlakukan secara tidak adil karena ketakutan akan ancaman etnik tertentu
sehingga aparat seringkali tidak mampu atau berani mengambil keputusan yang tegas
bahkan seolah kejadian itu tidak pernah ada serta adanya faktor kedekatan
dengan etnik tertentu.[12]
Penjelasan dari beberapa pendapat di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab konflik Sambas tersebut cukup
beragam namun sebagai pemicu dari “Tragedi Sambas” atau Ketupat Berdarah”
tersebut menunjukkan ketidakmampuan mengkomunikasikan suatu peristiwa yang
sebenarnya terjadi sehingga menyebabkan kesalahpahaman persepsi kedua etnik
bertikai, dari itu timbul kesan untuk saling menyalahkan dan menyerang pihak
lawan, baik itu melalui ucapan maupun perbuatan kemudian diikuti oleh
ketidakmampuan aparat penegak hukum setempat untuk menyelesaikan potensi konflik personal dan
bersifat berat sebelah. Dari faktor pemicu itulah sehingga berkembang menjadi
tragedi mengerikan tersebut. Apabila dilihat secara luas, dapat disimpulkan
bahwa faktor penyebab konflik Sambas antara lain karena beberapa sebab yaitu
ketidakmampuan warga pendatang dalam beradaptasi atau berasimilasi dengan
lingkungan sekitarnya, akumulasi kekecewaan masyarakat setempat terhadap
prilaku warga pendatang,[13] perbedaan kultur yang tajam (dalam arti tidak menghormati budaya,
adat istiadat setempat) dan hubungan sosial yang sempit, ketidakadilan dan
diskriminasi sosial, pengambilalihan kepemilikan itu secara paksa dan bersifat
intimidasi, harkat dan martabat yang dilecehkan, norma yang diabaikan, fanatik
kesukuan yang berlebihan, dan persaingan ekonomi dalam memenuhi kebutuhan
hidup. Bisa saja masih banyak faktor-faktor lain yang belum penulis temukan
secara mendalam namun sejauh pengetahuan dan data di lapangan, menunjukkan
bahwa faktor-faktor tersebut di atas ternyata lebih dominan.
Setelah mengetahui sebab-sebab konflik antar etnik
Melayu dan Madura di Sambas, menurut penulis konflik tersebut juga membawa
dampak positif yaitu: timbulnya rasa
persatuan antar warga. Setelah konflik sosial itu terjadi, masyarakat Melayu
mulai mempererat rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan. Sebagai
indikasinya yaitu lahirnya berbagai organisasi massa seperti Persatuan Forum
Komunikasi Pemuda Melayu (PFKPM) di Sambas. Organisasi ini dalam setiap
kegiatan, baik di tingkat desa maupun kabupaten selalu ikut berperan aktif
dalam membangun dan menjaga keamanan. Sebelum terjadi konflik dengan etnik
Madura, persatuan warga etnik Melayu belum begitu tampak namun dengan peristiwa
ini tampak jelas baik hubungan antara pribadi maupun kelompok, di desa maupun di kota.
Selanjutnya, jika ada persoalan antar etnik biasanya
diselesaikan secara pribadi, belum adanya juga kepedulian terhadap sesama warga
etnik Melayu. Kini kekompakan, persaudaraan dan kebersamaan warga Melayu yang
diwadahi oleh PFKPM semakin erat dan kuat, sehingga ketertiban dan keamanan
selalu terjaga. Sedangkan jika dilihat dari aspek dampak negatif yang mengakibatkan
pengalaman kejiwaan disebabkan adanya pembunuhan secara massal telah terjadi.
Hal tersebut tidak dibenarkan jika dilihat dari tatanan nilai agama, tradisi,
hukum, maupun HAM. Anggaplah tragedi tersebut sebagai pengalaman dan pelajaran
yang sangat berarti, sehingga tak perlu terulang kembali. Peristiwa tragis
tersebut telah menimbulkan luka dan trauma, dendam dan stress yang dalam
dikedua belah pihak yang bertikai. Banyaknya perederan senjata-senjata api
rakitan itu karena pertimbangan aspek
keamanan dan keselamatan akibat dari munculnya konflik susulan (serangan
balik) akhirnya kedua belah pihak yang bertikai itu mempersiapkan diri dengan
memiliki senjata api rakitan. Hal tersebut sangat berbahaya dan dapat
menimbulkan tindakan yang fatal apabila salah menggunakannya.
Di samping itu kepemilikan senjata api tersebut adalah
illegal. Berkembangnya sifat sukuisme yang berlebihan akan mengganggu rasa
nasionalisme, persatuan dan kesatuan bangsa. Ketika terjadi perkelahian atau
pertengkaran kecil, langsung saja ditanggapi dengan unsur-unsur sukuisme.
Mengakibatkan segregasi (fisik) pada kelompok-kelompok masyarakat yang
bertikai. Hilangnya mata pencaharian sebagai sumber rezeki, dan bertambahnya
angka kemiskinan jika dilihat dari bertambahnya praktek di jalanan. Baik orang
tua maupun anak-anak juga meminta-minta karena sulitnya mendapat lapangan
pekerjaan. Banyak siswa yang putus sekolah
tidak dapat melanjutkan sekolah karena di tempat pengungsian belum
adanya sarana dan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan jenjang seperti SLTP
dan SLTA apalagi ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Terkecuali
bagi yang sudah memiliki sanak saudara dan memiliki dasar penghidupan yang
layak. Terhambatnya investasi sehingga investor enggan menanamkan modalnya,
jika keamanan di daerah tidak pernah terjamin. Selanjutnya angka
pengangguran
semakin meningkat dan secara otomatis pula terpuruklah perekonomian. Hal
tersebut menjadi problem atau masalah ketenagakerjaan untuk mencarikan
solusinya. Penyebab dan dampak yang disebutkan di atas, memang tidak
terlepas dari berbagai faktor baik itu sosial budaya, ekonomi, politik dan lain
sebagainya yang menyebabkan harus ada campurtangan lebih serius dari pemerintah
bersama masyarakat untuk melakukan berbagai tindakan seperti de-eskalasi
konflik, intervensi kemanusian dan negosiasi politik, problem solving approach serta melakukan upaya-upaya peace building sebagai langkah-langkah
membangun perdamaian. Untuk itulah
timbul berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bersama masyarakat
Sambas baik itu dari tingkat atas maupun bawah. Kebijakan yang dibuat tersebut
merupakan langkah-langkah menuju perdamaian di Kabupaten Sambas Kalimantan
Barat serta untuk mewujudkan kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia ini. Adapun tahap-tahap resolusi konflik sebagai
sebuah langkah-langkah dalam membangun perdamaian di Kabupaten Sambas
Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
Tahap De-eskalasi
Konflik
Di dalam tahap-tahap de-eskalasi konflik, masyarakat melakukan
tindakan paling minimal untuk meredakan konflik. Banyak tokoh masyarakat yang
berinisiatif dan berupaya untuk melakukan pencegahan agar kerusuhan tidak
meluas. Sebagian masyarakat dari etnik lainnya memang terlihat “membantu” massa
Melayu untuk melawan pihak Madura, namun hal tersebut dilakukan semata-mata
untuk mencari keselamatan diri. Berbagai forum, organisasi, yayasan, LSM[14]
dibentuk dengan tujuan utama untuk menemukan berbagai alternatif penyelesaian
masalah yang muncul.
Peranan pemerintah dalam tahap ini dapat dikatakan relatif amat kurang
dan tidak berhasil. Kegagalan pemerintah terlihat dalam hal tidak mampu untuk
membendung konflik massa yang begitu besar dan meluas ke berbagai daerah dan
meminimalisir jatuhnya korban baik itu jiwa maupun harta benda. Dalam hal ini pula ada keyakinan terhadap
pilihan pendekatan alamiah yang ditawarkan masyarakat seperti yang terjadi di
wilayah Singkawang sejak 2004 telah terlihat ada etnik Madura yang secara
perlahan mulai masuk, yakni melalui konsep “pilih antah” yang dipraktikkan
secara tidak serius dan sembunyi-sembunyi, mengingat konsep ini masih terdapat
tantangan keras dari beberapa unsur masyarakat Sambas. Konsep pilih antah[15]
ini belum juga mampu untuk menembus kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah
Kabupaten Sambas. Dalam konsep ini, orang-orang Madura diperbolehkan kembali
namun dengan syarat harus memiliki track
record bagus seperti tidak pernah terlibat tindak kriminal atau tidak
pernah punya masalah dengan penduduk setempat. Namun konsep ini mendapat
tantangan dari tokoh-tokoh FKPM Sambas dan unsur-unsur keraton. Sistem seleksi
diberlakukan dengan tiga hal yaitu: 1) warga Madura yang kawin campur melalui
laki-laki Madura dengan wanitanya Melayu Sambas ataukah laki-laki Melayu dan
wanita Madura, 2) dengan memerhatikan masa (lama) hidupnya di Sambas, 3)
kriteria di atas yaitu bahwa selama tinggal di Sambas tidak pernah melakukan
tindak kejahatan dan kriminal.
Ada kecendrungan bahwa pemerintah ternyata lebih mempertaruhkan proses
resolusi konflik ini pada inisiatif masyarakat di mana terdapat beberapa
saluran yang bisa dimanfaatkan seperti
banyaknya warga Melayu-Madura yang sudah kawin silang, peran aktif dari
tokoh-tokoh masyarakat dan peranan dari berbagai LSM. Upaya resolusi konflik
lebih banyak dimainkan oleh agen-agen non-state
ketimbang peran pemerintah. Bersandar pada alasan-alasan masih terdapatnya
trauma yang masih belum mampu
dihilangkan dari psikologis orang-orang Sambas sehingga pendekatan formal
dianggap kurang menguntungkan. Sebaliknya, pendekatan informal itu dipandang
lebih tepat yakni lewat mediasi, peran keluarga, dan semacamnya walaupun pada
dasarnya memakan waktu lama namun mampu mencapai beberapa kemajuan. Gagasan
pendekatan informal ini umumnya menginginkan bagaimana orang Madura dapat
membangun citra positif terlebih dahulu pada masyarakat Sambas sehingga
diharapkan nantinya bisa menimbulkan rasa persaudaraan kembali dan menanamkan
fikiran positif bahwa kepulangan Madura ke Sambas tidak akan menimbulkan
konflik baru.
Tahap Intervensi
Kemanusiaan dan Negosiasi Politik
Pada tahap intervensi kemanusiaan, pihak Pemda sejak 1999 telah
membangun pemukiman relokasi, sebagai lokasi untuk menampung pengungsi yang
dipindahkan dari tempat barak-barak pengungsi yang ada. Ketika dilakukan relokasi sempat mendapat
tantangan dari penduduk tempat relokasi. Ada yang membuat syarat agak ketat
semisal jika penduduk Madura sekali berbuat onar maka harus diusir. Ada yang
keberatan seperti kasus-kasus di Desa Parit Pelita di mana masyarakat setempat merasa sangat keberatan dengan
rencana kedatangan
transmigrasi asal Madura sehingga mengakibatkan proses
relokasi menjadi semakin terhambat. Akhirnya etnik Madura itu dapat diterima di
Desa Parit Ekonomi walaupun lokasinya kurang baik mengingat berada di atas lahan-lahan gambut setebal lima meter. Tempat lainnya
seperti di SP 1 dan SP 2 Tebang Kacang, Parit Haji Ali, Sumber Bahagia, dan Puguk
yaitu rumah-rumah yang sudah ditinggalkan atau tidak ditempati lagi oleh
penghuninya. Selain itu seperti di Sungai Pandan (Wajok), Simpang Empat, Gang
Sambung, Panca Bhakti, Gang Damai, Gang 28 Oktober dan Sungai Raya yang
mendapat santunan sebanyak lima juta per-kepala keluarga dan tidak mendapatkan
lahan. Lokasi ini juga disebut dengan lokasi pemberdayaan.
Penolakan ini terjadi tidak hanya datangnya dari etnik yang berbeda namun
dari kalangan etnik Madura sendiri yaitu etnik Madura Kabupaten Ketapang yang
terletak di sebelah Selatan Kabupaten Pontianak yang memiliki lahan relatif
masih kosong.[16]
Mereka beralasan karena cukup takut akan sepakterjang orang-orang Madura asal
Sambas. Penolakan senada muncul dari warga Madura yang ada di Pulau Padang
Tikar yang merupakan wilayah transmigrasi berbagai etnik yang jaraknya sekitar
15 menit perjalanan kapal motor dari kota Pontianak.
Sedangkan untuk proses negosiasi itu biasanya dilalui dengan kesepakatan
bersama untuk tidak pernah mengulangi kejadian yang telah berlalu. Hal ini
seperti yang dilakukan pada tahap peace
building dengan menggunakan mediasi tradisional untuk mengambil suatu
kesepakatan bersama membangun perdamaian.
Terhadap
kasus Melayu-Madura, terdapat upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Propinsi Kalimantan Barat untuk mengisi kegiatan silaturahmi menuju
perdamaian atau rekonsiliasi secara menyeluruh untuk dapat melakukan
langkah-langkah dalam program-program yang merupakan langkah intervensi
kemanusiaan dan negosiasi politik di dalam resolusi konflik. Adapun program
tersebut adalah:
ü Pemulihan adat dan budaya, mental spritual, dan pemulihan
pembangunan dilokasi kedua belah pihak, dari asal adat tempatnya kejadian dan
atau dipengungsian
ü Peningkatan kualitas pendidikan dan pendapatan perekonomian kedua
belah pihak dari asal para pihak
ü Memperhatikan rumah-rumah ditempat kejadian dan rumah pengungsian dengan peningkatan fasilitas rumah
ibadah, kesehatan dan pendidikan.[17]
Tahap
kedua dari resolusi konflik itu adalah intervensi kemanusiaan dan
negosiasi politik bisa dikatakan mencakup upaya relokasi pengungsi dengan
menempatkan kembali kehidupan sesuai
konteks adaptasi mereka, rehabilitasi dan pemberdayaan. Tujuannya ialah untuk
menciptakan kembali kesejahteraan bagi seluruh korban dan memastikan para
korban, khususnya kelompok rentan, memiliki kesempatan yang sama dalam
memperoleh bantuan fisik maupun sosial-psikologis, dan membantu untuk pembentukan
kembali dan pengembangan struktur masyarakat korban bencana yang dapat
digunakan di dalam manajemen program pemberian bantuan dan yang dapat
mengurangi masalah ketergantungan jangka panjang. Pada tahapan ini juga perlu lebih
banyak memfokuskan pada rehabilitasi fisik, mental, pendidikan, kesehatan,
kebutuhan dasar lainnya. Intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah
bersama masyarakat ini dilakukan dalam upaya membuka peluang untuk diadakannya
negosiasi antar-elit. Dapat dikatakan tahap ini lebih kental dengan orientasi
politik yang bertujuan untuk mencari-cari kesepakatan politik antara aktor yang
bertikai.
Selain
itu, terdapat pula upaya penanganan korban kerusuhan sosial Sambas. Jika
melihat jumlah korban dari kerusuhan sosial Sambas hasil her registrasi tahun
2001 tercatat sebanyak 11.094 Kepala Keluarga atau 60.777 jiwa dan saat ini
tersebar di empat Kabupaten atau Kota. Dalam percepatan penanganan korban
kerusuhan sosial Sambas[18]
telah dilaksanakan melalui 3 rencana pola dengan prioritas berurutan dan
mempertimbangkan kondisi dan situasi. Pola yang dilakukan tersebut adalah
menyangkut mengenai:
ü Pola I (Pemulangan)
Mengembalikan
korban kerusuhan sosial Sambas ke kehidupan yang normal, yang berarti kembali
ke tempat semula dengan segala kedamaian. Menurut penulis akan dapat tercapai
apabila adanya suatu keinginan dari masyarakat korban kerusuhan sosial Sambas
untuk merubah prilaku kurang baik serta menghormati
adat istiadat, norma-norma masyarakat setempat dan adanya kesiapan
penerimaan oleh penduduk lokal serta diikuti dengan adanya upaya-upaya
penciptaan rasa aman dan nyaman melalui pemantapan rekonsiliasi. Proses
pemulangan yang dilakukan secara paksa bisa saja mengakibatkan persoalan baru
karena harus lebih dilihat apakah masyarakat setempat sudah benar-benar mau untuk
menerima atau karena sebuah paksaan dari pihak tertentu.
ü Pola II (Pemberdayaan)
Hal ini
dapat dilaksanakan apabila pola I yang direncanakan tidak mungkin dilakukan
yaitu dengan memberikan kesempatan kepada korban kerusuhan sosial Sambas
menemukan kehidupan baru di tengah masyarakat. Dengan adanya bantuan dan
fasilitas pemerintah dan diupayakannya penciptaan lapangan kerja, pendidikan
dan pelatihan.
ü Pola III (Pengalihan)
Dilaksanakan
bila pola I dan II tidak mungkin dilakukan yaitu dengan memukimkan kembali para
pengungsi di tempat baru (relokasi) dengan program rekonsiliasi, baik dengan
cara sisipan atau melalui transmigrasi lokal. Pola ini didukung dengan
fasilitas pertanian dan lahan perkebunan yang memberikan prospek sangat baik
bagi korban kerusuhan sosial.[19]
Tidak hanya itu saja, fasilitas pendidikan, kesehatan (pelayanan umum) juga
menjadi program berikutnya jika langkah awal sudah dilaksanakan.
Harapan
dari pola ini dapat dilaksanakan dengan baik namun aplikasi dari ketiga pola
penanganan yang mestinya berurutan ini ternyata dilapangan nyaris terbalik.
Pengalihan (relokasi) seolah menjadi prioritas utama dari pola lainnya.
Sebagian ada yang sudah kembali ke tempat asal (seperti di wilayah Sungai Jaga
dan Sungai Pangkalan Kecamatan Sungai Raya Kabupaten Bengkayang),[20]
sebagian lagi ialah penghuni relokasi (tersebar dibeberapa tempat di Kabupaten
Pontianak dan Kubu Raya), dan sebagian lagi tersebar di seluruh wilayah
Kalimantan Barat dan luar Kalimantan Barat. Tampak sekali bahwa pemerintah dalam hal ini ternyata belum mampu untuk
memberikan kembali kedamaian di Kabupaten Sambas.
Tahap Problem Solving Approach[21]
Tahapan ini merupakan fase yang paling berat dan memakan waktu yang lama.
Pasalnya semua dialog yang diupayakan oleh pemerintah dan masyarakat tampak
kandas di tengah jalan yang disebabkan oleh adanya dari pihak berkonflik yang
melanggar perjanjian kesepakatan yang telah dibuat serta hasil kesepakatan
tersebut tidak ditindaklanjuti secara serius. Meskipun masih terdapat banyak
kendala dalam upaya mengatasi akar persoalan konflik, pemerintah bersama
masyarakat masih terlihat bahu-membahu untuk menciptakan perdamaian yang
abadi. Berbagai dialog berupa
pertemuan-pertemuan seringkali dilakukan demi mencari jalan keluar dari
persoalan yang sedang dihadapi bersama.
Proses resolusi konflik yang hanya mengandalkan pada “pendekatan alamiah”
semata memiliki kelemahan mendasar menyangkut relatif lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk menuju ke sebuah tahapan resolusi konflik. Dengan demikian hal
ini memerlukan kesabaran warga Madura untuk dapat kembali ke Sambas namun
banyak pula orang Madura yang kini menurunkan tuntutannya dan secara sadar
menganggap bahwa kembali ke Sambas merupakan suatu kemuskilan tapi secara umum
mereka tetap menuntut agar secara formal perdamaian tetap dikukuhkan. Hal ini
penting bagi kalangan Madura agar mereka dapat keluar-masuk di Sambas secara
aman, baik hal itu untuk keperluan menjual tanah mereka maupun yang lebih dari
itu seperti berziarah kubur karena itu merupakan tradisi bagi mereka. Proses
alamiah ini juga dinilai ada kesan bahwa pemerintah tidak memiliki peranan
dalam proses rekonsiliasi dan terkesan pula bahwa resolusi konflik dikembalikan penyelesaiannya pada masyarakat yang
berkonflik itu sendiri. Pemerintah mengasumsikan bahwa
masyarakat akan memiliki inisiatif perdamaian tersendiri karena jika perdamaian
dilakukan secara dipaksakan maka ada “asumsi kekhawatiran” akan berisiko tinggi
bagi masyarakat apabila masyarakat tersebut tidak atau bahkan belum bisa
menerima. Bila terus dipaksakan dengan jalan ada program pemerintah atau dari
berbagai elemen terkait agar pemulangan secara diprogramkan maka ditakutkan
kerusuhan akan terulang kembali di mana akan bersifat fatal akibatnya. Atas
dasar argumentasi inilah sehingga masyarakat bisa berfikir bahwa pemulangan warga etnik Madura ke wilayah Sambas
sebaiknya dilakukan dengan cara pembauran secara alamiah
sehingga tidak menimbulkan konflik.
Menurut hemat penulis, ada beberapa saluran yang bisa diandalkan dalam
proses pembauran alamiah ini diantaranya: Pertama, jika dilihat
dari keadaaan masyarakat Sambas baik
zaman dahulu maupun sekarang, banyak yang melakukan kawin silang antara warga
Melayu dan Madura sehingga ini dapat digunakan sebagai perekat hubungan. Kedua,
adanya hubungan bisnis, perdagangan dan transportasi yang bisa pula menjadikan
masyarakat kedua etnik ini untuk selalu melakukan komunikasi ataupun aktivitas
tukar menukar barang maupun jasa. Ketiga, peranan tokoh-tokoh masyarakat
dalam artian mereka yang secara langsung ikut dalam berbagai kegiatan dalam
perjalanan konflik baik itu pada saat konflik itu terjadi maupun pasca konflik
sehingga peran pentingnya dapat berjalan lebih efektif dan lebih dapat
menyentuh masyarakat kalangan bawah. Keempat, peranan berbagai LSM baik
pemerintah maupun swasta karena mereka merupakan agen-agen yang lebih netral. Kelima,
menjadikan para mahasiswa sebagai “agen perdamaian”. Para mahasiswa yang
berasal dari Sambas dan beretnik Melayu secara tidak langsung maupun langsung
akan berbaur dalam perkuliahan bersama mahasiswa yang beretnik Madura atau
cara-cara lainnya. Di sana akan terjadi proses interaksi dan pembauran sehingga
jika lama kelamaan proses pembauran yang dilakukan secara baik dilakukan (bisa membangun
citra positif) maka dapat pula diasumsikan akan meredam bahkan menghapus rasa
permusuhan. Relasi sosial pergaulan dan komunikasi antara Melayu dan Madura di
luar Sambas relatif dapat berjalan secara normal dan baik. Kedua komunitas ini
juga biasa bertemu di masjid, di tempat-tempat umum, pusat perekonomian dan
lain-lain. Keenam, memberdayakan fungsi sekolah sebagai sarana dalam
pembauran dan pembentukan kepribadian
bangsa yang toleran, berbudi pekerti yang baik, serta bisa menerapkannya pada
lingkungan masyarakat yang lebih luas.
[1] Lihat http://enidewikurniawati.blogspot.com/.
Diakses Tanggal 20 November 2009.
[2] Munawar
M. Saad, Sejarah Konflik Antar Suku..., hlm. 113.
[3] H. Muhanni Abdur adalah Mantan Anggota
DPRD Kabupaten Sambas dan selaku etnik Melayu yang mewakili setiap pertemuan
yang diadakan dalam rangka upaya perdamaian dan kesepakatan.
[4] Baca Kompilasi Hukum Islam Indonesia dan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Penjelasannya (Trinity, 2007).
[5] Contoh ini merupakan realita di lapangan
dan untuk lebih jelas dapat dibaca pada Parsudi Suparlan, Konflik
Antar-SukuBangsa Melayu dan Dayak dengan Madura di Kabupaten Sambas, Kalimantan
Barat dalam Tim, Konflik Etno Religius Indonesia Kontemporer (Jakarta:
Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Puslitbang
Kehidupan Beragama Bagian Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat
Beragama, 2003), hlm. 220-221.
[6] Hasil wawancara dan dokumen dari Bapak
Muhanni Abdur, Sarjo Jur’in, dan Jamadi tanggal, 14 Agustus 2009.
[7] Deni Akramul Hakim, Konflik Etnis Melayu
dan Etnis Madura di Kabupaten Sambas Propinsi Kalimantan Barat, Skripsi.
Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga:
Yogyakarta, 2005. Tidak diterbitkan.
[8] Di dalam penelitian Ibrahim, Problematika
Komunikasi Antarbudaya Etnis di Sambas. Tesis, pada UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004. Tidak dipublikasikan. Mengatakan bahwa tidak hanya perbedaan
budaya namun ada faktor lanjutan berupa ketidakmampuan untuk saling memahami, mengerti, menghormati
dan menghargai perbedaan budaya masing-masing etnik.
[9] Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (ed), Riuh
Beranda Satu; Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Bagian Proyek
Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Pusat Litbang Kehidupan
Beragama, Badan Litbang Agama & Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI),
hlm. 55.
[10] Achmad Syahid dan Zainudin Daulay (ed), Riuh
Beranda Satu..., hlm. 44. H.M. Sulaiman adalah Ketua Ikatan Keluarga Madura
Kalimantan Barat.
[11]Ibid., hlm. 55.
[12] Husna Asmara Stategi Konsiliasi
Pertikaian Antar-Etnik di Kalimantan Barat dalam Penulisan Karya Ilmiah;, Pontianak:
Fahruna Bahagia, 2004. Hlm. 95-96.
[13] Dalam hal ini adalah warga Madura asal
Sambas.
[14] Seperti Majelis Adat Budaya Melayu
(MABM), Ikamra (Ikatan Keluarga Madura), Yayasan Korban Kerusuhan Sambas
(YKKS), Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat (FKMKB), LSM seperti
Yayasan Pemberdayaan People Nusantara (YPPM), Lembaga Bela Benoa Tahno (LBBT)
dan masih banyak lagi yang lainnya.
[15] Konsep ini sebenarnya sudah pernah
dikemukakan oleh beberapa tokoh masyarakat Sambas sendiri seperti Munawar M.
Saad, akademisi dan sebagian kalangan moderat Melayu.
[16] Heru Cahyono, dkk, Konflik Kalbar dan
Kalteng…, hlm. 129.
[17] Zulfidar Zaidar, Mediasi Melayu Madura…,
hlm. 23-24.
[18] Dilaksanakan oleh Pemerintah Republik
Indonesia melalui Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP). Jakarta, 19 Oktober 2001.
[19] Kebijakan pemerintah dalam mewujudkan
perdamaian berkelanjutan di Kalimantan Barat dalam acara seminar “Upaya
Mewujudkan Keharmonisan di Kalimantan Barat Akibat Konflik Sosial Tahun 1999 di
Sambas”. Dilaksanakan hari Selasa, tanggal 18 Nopember 2008 pukul 08.30 wib di
tempat Hotel 95 Jalan Imam Bonjol No.95 Pontianak Kalimantan Barat. Disampaikan
oleh Bapak Drs. Usmandi, Badan Kesbang dan Linmas Provinsi Kalimantan Barat
Kepala Bidang Ketahanan Bangsa.
[20] Bengkayang asalnya bagian salah satu
kecamatan di wilayah Kabupaten Sambas dan menjadi Kabupaten setelah pemekaran
wilayah.
[21] Dalam tahap ini meliputi identifikasi
dan seleksi masalah, analisis masalah, memilih dan merencanakan solusi,
implementasi solusi dan evaluasi terhadap solusi.
No comments:
Post a Comment