#Deni Irawan
@Isi Buku
Kalimantan Barat merupakan salah satu daerah konflik di Indonesia yang
sejauh ini telah banyak mendapat banyak sorotan oleh kalangan publik baik itu
di tingkat nasional, regional maupun global. Konflik di daerah ini meninggalkan
dampak kekerasan kolektif yang begitu besar dan mendorong banyak kalangan untuk
mencari tahu sebab-sebab konflik dan menemukan solusinya yang tepat agar
konflik tersebut tidak berlangsung terus yang memakan banyak korban
sehingga konflik ini tidak terulang lagi. Konflik yang pernah terjadi di Kalimantan Barat khususnya di wilayah
Kabupaten Sambas dan sekitarnya kini telah memasuki masa-masa pasca konflik karena konflik terbuka tidak lagi terjadi.
Namun disebalik itu masih menunjukkan bahwa
akar masalah konflik dan segala dampak konflik di masa lalu masih belum
sepenuhnya tuntas ditemukan solusinya. [1]
Penyelesaian terhadap akar masalah konflik merupakan awal dari upaya mendorong perdamaian ke depan. Pencarian
terhadap akar-akar masalah, sebab-sebab dan dampak konflik menjadi tugas
bersama, seperti yang pernah
dihadapi daerah pasca konflik pada umumnya. Akar dari masalah konflik yang merupakan kendala dalam upaya
perdamaian di Kalimantan Barat teridentifikasi seperti budaya yang berbeda
diikuti oleh
tidak mampunya menghargai dan menghormati budaya orang
lain tersebut, dendam dan kebencian yang masih ada, etika bermasyarakat yang
dilanggar, kepemilikan harta-benda yang bergerak atau
tidak bergerak yang masih saja belum tuntas
penyelesaiannya (tanah warga Madura), kebiasaan (budaya) masyarakat yang suka
menerima informasi yang langsung dipercaya, aparat sipil atau TNI-POLRI yang
tidak bertindak
tegas, peperangan yang dapat menimbulkan korban termasuk
harta benda kedua suku (etnik), serta sukarnya masyarakat Melayu untuk dapat
menerima kembali suku Madura seperti dahulu menjadi persoalan yang sampai saat
penelitian ini dilakukan masih belum bisa terselesaikan.[2]
Oleh karena itu, langkah-langkah perdamaian, kendala-kendala yang sedang
dihadapi dan solusi alternatif
membangun perdamaian harus dapat dirumuskan dan ditemukan
sebagai sebuah konsep yang dapat dijadikan bahan acuan ke depan. Dalam situasi
pasca konflik, diperlukan analisis lebih lanjut dan hal ini dilakukan tidak hanya tertuju pada konflik yang
terjadi tetapi juga
perlunya merumuskan usaha pembangunan perdamaian yang berkelanjutan di masa depan supaya konflik tidak terulang.
Peristiwa
konflik yang terjadi di Kabupaten Sambas ini sesungguhnya telah menimbulkan
berbagai masalah-masalah sosial yang
tidak hanya dirasakan etnik yang terlibat konflik, melainkan juga berdampak
pada lingkup di luar daerah etnik yang berkonflik.[3]
Konflik yang terjadi di Kabupaten Sambas dapat dikatakan murni konflik komunitas
etnik yaitu antara etnik Melayu Sambas dan etnik Madura Sambas yang terjadi
pada tahun 1999.[4]
Konflik di Sambas juga merupakan konflik yang terbesar dan untuk pertama kali
terjadi secara massal[5]
antara Madura dan Melayu Sambas karena sejak dahulu hanya terjadi konflik di
antara Dayak dan Madura tanpa melibatkan etnik Melayu.[6]
Sekilas,
konflik ini dipicu oleh peristiwa pada tanggal 19 Januari 1999 M, yaitu dengan
tertangkapnya seorang etnik Madura (Hasan, usia 32 tahun) warga di Desa Sari
Makmur Kecamatan Tebas yang diduga waktu itu hendak mencuri di rumah seorang
warga yaitu Ayyub.[7]
Bagaimanapun versinya kejadian konflik tersebut jelas telah menyebabkan
pecahnya konflik antara etnik Melayu Sambas dan etnik Madura Sambas yang
bertepatan dengan tanggal 1 Syawal 1419 H di Kampung Parit Setia Kecamatan
Jawai, Kabupaten Sambas.[8]
Saat itu, sekitar 200 orang Madura menyerang Desa Parit Setia setelah usai
sholat Ied tepatnya pukul 15.00 Wib, akibatnya 3 orang etnik Melayu tewas.[9]
Peristiwa ini menimbulkan kemarahan yang luar biasa dikalangan warga etnik Melayu
yang akhirnya menimbulkan gelombang serangan balasan pada pemukiman Madura di
daerah-daerah lain. Setelah konflik itu terjadi, sekitar 10 tahun sudah berlalu
(1999 s.d 2009) etnik Madura belum bisa kembali ke daerah asalnya di Kabupaten
Sambas karena daerah itu di klaim menjadi daerah “terlarang” bagi etnik Madura[10].
Khusus
konflik etnik di Kabupaten Sambas,[11]
berbagai upaya yang
dilakukan untuk mengatasinya. Forum dialog dalam berbagai bentuknya telah dilakukan
seperti pertemuan yang dilaksanakan yaitu pada tanggal 28 Januari 1999 antara
Muspida Sambas, Pemda Sambas dengan 30 tokoh Madura di Sambas. Tanggal 1 Maret
1999, bersama tokoh-tokoh Melayu Sambas untuk melakukan dialog itu.[12]
Seringnya dilakukan perundingan[13] antar pimpinan
etnik yang bertikai namun masih belum memberikan titik temu penyelesaian dan
masih perlunya menemukan konsep baru yang mampu memberikan jalan keluar terbaik
dalam permasalahan ini.
Jika kondisi tidak
aman dan konflik dibiarkan terus serta tiada upaya untuk menemukan jalan penyelesaiannya dengan baik, tentunya hal ini
akan mengancam keamanan di wilayah
Kabupaten Sambas dan dalam upaya mewujudkan visi yang telah tertuang dalam
Peraturan Daerah Kalimantan Barat nomor 10 tahun 2005, tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Menengah Daerah Propinsi Kalimantan Barat tahun
2006-2008 yaitu “Terwujudnya Masyarakat Kalimantan Barat yang Harmonis dalam
Etnik, Maju dalam Usaha, dan Tertib dalam Pemerintahan” serta visi
Kabupaten Sambas tahun 2006-2011, yaitu “Terwujudnya Sambas yang Mandiri, Berprestasi,
Madani dan Sejahtera melalui TERPIKAT TERIGAS 2011”.[14]
Penciptaan
dan terwujudnya stabilitas nasional
serta keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang selama ini
menjadi kebanggaan bangsa Indonesia juga
merupakan hal penting yang mesti diperhatikan secara bersama. Oleh karena itu,
upaya pencarian solusi membangun perdamaian menjadi tanggung jawab semua warga
bangsa pada umumnya dan terutama dikhususkan pada masyarakat pasca konflik Sambas. Untuk maksud
tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh
para pakar sosiolog-antropolog, dan akademisi.[15]
Memang
ketegangan konflik di Sambas sudah menurun dan tidak adanya lagi benturan fisik
antara kedua belah pihak. Hal ini diduga disebabkan oleh
kelelahan psikologis dari pihak-pihak yang berkonflik. Suasana aman ini sifatnya
sesaat, dan konflik sewaktu-waktu bisa meletus kembali ketika
pemicunya
cukup kuat. Jika dibanding dengan daerah lain, konflik di Sambas merupakan peristiwa yang dinilai sangat besar dan
bersejarah karena untuk pertama kali orang Melayu terlibat secara langsung
berkonflik dengan orang Madura asal Sambas serta kasus ini masih memerlukan
penangan khusus terhadap berbagai persoalan yang masih belum juga selesai.[16]
Usaha pengembalian etnik Madura ke Sambas masih belum berhasil dalam artian bahwa
masyarakat masih belum bisa menerima kembalinya etnik-etnik Madura masuk ke
wilayah Kabupaten Sambas, hanya saja boleh berada di wilayah tertentu yaitu di Singkawang sampai di Pontianak.
Usaha rekonsiliasi yang masih macet,
masih adanya stereotip antara etnik bertikai di mana semua itu merupakan
potensi konflik yang akan memicu konflik kekerasan baru jika pemicunya kuat dan
merupakan persoalan yang masih belum bisa diatasi. Jika hal
ini tidak diintervensi, bukan tidak mungkin jika benturan-benturan kecil pun akan
sangat mudah meluas menjadi konflik kekerasan komunal. Berangkat dari persoalan
di atas, maka penulis melihat sangat perlu adanya upaya untuk membangun
perdamaian di antara kedua pihak yang berkonflik ini agar keamanan di bumi
Kalimantan Barat ini segera dapat terwujud.
[1] Sejarah pecahnya
konflik antar kelompok etnik di Kalbar sudah terjadi ± 12 kali yang dapat
dilihat misalnya bentrokan sosial budaya
antara etnis Madura dan etnis Dayak tahun
1963, 1967, 1969,
1971, 1972, 1977, 1986, 1997, bentrokan etnik
Madura dengan pemerintah
tahun 1991 dan
1999, bentrokan etnik
Madura dengan Melayu dan Dayak
tahun 1999 di Parit Setia Kecamatan Jawai (19 Januari 1999), Tebas (23 Pebruari
1999), Prapakan (17 Maret 1999), Sei. Garam (7 April 1999), RSU Singkawang (9
April 1999), Sei. Ruk (16 April 1999), dan Karimunting (18 April 1999). Uray
Husna Asmara: Tragedi Pertikaian antar etnik Melayu-Madura, Dayak-Madura di
Kalbar, Penelitian dan Makalah Diskusi Konflik dan Kedamaian Sosial di
Tanah Air, UIN Jakarta. 2002. Konflik yang terjadi di Kalbar terjadi perbedaan
tahun kejadian, sesuai sumber yang dikutip. Lihat Al-Qadri, Faktor-faktor Penyebab
konflik Etnik, Identitas
dan Kesadaran Etnik,
serta Integrasi ke Arah
Disintegrasi di Kalimantan-Barat, dalam Konflik Komunal
di Indonesia Saat
Ini, (INIS dan PBB UIN Jakarta, 2003), hlm. 106, dan lihat pula Koeswinarno dan Dudung
Abdurrahman, Fenomena Konflik Sosial di Indonesia dari Aceh Sampai Papua (Yogyakarta:
Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006),
hlm. 184-185.
[2] Zulfydar Zaidar Mochtar, Mediasi Melayu-Madura: Menelusuri Jejak
Perdamaian sampai Temuan Mediasi Tradisional (Pontianak: Romeo Grafika, 2007), hlm.92.
[3] Permasalahan sosial
yang dimaksud adalah permasalahan yang bersumber dari akar konflik masa lalu
(streotipe orang Sambas terhadap orang Madura) maupun yang menyangkut
pengalihan sebagian status tanah pemukiman dan lahan pertanian milik orang
Madura yang masih tersisa di Kabupaten Sambas, ketidakstabilan sosial,
pergeseran sosial, trauma sosial dan berbagai kerentanan di masyarakat.
[4] Konflik ini juga
melibatkan etnik lain seperti etnik Dayak namun dalam skala
kecil. Lihat Koeswinarno dan Dudung Abdurahman, Fenomena Konflik…, hlm. 207. Menurut Syarief Ibrahim Al Qadrie, konflik sosial di
Kabupaten Sambas bukan konflik antar kelompok etnik, namun konflik itu terjadi
antar anggota komunitas Melayu dengan anggota komunitas Madura di
Kabupaten Sambas,
karena kenyataannya pertikaian tersebut tidak melibatkan kelompok etnik Madura dan Melayu
secara keseluruhan. Lihat dalam Munawar
M. Saad, Sejarah Konflik Antar Suku di Kabupaten Sambas (Pontianak:
Kalimantan
Persada Press, 2003), hlm. v-vi.
[5] Hal ini merupakan alasan peneliti untuk
melakukan penelitian ini lebih lanjut.
[6] Lihat Koeswinarno dan
Dudung Abdurrahman, Fenomena Konflik..., hlm. 185-190. Terdapat
penjelasan rentetan konflik etnik di Kalimantan Barat sampailah pada yang
terakhir melibatkan etnik Melayu secara massal.
[7] Ibid., hlm. 95.
Wawancara dengan Bapak Urai Razali, mantan penghulu Desa Setia Bakti RT.8 Parit
Setia Kecamatan Jawai, tanggal 24 Juli 2009.
[8] Ibid., hlm. 90.
[9] Nama yang meninggal
terbunuh saat itu adalah Mahli, Wasli dan Ayyub. Wawancara dengan Bapak Sarjo
Jur’in mantan kepala Desa Parit Setia RT.2/RW.1 Dusun Setia Darma. Menjabat
saat terjadi kerusuhan 1999. Diperjelas lagi oleh Bapak Urai Rusli. Tanggal 24
Juli 2009.
[10] Heru Cahyono, dkk, Konflik
Kalbar dan Kalteng; Jalan Panjang Merentas Perdamaian (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 159.
[11] Konflik yang sering
terjadi di Kalimantan Barat khususnya Kabupaten Sambas bukan berlatar belakang
suku dan agama. Tetapi lebih dipicu oleh benturan kebudayaan dan kebiasaan
antara penduduk asli dengan pendatang. Demikian ditegaskan oleh Wakil Gubernur
LH. Kadir, dalam jumpa pers mengenai konflik dan perdamaian di Kalbar, Kamis 9
Oktober 2003 pagi. Hadir pula Ketua Panitia Workshop Internasional Prof. Dr. Sy
Ibrahim Alkadrie, Perwakilan Indonesian Conflict Studies Network (ICSN)
Timo Kivimaki, dan Rektor Unpar Prof. Dr. Pius Kartasasmita. Karenanya, Wagub
mengharapkan agar pihak-pihak yang tidak begitu mengerti permasalahan konflik
di Kalbar tidak mengaitkan dengan agama. Sebab, selama ini kehidupan beragama
di Kalbar berjalan dengan harmonis dan selaras. AP Post, Konflik Kalbar
Bukan Karena Agama dan Suku; Wagub: Ciptakan Kondisi Kondusif, http://www.pontianakpost.com/. Diakses
tanggal,
Minggu, 26 April 2009.
[12] Ibid., hlm. 203.
Baru-baru ini juga ada lokakarya yang di sponsori UNDP, Kantor Menkokesra dan
lain-lain pada tanggal 14 Agustus 2008 dalam rangka Peace Day.
[13] Tampaknya perundingan yang dilakukan
hanya menyelesaikan konflik yang terjadi, akan tetapi tidak menyelesaikan akar
dari konflik tersebut. Perdamaian dengan upacara formal tersebut seperti
layaknya perdamaian yang semu sifatnya di mana interaksi warga berjalan
sedangkan sumber konflik tidak pernah ditangani akibatnya konflik laten terus
terjadi apabila ada yang memicunya.
[14] Kata ”Terpikat” itu
sendiri merupakan akronim dari (Tingkatkan Ekonomi Kerakyatan, Relegius,
Pendidikan, dan Kesehatan). Sedangkan “Terigas” akronim dari (T= Tertib dan
Teratur, E= Ekonomi Kerakyatan dan Sinergis dalam Investasi, R= Religius,
I= Iptek, G= Good Governance, A=Amanah yang Akhlaqul Karimah, S= Social
Control Partisipation).
[15] (1) Konflik Etnik
di Sambas Laporan
Hasil Penelitian Edi
Petebang dan Eri
Sutrisno, ISAI 2000, (2) Sejarah Konflik
antar Suku di Kabupaten
Sambas hasil Penelitian
Munawar M Saad, Kalimantan Persada Press 2003. Sedangkan
dalam bentuk tulisan-tulisan lainnya
seperti (1)Pertikaian konflik
etnik di Sambas dan Rekomendasi pemecahannya: Tinjauan sosiologis, 1999. Makalah Syarif Ibrahim Al-Qadri. (2) Tragedi
pertikaian antar etnik Melayu-Madura, Dayak-Madura di Kalbar, Makalah Uray
Husna Asmara 2002 dan lain-lain. Khususnya untuk penelitian Munawar MS yang
saat ini sudah diterbitkan dalam bentuk buku, di dalamnya menyimpulkan antara
lain bahwa penyebab konflik antar etnik di Kabupaten Sambas
adalah (1) sebagai akumulasi kemarahan etnik Melayu terhadap
Madura, (2) Orang Madura sering berlaku tidak pantas terhadap Melayu, (3)
karena perbedaan budaya yang tajam antara kedua etnik tersebut, (4)
Adanya pemaksaan (hegemoni) Budaya antar
etnik, (5) tidak adanya prospek pembauran keduanya pasca kerusuhan tahun 1999
yang lalu.
[16] Persoalan
itu antara lain: masalah relokasi pengungsian, kesejahteraan pengungsi, budaya,
penciptaan pembangunan perdamaian dan lain-lain.
No comments:
Post a Comment