Abstrak
Poligami adalah perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang istri dalam waktu yang bersamaan. Lawan dari poligami
adalah monogami. Dalam perspektif hukum Islam, poligami dibatasi sampai
maksimal empat orang isteri. Ada dua ayat pokok yang dapat dijadikan acuan
dilakukannya poligami, yakni QS. al-Nisa’ (4): 3 dan QS. al-Nisa’ (4): 129.
Poligami sudah berjalan seiring perjalanan sejarah umat manusia, sehingga
poligami bukanlah suatu trend baru yang muncul tiba-tiba saja. Para ulama
berbeda pendapat mengenai ketentuan dan hukum poligami. Di antara mereka ada
yang menyetujui poligami dengan persyaratan yang agak longgar dan ada yang
mempersyaratkannya dengan ketat. Di antara mereka juga ada yang melarang
poligami, kecuali karena terpaksa (sebagai rukhshah) dalam kondisi-kondisi
tertentu. Yang pasti hukum Islam tidak melarang poligami secara mutlak (haram)
dan juga tidak menganjurkan secara mutlak (wajib). Hukum Islam mengatur masalah
poligami bagi orang-orang yang memang memenuhi syarat untuk melakukannya.
Pelaksanaan poligami, menurut hukum Islam, harus didasari oleh terpenuhinya
keadilan dan kemaslahatan di antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Namun, kenyataannya banyak praktik poligami yang tidak mengindahkan ketentuan
hukum Islam tersebut, sehingga masih jauh dari yang diharapkan.
Keyword : Poligami, Hukum Islam, Pandangan
Ulama
Penulis:
Pendahuluan
Poligami merupakan suatu tindakan
yang saat ini masih menjadi pro dan kontra di masyarakat. Hal ini dikarenakan
perbedaan pendapat/pandangan masyarakat. Masih banyak yang menganggap poligami
adalah suatu perbuatan negatif. Hal ini terjadi karena poligami dianggap
menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan bagi kaum pria saja. Di Indonesia
sendiri, masih belum ada Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh
tidaknya poligami dilakukan.
Tujuan hidup keluarga adalah untuk
mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya Polligami yang
dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi hilang. Hal ini
tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena mereka beranggapan
tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami. Pandangan
masyarakat terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang tidak
setuju atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan,
karena harus berbagi dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi dengan perekonomian
keluarga yang tidak memungkinkan poligami.
Kata Monogami dapat dipasangkan
dengan Poligami sebagai antonim, Monogami adalah perkawinan
dengan istri tunggal yang artinya seorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan saja, sedangkan kata Poligami yaitu perkawinan dengan
dua orang perempuan atau lebih dalam waktu yang sama.[1] Poligami
berarti ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa
lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat Ijab Qabul
melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga, sedangkan Monogamy berarti
perkawinan yang hanya membolehkan suami mempunyai satu istri pada jangka waktu
tertentu.[2] Poligami
adalah suatu bentuk perkawinan dimana seorang pria dalam waktu yang sama
mempunyai istri lebih dari seorang wanita. Yang asli didalam perkawinan adalah Monogamy,
sedangkan Poligami datang belakangan sesuai dengan perkembangan akal
pikiran manusia dari zaman ke zaman.
Menurut para ahli sejarah, Poligami
mula-mula dilakukan oleh raja-raja pembesar Negara dan orang-orang kaya. Mereka
mengambil beberapa wanita, ada yang dikawini dan ada pula yang hanya
dipergunakan untuk melampiaskan hawa nafsunya akibat perang, dan banyak anak
gadis yang diperjualbelikan, diambil sebagai pelayan kemudian dijadikan gundik,
budak dan sebagainya. Makin kaya seseorang makin tinggi kedudukanya, makin
banyak mengumpulkan wanita. Dengan demikian Poligami itu adalah sisa-sisa
pada waktu peninggalan zaman perbudakan
yang mana hal ini sudah ada dan jauh sebelum masehi.[3]
Poligami adalah salah satu bentuk masalah yang dilontarkan oleh orang – orang
yang memfitnah Islam dan seolah-olah memperlihatkan semangat pembelaan terhadap
hak-hak perempuan. Poligami itu merupakan tema besar bagi mereka, bahwa
kondisi perempuan dalam masyarakat Islam sangat memprihatinkan dan dalam hal
kesulitan, karena tidak adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana dikemukakan oleh
banyak penulis, bahwa Poligami itu berasal dari bahasa Yunani, kata ini
merupakan penggalan kata Poli atau Polus yang artinya banyak, dan
kata Gamein atau Gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Maka
jikalau kata ini digabungkan akan berarti kata ini menjadi sah untuk mengatakan
bahwa arti Poligami adalah perkawinan banyak dan bisa jadi dalam jumlah
yang tidak terbatas. Namun dalam Islam, Poligami mempunyai arti
perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya dibolehkan hanya sampai
empat wanita saja.[4]
Poligami dahulu
dilakukan oleh banyak lelaki terhormat, serta diterima tanpa menggerutu
oleh perempuan-perempuan yang dimadu. Sementara orang berkata bahwa poligami lahir
akibat penguasaan dan penindasan lelaki atas perempuan. Tetapi pendapat ini
tidak sepenuhnya benar, karena sejarah umat manusia pun pernah mengenal dan
membenarkan sistem poliandri.
Agaknya poligami marak pada masa
lalu karena “nurani” dan rasa keadilan
lelaki maupun perempuan tidak terusik olehnya. Kini “rasa keadilan”
berkembang sedemikian rupa akibat maraknya seruan HAM dan persamaan gender,
sehingga mengantar kepada perubahan pandangan terhadap banyak hal, termasuk
poligami. Apalagi, ketergantungan perempuam kepada lelaki tidak lagi serupa
dengan masa lalu akibat pencerahan dan kemajuan yang diraih perempuan dalam
berbagai bidang.[5]
Dasar Hukum Poligami
Dasar Hukum Poligami terdapat dalam Surat An
– Nisa’ Ayat 03:
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak – hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[6]
Secara pemahaman kita tentang ayat
diatas, ayat ini diawali dengan solusi Islam dalam memberikan perlakuan kepada
anak yatim dalam bentuk perintah untuk melaksanakan nikah. Tetapi bilamana
tidak dapat berlaku adil terhadap hak-haknya yaitu wanita-wanita yatim yang
dikawani maka perintah tersebut berpindah untuk menikah dengan wanita-wanita
lain yang disenangi, baik secara lahiriah maupun bathiniah.
Maksudnya berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni atau
menafkahi isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
Sebelum turun ayat Ini Poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan
oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi Poligami sampai
empat orang saja.
Bunyi dalam ayat ini selanjutnya berkaitan dengan praktik pernikahan
yang ditunjukkan dalam Islam. Yaitu berupa anjuran jumlah wanita yang dibatasi
empat orang saja dalam meniti pernikahan yang dijalani oleh seorang hamba. Hal
ini sejalan dengan bunyi hadist:
Artinya:
Dari Salim, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ghalian Ibnu Salamah
masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri yang juga masuk Islam
bersamanya. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk memilih
empat orang istri di antara mereka dan ceraikan selebihnya. Hadits ini didapat
dari Imam Malik dari Zuhri, Hadits Ghailan.(Musnad Imam Syafi’i : 1338
[274/1])
Dan
juga hadist tentang Qais Ibnu Al-Harits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Ibnu Majah:
Artinya:
“Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: Ketika masuk Islam saya memiliki
delapan istri, saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya, lalu
beliau bersabda: “Pilih empat diantara mereka”. (H.R. Ibnu Majah)
Ibnu
Katsir dalam tafsirnya menjadikan riwayat ini sebagai penguat riwayat-riwayat
sebelumnya. Jadi, riwayat Shahabat yang beristri lebih dari 4 (empat) lalu Nabi
memerintahkan untuk memilih 4 saja dan menceraikan sisanya adalah
riwayat-riwayat yang bisa dijadikan Hujjah dalam pembahasan hukum Syara’
sehingga memberi batasan jumlah istri maksimal empat.
Dan demikian juga disebutkan dalam surat
An – Nisa’ Ayat 129, Allah SWT berfirman:
Artinya:
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[7]
Sejak masa Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan
setelahnya sebagian besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai
berikut:
1.
Perintah Allah SWT. “maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai perintah ibahah (boleh), bukan
perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih untuk bermonogami (istri
satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah kesepakatan
pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu yang berbeda.
2.
Larangan mempersunting istri lebih dari empat dalam
waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman Allah “maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”. Menurut Al
Qurtubi, pendapat yang memperkenankan Poligami lebih dari empat
dengan pijakan Nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang bersangkutan
tidak memahami gaya bahasa dalam Al – Qur’an dan retorika bahasa arab.
3.
Poligami harus berlandaskan asas keadilan, sebagaimana Firman
Allah, “kemudian jika kamu takut
tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki” (Qs. An – Nisa’ : 3). Seseorang tidak dibolehkan menikahi
lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin akan mampu untuk berpoligami.
Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi dia berdosa terhadap
tindakannya itu.
4.
Juga sebagaimana termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri (mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian”. adil dalam cinta diantara
istri-istri adalah suatu hal yang mustahil dilakukan karena dia berada di luar
batas kemampuan manusia. Namun, suami sesungguhnya tidak berlaku dzolim
terhadap istri-istri yang lain karena kecintaannya terhadap istrinya.
5.
Sebagian Ulama` penganut Madzhab Syafi’i mensyaratkan
mampu memberi nafkah bagi orang yang akan berpoligami. Persyaratan ini
berdasarkan pemahaman Imam Syafi’i terhadap teks Al`Qur’An, “yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar
tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam kitab “Akhkam Al-Qur’an”, Imam
Baihaqi juga mendasarkan keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang
lain. Dalam pemahaman Madzhab Syafi’i jaminan yang mensyaratkan kemampuan memberi
nafkah sebagai syarat Poligami ini adalah syarat diyanah (agama)
maksudnya bahwa jika yang bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah
bukan syarat putusan hukum.[8]
Dan adalagi yang menyebutkan bahwa Poligami itu Mubah (dibolehkan)
selama seorang mu’min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang Poligami
untuk menyelamatkan dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami
itu tidak bergantung kepada sesuatu selain aniaya (tidak jujur), jadi
tidak bersangkutan dengan mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika
tidur dengan suaminya dan tidak pula karena banyak jumlah wanita.[9]
Akan tetapi, dalam buku Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak,
Rujuk dan Hukum Kewarisan yang dikarang oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen
menyatakan bahwa memang tidak ada perselisihan Ulama tentang kebolehan seorang lelaki
mengawini wanita lebih dari satu. Perselisihan yang terjadi antara para Ulama
ialah dalam masalah adakah kebolehan (dasar hukum Poligami menurut Jumhur Ulama
Fiqh) tersebut statusnya ‘Azimah ataukah Rukhsah.[10]
Kemudian, dalam penelitian yang dilakukan oleh Prof. KH. Ibrahim Hosen
yang dalam kaitan ini menurut para Ulama Fiqh didalam memahami ayat diatas
bahwa hukum kebolehan Poligami adalah muthlaq yang berarti
kebolehan beristri lebih dari satu adalah ‘Azimah. Akan tetapi sebagian
Ulama Tafsir berpendirian bahwa hukum kebolehan berpoligami adalah Rukhshah,
dengan arti kata kebolehannya dharury. Jadi melakukan poligami
dalam keadaan tidak darurat hukumnya adalah haram. Selanjutnya menurut sebagian
Ulama Tafsir tersebut bahwa kebolehan berpoligami yang hukumnya Rukhshah
adalah dikaitkan dengan kesanggupan berlaku adil.
Hukum Poligami menurut Para Ulama Tafsir
(Terjemahan
Nukilan dari beberapa tafsir para Mufassirin)
Dalam Tafsir Fachrurazy Jilid 3, halaman 138:
“(Masalah
Kedua) perkataan fawahidah dibaca fawahidatan dengan baris atas ta’nya. Artinya
maka pilihlah seorang isteri dan tinggalkanlah poligami karena hal itu semuanya
berputar beserta keadilan, dimana
terdapat keadilan maka kamu dapat melakukan Poligami. Dan perkataan
fawahidah dibaca fawahidatun dengan baris rafa’ ta’nya. Maka artinya فكفت واحدة atau فحسبكم واحدة yang artinya
maka cukupkanlah seorang isteri atau budak yang dimiliki.
Tafsir Al-Manar Juz 4 halaman 357-358 dan 369-370:
“Akan
tetapi oleh karena faktor-faktor yang membolehkan Poligami itu adalah
darurat menurut ukuran kadar kebutuhan sedangkan golongan pria umumnya
terdorong melakukan Poligami ini untuk memuaskan nafsu saja bukan karena
kemashlahatan sedangkan kesempurnaan yang menjadi prinsip tujuan adalah Monogamy,
dijadikanlah Poligami didalam Islam itu selaku Rukhshah bukan
selaku kewajiban dan bukan pula selaku hal yang disunnatkan menurut esensinya
dan diikatlah dengan syarat yang dijelaskan oleh ayat Al-Quran secara tegas dan
berulang-ulang, maka perhatikanlah…. (357-358)”.
“Maka
yang semestinya mereka itu (ketika mereka menyalahgunakan poligami) melakukan
alternative:
1.
Cukup beristeri satu apabila mereka tidak sanggup
berlaku adil sebagaimana hal ini menjadi kenyataan sejalan dengan kewajiban
mereka mengamalkan mash ayat (apabila kamu khawatir tidak berlaku adil maka
hendaklah kamu beristeri seorang saja) dan adapun ayat (maka nikahilah wanita
yang baik bagimu) maka ia dikaitkan dengan ayat (maka jika kamu tidak dapat berlaku
adil) tersebut.
2.
Memperhatikan terlebih dahulu sebelum melakukan
poligami tentang kewajiban mereka menurut syara’ yaitu mengenai keadilan,
memelihara kerukunan antara anak-anak dan memelihara isteri-isteri dari
kemelaratan hidup yang membawa mereka kepada perbuatan yang tidak layak.
Kesimpulannya poligami itu bertentangan dengan hukum asli dan
bertentangan dengan kesempurnaan serta meniadakan ketenangan jiwa, kesantunan
dan kasih sayang yang menjadi rukun kehidupan suami-isteri; tidak ada beda
antara perkawinan orang yang hancur kehidupan rumah tangganya dengan campur
baurnya hewan. Maka tidaklah layak bagi orang Muslim melakukan poligami kecuali
karena darurat serta berpegang teguh dengan sesuatu yang disyaratkan oleh Allah
swt. yaitu berlaku adil. Tingkatan adil dibawah tingkatan ketentaraman diri,
sopan santun dan kasih sayang dan tidak ada dibelakang keadilan itu kecuali
kezhaliman seseorang terhadap dirinya, terhadap isterinya, terhadap anaknya dan
bangsanya dan Allah tidak suka kepada orang-orang yang zhalim…… (369-370)”.
Dalam Tafsir Al-Mughary Juz 4 halaman 181:
“Sesungguhnya
telah jelas bagimu dari uraian terdahulu bahwa kebolehan berpoligami sangat
dipersempit karena ia adalah darurat, dibolehkan bagi yang berhajat dengan
syarat penuh kepercayaan untuk berlaku adil dan menghindari kecurangan.”[11]
Setelah
kita mengetahui secara pasti dari beberapa pendapat para mufassir yang
dituangkan dalam tulisannya, maka dapatlah kita ketahui dan simpulkan sebagai
berikut:
Kebolehan Poligami, mereka sangat
tekankan kepada syarat adil sebagai syarat muthlak atas dasar pandangan mereka
bahwa ayat فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ
dikaitkan
dengan ayat فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا. Atas dasar inilah mereka berpendirian
bahwa melakukan poligami itu hukumnya dilarang. Hukum larangan ini mereka ambil
dari fi’il amr yang tersirat yang menjadi jawab syarat dalam ayat فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً jawab syarat tersebut dapat berbentuk فلتزموا واحدة atau فانكحوا واحدة atas dasar
kaidah الآمر بالشئ نهى عن ضده yang
artinya perintah melakukan sesuatu artinya larangan terhadap meninggalkan
sesuatu. Mereka tafsirkan ayat tersebut sebagai berikut: فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلا تَعْدِلُوا فلا تنكحوا غير واحدة. Artinya jikalau kamu khawatir akan
tidak berlaku adil maka janganlah kamu menikahi lebih dari seorang wanita.”
Illat hukum larangannya mereka ambil dari akhir ayat ذَلِكَ أَدْنَى أَلا
تَعُولُوا jadi illat hukum larangan
berpoligami tersebut ialah menghindarkan kezhaliman dan kecurangan. Hukum
larangan berpoligami mereka pandang ‘Azimah, sedang hukum kebolehan
melakukan poligami bagi yang sanggup berlaku adil adalah Rukhshah karena
darurat.
Syarat adil bagi kebolehan
berpoligami dipandang oleh mereka selaku syarat hukum, dengan arti kata ketika
terdapat keadilan maka terdapatlah hukum kebolehan berpoligami dan ketika tidak
terdapat keadilan maka terdapatlah hukum larangan berpoligami. Larangan membawa
kepada batalnya pekerjaan yang dilarang. Mereka menggunakan kaidah yang
berbunyi النهي يدل على الفساد larangan
itu menunjukkan fasadnya hukum.
Selanjutnya
menurut Prof. KH. Ibrahim Hosen yang dalam hal ini meneliti pendapat kalangan
Ulama Fiqh tentang hukum kebolehan poligami. Ada beberapa hal yang beliau
simpulkan, yaitu:[12]
Syarat adil bagi kebolehan
berpoligami bukanlah syarat hukum sebagaimana menurut jalan fikir kalangan
Ulama Tafsir, akan tetapi ia adalah syarat agama dengan pengertian bahwa agama
yang menghendakinya. Karena yang dikatakan syarat hukum itu adalah yang
dituntut adanya sebelum adanya hukum, dengan pengertian bahwa syarat seperti
itu tidak dapat berpisah dari hukum. Contohya wudhu’ selaku syarat hukum sahnya
dalam menunaikan shalat, dituntut untuk dilakukan sebelum shalat, karena shalat
tidak akan sah dilakukan kecuali dengan wudhu’ terlebih dahulu. Maka shalat
dengan wudhu’ tidak dapat dipisahkan. Sama halnya adil tidak dapat dijadikan
syarat hukum sahnya poligami karena adil itu belum dapat diwujudkan sebelum
terwujudnya poligami. Oleh karena itulah syarat adil dalam melakukan poligami
tidak dapat dikatakan syarat hukum, akan tetapi ialah syarat agama yang oleh
karenanya ia menjadi salah satu kewajiban si suami setelah melakukan poligami.
Selain daripada itu syarat hukum itu mengakibatkan batalnya hukum ketika batal
syaratnya, tetapi syarat agama tidak demikian halnya, melainkan ia hanya
mengakibatkan dosa kepada Tuhan. Jadi suami yang tidak berlaku adil dia berdosa
dan dapat diajukan kepada hakim perkaranya dan hakim pun dapat menjatuhkan
kepadanya hukuman. Akan tetapi jikalau adil menjadi syarat hukum bagi kebolehan
berpoligami, maka jika suami tidak berlaku adil nikahnya menjadi batal.
Untuk lebih memperkuat, dapat kita contohkan khusyu’ dalam shalat
merupakan syarat agama bukan syarat hukum. Karena orang yang shalat tanpa
khusyu’ shalatnya sah. Kalau khusyu’ itu kita pandang syarat hukum, maka shalat
akan menjadi batal ketika seseorang shalat tidak dengan khusyu’. Sedangkan kita
ketahui bersama khusyu’ adalah suatu hal yang sangat berat dipraktikan.
Dari kedua perbedaan pendapat diatas antara kalangan Ulama Fiqh dengan
Ulama Tafsir. Penulis dapat memahami bahwa pintu kebolehan berpoligami tentulah
tidak dapat ditutup. Karena tidak ada secara tegas pun yang menyatakan larangan
apalagi kata-kata yang mencirikan bahwa poligami maupun pelakunya salah. Yang
ada hanya teguran yang tegas bilamana menyalahgunakan poligami sebagai bentuk
hawa nafsu belaka. Adil menjadi kesepakatan bersama para Ulama untuk
melakukannya karena hal itulah yang menjadi solusi agar keseimbangan bisa
terjaga.
Poligami dalam Pandangan Madzhab Imam Syafi’ie
Poligami atau menikahi dari seorang istri bukan merupakan
masalah baru. Ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala diantara
berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Dengan tibanya Islam,
poligami yang tak terbatas ditetapkan menjadi istri saja pada suatu saat,
dengan persyaratan khusus serta juga sejumlah ketentuan yang dikenakan padanya.
Adapun syarat minimal yang harus ada dalam pelaksanaan poligami adalah :
1) adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri, adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3)
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka (pasal 5 ayat 1).[13]
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa’ : 3)[14]
“Barangsiapa seorang (suami) mempunyai dua orang
isteri, kemudian ia cenderung kepada salah satunya, tetapi tidak kepada yang
lain, maka ia datang di hari kiamat separuh badannya menceng” (HR. Ahmad, dan Imam Empat,
dengan Sanad yang Sahih)[15]
Imam Syafi’i menegaskan pada kasus Poligami ini beliau mencoba
mentransformasikan hadis dalam praktik Nabi Muhammad SAW terhadap wahyu yang
diturunkan. Kemudian pada kasus Poligami ini, Nabi sedang menegaskankan QS. An-Nisa Ayat 2-3 mengenai perlindungan terhadap
janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya
Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti
bahwa Poligami Nabi adalah
media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk
solusi. Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian
problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati,
kecuali Aisyah ra binti Abu Bakar ra.
Sayid Sabiq, memaparkan Imam Syafi’i berkata bahwa masalah poligami
telah ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah sebagai penjelasan dari firman Allah,
bahwa selain Rasulullah SAW tidak ada seorang pun yang dibenarkan kawin lebih
dari empat perempuan.[16]
Seperti dijelaskan dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menyatakan
turunnya ayat tentang pembolehan poligami ini adalah sesuai dengan firman Allah
SWT (QS. An-Nisa’ : 3) : “Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu
senangi : dua, tiga dan empat”. Pada saat ayat ini diturunkan, masyarakat
Arab memiliki isteri yang tidak dapat dihitung dengan jari dan budak-budak
wanita yang tidak terbatas jumlahnya. Dengan turunnya ayat ini, Al-Qur’an
melarang seluruh umat Islam untuk menikah lebih dari empat orang (kekhususan
hanya diberikan kepada Rasulullah SAW).
Imam Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, menegaskan juga bahwasannya seorang
laki-laki boleh melaksanakan poligami. Poligami yang disyaratkan
ini adalah kebolehan laki-laki hanya menikahi perempuan tidak lebih dari empat
orang perempuan (istri). Peristiwa ini pernah terjadi pada masa Rasulullah
SAW., dimana Ghilan masuk Islam, ia mempunyai sepuluh orang istri. Lalu Nabi
SAW. bersabda kepadanya: “Pilihlah yang empat orang dan ceraikan yang lain“.
Peristiwa juga pernah terjadi ketika Naufal bin Muawiyah masuk Islam, ia
mempunyai lima orang isteri, Nabi SAW. bersabda kepadanya: “Pilihlah yang
empat orang dan ceraikan yang lain“.[17]
Penutup
Penganut Madzhab Syafi’i mensyaratkan mampu memberi nafkah bagi orang
yang akan berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman Imam Syafi’i
terhadap teks Al-Qur’an, “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”. Artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam
kitab “Ahkam Al-Qur’an”, Imam Baihaqi juga mendasarkan keputusannya
terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman madzhab Syafi`i
jaminan yang mensyaratkan kemampuan memberi nafkah sebagai syarat poligami ini
adalah syarat Diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang bersangkutan
tahu bahwa dia tidak mampu memberi nafkah bukan syarat putusan hukum.
Dengan demikian, penulis dapat menggarisbawahi apa yang disampaikan
Madzhab Syafi’i tentang Poligami, bisa disimpulkan bahwa poligami adalah
Rukhsah (keringanan), bukan tujuan utama dan bukan pula anjuran. Justru
poligami adalah sebuah batasan. Dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada seruan untuk
melakukan Poligami, kecuali dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan.
Jadi menurut penulis, dalam hal syarat keadilan melakukan poligami yang
sarat dengan masalah terkait dengan boleh atau tidaknya (dilarang) karena
hal-hal tertentu ataupun pemahaman-pemahaman lainnya. Adil memang menjadi
syarat muthlaq menurut penulis terlepas dari apakah ia syarat Hukum
ataukah syarat Agama karena disinilah yang menjadi kesepakatan bersama para
Ulama, yang menjadi perbedaan hanya konsep yang dibangun oleh masing-masing
mereka dalam memahami ayatnya. Kami hanya dapat mengatakan bahwa poligami bisa
menjadi solusi dalam keadaan tertentu dimana keadaan yang hanya bukan dharury.
Karena secara teoritis ayat yang menjadi landasan berpoligami tidak bisa kita
pahami demikian. Sebab pembahasan mengenai poligami dalam pandangan Al-Qur’an
hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik dan buruknya, tetapi harus
dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin
terjadi, serta melihat pula sisi pemilihan aneka alternatif yang terbaik.
Bukankah hal yang wajar bagi suatu perundangan, apalagi agama yang bersifat
universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat untuk mempersiapkan
ketetapan hukum yang boleh jadi terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadiannya
baru merupakan kemungkinan.
Disinilah kita perlu mengetahui sejauh mana pandangan dan perspektif
para Ulama dalam mengahadapi masalah poligami dan menyimpulkannya sehingga kita
mampu mengkritisi apakah pendapat-pendapat mereka layak selama ini untuk bisa
dijadikan landasan teori maupun praktik di lingkungan masyarakat kita khususnya
dan seluruh umat Islam pada umumnya.
Secara pemahaman penulis, dapat dianalisa bahwa pintu kebolehan poligami
tidaklah dapat kita tutup secara rapat. Karena Allah sendiri membicarakan hal
ini (poligami) dalam firmannya yang secara tidak langsung dapat kita
pahami poligami adalah sebuah solusi Islam yang bisa dilakukan bagi
setiap orang dan dengan ketentuan adil dalam pelaksanaannya. Memang timbul
pemahaman-pemahaman yang berbeda mengenai hal ini, karena yang hanya mengerti
dan paham isi yang tersirat dalam ayat yang menjadi landasan kita saat ini
hanya Allah swt. yang tahu. Kita hanya mampu dan dapat memetik hikmah yang
timbul serta yang ada dalam pelaksanaan poligami di muka bumi ini.
Daftar Referensi
Achmad
Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995)
Aisjah
Dahlan, Membina Rumah Tangga Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969)
Al –
Qamar Hamid, Hukum Islam Alternative Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005)
Al-San’ani,
Subul al-Salam, (Mesir: Dar Ihya’ al-Turas al-Araby, 1960)
Fada
Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta:
Darussalam Offset, 2004)
Ibrahim
Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Balai
Penerbitan & Perpustakaan Islam Jajasan Ihja’ Ulumuddin Indonesia), cet.
1, 1971
Imam
Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, Kifayah Al-Akhyar, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.t.), Jilid II
Khoiruddin
Nasution, Riba Dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996)
Sayid
Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa Moh. Tholib (Bandung: PT. Al- Ma’arif, Juz VI, 1990), cet. 7
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
[1] Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan,
(Jakarta: PT Raja Grafindo, 1995), hal 159
[2] Al – Qamar Hamid, Hukum Islam Alternative
Terhadap Masalah Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Restu Ilahi, 2005), hal 19
[3] Aisjah Dahlan, Membina Rumah Tangga
Bahagia, Cet 1. (Jakarta: Jamunu, 1969), hal 69
[4] Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dengan Academia, 1996) hal. 84
[5] Disunting dari Makalah M. Quraish Shihab
pada Semiloka Sehari “Poligami di Mata Kita” yang diselenggarakan di
Denpasar oleh BKOW Daerah Bali pada tanggal 26 Mei 2007 dalam rangka Hari
Kartini.
[6] Muslim Pro, Al Qur’an Terjemahan, Surat An –
Nisa’ 04 : 03
[7] Muslim Pro, Al Qur’an Terjemahan, Surat An –
Nisa’ 04 : 129
[8] Fada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita
Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam
Offset, 2004) hal. 42-45
[9] Ibid, hal. 200
[10] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah
Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Balai Penerbitan &
Perpustakaan Islam Jajasan Ihja’ Ulumuddin Indonesia), cet. 1, 1971, hal. 83
‘Azimah adalah hukum – hukum yang telah disyariatkan Allah kepada seluruh
hamba-Nya sejak semula. (Al-Bannani, Al-Amidi dan As-Sarakhi) Contohnya
Shalat lima waktu. Sedangkan Rukhshah adalah hukum yang telah ditetapkan
untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang
menyebabkan kemudahan. Contohnya memakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan
darurat.
[11] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam
Masalah Nikah, Talak, Rujuk dan Hukum Kewarisan, (Jakarta: Balai Penerbitan
& Perpustakaan Islam Jajasan Ihja’ Ulumuddin Indonesia), cet. 1, 1971, hal.
88
[12] Ibid. hal. 92
[13] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
[14] Muslim Pro, Al Qur’an Terjemahan, Surat An –
Nisa’ 04 : 03
[15] Al-San’ani, Subul al-Salam, (Mesir: Dar
Ihya’ al-Turas al-Araby, 1960), hal. 162
[16] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih
Bahasa Moh. Tholib (Bandung: PT. Al-Ma’arif, Juz VI, 1990), cet. 7, hal. 149.
[17] Imam Taqiyuddin Abi Bakr al-Husaini, Kifayah
Al-Akhyar, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.t.), Jilid II, hal. 38
---------------------
Artikel ini ditulis oleh Yuda Abdul Ghafur, mahasiswa
semester II IAIS Sambas. Bagi mahasiswa lain yang ingin menulis dan menyebarkan
ide briliant-nya, kami siap mewadahinya di blog ini, dengan catatan bahwa
tulisan tersebut tidak bersifat hoax, ujaran kebencian, kritik tak berdasar,
dan sejenisnya serta tulisan tersebut telah lulus telaah admin blog ini. Terima
kasih.
No comments:
Post a Comment