Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Belajar Akhlak dengan KH. Hasyim Asy’ari





KH. Hasyim Asy’ari adalah pendiri organisasi terbesar di Indonesia sekaligus organisasi yang memiliki banyak cabang perwakilan di beberapa negara di dunia. Organisasi dimaksud adalah Nahdlatul Ulama (NU), yang bermakna Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Orang-orang yang berilmu lagi berakhlak mulia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak dari hasil pernikahan Kyai Asy’ari dengan Nyai Halimah, yang dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 (ada yang menyatakan beliau lahir pada Selasa Kliwon, 14 Februari 1871) di Pesantren Gedang Desa Tambak Rejo Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang Jawa Timur, tepatnya dikediaman kakeknya, Kyai Ustman.
Pada tahun 1899 M, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang Dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya sekitar 200 m sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah Timur Desa Keras, kurang lebih satu KM masuk Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil berukuran 6 m X 8 m yang terdiri dari barak inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan shalat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu, santrinya hanya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Dusun Tebu Ireng pada saat itu merupakan sarang preman, kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan tempat tersebut tentu menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, akan tetapi tak sedikitpun mengendorkan semangat Kyai Hasim untuk mendirikan pesantren. Secara berangsur-angsur, akhirnya masyarakat mulai tertarik dan mendukung keberadaan pesantren Kyai Hasyim, termasuk pengakuan yang diberikan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 6 Februar 1906 M. Melalui pengakuan tersebut, Pesantren Tebu Ireng resmi berdiri.
Mengambilkan Cincin Gurunya di Lubang WC
KH. Hasyim Asy’ari pernah nyantri kepada KH. Cholil Bangkalan, Madura. Ketika mondok dengan Kyai Kholil, Hasyim Asy’ari benar-benar dididik akhlaknya. Setiap hari, Hasyim Asy’ari disuruh gurunya angon atau merawat Sapi dan Kambing. Hasyim Asy’ari seringkali disuruh untuk membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis, melainkan ilmu pragmatis, langsung penerapan.
Sebagai murid, Hasyim Asy’ari tak pernah ngersulo atau mengeluh bila disuruh gurunya angon Sapi dan Kambing. Beliau terima titah sang guru sebagai penghormatan kepada guru. Hasyim Asy’ari sadar betul bahwa ilmu dari gurunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridha kepada muridnya. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil, tapi juga sangat mengharapkan berkah ilmu dari Kyai Cholil.
Pada suatu hari, Hasyim Asy’ari setelah memasukkan Sapi dan Kambing ke kandangnya, beliau langsung mau mandi dan Shalat Ashar. Namun sebelum mandi, Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Cholil termenung sendiri, seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang guru. Dengan memberanikan diri, Hasyim Asy’ari bertanya kepada Kyai Cholil.
Hasyim Asy’ari: “Ada apakah gerangan wahai Guru, kok kelihatan sedih”.
Kyai Cholil: ”Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septic tank)”, jawab Kyai Cholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Hasyim Asy’ari segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu, dan beliau diizinkan. Langsung saja Hasyim Asy’ari masuk ke kamar mandi dan membongkar septic tank (kakus). Beliau langsung masuk ke dalam septic tank dan menguras isinya. Setelah dikuras seluruhnya, akhirnya cincin milik gurunya tersebut berhasil ia temukan.
Betapa riangnya Kyai Cholil melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya. Sampai terucap do’a dari mulut Kyai Cholil: “Aku ridha padamu wahai Hasyim, Ku do’akan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”. Demikian bunyi doa yang keluar dari Kyai Cholil. Karena yang berdoa seorang wali, Alhamdulillah mustajab, di kemudian hari, Hasyim Asy’ari menjadi ulama besar, tokoh panutan dan pendiri Nahdlatul Ulama.
Akhlak: Guru Belajar dengan Murid
Ketokohan dan kecerdasan Kyai Hasyim menyebar ke berbagai pelosok daerah, termasuk penguasaannya di bidang Ilmu Hadits, khususnya Hadits Bukhari dan Muslim. Setiap malam Ramadhan, beliau memberikan kajian khusus mengenai Ilmu Hadits. Lantaran keilmuannya tersebut, hingga banyak Kyai-kyai yang datang untuk belajar Ilmu Hadits kepada Kyai Hasyim, termasuk gurunya sendiri yang pernah mengajari beliau, yaitu KH. Cholil Bangkalan Madura.
Niatan Kyai Cholil untuk belajar kepada muridnya tentu menyedot perhatian masyarakat, termasuk “kepanikan” Kyai Hasyim, hingga terjadilah sebuah dialog antara KH. Hasyim Asy’ari dengan KH. Cholil Bangkalan:
Kyai Cholil: “Dulu Saya memang mengajar Tuan, tapi hari ini Saya nyatakan bahwa Saya adalah murid Tuan”.
Kyai Hasyim: “Sungguh Saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba hendak berguru kepada Saya, seorang ini murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya”.
Kyai Cholil: “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tidak dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan dan berguru kepada Tuan”.
Lantaran nekadnya Kyai Cholil, akhirnya Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri, termasuk kyai-kyai yang lain. Kyai Hasyim sangat sadar bahwa ia tak bisa membatasi dan menghalangi siapapun untuk belajar agama, termasuk Kyai yang pernah menjadi guru panutannya. Namun sebelum belajar, Kyai Hasyim membuat kesepakatan kepada Kyai Cholil bahwa ia tidak mau dipanggil Kyai oleh Kyai Cholil dan kyai sepuh lainnya. Selain itu, para kiai sepuh itu tidak perlu bersusah payah memasak dan mencuci baju mereka, karena akan dilayani oleh para pengurus Pondok Pesantren Tebuireng.
Suatu malam, salah seorang dari kiai sepuh terbangun dan melihat ada seseorang yang sedang mengumpulkan baju-baju kotor milik para kiai tersebut. Sekilas tampak orang tersebut mirip Kyai Hasyim Asyari. Lantaran penasarannya, maka kiai sepuh itu mengikuti orang tersebut. Setelah baju kotor para kyai terkumpul semua, orang tersebut langsung mencucinya. Setelah didekati oleh kyai sepuh, ternyata orang mengumpulkan baju sekaligus mencucinya adalah Kyai Hasyim Asyari sendiri.
Keteladanan dan kepribadian yang ia miliki, sangat menarik perhatian, sehingga tidak hanya para kyai yang senang dan ingin berguru kepadanya, tetapi ribuan santri juga menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Pesantren Tebuireng, tak sedikit di antara santri yang sukses dan berhasil tampil sebagai tokoh dan ulama kondang yang berpengaruh luas di masyarakat, di antaranya: KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Wahid Hasyim (anaknya) dan KH. Achmad Shiddiq.
Wafatnya KH. Hasyim Asy’ari
Pada tanggal 7 Ramadhan 1366 H, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 M. pukul 9 malam, Kyai Hasyim baru saja selesai mengimami Shalat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu Muslimat NU. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman. Kyai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kyai Ghufron (Pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya).
Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Kyai Hasyim. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak dari rakyat Indonesia yang menjadi korban.
Tak lama berselang, Kyai Hasyim mendapat laporan dari Kyai Ghufron (Pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat.
Mendengar laporan tersebut, Kyai Hasyim berkata: ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kyai Hasyim tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kyai Hasyim mengalami pendarahan otak (hersen bloeding) yang sangat serius. Pada pukul 03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, KH. M. Hasyim Asy’ari meninggal dunia. 

#Tulisan ini diolah dari berbagai sumber, semoga bermanfaat
@Penulis: Adnan Mahdi

«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: