Dalam Islam, Rasulullah SAW merupakan panutan
atau teladan yang tak bisa diragukan oleh semua orang, sehingga Beliau
menempati urutan pertama tokoh terbaik di dunia. Sejak dari dalam kandungan
hingga wafatnya, selalu memberikan pengajaran dan teladan kepada umat manusia. Keteladanan
yang dicontohkan Rasulullah, juga dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul
sebelumnya sesuai dengan kekhasan mereka masing-masing. Manusia pilihan Allah
sekaligus teladan ummat manusia tersebut umumnya adalah laki-laki, sehingga
menyisakan pertanyaan bagi umat manusia, khususnya kaum perempuan, siapa
gerangan yang bisa dijadikan teladan buat mereka?
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Yang sempurna dari kaum
lelaki sangatlah banyak, tetapi yang sempurna dari kaum perempuan hanyalah
Maryam binti Imran, Asiyah binti muzahim, Khadijah binti Khuwailid dan Fatimah
binti Muhammad. Sedangkan keutamaan Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti
keutamaan tsarid (roti yang diremukkan dan direndam dalam kuah) atas segala
makanan yang ada” (HR. Bukhari).
“Cukuplah wanita-wanita
ini sebagai panutan kalian, yaitu Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid,
Fatimah binti Muhammad dan Asiyah binti Muzahim, isteri Fir’aun” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi).
“Sebaik-baik wanita
penduduk surga adalah Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad dan
Asiyah isteri Fir’aun” (HR. Ahmad).
Berdasarkan penjelasan
Rasulullah SAW di atas, jelaslah ada empat sosok perempuan yang bisa dijadikan
panutan atau teladan oleh kaum perempuan masa kini. Empat perempuan tersebut
tidak hanya memiliki akhlak yang mulia, tetapi mereka juga aktivis yang sangat
diperhitungkan keberanian dan pengorbanannya oleh kaum lelaki.
>> Asiyah binti
Muzahim
Asiyah binti Muzahim
adalah isteri manusia yang mengaku dirinya sebagai Tuhan, yakni Fir’aun. Asiyah
sangat dikenal dan terkenal di kalangan masyarakat Mesir, beliau adalah sosok
perempuan yang sangat sayang terhadap anak kecil, termasuk menaruh perhatian
mendalam bagi masyarakat miskin. Tak heran ketika Asiyah melihat bayi Musa As
yang mengapung di sungai Nil, secara spontan dia mengambilnya dan langsung
memohon kepada Fir’aun untuk tidak membunuhnya, dan malah menyarankan Fir’aun
untuk mengambilnya sebagai anak angkat. Permohonan dan saran yang diutarakan
Asiyah kepada Fir’aun jelas membutuhkan keberanian dan resiko kematian, karena
pada waktu yang bersamaan, Fir’aun sedang gencar-gencarnya memburu bayi
laki-laki untuk dibunuh, karena menurut ramalan, kekuasaannya akan dihancurkan
oleh anak laki-laki yang lahir pada saat itu.
“Dan berkatalah isteri
Fir’aun: “(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu
membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi
anak”, sedang mereka tiada menyadari” (QS. Al-Qashash: 9).
Permohonan dan saran
Asiyah akhirnya diterima oleh Fir’aun. Bisa dibayangkan bila Fir’aun menolak
dan murka pada saat itu, jelas nyawa Asiyah bisa menjadi taruhannya.
Setelah berhasil
menyelamatkan Musa yang kelak menjadi Nabi dan Rasul, ternyata Asiyah terus
melanjutkan aktivitas dan misi berbahaya lainnya, di antaranya adalah memberi
makan dan harta untuk masyarakat miskin dari gudang simpanan harta Fir’aun. Setelah
sekian lama aktivitas tersebut dilakukan Asiyah, akhirnya ia ketahuan oleh Fir’aun.
Akhirnya, Fir’aun mengumpulkan dan memerintahkan bala tentaranya untuk
menangkap dan menggantung Asiyah. Sungguh dahsyat siksaan yang dialami Asiyah
binti Muzahim, ia diikat di tiang salib di bawah terik panasnya matahari. Melihat
beratnya siksaan bagi seorang aktivis pejuang agama tauhid, hingga Allah “membocorkan”
rahasia-Nya dengan memperlihatkan istana surga yang sudah dipersiapkan untuk
Asiyah.
“Dan Allah membuat isteri
Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya
Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mudalam firdaus, dan
selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari
kaum yang zhalim” (QS. At-Tahrim: 11).
Sungguh besar
pelajaran yang bisa dipetik oleh kaum perempuan aktivis saat ini dari sekelumit
kisah Asiyah binti Muzahim, bahwa sejatinya untuk menjadi seorang aktivis,
jangan pernah meninggalkan kodratnya sebagai seorang isteri bagi suami dan ibu
bagi anak-anaknya. Sesibuk apapun aktivitas yang ia lakukan, tak dibenarkan baginya
untuk melepas tanggung jawab sebagai seorang isteri sekaligus ibu, meskipun
suami mereka termasuk orang yang zalim seperti Fir’aun. Kendati tugas sebagai
isteri dan ibu dilaksanakan, seorang aktivis perempuan tak boleh mengabaikan
kehidupan orang-orang yang ada di sekelilingnya. Untuk memerankan hidup seperti
Asiyah binti Muzahim memang tidak mudah, diperlukan kesabaran dan keberanian dalam
menjalaninya, tapi bukan berarti tidak mungkin, sangat tergantung pada seberapa
besar keyakinan dan kecintaannya kepada Allah SWT. Untuk memiliki keyakinan
yang besar kepada Allah, tentu harus mengalokasikan waktu yang banyak untuk
selalu bersama-Nya. Artinya, perempuan aktivis yang tangguh adalah mereka yang
selalu dekat dengan Allah dan tak melepaskan tanggung jawabnya sebagai isteri,
ibu, sekaligus bagian dari masyarakat.
>> Maryam binti
Imran
Maryam binti Imran
adalah sosok perempuan aktivis kedua yang dirindukan surga lantaran kemuliaan
akhlaknya. Ia terlahir dari orang tua Imran dan Hanna yang sangat terkenal
kesalehan dan kemuliannya. Kemuliaan Maryam semakin berlipat ganda tatkala ia
diasuh dan dibesarkan oleh pamannya yang bernama Nabi Zakariya, dan ditempatkan
secara khusus di mihrab Baitul Maqdis.
“Dan (ingatlah) ketika
Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu,
mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa
dengan kamu)” (QS. Al-Imran: 42).
Maryam binti Imran ketika
usia anak-anak, sudah ditugaskan untuk membersihkan tempat-tempat tertentu di Baitul
Maqdis. Tanpa pamrih dan mengharap imbalan, ia bekerja sekuat tenaga
membersihkan Baitul Maqdis. Sambil bekerja melaksanakan tugasnya, ia sering “mencuri”
ilmu yang diajarkan oleh para Rahib kepada murid-muridnya. Lantaran kebersihan
hati dan kecerdasan yang ia miliki, Maryam mendapatkan pengajaran secara tak
langsung dan menguasai setiap pelajaran yang disampaikan oleh para Rahib. Ilmu yang
ia miliki menjadi senjata dan syarat mutlak untuk menjadi perempuan aktivis.
Selain itu, ia sangat
peduli dengan orang-orang miskin yang memerlukan makanan di samping dinding
peratapan. Tak jarang ia membantu orang-orang miskin yang sakit di sekitar
Baitul Maqdis. Lantaran perhatian yang besar terhadap orang miskin dan selalu
berharap akan keridhaan Allah, tak jarang jatah makanannya diberikan kepada
orang-orang yang kelaparan, padahal dia sendiri sangat memerlukan. Kepeduliannya
terhadap orang miskin ini yang menyebabkan ia melakukan puasa khusus, yaitu dua
hari berpuasa dan satu hari berbuka.
Ketika Maryam berusia
13 tahun menurut Ali Awudh Uwaidhah, ia diuji oleh Allah dengan melahirkan seorang
bayi tanpa ayah yang bernama Isa binti Maryam.
“Dan (ingatlah) Maryam
binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya
sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan
Kitab-kitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim: 12)
Kejadian di luar
kebiasaan perempuan normal ini membuatnya menjadi sasaran caci-maki dan fitnah
dari orang-orang di sekitarnya. Namun, berdasarkan latihan kesabaran yang
selalu dilakukan ketika membersihak Baitul Maqdis dan membantu orang-orang
miskin, Maryam berhasil melewatinya semua dan pada akhirnya ia hijrah ke Mesir
dan menetap selama 12 tahun. Ketika berada di Mesir, ia menjadi buruh tani
gandum untuk membesarkan anaknya Isa binti Maryam. Ketika Isa diangkat menjadi
Nabi dan Rasul, Maryam selalu mendampingi dan berjuang bersama anaknya untuk
menegakkan Agama Tauhid.
Berdasarkan sekelumit
kisah Maryam binti Imran di atas, dapat dipetik pelajaran untuk perempuan
aktivis yang dirindukan surga, di antaranya adalah: Memiliki akhlak yang mulia
termasuk menjaga aurat dan kehormatannya, harus memiliki ilmu, selalu
mendekatkan diri kepada Allah, dan sabar dalam menghadapi berbagai ujian dan
tantangan dalam menegakkan agama Allah.
>> Khadijah binti
Khuwailid
Khadijah adalah
perempuan mulia isteri pertama Rasulullah SAW. Meskipun beliau seorang janda,
tapi gelar yang disematkan padanya adalah At-Thohirah atau perempuan
yang suci, yaitu kesucian pada akhlaknya. Gambaran sosok Khadijah sebenarnya
cukup simpel, Khadijah adalah teladan sejati para isteri dalam rangka
ketaatannya pada suami. Ia adalah wanita pertama yang mempercayai Islam dan
mendukung dakwah Rasulullah SAW dengan seluruh jiwa raga dan harta bendanya.
“Demi Allah,
sesungguhnya Allah selamanya tidak akan pernah menghinakanmu. Demi Allah
sungguh engkau telah menyambung tali silaturahim, jujur dalam berkata, membantu
orang yang tidak bisa mandiri, engkau menolong orang miskin, memuliakan
(menjamu) tamu, dan menolong orang-orang yang terkena musibah” (HR Al-Bukhari I/4 no
3 dan Muslim I/139 no 160).
Support terbaik Khadijah
kepada Rasulullah adalah menyerahkan harta kekayaannya untuk mendukung dan
memaksimalkan dakwah Islam. Ia rela dan ikhlas menemani Rasulullah selama 3
tahun dalam embargo ekonomi dan sosial yang dilakukan kaum kafir Quraisy, hingga
Bani Hasyim harus makan rumput kasar padang pasir.
“Dia (Khadijah)
beriman kepadaku di saat orang-orang mengingkari. Ia membenarkanku di saat
orang mendustakan. Dan ia membantuku dengan hartanya ketika orang-orang tiada
mau” (HR.
Ahmad).
Jangan tanya tentang
kemandirian yang ada pada diri Khadijah. Dialah salah satu saudagar Mekah yang
sukses, sebuah pelajaran penting bagi kaum hawa untuk menjadi pribadi yang
mandiri dan profesional. Rumah tangga yang dibangun bersama Rasulullah termasuk
rumah tangga yang santun dan dewasa karena dalam perjalanannya tidak pernah
sekalipun mereka beradu kata-kata kasar, apalagi hujatan. Bahkan Khadijah tidak
pernah cemberut sekalipun di hadapan Rasulullah SAW.
Banyak lagi
pelajaran-pelajaran dari Khadijah yang tak diungkap dalam tulisan ini. Meskipun
kisahnya sekelumit ini, dapat dipetik beberapa pelajaran untuk perempuan
aktivis masa kini agar mereka dirindukan surga, antara lain: Selalu menjaga
kehormatan dan mempercantik akhlak; berbakti kepada suami dengan ikhlas dan
sepenuh jiwa, raga dan harta; menjalankan amanah dalam rumah tangga secara
baik; dan selalu menjaga “muka manis” di depan suami. Pelajaran ini sepertinya
tidak menunjuk pada perempuan aktivis secara langsung di lapangan, namun harus
disadari bahwa menjadi perempuan aktivitas tidak hanya secara langsung, sebab
apa yang dilakukan oleh Khadijah binti Khuwailid ini adalah bentuk perempuan
aktivis secara tidak langsung. Kurang tampak dipermukaan, namun sangat dahsyat
menjadi support dan motivator dari belakang.
>> Fatimah binti
Muhammad
Fatimah adalah putri
Nabi Muhammad sekaligus isteri dari Ali bin Abi Thalib. Wanita yang tetap kuat
menjalani hidupnya yang sangat sederhana. Meskipun ia anak seorang Nabi, akan
tetapi tidak pernah dirinya menuntut kemewahan dan kemudahan hidup kepada
ayahnya. Selama hidupnya, Fatimah tidak pernah menangis kecuali pada satu
peristiwa yang sangat menyedihkan, yaitu ketika ayahnya hendak pergi ke
pangkuan Allah azza wa jalla. Mendengar kabar ayahnya akan pergi meninggalkan
dunia, Fatimah sangat sedih, tapi seketika setelah ayahnya berkata bahwa ia
adalah orang pertama yang akan menyusulnya, maka tersenyumlah ia. Fatimah adalah
gambaran yang sangat mirip dengan sosok Rasulullah SAW.
“Saya tidak melihat
seorang pun yang cara berjalan, tingkah laku, pembicaraan, dan saat berdiri
juga duduknya yang sangat mirip dengan Rasulullah selain Fatimah” (HR Tirmidzi)
Dari ketiga nama
sebelumnya, mungkin Fatimah adalah contoh terbaik bagi perempuan yang menginjak
masa dewasa. Fatimah kecil adalah saksi pembangkangan kafir Quraisy terhadap
apa yang dibawa oleh ayahnya. Ialah yang kemudian membersihkan pakaian rasul
saat kotoran dilemparkan padanya. Ia pula yang kemudian dengan lantang berorasi
di depan kaum kafir yang menyakiti baginda Rasul. Sungguh perempuan yang sangat
pemberani. Setidaknya ‘kecerewetan’ seorang perempuan di tempatkan proporsional
olehnya.
Fatimah juga
mendapatkan tempa ujian yang dahsyat. Dari kecil, dia membersamai orang tuanya
dalam embargo, membuatnya kehilangan masa kecil yang seharusnya nyaman dan
mengasyikkan. Saat usianya belasan, ia harus rela untuk ditinggalkan sang ibu
dan saudari-saudarinya yang lain satu per satu. Bayangkan betapa beratnya
ditinggal ibu dan saudari-saudari tercinta dalam kurun waktu yang tidak telalu
lama. Namun, bukan Fatimah namanya jika tidak tegar menghadapi ujian. Bahkan
kemudian ia yang mengurusi setiap kebutuhan dari ayahandanya. Benar-benar
contoh bakti yang luar biasa, itulah sebabnya ia terkenal dengan sebutan Ummu
Abiha (anak yang menjadi seperti ibu bagi ayahnya).
Tentu saja, tak lengkap
jika membicarakan Fatimah, namun tidak membicarakan kisahnya bersama suaminya,
Ali bin abi Thalib. Kisah cinta mereka berdua memang menjadi teladan bagi
muda-mudi dalam mengontrol setiap apa yang berkecamuk dalam hatinya. Rasa yang
ada di hati Fatimah, tersimpan sangat rapi. Kata cinta, terucapkan hanya ketika
ia yang telah mengusik hatinya, Ali bin Abi Thalib, telah menjadi penyempurna
separuh agamanya. Hal yang sangat langka untuk kurun waktu sekarang.
Dari kehidupan
Fatimah, kita juga mungkin banyak belajar tentang makna kesederhanaan dan
penerimaan. Kita tentu paham dengan kehidupan keluarganya yang pas-pasan,
menuntutnya untuk lebih banyak berkorban dan bekerja dengan tangannya sendiri.
Kehidupan awal-awal rumah tangga untuk pasangan muda. Padahal dia adalah putri
kesayangan Rasul, manusia termulia.
Namun, kita tentu
bisa lihat, hasil dari apa yang ia lakukan, dari setiap ujian dan dari setiap
pengorbanan yang dilakukannya. Allah mengangkat derajatnya dunia akhirat dan
melahirkan dari rahimnya anak-anak yang menjadi penerus keturunan Rasulullah.
Walaupun, hidupnya tidak lebih dari 30 tahun, namun inspirasi yang diberikan
Fatimah sewajarnya terus hidup bagi perempuan- perempuan mukmin setelahnya, termasuk
generasi perempuan saat ini.
Dari kisah di atas,
kita bisa mengambil banyak sekali persamaan yang ada pada mereka. Ujian yang
mereka dapat tentu saja bukan ujian yang remeh remeh, tapi sebanding dengan
julukan yang kemudian ada pada mereka, wanita terbaik dunia dan akhirat. Jadi,
jangan khawatir bagi mereka yang mendapatkan ujian yang berat, barangkali Allah
tengah mengupgrade diri kita, sehingga menjadi pribadi yang lebih berharga di
sisi-Nya.
Mereka juga terkenal
dengan wanita mutakamil atau wanita yang sempurna. Baik dari sisi lahiriah
maupun ruhiyah. Mereka terkenal dengan sebutan jamilatul jamil (cantik dari
yang tercantik), itu dari sisi lahir sedangkan dari sisi ruhiyah, mereka
terkenal dengan sebutan albatul atau atthohiroh yang berarti suci.
Dari keempat nama
tersebut, kita juga bisa melihat karakter atau sifat luar biasa yang seharusnya
melekat pada seorang ibu. Asiyah dengan Musa, walau ia hanya anak angkatnya.
Maryam dengan Isa. Khadijah dengan anak-anaknya yang cukup banyak, serta
Fatimah dengan para pemuda penghulu surganya. Kasih sayang mereka, didikan dan
teladan mereka pada anak-anaknya, itulah kunci keberhasilan pengasuhan mereka.
Ibu memang sosok luar biasa, kita pasti sepakat dengan kalimat ini.
Dari kisah mereka,
kaum wanita seharusnya bisa mengambil pelajaran, bahwa dalam Islam tidak
membatasi potensi kebaikan dan kebermanfaatan yang mungkin dilakukan oleh
seorang wanita. Apakah itu menjadi engineer, dokter, farmasist, scientist,
guru, ahli gizi, plantologist, polwan, entrepreneur, penulis dan profesi
lainnya. Namun, tentu saja, tidak boleh melupakan potensi kebaikan dan
kebermanfaatan terbesar yang Allah berikan kepada kaum wanita, yaitu menjadi isteri
dan menjadi ibu. Isteri yang taat kepada suaminya dan Ibu yang mengandung,
melahirkan dan mendidik anaknya dengan didikan rabbani. Suatu hal yang
seharusnya diingat oleh mereka yang ramai meneriakkan kesetaraan gender yang
ternyata jauh dari nilai-nilai Islam.
*Tulisan ini merupakan
pemahaman penulis dan ramuan tulisan dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment