Slider

Recent Tube

Berita

Ilmiah

Opini

Fiksi

TQN

Buku

» » Mengisi Hari Kemerdekaan RI ke 72

Sumber Foto: Baca Al-Qur'an 30 Juz
Santri Pondok Pesantren Muhammad Basiuni Imran Sambas
Dalam Acara Doa Bersama HUT RI ke 72 >> 17-17-17
Menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia yang sudah memasuki usia ke 72 tahun ini, sangat tepat kiranya momentum ini kita gunakan untuk bermuhasabah diri, karena sejatinya kemerdekaan yang telah kita peroleh tersebut, merupakan sebuah rahmat yang sangat besar dari Allah SWT untuk bangsa ini.

Dalam Pembukaan UUD 1945, para tokoh dan bapak bangsa ini telah mengakui: Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorong oleh keinginan yang sangat luhur agar bangsa ini terbebas dari semua penjajah, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Berdasarkan pengakuan tersebut, jelas bahwa kemerdekaan yang diperoleh, merupakan berkah dan rahmat dari Allah SWT. Oleh sebab itu, maka kita harus mensyukuri nikmat Allah ini dengan sebaik-baiknya.

Dalam situasi dan kondisi bangsa yang masih sangat memprihatinkan saat ini, hendaknya masing-masing kita mau bertafakkur sejenak, sambil mengenang para pejuang pahlawan bangsa, yang telah rela mengorbankan jiwa, raga bahkan nyawanya. Setelah itu, kita lakukan introspeksi (muhasabah) diri, apa saja yang telah kita perbuat untuk bangsa dan negara ini. Para penyelenggara negara, baik di pemerintahan (eksekutif), yudikatif maupun legislatif (wakil rakyat), atau tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, harus melakukan introspeksi diri, agar kemerdekaan yang kita peroleh, tidak disia-siakan, apa lagi diisi dengan kepongahan dan tak jelas arah atau tujuannya. Hal ini sesuai dengan amaran Allah SWT dalam QS. al-Hasyr: 18 sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Secara umum, negara kita masih mengalami keterpurukan. Bangsa dan negara kita masih dilanda krisis multi dimensi yang berkepanjangan. Hal ini bisa dilihat dari jumlah pengangguran dan kemiskinan yang semakin meningkat, tindak kriminal semakin menjadi-jadi, bahkan hutang luar negeri meningkat tak henti-henti.

Keadilan dan kemakmuran yang belum merata serta berbagai macam musibah yang melanda negeri ini mungkin disebabkan masih banyaknya kita yang enggan bersyukur kepada Allah SWT. Kata syukur diambil dari kata “syukran” yang berarti “terima kasih”. Dalam bahasa syar’i, syukur atau bersyukur adalah kewajiban seorang muslim terhadap Allah atas segala nikmat yang telah diberikanNya.

Mengucapkan kata syukur memang sangat mudah, tetapi dalam prakteknya sulit. Sebab bersyukur menurut syar’i adalah melaksanakan segala perintah Allah, meninggalkan segala laranganNya, dan menggunakan nikmat yang diberikanNya dengan sebaik-baiknya.

Kenyataanya, sulit mencari orang yang pandai bersyukur ini. Mereka yang diberi amanah untuk menyelenggarakan negara ini masih banyak yang tak bisa bersyukur. Mereka masih senang mengerjakan yang dilarang Allah, dan meninggalkan yang diperintahNya. Para pejabat masih ada yang melanggengkan budaya korupsi, menyalahgunakan jabatan dan melanggar hukum, bahkan ada oknum yang menjadikan jabatannya sebagai alat untuk memperalat atau membohongi rakyat. Semua itu dilakukan lantaran masih kurang pekanya terhadap pengawasan dan rasa syukur kepada Allah SWT. Padahal semua yang kita miliki, termasuk jabatan atau kekuasaan merupakan amanah dan nikmat Allah yang seharusnya kita syukuri.

Secara jujur harus kita akui, bahwa sebagian kita masih belum istiqomah dalam menjalankan ajaran Islam. Kita belum ber-Islam secara kaffah, sehingga masih banyak pelanggaran terhadap larangan-larangan Allah. Padahal Allah telah mengingatkan di dalam firman-Nya: “Apabila datang pertolongan Allah berupa kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima Tobat” (QS. An-Nashr 1-3).

Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita untuk mensyukuri dan mengisi kemenangan dengan sebaik-baiknya, bukan sebaliknya memanfaatkan kemerdekaan untuk menumpuk kekayaan pribadi, memuaskan hasrat diri, atau melakukan kesewenang-wenangan dan kemunafikan sesuka hati. Jika kita telusuri sebab turun (asbâbun nuzul) surah di atas saat Rasulullah SAW berhasil menaklukkan kota Mekah dan memperoleh kemenangan yang gemilang, orang berbondong-bondong masuk Islam. Rasulullah sangat gembira menyaksikan kenyataan tersebut. Agar kemenangannya tidak disambut hura-hura dan kesenangan yang melampaui batas, maka Allah SWT mengingatkannya melalui surah an-Nashr tersebut.

Ada tiga pesan penting yang terkandung dalam surah an-Nashr tersebut. Pertama, kita disuruh untuk selalu bersyukur kepada Allah seraya memujinya apabila telah memperoleh nikmat. Kedua, untuk menunjukkan rasa syukur tersebut, maka kita harus mensucikan Allah dengan cara “bertashbih” sebanyak-banyaknya. Ketiga, hendaknya kita tak henti-hentinya memohon ampunan Allah, sebab boleh jadi, saat merebut kemerdekaan maupun ketika mengisinya, banyak kesalahan atau pelanggaran yang telah kita lakukan.

Manakala kita menyambut kemerdekaan dengan ketiga hal di atas, maka keberkahan dari Allah akan berlimpah-ruah, namun bila kemerdekaan disambut dan diisi dengan perbuatan-perbuatan yang terlarang, maka Allah akan menimpakan azab yang mengerikan: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. al A’râf: 96).

Subhanallah wa Masya Allah, sungguh luar biasa janji Allah di dalam ayat di atas, bila kita beriman dan bertaqwa dengan sungguh-sungguh kepadaNya, maka Allah akan sungguh-sungguh pula untuk melimpahkan keberkahan kepada kita semua. Itulah janji Allah, dan setiap janjiNya pasti akan Dia tepati.

Fazlurrahim
Kita patut bersyukur bahwa negara kita, Indonesia ini cukup aman dibanding sebagian negara lain di belahan dunia ini. Umat Islam di sini bisa menjalankan ibadah dan menuntut ilmu dengan tenang kendatipun berbeda-beda madzhab dan kelompok. Kita juga relatif bebas dari kekangan di Tanah Air ini dalam menjalani hidup sehari-hari. Udara kemerdekaan ini adalah karunia besar dari Allah SWT. Jangan sampai kita baru merasakan kenikmatan luar biasa ini setelah rudal-rudal berjatuhan di sekeliling kita, tank-tank perang berseliweran, tempat ibadah hancur karena bom, atau konflik berdarah antar saudara sesama bangsa. Na’ûdzubillâhi min dzâlik.

Sebelum mengakhiri tulisan ini, setidaknya ada tiga hal yang harus kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan ini, yaitu:

ü  Mensyukuri nikmat kemerdekaan bukan mengenang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah kenikmatan dari Allah. Setiap nikmat itu menjadi pembuka atau penutup pintu nikmat lainnya. Kita sering menginginkan nikmat, padahal rahasia yang bisa meng-undang nikmat adalah syukur atas nikmat yang ada. Mengenang adalah terlena dengan romantisme sejarah, sedang bersyukur merupakan gairah pengundang kenikmatan yang lebih besar (Qs. Al-Hijr: 7).

ü  Bebas dari perbudakan nafsu, karena nafsu akan melenyapkan kemerdekaan itu sendiri. Nafsu akan membawa manusia kapada dosa-dosa dan kedzaliman. Bila kedzaliman terus berlangsung, Allah SWT akan mencabut keberkahan. Bila keberkahan tidak ada, maka penderitaan akan terus menimpa negeri kita. Nafsu akan menyeret manusia kepada kerakusan. Kerakusan melahirkan kekejaman terhadap kemanusiaan. Tidak sedikit pembantaian terhadap kemanusiaan terjadi hanya karena kerakusan terhadap harta dan kekuasaan. Nafsu bisa menjadikan manusia seperti binatang. Bila manusia lebih didominasi oleh kebinatanganya, ia akan lebih kejam dan lebih parah dari binatang itu sendiri (Qs. Al-A’raf: 179).

ü  Tidak diperbudak dunia. Jika kita jadi budak dunia, maka kita akan sibuk dengannya, dan melupakan Allah swt yang memberikan kemerdekaan ini. Cinta dunia mematikan hati nurani. Seringkali hati menjadi keras karena mengagungkan dunia, sebab dengan mengagungkan dunia, ia akan lupa kepada akhirat (QS. At-Taubah: 38).

Sebagai penghujung tulisan ini, marilah kita syukuri kemerdekaan ini dengan hamdalah, sujud syukur dan mengisinya dengan kegiatan-kegiatan positif dan bermanfaat. Saat ini kita memang tidak berperang secara fisik sebagaimana ulama-ulama dan pahlawan kita terdahulu, tapi kita masih punya cukup banyak masalah kemiskinan, kebodohan, korupsi, tindak kekerasan, narkoba, dan lain-lainnya yang juga wajib kita perangi saat ini. Bila kita bersatu, saling bahu-membahu antar seluruh elemen masyarakat, insya Allah segala bentuk penjajahan tersebut akan bisa kita akhiri sesegera mungkin, amin ya rabbal a’lamin.


Tulisan ini merupakan hasil olahan dan ubahsuai dari beberapa sumber, termasuk naskah khutbah Jum’at. Semoga bermanfaat!



«
Next
Newer Post
»
Previous
Older Post

No comments: