#Adnan Mahdi
@Kajian, Pembagian Tugas Keluarga?
Mengawali
komentar ini, saya ingin mengatakan bahwa persoalan yang dialami oleh Ibu Airien dalam berumahtangga sebenarnya juga banyak
dialami oleh ibu-ibu atau kaum perempuan yang lain, hanya saja mereka biasanya
kurang berani atau malu untuk mengutarakannya di depan publik, meskipun melalui
rubrik konsultasi. Sifat seperti itu sebenarnya kurang baik bagi kaum
perempuan, karena dengan diendapkannya permasalahan seperti itu, mengakibatkan
mereka akan selalu tertindas. Padahal, banyak strategi yang dapat dilakukan, misalnya mengutarakan persoalan dengan memberikan
identitas samaran atau inisial, hal tersebut cukup aman dan sangat terjaga
privasinya.
Sebenarnya,
dengan terungkapnya persoalan di depan publik, akan sangat memungkinkan
banyaknya tanggapan, masukan, bahkan penafsiran baru yang tentu saja memungkinkan
perubahan paradigma ke arah yang lebih positif, meskipun proses perubahan
tersebut berjalan secara perlahan dan sangat banyak
hambatan-hambatannya. Kita dapat melihat realitas yang ada, bahwa gaung
tuntutan keadilan jender tidak hanya disuarakan kaum perempuan semata, namun
juga disuarakan oleh kaum lelaki seperti Qasim Amin, Riffat Hasan, Masdar F.
Masudi, Nasaruddin Umar dan sebagainya yang peduli dan sepakat untuk menegakkan keadilan sesungguhnya sesuai pesan-pesan moral dalam al-Qur’an maupun Hadis. Hal
ini saya ungkapkan karena sudah terlalu panjang torehan sejarah yang mensubordinasi
kaum perempuan, padahal jenis kelamin itu bukan sebuah pilihan, tetapi suatu
ketetapan Allah SWT, dan hal yang perlu diingat, tidak ada maksud Allah untuk
menciptakan kaum perempuan itu menjadi manusia second class, tetapi yang
ada adalah saling melengkapi antara satu sama lain,[1]
apabila suami tidak berkesanggupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga, maka istrinya yang harus tampil untuk menutupinya,
begitu pula sebaliknya dalam berbagai hal.
Adapun terkait persoalan Ibu Airien, saya menilai
pokok persoalannya bukan terletak
pada kondisi ekonominya, namun noktahnya berada pada buruknya jalur komunikasi
yang terbangun antara suami-istri. Berdasarkan ceritanya, komunikasi yang buruk
dalam keluarganya tersebut disebabkan oleh karakter suami yang keras, ingin
menang sendiri, dan mungkin juga dipengaruhi oleh pengetahuan yang keliru bahwa
suami “harus” dihormati dan dilayani sepenuhnya oleh sang istri. Tentu saja
jika pengetahuan yang keliru tersebut lebih
dominan dimiliki oleh seorang suami, maka sikap untuk menghargai,
menghormati, dan mengakui eksistensi seorang istri akan ber-kurang atau bisa
jadi hilang sama sekali. Jika kondisi ini yang terbangun, maka istri akan
selalu dinilai “salah” selamanya oleh seorang suami.
Alhasil,
suami Ibu Airien menuntut hal-hal yang tidak logis, seperti menyuruh istrinya
berhenti bekerja padahal ekonomi keluarganya ditopang oleh hasil pekerjaan istri, menuntut istrinya memasak, mengurus anak-anak
dan sebagainya, padahal suaminya tahu bahwa istrinya seorang guru yang punya
waktu rutin untuk melaksanakan tugasnya. Semestinya hal ini tidak perlu terjadi, jika suami Ibu Airien mengetahui
bahwa Allah dan Rasul-Nya juga memberikan hak-hak yang sama seperti kesempatan
yang ia miliki.
Dalam konteks
pekerjaan di luar rumah, kita bisa melihat petunjuk al-Qur’an, seperti kisah dua puteri Nabi Syu'aib yang bekerja menggembala
kambing di padang rumput.[2]
Dalam hadis Rasulullah juga ditemukan ada seorang
perempuan yang diperbolehkan nabi untuk bekerja sebagai pemetik buah
kurma, sebagaimana sabda-Nya:
طُلِّقَتْ خَالَتِي فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا
فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ بَلَى فَجُدِّي نَخْلَكِ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي أَوْ تَفْعَلِي
مَعْرُوفًا
Artinya: “Bibiku dicerai oleh
suaminya, lalu dia ingin memetik buah kurma, namun dia dilarang oleh
seorang laki-laki untuk keluar rumah”. Setelah
itu istriku mendatangi Rasulullah SAW untuk menanyakan hal itu, maka
Rasulullah SAW menjawab; “Ya, boleh! Petiklah buah
kurmamu, semoga kamu dapat bersedekah/berbuat kebajikan”. (HR. Muslim, nomor:
2727).
Kalau menelusuri lebih jauh lembaran-lembaran
fikih, ternyata banyak ulama fikih yang berpendapat bahwa suami juga
tidak berhak sama sekali untuk melarang
isteri bekerja mencari nafkah, apabila nyata-nyata dia tidak bisa
bekerja mencari nafkah, baik karena sakit, miskin atau karena yang lainnya.[3]
Bahkan lebih tegas lagi dalam fikih Hambali, seorang lelaki yang pada awalnya
sudah mengetahui dan menerima calon isterinya sebagai seorang pekerja (perempuan karir) yang setelah perkawinan juga akan terus
bekerja, suami tidak boleh melarang isterinya bekerja atas alasan apapun.[4]
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, sangat jelas bahwa Islam memberikan kesempatan yang sama untuk bekerja bagi kaum perempuan
seperti laiknya kesempatan yang dimiliki oleh laki-laki.
Sedangkan
mengenai pertanyaan apakah laki-laki atau suami dapat memasak, tentu saja
jawabannya bisa. Sebagai contoh, sebut saja Rudy, ia adalah orang Indonesia
yang sangat terkenal konsep masakannya. Begitu pula dalam pertandingan masak yang disiarkan dalam sebuah stasiun
televisi Indonesia pada beberapa tahun yang lalu, semua pemimpin regu
masaknya adalah laki-laki. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada alasan bagi
seorang suami atau laki-laki tidak mau memasak, tergantung pada kemauan mereka
saja.
Apabila
dilanjutkan pertanyaannya, apakah kodrat lelaki atau suami akan hilang jika
mereka yang memasak di dapur? Tentu saja jawabannya, tidak. Sebab, dalam
kehidupan Rasulullah sebagai suri teladan yang paling baik, ternyata Beliau
juga senang membantu pekerjaan istrinya di rumah. Informasi ini bisa kita lihat
dalam hadis-hadis di bawah ini:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ فِي بَيْتِهِ قَالَتْ كَانَ يُرَقِّعُ
الثَّوْبَ وَيَخْصِفُ النَّعْلَ أَوْ نَحْوَ هَذَا
Artinya: “Seorang laki-laki bertanya kepada (Aisyah), Apa yang
diperbuat Rasulullah SAW dirumahnya? Dia menjawab, “Beliau menambal bajunya,
mengesol sandalnya, atau yang semisalnya”.
(HR. Ahmad, nomor: 24855).
الْأَسْوَدِ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ :مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصْنَعُ فِي أَهْلِهِ قَالَتْ كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا حَضَرَتْ
الصَّلَاةُ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ
Artinya: Al-Aswad berkata; saya bertanya kepada (Aisyah),
“Apakah Nabi SAW pernah ikut membantu pekerjaan rumah isterinya?” Aisyah
menjawab; “Beliau suka membantu pekerjaan
rumah isterinya, jika tiba waktu shalat, maka Ia beranjak untuk
melaksanakan shalat”. (HR. Bukhari, nomor: 4944 dan 5579, serta Ahmad: 23093).
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ :مُرُوا أَزْوَاجَكُنَّ أَنْ يَغْسِلُوا عَنْهُمْ أَثَرَ
الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ فَإِنِّي أَسْتَحْيِيهِمْ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُهُ قَالَ بَهْزٌ مُرْنَ أَزْوَاجَكُنَّ
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Suruhlah suami-suami
kalian agar mereka mencuci
bekas buang air besar dan kecil mereka sendiri, karena sesungguhnya saya malu
pada mereka. Sesungguhnya Rasulullah SAW juga
pernah melakukan hal itu.” Bahkan Bahz meriwayatkan; “Perintahlah
suami-suami kalian”.
(HR. Ahmad, nomor:
24209).
Berdasarkan tiga hadis di atas, sangat jelas bahwa
Rasulullah sendiri sering membantu pekerjaan istrinya di rumah, sampai
pada pekerjaan yang tergolong “menjijikan” sekalipun, seperti membersihkan WC
atau Kamar Mandi. Apakah tindakan Rasulullah tersebut sudah menghilangkan
kodrat seorang lelaki, atau menurunkan derajat kenabiannya? Tentu saja, tidak. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada pembagian
tugas khusus dalam rumah tangga, semuanya menjadi tanggung jawab
bersama, saling bahu-membahu untuk menyelesaikannya, bukan malah menyerahkan
sepenuhnya kepada istri, apalagi menimpakan beban kesalahan jika ada masalah.
Namun, jika
istri tidak bekerja di luar rumah dan hanya mengurus rumah tangga belaka, maka kewajibannya
sebagai pemimpin urusan rumah tangga harus
terlaksana, namun bukan berarti bahwa sepenuhnya dia yang mengerjakan, tetapi
dia yang mengatur meskipun suami membantu pada pekerjaan yang berat atau yang
tidak dapat dilakukan oleh istri. Bukankah seorang pemimpin itu tidak
sepenuhnya dia sendiri yang melaksanakan tugas kepemimpinannya, contoh riil
saja tugas presiden selaku pemimpin negara, tugas gubernur selaku pemimpin
daerah, direktur selaku pemimpin perusahaan, atau lain-lainnya, semuanya tidak dilakukannya sendiri, tetapi dibantu oleh orang-orang yang tergabung dalam
kepemimpinannya, meskipun penanggung
jawab utamanya adalah pemimpinnya. Menurut saya, inilah sebenarnya yang
dimaksudkan di dalam hadis Rasulullah, yang berbunyi:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ :سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar, r.a.
berkata; Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin
dan akan dimintai pertanggung jawaban atas
yang dipimpinnya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin yang akan diminta
pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami dalam keluarganya adalah
pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban
atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di dalam
urusan rumah tangga suaminya dan akan
diminta pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut.
Seorang pembantu dalam urusan harta tuannya adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut".
(HR. Bukhari,
nomor: 2546).
Hadis di atas
jelas memperlihatkan fungsi dan tugas seorang istri, yaitu memimpin urusan rumah
tangga, tapi bukan berarti semua pekerjaan hanya dibebankan kepadanya semata. Apalagi jika ada yang mengkhususkan bahwa
tugas utama istri hanya seputar “dapur, sumur, dan kasur”, jelas statement
atau pemahaman tersebut sangat diskriminatif dan bias jender. Jadi, bagi saya, pendapat suami Ibu Airien yang
menginginkan tugas istrinya hanya di
rumah untuk mengurus anak dan rumah tangganya saja sangat keliru dan tidak Islami.
Wallahu a’lam.
[1]Misalnya
saja ayat yang menerangkan tentang hasrat untuk bersetubuh, hal itu sangat
jelas menunjukkan bahwa suami dan istri itu saling melengkapi, saling menutupi kebutuhan
antara satu dengan lainnya (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
[2]Lihat
Q.S. al-Qashash, ayat 23-28.
[3]Lihat
lihat fatwa Ibn Hajar, juz IV, h. 205, dan al-Mughni li Ibn Qudamah, juz VII,
h. 573.
[4]Lihat
al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz VII, h. 795.
No comments:
Post a Comment