Thariqah berasal dari kata benda dengan jamaknya tharâ’iq yang
memiliki banyak makna, antara lain: Jalan, cara (al-kaifiyyah); metode, sistem
(al-uslûb); madzhab, aliran, haluan (al-madzhab); keadaan (al-hâlah);
pohon kurma yang tinggi (an-nakhlah at-thawîlah); tiang tempat berteduh,
tongkat payung (‘amud al-mizallah); yang mulia, terkemuka dari kaum (syarif
al-qaum); dan (8) goresan atau garis pada sesuatu (al-khath fi asy-syay).
Dalam dunia sufi, thariqah dimaknai sebagai jalan untuk membersihkan
hati agar lebih dekat dengan Allah SWT. Hati adalah pusat pandangan Allah,
apabila hati kotor, maka akan terbentanglah hijab seorang hamba kepada Allah
SWT.
Thariqah juga dimaknai sebagai jalan yang dilalui dalam perjalanan
menuju Allah. Jalan tersebut berpangkal pada syari’ah, sebab jalan utama
disebut syar’ sementara anak jalan atau gang-nya disebut thariq.
Makna dari kata thariq adalah mengetuk, seperti ungkapan tharq
al-bab yang berarti mengetuk pintu. Dalam thariqah, ungkapan
tersebut bisa dimisalkan dengan kata tharq al-qalb, yakni mengetuk
hati sekeras-kerasnya dengan dzikrullah agar karatan debu dosa bisa
tanggal atau hilang, sehingga hati menjadi bersih dan suci kembali. Cara
beribadah seperti ini disebut Nabi Muhammad SAW dengan thariqah hasanah
atau cara yang baik. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dengan
perawinya yang tsiqah, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang
hamba jika berpijak pada thariqah yang baik dalam beribadah, kemudian ia sakit,
maka dikatakan (oleh Allah) kepada malaikat yang mengurusnya: Tulislah untuk
orang itu pahala yang sepadan dengan amalnya apabila ia sembuh sampai Aku
menyembuhkan-nya atau mengembalikannya kepada-Ku (Musnad Ahmad, Juz 11;
203).
Kata thariqah hasanah dalam hadits di atas menunjukkan pada prilaku
hati yang ihsan dalam beribadah kepada Allah, seakan-akan melihat Allah
atau sedang diperhatikan Allah. Bila ibadah sudah sampai ke tahap tersebut,
maka aktualisasi tauhid sudah sampai pada puncak yang sempurna. Pemahaman ini
bisa disandarkan pada surah al-Jinn ayat 16-17:
Seandainya mereka istiqamah di atas thariqah niscaya Kami beri minum
mereka dengan air yang melimpah (karunia yang banyak) untuk Kami uji mereka di dalamnya, dan barang
siapa tidak mau berdzikir kepada Tuhan-nya, niscaya Dia menimpakan azab yang
sangat pedih.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Madarij al-Salikin,
mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq ra. ketika menyingung ayat tersebut. Abu
Bakar pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-thariqah dan ia
menjawab: Hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu. Menurut
Ibn al-Qayyim, yang dimaksud dengan al-istiqamah ‘ala al-thariqah oleh
Abu Bakar adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid atau konsisten di
atas tauhid yang murni. Dengan demikian, maksud thariqah di dalam ayat tersebut
adalah jalan menuju tauhid yang murni. Terkait dengan tauhid, Ibn
Taimiyah berkata: Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab
Allah dan yang diisyaratkan oleh syaikh-syaikh thariqah dan pakar-pakar agama.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa thariqah merupakan
jalan untuk memurnikan tauhid, membersihkan hati dari syirik, mensucikan diri
dari dosa, dan membaguskan akhlak dengan sebagus-bagusnya. Cara atau jalan yang
ditempuh, tidak lain hanyalah melalui dzikrullah dalam makna luas. Salah
satu jalan khusus yang bisa dilalui untuk membersihkan diri, membaguskan akhlak
sekaligus mendekatkan diri kepada Allah SWT adalah melalui dzikir dan amaliah
yang diajarkan Syaikh Ahmad Khathib As-Sambasy dalam Thariqah Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Dzikir serta amaliah-amaliah dimaksud akan diuraikan dalam buku
ini dengan harapan agar para ikhwan/akhwat lebih mudah mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari, âmîn.
DAFTAR ISI BUKU:
Harga Buku: Rp. 50.000 + Onkir
No comments:
Post a Comment